PEMBANTAIAN MASSAL DI PABRIK GULA REJOSARI

August 15, 2018 0 Comments


Pada pukul 03:00 dini hari tanggal 18 September 1948, tangsi Polisi Gorang Gareng diserang beribu-ribu laskar FDR/PKI. Mereka membawa senjata pistol, tetapi ada pula yang hanya bersenjatakan kelewang dan bumbu runcing. Orang-orang PKI ini menangkap para polisi dan melucuti, termasuk Kepala Polisi setempat, Doerjat. Orang-orang yang telah ditangkap dan dilucuti ini kemudian digirng beramai-ramai ke kawasan Pabrik Gula Rejosari di Gorang Gareng. Pada tanggal 18 September 1948, Doerjat bersama yang lain dibunuh PKI.
M.Ng. Sudibyo, Bupati Magetan, mengalami nasib yang sama dengan Doerjat. Pada hari Sabtu Wage, bersamaan dengan Musso merebut Madiun, di pendapa Kabupaten Magetan diselenggarakan rapat pleno Dewan Desa yang dihadiri oleh semua wakil rakyat. Anggota Dewan Desa itu berasal dari wakil berbagai partai dan lembaga-lembaga fungsional. Hadir dalam rapat itu M.Ng. Sudibyo, Bupati Magetan, Patih R. Soekardono, Kepala Panitera R. Moerti, Wedana, bahkan Komandan KDM.
Rapat Dewan Desa tersebut berlangsung sangat panas, sebab FDR/PKI melontarkan gagasan yang benar-benar tidak dapat diterima oleh semua pihak. Dalam rapat pleno FDR/PKI bersikeras menghendaki agar Bupati M.Ng. Sudibyo bersama anggota Dewan Desa yang hadir menetapkan peraturan bahwa tanah bengkok yang diberikan sebagai upah utnuk para pamong desa dibagi-bagikan kepada rakyat. Bupati M. Ng Sudibyo menolak keras gagasan tersebut sebab masalah pembagian tanah bengkok adalah aturan pemerintah pusat sebagai imbalan atas jerih payah para aparat desa mengatur pemerintahan desa. Gagasan FDR/PKI tersebut tentu akan memicu keributan. Sikap Bupati ini mendapat dukungan dari wakil-wakil rakyat di masing-masing Dewan Desa.
Karena merasa mendapat hambatan untuk mencapai cita-citanya, maka FDR/PKI mengulur-ulur waktu rapat hingga malam hari. Menurut kesaksian Suwarno, salah seorang peserta rapat, FDR/PKI sengaja mengulur-ngulur waktu rapat hingga malam hari. Mengingat suasana yang demikian, Bupati M. Ng. Sudibyo mengutus Suwarno dan Soeharno mengantarkan surat ke Residen Madiun dengan maksud minta bantuan memecahkan persoalan tersebut. Jarak Magetan-Madiun 23 km ditempuh dengan sepeda oleh keduanya. Tetapi, bukan hal mudah untuk memasuki kota Madiun, karena FDR/PKI telah menutup kota Madiun dengan jalan menghalang-halangi orang masuk kota ini. Waktu itu, hubungan kota Madiun dengan kota-kota lain putus sama sekali karena kawat-kawat telepon diputus dan tiang-tiang di pinggir jalan dirobohkan oleh orang-orang FDR/PKI.
Sementara itu, suasana di Magetan mencekam, orang-orang yang ada di pendapa, kecuali orang-orang FDR/PKI, digirng ke penjara Magetan. Tangan Bupati M. Ng. Sudibyo ditelikung ke belakang dan diikat dari tali bambu sehinngga tidak dapat bergerak. Dari penjara Magetan para tawanan diangkut dengan gerbong lori ke loji pabrik gula Rejosari Gorang Gareng. Bupati dengan rombongannya juga diangkut dengan tangan maasih terikat tali bambu. Kedatangan Bupati M.Ng. Sudibyo di pabrik gula Rejosari itu disaksikan Sudirno yang waktu itu baru berumur 14 tahun.
Pembantaian di loji pabrik gula Rejosari dilakukan tanggal 28 September 1948 oleh algojo-algojo FDR/PKI. Malam hari, sebelum dibunuh mereka disuruh berpuasa dan setelah pukul 09:00 sampai pukul 11:00 mereka yang berada dikamar-kamar loji diberondong dengan tembakan dari luar melalui celah ruji-ruji jendela. Seluruh kamar dibanjiri darah segar yang menggenang hampir setinggi mata kaki. Namun naasib baik berpihak pada KH. Rochib dan salah satu kawannya yang menghuni salah satu kamar di loji tersebut. Keduanya bisa selamat dari pembunuhan karena setiap ada tembakan KH. Rochib berlindung di tembok pinggirnya. Sebelum ditangkap dan dibawa ke Rejosari, KH. Rochib adalah seorang guru agama di Bangsri. Dia bersama sekitar 300 orang lainnya ditangkap di Bangsri dan disekap di loji pabrik gula Rejosari. Dalam sekapan itu, 5 atau 6 orang ditangannya digandeng menjadi satu sehingga apabila salah satu dari mereka akan buang air kecil atau besar, mereka bersama-sama harus mengikutinya.
Untunglah siang harinya pasukan Siliwangi tiba di Gorang Gareng sehingga pembunuhan berhenti dan orang-orang FDR/PKI melarikan diri. Tentara Siliwangi segera menjebol pintu loji dan membantu merawat orang-orang yang telah dibunuh.

0 Comments:

PEMBANTAIAN MASSAL PKI DI BATOKAN, BANJAREJO

August 13, 2018 1 Comments


Ketika Republik Soviet Indonesia diproklamasikan pada tanggal 18 Agustus 1948, laskar merah bersenjata yang tergabung dalam FDR/PKI segera melakukan aksi-aksi untuk menguasai pos-pos terpenting. Gerakan mereka telah terencana dengan baik sehingga dapat berlangsung sangat cepat dan tidak terduga sehingga dalam tempo singkat mereka telah melumpuhkan pemerintahan resmi, khususnya di daerah kabupaten Magetan. Dalam aksinya itu, PKI menggunakan para preman, bandit-bandit, perampok, warok untuk mengacaukan situasi. Perampokan sering disertai pembunuhan. Kerusuhan semacam ini dibuat di berbagai tempat agar polisi dan tentara kewalahan mengatasinya. Orang-orang desa dibuat panik dan diliputi suasana waswas.
Selain merebut pos-pos militer dan pemerintahan, di kabupaten Magetan FDR/PKI juga mengincar tokoh-tokoh dari Pesantren Takeran, Pesantren Sabili Mutaqien (PMS), yang dianggap sabagai musuh mereka. Pesantren itu sendiri dipimpin oleh Kiai Imam Mursjid Muttaqin, seorang Kiai yang berwibawa di kawasan Magetan. Pesantren Takeran aktif melakukan penggemblengan fisik dan spiritual. Untuk melatih ilmu kanuragan ini, Kiai Imam Mursjid Muttaqin dibantu kiai dari Temanggung, Ponorogo dan Jombang.
Pada tanggal 17 September 1948, tepatnya hari jumat Pon, Kiai Hamzah ddan Kiai Nurun dari tulungagung dan Tegalrejo berpamitan pada Kiai Imam Mursjid untuk mengajar Pesantren Burikan, Banjarejo yang merupakan cabang Pesantren Takeran. Pamitan kedua kiai ini menerbitkan kegelisahan di hati Kiai Mursjid. Entah bagaimana, sang Kiai mendapat firasat bahwa akan terjadi sesuatu yang buruk menimpa keduanya. Firasat tersebut terbukti ketika terdengar kabar bahwa pada hari Sabtu Wage tanggal 18 September 1948 Pesantren Burikan diserang FDR/PKI. Dalam penyerangan tersebut tokoh-tokoh pesantren dan santrin, termasuk Kiai hamzah dan Kiai Nurun yang masih ada di pesantren tersebut, digiring bersama-sama tawanan lain ke Batokan, berjarak 500m dari pesantren Burikan. Rupanya, di pekuburan Batokan, Banjarejo, telah dipersiapkan algojo-algojo yang membawa pedang dan pentungan untuk menghabisi nyawa mereka yang telah diculik. Pada waktu itu Batokan, banjarejo termasuk daerah Kawedanan Gorang gareng. Di tempat inilah dibantai 16 orang yang kemudian mayatnya dimasukkan ke dalam sumur.
Untuk mengelabui pihak kepolisian, orang-orang PKI di Gorang Goreng menelpon Polres magetan, guna meminta bantuan dengan dalih sedang terjadi perampokan. Kepala Polisi Magetan, Ismiyadi, tanpa curiga segera datang ke Gorang gareng bersama anggota polisi kasiman, kliwon dan sopir bernama Suparlan. Mereka bertiga menggunakan mobil jip milik Bupati Magetan M. Ng. Sudibyo. Tiba di perbatasan Desa Bajarejo, mobil yang membawa Ismiyadi dihentikan beratus-ratus orang PKI yang dipimpin oleh Dalil. Ia adalah seorang guru sekaligus seorang tokoh PKI Banjarejo. Polisi R. Ismiyadi semula melawan, tetapi karena kalah jumlah, mereka akhirnya menyerah. Kemudian R Ismiyadi dan polisi lainnya diarak ke markas PKI di rumah Kromorejo. Setelah hari gelap, R. Ismiyadi dan anak buahnya beserta Kiai Hamzah dan Kiai Nurun, serta beberapa orang lainnya dibantai di pekuburan batokan. Berikut nama-nama korban pembantaian massa di Batokan
1.      R. Ismiyadi (Inspektur Polisi)
2.      Marian (Agen Polisi I)
3.      Kliwon (Agen Polisi II)
4.      Kasimin (Agen Polisi III)
5.      Suparlan (Sopir)
6.      Abdul Malik (Kiai)
7.      Hamzah (Kiai)
8.      Nurun (Kiai)
9.      Karto Siman (Jogoboyo)
10.  Karno (penduduk setempat)
11.  Wardi (penduduk setempat)
Pembunuhan ini berawal pada hari Jumat, 17 September 1948 sehabis shalat Jumat. Kiai Imam Mursjid juga diculik oleh FDR/PKI untuk diajak bermusyawarah tentang Republik Soviet Indonesia. Keberangkatan Imam Mursjid bersama tokoh-tokoh FDR/PKI itu menimbulkan kegelisahan para santri. Imam Faham, santri yang setia, minta untuk mendampingi Kiai Imam Mursjid. Sebelumnya orang-orang FDR/PKI mengancam apabila Kiai Imam Mursjid tidak mau, maka Pesantren Tarekan akan dibakar. FDR/PKI tidak bersedia melepas Kiai Imam Mursjid, bahkan mereka mengirim kurir minta Kiai Muhammad Noer, sepupunya, agar menjemput Kiai Imam Mursjid. Kiai Imam Noer secara diam diam mendatangi sendiri markas FDR/PKI di Gorang Gareng yang terletak 6 km di sebelah Barat Takeran. Akhirnya, kedua kiai itu dibawa dan disekap di Gorang Gareng. Penangkapan tokoh-tokoh pesantren berlanjut terhadap dari Ustadz Ahmad Baydawy, Muhammad Maidjo. Mereka akhirnya tidak kembali dan menjadi sasaran pembantaian


1 Comments:

REPUBLIK SOVIET INDONESIA

August 10, 2018 0 Comments


Jumat malam tanggal 18 September 1948, seperti biasa penduduk kota Madiun tidak bisa tidur nyenyak karena sejak beberapa hari sebelumnya keadaan Madiun genting. Hari mereka selalu diselimuti perasaan takut terhadap bahaya yang setiap kali dapat datang dengan tiba-tiba. Berita. Berita-berita tentang penculikan dan pembunuhan secara biadab sangat mempengaruhi perasaan hati masyarakat Madiun. Berkebalikan dengan kegelisahan penduduk dan suasana kota yang sunyi senyap. Markas Brigade 29 justru dipenuhi oleh kesibukan tidak biasa. Demikian pula di markas-markas kesatuan FDR lainnya. Mereka sibuk mempersiapkan perlengkapan dan senjata yang tentunya untuk keperluan dinas mereka yaitu perang, suatu tugas maut yang paling menarik pada masa revolusi fisik.
Di kantor komandan, para perwira tengah sibuk menentukan siasat yang paling jitu bagi pergerakan pasukannya. Sedang di luar kantor, para prajurit dan pemuda dalam jumlah besar menanti instruksi dengan perasaan gusar. Seluruh anggota pasukan yang ada di tempat tersebut berpakaian tempur lengkap. Mereka duduk berkelompok sembari berbicara dengan rekam di sekeliling. Beberapa pemuda dengan penuh semangat membicarakan aksi yang akan mereka lakukan. Satu dua di antaranya mondar-mandir dalam keasaan siaga. Mereka sedang diistirahatkan sebagai persiapan menjalankan tugas yang sangat penting. Demikian pula setiap kesatuan yang berada di bawah pengaruh FDR telah terkonsinyir seolah-olah Madiun akan mengalami serbuan musuh.
Menjelang pukul 02:00 malam hari pasukan-pasukan tersebut telah berada di tempat yang telah ditentukan. Semuanya siap dengan senjata di tanga. Suasanan masih tetap sunyi, hanya sebentar-sebentar dipecahkan oleh suara kendaraan yang melintas di jalan raya. Lonceng jam dinding berbunyi dua kali. Tiba-tiba terdengar suara tembakan dari laras pistol, kemudian disusul dengan tembakan-tembakan yang semakin gencar membuat penduduk yang sedang tidur terperanjat. Mereka bergegas bangun dari tempat pembaringannya sambil bertanya-tanya dalam hati apakah yang terjadi? Banyak penduduk yang mengira letusan senjata tersebut berasal dari senapan tentara-tentara Belanda karena saat itu terdengar kabar bahwa Belanda telah bersiap menyerang Republik. Namun, tidak satu pun tentara Belanda terlihat.
Malam itu yang tampak tentara Republik yang berbaris bersama pemuda-pemuda mondar-mandir di jalan dengan air muka menunjukkan kegeraman. Mereka menduduki perempatan-perempatan jalan, kantor-kantor pemerintah dan tempat-tempat strategis lainnya. Kecurigaan penduduk semakin tinggi setelah melihat tanda-tanda pengenal yang dipakai angkatan tesebut lain dari hari-hari sebelumnya. Sementara itu, banyak truk simpang siur kesana kemari mengangkut tentara dan pemuda-pemuda dengan tanda-tanda pengenal pita merah yang diikatkan di kepala, penggang atau lengan baju.
Sekitar pukul 09:00, beberapa batalion dari Brigade 29 antara lain Yon Mustofa, Yon Abdulrachman, Yon Mursit dengan bantuan sepenuhnya dari paasukan-pasukan Kolonel Dachlan, Mayor Jokosuyono menduduki Markas Pertahanan Jawa Timur, STC Madiun, Depot Yon CPM dan asrama-asrama Polisi Negara. 1 jam kemudian Soemarsono yang secara formal juga menjabat sebagai Wakil Ketua Umum I BPKPRI menggunakan pemancar Gelora Pemuda Madiun untuk menyiarkan pengumuman kekuasaannya. Sekitar pukul 13:00, PKI mengadakan penangkapan-penangkapan terhadap para staf Pertahanan Jawa Timur antara lain: Letkol Marhadi, Letkol Wiyono, Mayor Bismo, Kapten Sidik Purwoko, Kapten Kartijo. Sementara itu, Kapten Kartijo dan Cuk disergap ketika mendapat tugas dari atasannya Letkol Marhadi untuk pergi ke Sarangan guna mengawal anggota KTN dari Amerika, Australia dan Belgia yang sedang menjalankan tugas untuk menyelesaikan pertikaian Indonesia Belanda. Namun ketika mereka sampai di Maosapati, jalan ditutup oleh PKI sehingga keduanya kembali ke Madiun. Dalam perjalanan menuju Madiun, mereka dicegat PKI dan kemudian dibawa ke Markas Pasukan Jokosuyono yang terletak di pabrik gula dekat Stasiun Madiun.
Dalam waktu singkat, kota Madiun telah jatuh. Lasar merah yang didukung Musso masuk ke Madiun, yang sebelumnya telah dikuasai oleh pasukan Soemarsono. Gerakan ini segera menyebar keseluruh wilayah Karasidenan Madiun, bahkan hingga di luar karasidenan seperti Magetan, kediri, wonogiri, Sukoharjo dan Purwodadi, dikuasai oleh laskar merah.
Namun, tampaknya terjadi perdebatan dalam tubuh PKI. Soemarsono, yang mengkoornisasikan militer dan memprakarsai pengembilalihan Madiun, dituding Musso telah melakukan tindakan yang tergesa-gesa. Sebaliknya, Soemarsono sendiri memandang bahwa militer yang mendukung komunis dalam peristiwa di Solo tidak mampu menandingi kekuatan pasukan Siliwangi sehingga kemudian mendorongnya untuk mempercepat proklamasi pemerintahan baru di Madiun.
                                                                     Musso

Musso sendiri sebenarnya masih ingin mematangkan gagasannya merebut simpati hati rakyat dengan cara melancarkan kampanye di berbagai daerah dan ketika Soemarsono melaksanakan operasi perebutan kekuasaan di Madiun, Musso beserta beberapa tokoh politik PKI lainnya tengah berada di Purwodadi, sebelah timur kota Semarang, untuk mengadakan rapat umum besar-besaran. Rapat tersebut segera dibatalkan setelah terdengar bahwa Pemerintah Front Nasional Daerah Madiun telah terbentuk. Musso tidak menduga Pesinddo akan melakukan perjuangan dengan jalan kekerasan karena sebenarnya dia masih ingin melanjutkan oposisinya melalui Parlemen atau dengan jalan damai sembari terus menggalang dukungan dari masyarakat. Namun rencananya terus hancur gara-gara tindakan para tokoh militernya, sehingga ia terpaksa harus berbah haluan. Perjalanan kampanye yang telah dirintis selama 3 pekan terpsa dihentikan. Musso terpaksa kembali ke Madiun untuk mendukung gerakan yang telah dilancarkan oleh para pimpinan militernya, walau penuh risiko yang sangat berat. Tidak ada pilihan baginya. Seandainya pun Musso tidak membantu Soemarsono dan kawan-kawan, kegiatan partainya tetap akan terhenti karena dapat dipastikan Pemerintahan Hatta akan segera membekukannya. Oleh karena itu, ia pun melakukan perlawanan sambil menunggu kemungkinan-kemungkinan pengarahan dari gerakan Komunis Internasional.
Desa Rejoagung yang berada di sebelah timur laut Madiun memiliki posisi strategis. Tempat ini jauh dari pusat kota madiun dan agak terlindung. Markas ini sendiri tidak begitu luas, namun cukup memenuhi kebutuhan pasukan pemberontak. Di desa itu, Musso segera menggelar pertemuan dengan pemimpin pemberontakan, Soemarsono. Pertemuan ini bersifat laporan dan penjelasan apa yang telah dilakukan Soemarsono beserta para komandan FDR lainnya. Musso yang masih lelah mendengarkan uraian Soemarsono dengan muka masam. Dari raut mukanya tergambar bayang-bayang gelap. Merka benar-benar telah dihadapkan kepada suatu “fait accompli”.
Demikianlah, dengan penuh keraguan Musso terpaksa meneruskan perjuangan yang telah dibuka oleh kawannya di Madiun, yang kenyataannya telah cukup berhasil. Ia menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin tertinggi organisasi FDR/PKI sehingga harus konsekuen terhadap sumpahnya. Sebagai tindak lanjut dari keputusan tersebut, dia memerintahkan pihak Soemarsono dan kawan-kawannya,  terus giat melancarkan operasi-operasi pembersihan terhadap mereka yang menentang kehendak mereka dan melakukan serangan-serangan untuk memperluas daerah kekuasaannya. Sementara itu, di lain pihak, jenderal Mayor Jokosuyono menyeru, melalui panggilan radio, komandan TNI untuk berunding guna membebaskan Madiun dari tangan kaum pemberontak. Tipu muslihatnya yang licik itu tidak dihiraukan oleh para Perwira TNI.
Sementara itu, Musso terus berupaya menggalang dukungan masyarakat dan berseru kepada seluruh rakyat Indonesia agar bersedia diajak menggulingkan Pemerintahan Soekarno-Hatta untuk kemudian membangun negara baru. Seruan Musso ini diucapkan melalui pidato radio sehari setelah coup dilancarkan yang kemudian juga dimuat dalam harian Front Nasional, sebuah harian resmi yang terbit di Madiun. Pada tanggal 18 September 1948, harian tersebut menyatakan bahwa penduduk kota Madiun telah mengambil oper kekuasaan negara di tangan mereka. Dengan kekuasaan tersebut rakyat Madiun telah melaksanakan kewajiban mereka dalam revolusi yang sebenarnya. Revolusi harus dipimpin oleh rakyat dan tidak boleh yang lain.
Hanya kurang lebih dalam tempo satu pekan, seluruh Keresidenan madiun telah jatuh ke tangan rezim PKI/Musso. Penjagaan yang dilakukan dengan ketat dan operasi-operasi pembersihan yang terus-menerus dilancarkan mengakibatkan suasana kota Madiun dan sekitarnya mencekam. Di sana sini hanya terlihat pasukan-pasukan Pesindo dengan pemuda-pemuda Komunis yang berkeliaran di jalan-jalan serta menjaga tempat-tempat strategis. Mereka menggunakan pakaian seragam hijau, hitam, cokelat dan mengenakan tanda-tanda pengenal khas orang-orang Komunis, ikat kepala merah atau ikat pinggang merah.
Seiring dengan dilancarkannya operasi-operasi di Madiun, beratus-ratus tentara dan rakyat yang dianggap memusuhi PKI ditangkap dan ditawan. Tanpa banyak bicarak semua yang dicurigai dibawa ke Markas Jokosuyono yang juga Markas Besar Pasukan Merah, yaitu pabrik Gula dekat Stasiun kereta api Madiun. Para tawanan dari tempat ini ditampung di dekat apotek dekat Hotel Merdeka di kota Madiun. Tidak ada di antara para tawanan yang dapat lolos dari hukuman mati yang dilakukan di Desa Kresek, di sebelah Timur Gunung Wilis kira-kira 15km dari Madiun. Mereka diperiksa, kemudian dibawa ke suatu tempat yang terpencil dan di sana dikumpulkan di dalam sebuah rumah dengan muka tertutup dan tangan diikat di belakang kemudian digiring ke tempat penembakan.
Sikap tentara FDR dan pemuda-pemuda merah ini tentu saja tidak mengundang simpati masyarakat. Kekejaman dan kesewenangan yang mereka lakukan justru membuat antipati masyarakat terhadap orang-orang komunis dan ideologinya makin meningkat. Masyarakat hanya bersedia tunfuk karena takut terhadap kekejaman orang-orang komunis. Suasana menjadi lesu kehidupan masyarakat sehari-hari macet, pasar menjadi sepi, toko-toko, sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah sebagian besar tutup. Meski demikian, masaih ada segolongan masyarakat yang menunjukkan sikap anti pati dan bermusuhan terhadap kekuasaan PKI Musso. Mereka itu tidak lain golongan pelajar yang sejak timbulnya pergerakan kebangsaan telah memberikan andil yang tidak sedikit.
Saat itu, organisasi pelajar merupakan perkumpulan yang tidak berhaluan dan berpendirian tegas: “Berjuang demi nusa bangsa”. Para pelajar Madiun yang tergabung dalam TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), TGP (Tentara Geni Pelajar), TP (Tentara Pelajar) menunjukkan sikap permusuhan terhadap kekuasaan PKI Musso. Tentu saja sikap tegas para pelajar ini mengundang reaksi dari laskar merah. Pada tanggal 22 September 1948 sekitar jam 15:00 satu Seksi Tentara Pesindo beraksi di asrama TRIP untuk melucuti percenjataan mereka. Namun para pelajar yang loyal terhadap pemerintah itu melawan. Akibatnya, timbul banyak korban sementara yang selamat ditahan.
Peristiwa ini membawa akibat negatif bagi kelangsungan hidup rezim PKI.Musso. kekalahan tersebut tidak menyurutkan tekad para pelajar untuk terus melancarkan perlawanan. Para pelajar membentuk sebuah organisasi baru yang bernama PAM (Patriot Anti Musso). Dari namnya saja mereka mengakui bahwa Republik sebagai penguasa yang sah dan menolak pemerintahan Musso, bahkan berusaha keras untuk menghabcurkannya. Usaha aparat pemerintahan Musso untuk merangkul mereka dengan janji dan harapan-harapan tidak mengubah sedikit pun sikap dan pendirian para pelajar Madiun ini sehingga hubungan mereka semakin meruncing. Sikap para pelajar kota Madiun ketika itu merupakan cermin dari pendirian rakyat Indonesia terhadap pemberontakan PKI/Musso di Madiun.
Setelah Madiun dikuasai, Musso sebagai pimpinan negara baru, segera membentuk apa yang disebut sebagai “Pemerintahan Front Nasional” dan menunjuk orang-orangnya untuk mengisi berbagai jabatan agar roda pemerintahan berjalan. Kolonel Soemarsono menduduki jabatan sebagai Gubernur Militer Madiun. Jenderal Mayor Jokosuryono menduduki jabatan Komandan Militer Madiun. Untuk Gubernur Sipil ditunjuk Soepardi. Demi kelancaran pemerintahan, Residen Abdul Mutholib mengangkat kurang lebih 15 pejabat Front Nasional. Mutholib segera menertibkan bidang tugasnya dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang menghapus pajak pendapatan, pendaftaran barang-barang perhiasan, harta kekayaan dan sebagainya.

0 Comments:

MADIUN SEBAGAI BASIS

August 10, 2018 1 Comments


                                                            MADIUN SEBAGAI BASIS
Pasca proklamasi kemerdekaan pemerintah mengeluarkan maklumat wakil Presiden tanggal 3 November 1945 yang berisi kebebasan membentuk partai politik beserta laskarnya. Kebijakan ini, tentu saja ditujukan untuk membentuk kehidupan bernegara yang demokratis di mana rakyat diberi jaminan utuk berperan aktif dalam politik atau dalam penyelenggaraan negara.
Dengan kebijakan ini, Indonesia segera memasuki babak baru yang dipenuhi dengan hiruk-pikuk aktivitas partai politik seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jakarta, Partai Kristen Indonesia, Partai Sosialis indonesia, Parta Rakyat Sosialis Indonesia, Partai Katolik Indonesia , Partai Komunis Indonesia, persatuan Rakyat Marhaen Indonesia, Partai Nasional Indonesia.
Selain partai-partai politik, organisasi pemuda yang tumbuh bagai cendawan dimusin hujan. Tercatat, hingga tahun 1945 telah ada setidaknya 30 organisasi kepemudaan yang lazim disebut sebagai badan-badan perjuangan atau laskar. Di Jakarta, gerakan pemuda ini bergabung dalam sesuatu yang disebut sebagai Komite van Aksi yang dipimpin oleh Sukarni, Chaerul Saleh dan Maruto.
Untuk melebarkan pengaruh dalam gerakan-gerakan kepemudaan, misalnya pada periode 1945-an, kader-kader pertai komunis Indonesia berhasil membentuk sebuah wadah organisasi pemuda yang bernama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang dimotori oleh Amir Syarifuddin. Organisasi ini merupakan peleburan dari beberapa organisasi pemuda yang dibentuk dala kongres. Angkatan Pemuda Indonesia (API) tanggal 9-11 November 1945.
Sementara itu, dalam ranah politik Amir Syarifuddin juga membentuk Partai Sosialis Indonesia (Parsi) pada tanggal 12 November 1945. Partai ini didirikan dengan asas membangun masyarakat sosialistis dengan buruh, petani dan tentara sebagai tulang punggungnya. Program politik partai ini adalah mendirikan Front Persatuan Rakyat sebagai penopang tegaknya negara RI.menurut Amir Syarifuddin, Front Persatuan Rakyat memiliki tugas ganda, membangun negara dan juga membangun semangat anti kapitalis. Namun, rupanya partai ini berusia pendek, hanya sekitar satu bulan.
Dengan buruh sebagai tulang punggung, dapat dipahami jika kader-kader partai komunis juga berupaya merebut kekuatan buruh. Untuk keperluan ini, mereka mendirikan Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dibentuk pada bulan November 1946. Dengan cepat, SOBSI berhasil melebur berbagai organisasi buruh yang semula dikuasai oleh Gasbi dan kelompok Tan Malaka.
Perjuangan kaum kiri semakin menemukan vitalisasinya ketika pada bulan Maret 1946 para mantan pemimpin Partai Komunis Indonesia tahun 1926 yang dipimpin oleh Sardjono dibebaskan dari Digul. Tidak lama kemudian, datang juga kader-kader Partai Komunis dari Belanda seperti Maruto Darusman dan Soeripno yang kemudian bergabung dengan beberapa tokoh muda seperti Aidit, Lukman dan Nyoto, serta Alimin yang baru datang dari Cina.
Tanpa menunggu terlalu lama, para tokoh tersebut di atas segera melakukan konsolidasi dan menggelar Kongres IV PKI pada bulan Mei 1946 atau kongres pertama pasca Proklamasi. Kongres ini menelurkan sebuag pernyataan politik yang menyebutkan bahwa PKI tidak akan masuk le dalam Kabinet karena masuknya PKI dalam kabinet hanya akan memperlemah kedudukan RI yang akan dicap sebagai sel Moskow. Sebagai bentuk realisasi terhadap Perdana Menteri Sjahrir yang berkuasa saat itu. Selain itu, kongres tersebut juga berhasil memilih pemimpin dan struktur kepengurusan partai sehingga keberadaan PKI semaki solid.
Namun, ketika Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dan Belanda disepakati kedua belah pihak kelompok sayap kiri berbeda pendapat dalam soal tersebut dan berbalik menantang kebijakan Perdana Menteri Sjahrir. Puncaknya, Sjahrir harus mundur dar jabatannya dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Amir Syarifuddin dengan cepat melakukan konsolidasi untuk menyatukan partai Sosial bentukannya dengan PKI, yang saat itu dipimpin oleh Sardjono.
Tidak lama setelah Kabinet Amir Syarifuddin terbentuk, Belanda melancarkan Agresi Militer 1 tanggal 21 Juli 1947. Pada tanggal 8 Desember 1947 hingga 17 Januari 1948, Indonesia dan Belanda mengadakan perundingan yang dikenal dengan nama Perundingan Renville. Perundingan ini merupakan perundingan segi tiga yang melibatkan Indonesia, Belanda dengan penengah Komisi Tiga Negara (AS, Australia, Belgia). Dalam perundingan ini, delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin, sementara Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL. R. Abdul Kadir, sedangkan delegasi Amerika dipimpin oleh Frank Porter Graham.
Hasil perundingan Renville dipandang oleh banyak kalangan sangat merugikan Indonesia karena wilayah kedaulatan RI jauh berkurang, hanya terdiri atas Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatra, sehingga pemerintah terpaksa memindahkan ibukota negara ke Yogyakarta. Hasil perundingan ini membuat Kabinet Amir Syarifuddin dikritik oleh banyak kalangan dan akhirnya menyebabkan Kabinet Amir Syarifuddin jatuh pada tanggal 23 Januari 1948.
Perdana Menteri Amir Syarifuddin sedang menyampaikan pidato pada Perundingan Renville

Meski telah jatuh, Amir Syarifuddin  yang telah mengadakan konsolidasi gerakan kiri sejak masih berkuasa, berhasil membentuk gerakan oposisi yang cukup kuat. Pada tanggal 26 Februari 1948, ia membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Solo. FDR merupakan jelmaan dari golongan kiri yang program jangka pendeknya adalah menuntut pembatalan Perundingan Linggarjati dan Renville yang justru dihasilkannya sendiri sementara program jangka panjangnya adalah mendominasi pemerintahan. Dalam hal ini, FDR memiliki basis massa dan dukungan yang cukup besar, bahkan ada kesatuan-kesatuan militer yang turut bergabung di dalamnya. Di antara basis pendukung FDR adalah:
1.      TNI-Masyarakat daerah Purwodadi, Laskar Rakyat, Laskar Merah dan Laskar Buruh dan Pesindo yang pernah bergabung dalam Biro Perjuangan ketika Amirr Syarifuddin menjabat sebagai menteri pertahanan.
2.      Partai Buruh Indonesia (PBI) dan Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
3.      Partai politik seperti Partai Sosialis Indonesia dan PKI.
Gerakan oposisi ini semakin solid ketika pada bulan Agustus 1948, Musso, seorang tokoh PKI yang telah lama tinggal di Russia kembali ke Indonesia. Musso menurut banyak pihak adalah seorang yang diutus oleh gerakan komunis internasional untuk melaksanakan koreksi terhadap revolusi Indonesia. Menurut mereka, revolusi Indonesia merupakan revolusi yang defensif sehingga harus diganti dengan revolusi yang lebih ofensif. Dengan cepat, Musso berhasil mengambil alih pimpinan PKI dari tangan Sardjono.

Kehadiran Musso disambut hangat oleh para aktivis sayap kiri yang menganggap bahwa Musso dapat memperbaiki arah dan semangat revolusi Indonesia. Musso sendiri menyampaikan hal ini dihadapan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 13 September 1948. Pertemuan antara Musso dengan Presiden Soekrano yang tampak mesra dan menggembirakan keduanya itu, ternyata tidak sepenuh hati, karena akhirnya musso melancarkan pemberontakan di Madiun. Bahkan Musso telah membawa konsep untuk mencapai cita-cita Komunis.
Pada tanggal 10 September 1948, FDR/PKI mengadakan rapat umum besar-besaran yang dihadiri oleh Musso dan Amir Syarifuddin. Rapat ini menandai semakin meningkatnya aktivitas untuk menguasai Madiun yang kali ini tidak segan-segan menggunakan cara-cara kekerasan. Sebelum rapat umum tersebut, banyak berdatangan pasukan tak dikenal dengan seragam hitam-hitam. Mulanya, orang menduga bahwa pasukan tersebut adalah pasukan pengawal Musso dan Amir Syarifuddin yang hendak menghadiri rapat umum di Madiun. Namun, dugaan tersebut ternyata salah karena ketika rapat umum telah berakhir, justru semakin banyak pasukan berseragam hitam-hitam yang datang ke Madiun. Pasukan ini kemudian menjaga berbagai obyek vital seperti pasar, alun-alun, stasiun kereta api, perempatan jalan-jalan besar, pabrik gula, jembatan, bahkan mereka berani menggeledah siapapun yang melintas di tempat-tempat tersebut.
Selain itu, pasukan ini juga berani menculik dan membunuh beberapa tokoh politik lawan PKI serta pegawai pemerintah. Di antara tokoh lawan politik yang diculik adalah Ketua PNI Suradji beserta bendaharanya, Atim Sudarso, tokoh Taman Siswa, Iskandi, tokoh Partai Murba, Hardjowiryo dan tokoh Masyumi, Kusen dan Abdul hamid. Sementara pegawai pemerintah yang diculik oleh pasukan ini antara lain Walikota Madiun Supardi, Patih Madiun Sarjono, Medana Dungus Charis, kepala Kepolisian Karisidenan Madiun Komisaris Besar Sunaryo. Selain itu, para tokoh agama pun tidak luput dari tindakan seperti ini.
Setiap hari, selain melakukan penculikan, pasukan hitam-hitam tersebut gemar melakukan demonstrasai yang tampaknya ditujukan untuk pameran kekuatan. Teror dan ketakutan ada di mana-mana. Setiap malam, penduduk Madiun tidak dapat tidur dengan nyenyak karena khawatir akan menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan dari pasukan tersebut, yang kini jumlahnya kian membesar karena banyak penduduk yang menjadi simpatisan PKI bergabung dalam pameran kekuatan dan kewenangan tersebut. Awan hitam seolah menggelayuti Madiun. Sebuah peristiwa bersejarah yang menelan korban jiwa dan raga, harta dan benda, tengah terjadi.


1 Comments: