IMAM BUKHARI; Sang Penghulu Hadits
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-ju’fi al-Bukhari atau yang lebih
dikenal dengan nama Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur di antara
para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Muslim, Abu Dawud,
Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Bahkan, dalam kitab-kitab fiqh dan hadits,
hadits-haditsnya memiliki derajat yang tinggi. Sebagian orang menyebutnya
dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (pemimpin Kaum Mukminin dalam Ilmu
Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya
Imam bukhari diberi nama Muhammad oleh
ayahnya, Ismail bin Ibrahim dan yang sering kali menggunakan nama aslinya itu
adalah Imam Tirmidzi dalam komentarnya setelah meriwayatkan hadits dalam Sunan
Tirmidzi. Karena lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah; Imam Bukhari
dikenal sebagai Al-Bukhari. Dengan demikian, nama lengkapnya adalah Abu
Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi
al-Bukhari. Ia lahir pada 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Tak lama setelah
lahir, ia kehilangan penglihatannya.
Buyutnya, Al-Mughirah semula beragama
Majusi (Zoroaster), kemudian masuk Islam lewat perantara Gubernur Bukhara yang
bernama Al-Yaman al-Ju’fi. Sedangkan ayahnya, Ismail bin Al-Mughirah, seorang
tokoh yang tekun dan ulet dalam menuntut ilmu, sempat mendengar ketenaran
Al-Imam Malik bin Anas dalam bidang keilmuwan, pernah berjumpa dengan Hammad
bin Zaid dan pernah berjabatan tangan dengan Abdullah bin Al-Mubarak.
Dalam sebuah riwayat, dikisahkan bahwa
pada suatu malam, ibu Imam Bukhari bermimpi melihat Nabi Ibrahim As yang telah
mengatakan, “Hai Fulanah, sesungguhnya Allah telah mengembalikan penglihatan
kedua mata putaramu karena seringnya kamu berdoa.” Ternyata, pada pagi harinya,
sang ibu menyaksikan kedua mata putranya (Imam Bukhari) telah bisa melihat
kembali.
Imam Bukhari kecil dididik dalam
keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab Ats-Tsiqat, Ibnu Hibban menulis
bahwa ayahnya dikenal sebagai orang wara’ atau berhati-hati terhadap hal-hal
yang bersifat syubbat (samar) hukumnya, terlebih lagi terhadap hal yang haram.
Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan murid Imam Maliki,
yaitu seorang ulama besa dan ahli fiqh. Ayahnya wafat ketika Imam Bukhari masih
kecil.
Sebelum menetapkan sebuah hadits menjadi
shahih, Imam Bukhari senantiasa menelitinya, mulai dari kualitas hadits, jumlah
periwayat (perawi), keadilan dan tingkat hafalan periwayat, hingga muttasil
(bersambung) ke Rasulullah Saw.
Imam Bukhari dikenal sebagai seorang
ulama dan ahli dalam ilmu hadits. Ketelitian dan kecermatannya untuk
mengumpulkan hidts-hadits shahih telah diakui oleh para ulama. Bahkan, kitab
hadits yang disusunnya (Shahih Bukhari) menjadi rujukan hampir semua ulama di dunia.
Nama besarnya sejajar dengan para ahli hadits yang pernah ada sepanjang zaman.
Sejak kecil, Imam Bukhari memang telah
menunjukkan bakatnya yang cemerlang dan luar biasa. Ia mempunyai ketajaman
ingatan dan hafalan yang melebihi orang lain. Ketika berusia 10 tahun, ia
belajar ilmu hadits kepada Ad-Dakhili, salah seorang ulama yang ahli dalam
bidang tersebut.
Setahun kemudian, Imam Bukhari mulai
menghafal hadits Rasulullah Saw dan sudah mulai berani mengoreksi kesalahan
dari guru yang keliru menyebutkan periwayatan hadits. Pada usia 16 tahun, ia
sudah menghafal hadits-hadits yang terdapat dalam kitab karya Ibnu Mubarak dan
waki’ al Jarrah.
Guru-guru Imam Bukhari dalam bidang
hadits sagatlah banyak. Ada yang menyebutkan hingga mencapai lebih dari seribu
orang. Imam Bukhari sendiri pun pernah mengatakan bahwa kitab Al-Jami’ ash-Shahih atau yang terkenal
dengan nama Shahih AL-Bukhari disusun sebagai hasil dari menemui 1.080 orang
guru ahli (sarjana) dalam bidang ilmu hadits.
Dalam mengambil sebuah hadits, Imam
Bukhari sangat hati-hati. Ia tidak mau asal mengambil sebuah hadits sebelum
diteliti tingkat keshahihanya, kualitasnya, perawinya; adil atau tidak perawi
tersebut dan hadits itu bersambung kepada Rasulullah Saw ataupun tidak. Jika
hadits-hadits yang diterimanya tidak sampai mutawir, ia akan meninggalkannya,
walaupun dalam periwayatannya terdapat imam atau sahabat terkenal. Karena
ketelitiannya dalam menempatkan sebuah hadits, hal itu menjadikan dirinya
sebagai orang yang hati-hati.
Hadits yang diakui oleh imam hadits
lainnya, seperti Imam Muslim, Tirmidzi, Abu Daud, Nasa’i dan ahmad belum tentu
shahih menurut Imam Bukhari dan karena itu pula, kitab shahih Bukhari yang
ditulisnya menjadi rujukan pertama bagi banyak ulama sebelum mengambil hadits
shahih dari imam yang lain.
Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits
shahih, Imam Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun. Ia mengunjungi
berbagai kota guna mendapatkan
keterangan yang lengkap tentang suatu hadits, baik mengenai hadits itu sendiri
maupun orang yang meriwayatkannya. Di antaranya, ia melawat dua kali ke daerah
Syam (Suriah), Mesir, hingga Aljazair. Kemudian, ia melawat ke Basra empat
kali. Lalu, ia menetap di Hijaz (Mekah dan Madinah) selama 6 tahun dan ia
berulang kali pergi ke Kufah dan Baghdad.
Dari pertemuannya dengan para ahli
hadits tersebut, Imam Bukhari berhasil memperoleh hadits sebanyak 600 ribu buah
dan 300 ribu di antaranya telah dihafal oleh Imam Bukhari. Hadits-hadits yang
dihafalnya itu terdiri atas 200 ribu hadits yang tidak shahih dan 100 ribu
hadits yang shahih.
Karena itu, dalam kitab-kitab fiqh dan
hadits, hadits-hadits Imam Bukhari memiliki derajat yang tinggi. Maka, tak
mengherankan jika ia menjadi ahli hadits yang termasyhur di antara para ahli
hadits. Banyak ahli hadits yang berguru kepadanya, seperti Syekh Abu Zahrah,
Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad bin Nasr dan Imam Muslim.
Di samping terkenal sebagai penghafal
hadits, Imam Bukhari juga terkenal sebagai pengarang yang produktif. Kitab
Al-Jami’ as-Shahih atau Shahih Al-Bukhari merupakan karyanya yang terpenting
dan terbesar dalam bidang hadits. Para ulama menilai bahwa Shahih Al-Bukhari
adalah kitab hadits yang paling shahih. Karena keshahihan hadits-hadits yang
dikumpulkannya, kitabnya senantiasa menjadi rujukan para ulama hadits. Bahkan,
setiap hadits yang diriwayatkannya sudah tidak diragukan lagi kualitasanya.
Sesuai dengan namanya, kitab tersebut
khusus memuat hadist-hadits shahih. Dari 100 ribu hadits yang diakuinya shahih,
hanya 7.275 buah hadits yang dimuatnya dalam kitab itu. Jumlah inilah yang
betul-betul diyakininya sebagai hadits-hadits shahih dan diakui pula oleh
sebagian besar ahli hadits kenamaan. Ketelitiannya yang begitu tinggi dalam
periwayatan hadits tersebut menyebabkan para ulama hadits yang hidup sesudahnya
menempatkan kitab Shahih Al-Bukhari pada peringkat pertama dalam urutan
kitab-kitab hadits yang muktabar
(terkenal).
Megenai ini, seorang ulama besar ahli
fiqh, yaitu Abu Zaid al-Marwazi, menuturkan, “Suatu ketika, saya tertidur di
sebuah tempat (dekat Ka’bah) di antara Rukun Yamani dan Maqam Ibrahim. Dalam
tidur, saya bermimpi melihat Rasulullah Saw. Ia bertanya kepada saya, “ Hai Abu
Zaid, sampai kapan kamu mempelajari kitab As-Syafi’i padahal kamu tidak
mempelajari kitabku?’ Abu Zaid kembali bertannya, ‘Wahai Rasulullah, kitab apa
yang dimaksud?’ Rasulullah Saw menjawab, ‘Kitab
Jami’ karya Muhammad bin Isma’il (Imam Bukhari).”
Beberapa orang ulama hadits berikutnya
juga telah memberikan komentar (syarah) mengenai kitab shahih Al-Bukhari.
Kitab-kitab yang memuat syarah itu berjumlah 82 judul. Di antaranya yang
terkenal adalah kitab Fath al-Bari
karya Ibnu Hajar al-Asqalani yang terdiri atas 13 jilid. Tidak hanya hadits,
Imam Bukhari juga mengarang kitab tentang akhlak, yakni kitab Al-Adah al Mufrad. Selain itu, ia juga
menyusun kitab mengenai akidah, yaitu kitab Khalq
Af’al al-Ibad.
Kebesaran keilmuwan Imam Bukhari diakui
dan dikagumi sampai seluruh dunia Islam. Di Naisabur, tempat asal Imam Muslim
(seorang ahli hadits yang juga murid Imam Bukhari), kedatangan Bukhari pada
tahun 250 H disambut meriah. Bahkan, kedatangannya juga disambut oleh guru Imam
Bukhari sendiri, yaitu Muhammad bin Yahya az-Zihli.
Dalam kitab Shahih Muslim, Imam Muslim
menggambarkan, ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, dirinya tidak melihat
kepala daerah, para ulama dan warga kota memberikan sambutan luar biasa,
sebagaimana yang mereka berikan kepada Imam Bukhari. Kemudian, terjadi fitnah
yang menyebabkan Imam Bukhari meninggalkan kota itu dan ia pergi ke kampung
halamannya di Bukhara.
Seperti halnya di Naisabur, Imam Bukhari
juga disambut secara meriah di Bukhara.
Namun, ternyata fitnah kembali melanda. Kali ini, fitnah itu berasal dari
Gubernur Bukhara, yakni Khalid bin Ahmad az-Zihli, yang akhirnya gubernur ini
menerima hukuman dari Sultan Samarkand (Uzbekistan) yang memerintah saat itu,
yaitu Ibnu Tahir.
Tak lama kemudian, atas permintaan warga
Samarkand, Imam Bukhari akhirnya menetap di Samarkand. Sebelum ke Samarkand, ia
singgah di sebuah desa kecil bernama Khartand untuk mengunjungi beberapa
familinya. Namun, di sana, ia jatuh sakit hingga akhirnya wafat pada 30
Ramadhan 256 H atau bertepatan dengan 31 Agustus 870 M.
0 Comments: