PROKLAMASI KEMERDEKAAN INDONESIA

 


Di bulan Ramadhan, pada hari Jumat tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10:00 pagi, di depan rumah Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56, dengan didampingi oleh Drs.Muhammad Hatta serta  sejumlah pimpinan bangsa Indonesia, Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Sehari kemudian, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI mengadakan sidang pertama setelah proklamasi kemerdekaan. Malam itu juga secara aklamasi ditetapkan undang-undang Dasar RI beserta Preambul-nya. Setelah pengesahan UUD, berdasarkan pasal tambahan yang baru  saja disetujui, PPKI juga secara aklamasi mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden RI dan Drs. Muhammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Kabinet pertama Republik Indonesia kemudian dibentuk pada 5 September 1945.

Republik Indonesia yang baru berdiri tentu saja memerlukan organisasi militer dan kepolisian untuk menjaga keamanan dan ketertiban. Namun demikian, timbul pula perbedaan pendapat untuk pembentukan organisasi bersenjata Republik Indonesia.

Pembentukan angkatan perang Republik Indonesia dikhawatirkan bisa menimbulkan konflik dengan tentara Sekutu yang diperkirakan akan segera mendarat di Jakarta. Akhirnya, sebagai jalan tengah, pada 22 Agustus 1945, PPKI membentuk suatu badan yang kemudian dinamakan sebagai Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP). Di dalam tubuh BPKKP inilah kemudian dibentuk organisasi yang dipersenjatai yng dinamakan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Hal yang tidak lazim ketika keberadaan organisasi bersenjata berada di dalam tubuh organisasi sosial.

Setelah dikeluarkannya pengumuman mengenai pembentukan KNIP dan BKR, pemimpin pusat menyerukan pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNI-D) serta Badan Keamanan Rakyat (BKR) di derah-daerah di seluruh Indonesia. Pada 23 Agustus 1945, Presiden Soekarno menyerukan kepada semua mantan anggota PETA dan Heiho untuk menggabungkan diri ke dalam BKR. Sejak itu, di seluruh wilayah bekas India-Belanda dibentuk Komite Nasional Indonesia- Daerah dan BKR. Pembentukan BKR didaerah juga banyak dipelopori oleh mantan anggota PETA, Heiho, Gyugun, Seinendan, Keibodan, bekas KNIL dan tokoh-tokoh masyarakat serta para intelektual.

Di lain pihak, pembentukan pasukan laskar pemuda tidak terkendali. Berbagai kelompok yang mendirikan kelaskaran juga berhasil merebut persenjataan dari tentara Jepang. Usaha perampasan senjata ini menimbulkan pecahnya pertempuran di beberapa tempat. Dalam kasus lain, beberapa komandan pasukan Jepang yang bersimpati kepad Republik Indonesia secara sukarela menyerahkan persenjataan mereka.

Perebutan senjata secar besar-besaran dri tentara Jepang yang terjadi di berbgai kota di Indonesia dimulai sekitar khir bulan September 1945. Hal ini membuhkan reaksi yang berbeda beda dari pimpinan Jepang. Panglima Tentara Jepang di Jawa Barat, Mayor Jenderal Mbuchi, bertindak sebagaimana yang digriskan oleh pimpinan Angkatan Darat Jepang (Rykugun), yaitu menolak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.

Dengan muslihatnya, pada 9 Oktober 1945, dia menangkap pimpinan pemud dan mempermalukannya dengn membawa mereka keliling kota dalam tank-tank Jepang. Tanggal 10 Oktober 1945, Mabuchi memerintahkan untuk melakukan rzia dan menyita kembali semua senjata yang dimiliki oleh rakyat Indonesia. Ketika beberapa hari kemudian Brigadir Jenderal MacDonald memimpin Brigade 27 (Brigade Gurkha) masuk ke Bandung, keadaan di dalam kota telah tenang kembali, berkat tindakan Mabuchi.

Menghadapi perkembangan situasi yang dihadapi, pimpinan Republik melihat perlu adanya tentara reguler dengan  garis komando yang jelas dan terkendali. Presiden Soekarno kemudian menugaskan mantan mayor KNIL, Urip Sumoharjo, menyusun konsep tentara reguler tersebut. Pada 5 Oktober 1945, Presiden Soekarno mengumumkan berdirinya TKR ( Tentara Kemanan Rakyat).

Nama Tentara Keamanan Rakyat kemudian berubah menjadi Tentara Keselamatan Rakyat dan pada tanggal 7 Januari 1946 diganti menjadi TRI (Tentara Rakyat Indonesia) hingga akhirnya tanggal 3 Juli 1947 menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) hingga sekarang.

 

KEABSAHAN PROKLAMASI 17 AGUSTUS 1945

Pada 17 Agustus 1945, di masa vacuum of power tersebut, pemimpin bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaan Indonesia. Pada 18 Agustus 1945, Soekarno-Hatta diangkat menjadi Presiden dan Wakil Presiden dan 2 September 1945, dibentuk Kabinet Pemerintah Republik Indonesia. Dengan demikian, 3 syarat pembentukan suatu negara sesuai Konvensi Montevideo telah terpenuhi, yaitu:

1. Adanya wilayah tertentu

2. Adanya penduduk permanen, dan

3. Adanya pemerintahan

Batas wilayah Republik Indonesia, sesuai Uti possidetis Juris, adalah seluruh wilayah bekas Nederlands-Indie. Pernyataan  kemerdekaan Bangsa Indonesia ini juga sesuai dengan pernyataan Prsiden Amerika Serikat Woodrow Wilson, mengenai hak setiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri (Rights for self-determination of peoples). Hal yang disampaikannya pada 18 Januari 1918.

Pernyataan yang sama mengenai hak bangsa-bangsa menentukan nasib sendiri, disampaikan pula oleh Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt dan Perdana Menteri Inggris, Churchill, yang dikumandangkan dalam Atlantic Charter (Piagam Atlantik) pada 14 Februari 1941. Pernyataan ini juga mendapat dukungan moral dari Ratu Belanda Wilhelmina, sebagaimana dinyatakannya dalam pidato radio di pengasingannya (eksil) di London pad 7 Desember 1942, bertepatan pula dengan satu tahun penyerangan Jepang atas Pearl Harbor.

 

 

 

 

 

Presiden Franklin (kiri) dan Perdana Menteri Winston Churchill di dek kapal HMS Prince of Wales selama berlangsungnya Atlantic Charter

 

Pada dasarnya, satu negara baru tidak memerlukan landasan hukum apapun dan pengakuan dari siapapun baik penjajah ataupun negara lain, untuk berdiri sepanjang negara baru tersebut sanggup mempertahankan diri.

Hal ini telah dijalankan oleh United States America dan Belanda sendiri yang menyatakan kemerdekaan dari Spanyol. RRC dan Vietnam adalah contoh lain dari kasus yang sama.

Pengakuan dari negara lain dianggap tidak akan ada gunanya apabila negara baru tersebut tidak sanggup mempertahankan kemerdekaannya sendiri. Hal tersebut terjadi pada negara Biafra yang menyatakan kemerdekaannya dari Nigeria tahun 1967, namun kemudian diserang kembali oleh Nigeria. Hanya berumur 3 tahun Negara itu pun lenyap dari catatan sejarah.

Selain itu, pengkuan dari seluruh dunia juga tidak bisa menghentikan agresi militer dari suatu negara atau koalisi negara, sebagaimana dialami oleh Panama ketika tentara Amerika Serikat menyerangnya untuk menangkap presiden Panama yang dituduh sebagai gembong narkoba dan Irak yang diserang oleh Amerika Serikat beserta sekutunya untuk menangkap Presiden Saddam Hussein.

JEPANG MENYERAH KEPADA SEKUTU

 


Melihat luasnya wilayah yang harus dipertahankan serta terbatasnya jumlah pasukan, mereka kemudian melatih rakyat setempat guna membantu pertahanan mereka.

Pada bulan Oktober 1943, dibentuk pasukan yang dinamakan Pembela Tanah Air (PETA) DI Jawa. Sebelumnya, di bulan September 1943, Jepang membentuk Gyugun di Sumatera. Hingga di bulan November 1944 tercatat kekuatan PETA di Jawa sebanyak 33.000 orang dan Bali 1.500 orang. Sementara itu, di Sumatera telah dilatih sebanyak 6.000 Gyugun.

Dengan semakin terdesaknya Jepang dalam perang menghadapi Sekutu, banyak pemuda yang telah dilatih, selanjutnya dipaksa ikut masuk pertempuran, termasuk sekitar 2.000 Gyugun asal Sumatera Utara yang dibawa ke Morotai (Halmahera Utara) untuk bertempur melawan tentara Sekutu.

Tahun 1945, seluruh kekuatan PETA mencapai 66 batalyon di Jawa dan 3 batalyon di Bali. Selain itu masih terdapat sekitar 25.000 prajurit Heiho. Apabila dalam struktur komando PETA semua perwira adalah orang Indonesia, maka dalam Heiho seluruh perwiranya adalah orang Jepang.

Demi melumpuhkan kekuatan Jepang, tanggal 6 Agustus 1945 Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima yang menewaskan sekitar 70.000-80.000 jiwa serta melukai sekitar 70.000 orang.

                                            14 Agustus 1945 Jepang menyerah kepada Sekutu

3 hari kemudian, pada 9 Agustus 1945, pesawat pembom Amerika Serikat kembali menjatuhkan bom atom keduanya di kota Nagasaki yang menewaskan antara 35.000 sampai 40.000 serta melukai sejumlah besar penduduk. Amerika Serikat kemudian mengancam Pemerintah Jepang, bahwa bom atom ketiga akan dijatuhkan di atas Ibukota Jepang, Tokyo.

Selanjutnya, pada 14 Agustus 1945, tercapai kesepakatan antara pihak Sekutu dengan Pemerintah Jepang mengenai tata cara penyerahan Jepang. Di saat bersamaan, Kaisar Jepang Hirohito mengeluarkan perintah secara sepihak agar tentara Jepang segera menghentikan pertempuran. Jepang pun menyerah tanpa syarat.

Kapitulasi Jepang secara resmi ditandatangani tanggal 2 September 1945, pukul 09:04, di atas kapal perang AS Missouri di teluk Tokyo. Dari pihak Sekutu, Jenderal Douglas MacArthur sebagai Supreme Commander for the Allied Powers bertindak mewakili tentara Sekutu; Admiral C.W. Nimitz, bertindak mewakili Pemerintah Amerik Serikat.

Serah terima dari tentar Jepang di Asia Tenggara dilakukan di Singapura, pada 12 September 1945, pukul 03:41 GMT. Admiral Lord Louis Mountbatten, Supreme Commander South East Asia Command bertindak mewakili Sekutu, sedangkan Jepang diwakili oleh Letnan Jenderal Seishiro Itagaki, yang mewakili Marsekal Hisaichi Terauchi, Panglima Tertinggi Balatentara Kekaisaran Jepang untuk Wilayah Selatan.

Ada tiga hal yang dapat dipetik sebagai hikmah dari zaman penjajahan Jepang. Pertama, zaman pendudukan Jepang dinilai sebagai zaman penderitaan lahiriah dan bathiniah, karena tentara Jepang menggunakan kekerasan yang sangat menyengsarakan rakyat. Akan tetapi, justru tindakan tentara Jepang itu yang telah menumbuhkan rasa senasib-sepenanggungan dan semangat untuk merdeka, yang tak dapat dibendung lagi.

Kedua, mempercepat proses pematangan dan pemantapan berpolitik bagi para pemimpin perjuangan kemerdekaan Indonesia. Juga, memberi kesempatan kepada ribuan orang Indonesia yang menggantikan posisi Belanda di bidang pemerintahan daerah.

Dan ketiga, walaupun sebenarnya untuk tujuan perang dan memantapkan kekuasaan Jepang, pembentukan PETA, Heiho dan Gyugun, serta pendidikan militer maupun semi-militer bagi Seinendan, Keibodan dan lain-lain dalam jumlah besar, memungkinkan dibentuknya berbagai satuan pasukan dalam waktu singkat dan kelak menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia, sehingga ketika Belanda dengan dukungan Inggris dan Australia, berhasrat untuk berkuasa kembali di wilayah bekas India-Belanda, Indonesia mampu melakukan perlawanan. Sejarah mencatat, sampai ditandatanganinya Konferensi Meja Bundar di Den Hag pada bulan November 1949, tentara Belanda ytidk dpat mengalahkan Tentara Nasional Indonesia.

BELANDA MENYERAH KEPADA JEPANG

 


Di tengah berkecamuknya perang di Eropa sejak tahun 1939, pada 7 Desember 1941, Jepang mulai melancarkan agresi militer ke Asia Timur dan Asia Tenggara. Admiral Isoruku Yamamoto, Panglima Angkatan Laut Jepang, mengembangkan strategi perang yang sangat berani, yaitu mengerahkan seluruh kekuatan armada di bawah komandonya untuk dua operasi besar. Dalam ekspedisi ini seluruh potensi Angkatan Laut Jepang dikerahkan, yaitu mencakup 6 kapal induk, 10 kapal perang besar, 18  kapal penjelajah berat, 20 kapal penjelajah ringan, 4 kapal pengangkut perlengkapan, 112 kapal perusak (destroyer), 65 kapal selam serta 2.274 pesawat tempur.

Kekuatan pertama, yaitu 6 kapal induk, 2 kapal perang, 11 kapal perusak serta lebih dari 1.400 pesawat tempur menyerang basis Armada Pasifik Amerika Serikat di Pearl Harbor, kepulauian Hawaii secara mendadak pda tanggal 7 Desember 1941. Admiral Chuichi Nagumo dipercayakan memimpin armada tersebut. Sebanyak 353 pesawat tempur dan pesawat pembawa torpedo diberangkatkan dalam dua gelombang. Sebelumnya, 31 kapal selam kelas Midget telah diberangkatkan menuju Pearl Harbor dan telah siap menunggu komando untuk penyerangan. Serangan mendadak tersebut mengakibatkan kerugian yang sangat besar di pihak Amerika.

Sedangkan kekuatan kedua, sisa kekuatan Angkatan Laut yang mereka miliki, mendukung Angkatan Darat dalam Operasi Selatan, dalam penyerangan ke wilayah Filipina dan Malaya termasuk Singapura yang akan dilanjutkan ke Jawa. Kekuatan yang dikerahkan ke Asia Tenggara adalah 11 Divisi Infantri yang didukung oleh 7 resimen tank serta 795 pesawat tempur. Seluruh operasi direncanakan selesai dalam 150 hari.

Menghadapi ncaman Jepang, pada bulan Januari 1942 Sekutu membentuk ABDACOM (America, British, Dutch, Australian Command), yang kerjasamanya di Indonesia masih eksis sampai sekarang.

Melihat serbuan balatentara Dai Nippon yang nyaris tak terbendung, Gubernur Jenderal Belanda ke 64 dan yang terakhir, Tjarda van Starckenborgh-Stachouwer menugaskan gubernur Jawa Timur Charles Olke van der plas, untuk membangun jaringan bawah tanah guna melawan pendudukan tentara Jepang.

Tanggal 11 Januari 1942, Jepang menyatakan perang terhadap Belanda. Kekuasaan Jepang di India-Belanda diawali dengan pendaratan tentara mereka di Tarakan pada tnggal 11 Jnuri 1942. Pd 16 Februari, secara berturut-turut Jepang menyerang ambon, Makassar dan Banjarmasin. Kemudian Bli berhasil diduduki pada tanggal 18 Februari dan tanggal 24 Februari tentara Jepang telah menguasai Timor, seiring dengan penyerbuan ke Singapura, tanggal 13 Februari Jepang menerjunkan pasukan payung di Palembang. Dalam waktu 3 hari, mereka berhasil menguasai wilayah ini.

                                                    tentara Belanda menyerah kepada Jepang

Setelah hampir seluruh wilayah India-Belanda jatuh ke tangan tentara Jepang, sasaran terakhir dan terpenting adalah Pulau Jawa di mana pusat Pemerintahan India-Belanda dan pusat opersi militer Sekutu, ABDACOM berada. Dalam rangka pendaratan tentara Jepang di Jawa, penyerbuan diawali dengan pertempuran di Laut Jawa pada 27 Februari dan di Selat Sunda pada 28 Februari 1942. Direncanakan, pendaratan dilakukan di Teluk Banten, Eretan Wetan (dekat Cirebon), dan di Kragan (dekat pelabuhan Rembang).

27 Februari 1942, dalam pertempuran di Laut Jawa (The Battle of Java Sea) yang berlangsung selama tujuh jam, kekuatan armda laut Sekutu berhasil dilumpuhkan. Mereka harus kehilangan lima kapal perangnya, sementara armada Jepang hanya menderita kerusakan kecil dan akhirnya pda 1 Maret 1942 pukul 02:00, kapal-kapal pengangkut tentara Jepang berlabuh di Teluk Banten sesuai jadwal. Menjelang subuh, Panglima Tentara ke-16 Letnan Jenderal Hitoshi Imamura telah mendirikan Pos Komando di Ragas, 3 km utara Bojonegara. Sore harinya dia memindahkan Pos Komandonya ke Serang, tempat ia bermarkas sampai tanggal 7 Maret 1942.

Di tanggal 7 Maret 1942, Batavia telah jatuh ke tangan tentara Jepang. Dengan demikian, hanya dalam waktu satu minggu dan nyaris tanpa perlawanan yang berarti tentara Jepang berhasil menguasai seluruh kota-kota besar di Jawa.

Dibawah ncaman pemusnahan total oleh armada Jepang, akhirnya pada 9 Maret 1942 di Pangkalan Udara Kalijati, Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara India Belanda yang bertindak mewakili Gubernur Jenderal menandatangani dokumen pernyataan menyerah tanpa syarat. Maka, bukan saja de facto, melainkan juga de jure, seluruh wilayah bekas India-Belanda berda di bawah kekuasaan dan dministrasi Jepang. Dan pada hari itu juga Jenderal Hein ter Poorten memerintahkan kepada seluruh tentara India-Belanda untuk menyerahkan diri kepada balatentara Kekaisaran Jepang.

Menyerahkan Belanda terhadap Jepang yang nyaris tanpa perlawanan sama sekali, dengan sendirinya menghancurkan citra superior yang selama ratusan tahun dibanggakannya. Bangsa Belanda (termasuk Eropa pada umumnya) yang konon tidak terklahkan kini bersimpuh dan mengangkat tangan kepada tentara Jepang yang ada di mata mereka tergolong ras rendahan.

Sang penguasa yang telah ratusan tahun menikmati dan menguras bumi Nusantara serta menindas penduduknya, kini menyerahkan jajahannya ke tangan penguasa lain. Di atassecarik kertas, Belanda telah melepaskan segala hak dan legitimasinya atas wilayah dan penduduk yang dikuasainya kepada penjajah baru, yang ternyata tidak kalah kejam dan rakus. Oleh karena itu, tanggal 9 Maret 1942 sesungguhnya dapat pula ditetapkan sebagai tanggal berakhirnya penjajahan Belanda di Bumi Nusantara.

KOLONISASI EROPA

 


Kedatangan bangsa-bangsa Eropa ke Nusantara bisa dipastikan bukan hanya untuk kepentingan perdagangan, terutama rempah-rempah, yang harganya di Eropa mencapai ratusan kali lipat dari harga beli di Nusantara. Sejak awal mereka telah berniat melakukan penjajahan atas Nusantara.

Sejak awal ekspedisi ke seluruh daratan dunia, negara-negara Eropa saling bersaing memperebutkan tanah baru untuk memonopoli perdagangan. Aksi sabotase, perampokan dan kontak senjata terus berlangsung di antara mereka. Menghadapi kekacauan dan konflik yang berlarut-larut, mereka akhirnya memilih jalur perundingan.

Pada abad ke-15, dua negara Katolik yaitu Portugal dan Spanyol terlibat konflik dan saling memperebutkan wilayah-wilayah di luar Eropa. Untuk menghindari konflik berkelanjutan di antara kedua negara Katolik tersebut, Paus Alexander VI kemudian memfasilitasi perundingan di Tordesillas Spanyol kelak bernama Perjanjian Tordesillas, pada tanggal 7 Juni 1494. Isinya adalah membagi wilayah di dunia menjadi dua bagian, yaitu separuh untuk Spanyol dan separuh lagi untuk Portugal.

                            Lembar halaman depan Perjanjian Tordesillas atu Treaty of Tordesillas

Namun, perjanjian ini tidak bisa menghindarkan mereka dari ancaman negara lain. Belnda dan Inggris yang tidak terikat dengan perjanjian tersebut merangsek memasuki wilayah-wilayah yang telah dibagi antara Portugal dan Spanyol. Konflik semakin memanas ketika Prancis, Italia dan Belgia ikut terjun merebut tanah jajahan baru.

Negara-negara tersebut bukan hanya memperebutkan dan memperjualbelikan wilayah yang mereka kuasai. Mereka juga memperjualbelikan manusia, yang lazim disebut sebagai perbudakan. Sejak abad 18, praktik jual-beli dan tukar guling jajahan dan perbudakan sangat marak. Bahkan di msa itu Belanda termasuk negar terbesar dalam perdagangan budak.

Di wilayah jajahannya, India-Belanda pemberlakuan undang-undang perbudakan dilakukan antara tahun 1640-1862. Undang-undang perbudakan ini kemudian dihapus oleh Inggris ketika berkuasa antara tahun 1811-1816. Namun diberlakukan kembli ketika jajahan tersebut “dikembalikan” kepada Belanda.

Belanda dan Inggris kemudian sepakat pula untuk melakukan “tukar guling” atas Singapura dan Bengkulu. Dalam Trakat London, tanggal 17 Maret 1824, Belanda melepaskan seluruh haknya atas Singapura kepada Inggris. Sebagai gantinya, Belanda memperoleh wilayah Bengkulu. Selain itu, Inggris dan Belanda beberapa kali mengadakan perundingan bilateral untuk membagi kekuasaan di Irian dan Kalimantan. Belanda dan Portugal juga sepakat untuk membagi dua kekuasaan di Pulau Timor.

Dalam persaingan dan perebutan wilayah kekuasaan di Asia Tenggara yang berlangsung selama berabad-abad, akhirnya Belanda berhasil mengungguli Inggris, Spanyol, Portugal dan Prancis, Belanda berhasil menguasai sebagian besar kerajaan-kerajaan di Nusantara. Sedangkan Inggirs tetap berkuasa di Malaya (Malaysia) dan di East New Guinea (Irian Timur); Spanyol di Filipina, Prancis di Indocina dan untuk Portugal hanya tersisa Timur-Timur (Timur Leste), Goa di India dan Macau.

Sementara itu untuk wilayah Afrika, pada 15 November 1884 – 26 Februari 1885 diadakan konferensi di Berlin yang kemudian dikenal sebagai Berliner Kongokonferenz (Konferensi Berlin mengenai Kongo). Konferensi ini membagi-bagi wilayah di Afrika untuk negara-negara Eropa. Jika melihat batas-batas negara Afrika, Irian dan Timor tampak perbedaan yang mencolok. Layaknya orang membagi-bagi kue ulang tahun kepada para tamu, penetapan batas negara-negara tersebut belakangan diketahui bukn berdasarkan etnis atau kekuasaan kerajaan sebelumnya. Melainkan dibagi-bagi berdasarkan kesepakatan di antara mereka, sehingga batas wilayah jajahan itu berupa garis lurus, karena dibagi menggunakan penggaris di atas peta.

PENJAJAHAN BELANDA

Pada abad 16, pelabuhan Banten telah dipadati oleh kantor dagang Internasional yang menjadikan Banten sebagai salah satu pusat perdagangan dunia. Belanda yang merasa tidak diterim di Banten, kemudian mendirikan kantor dagangnya di Jayakarta. Mereka mendapat izin dari Pangeran Jayakarta untuk mendirikan kantor dagangnya di wilayah kekuasaannya. Namun rupanya Belanda sudah berniat untuk menguasai wilayah itu. Hal itu diawali dengan pembangunan kantor dagangnya berupa bangunan banteng yang kokoh.

Pada 30 Mei 1619, Gubernur Jenderal Belanda Jan Pieterszoon Coen menyerang Jayakarta dan membumihanguskan kota tersebut. Oleh karena itu, tnggal 30 Mei 1619 bisa ditetapkan sebagai awal penjajahan Belanda di bumi Nusantara. Hingga awal abad 20, Belanda belum sepenuhnya menguasai seluruh wilayah Nusantara. Beberapa kerajaan yang belum dapat ditaklukkan Belanda antara lain Kesultanan Aceh,Kerajaan Batak, Kerajaan Badung dan Kerajaan Klungkung.

Pada 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang terhadap Kesultanan Aceh. Dengan korban dan kerugian yang sangat besar akhirnya Belanda memenangkan perang Aceh di tahun 1904, namun perlawanan rakyat Aceh terus berlangsung hingga tahun 1914. Di tempat lain, Raja Batak, Sisingamangaraja XII menyatakan perang terhadap Belanda pada 16 Februari 1878. Dalam pertempuran melawan Belanda pada 17 Juni 1907 di lereng bukit Aek Sibulbulen, di desa Si Onom Hudon Kabupaten Tapanuli Utara, Sisingamangaraja XII tewas tertembak. Dua putranya, Patuan Nagari dan Patuan Anggi, serta putrinya Lopian juga tewas dalam pertempuran tersebut. Di Pulau Dewata, Bali, Belanda juga mendapat perlawnan sengit dari dua kerajaan terakhir di Bali. Puputan Badung pada 20 September 1906 dan Puputan Klungkung, 28 April 1908 mengakhiri perlawanan kerajaan-kerajaan di Bali. Hingga pda tahun 1945, penguasaan berdasarkan “hukum rimba” yang terakhir terjadi dan seiring dengan berakhirny Perang Dunia II.

Pemimpin Revolusioner Dunia

 


Revolusioner adalah orang yang terlibat dalam revolusi. Dalam sebuah gerakan revolusi, mutlak dibutuhkan adanya seorang pemimpin revolusioner. Orang tersebut biasanya orang yang mampu memimpin gerakan dan memiliki kewenangan memerintah atau pengaruh terhadap semua elemen revolusi.

Perang Dunia I dan Perang Dunia II sebagai konflik militer global berlangsung pada tahun 1939-1945. Perang ini melibatkan sebagian besar negara-negara di dunia, termasuk semua kekuatan besr seperti Jerman, Perancis, Inggris dan Austria-Hongaria. Meskipun Perang Dunia II menyebabkan begitu banyak efek mendalam pada dunia, baik secara sosial dan politik, tetapi di satu sisi melahirkan banyak pemimpin-pemimpin paling hebat yang membuat perbedaan di dunia. Misalnya, Indonesia memiliki Soekarno, India memiliki Jawaherlal Nehru, Yugoslavia memiliki Broz Tito, Mesir memiliki Gamal Abdul Nasser dan Afrika Selatan memiliki Nelson Mandela.

Masing masing toko tersebut merupakan pemimpin revolusioner yang membawa perubahan besar di negaranya masing-masing. Soekarno memimpin pergerakan kemerdekaan di Indonesia selama masa kolonial Belanda dan Jepang dan berhasil membawa kemerdekaan bagi bangsa Indonesia.

Soekarno lahir di Blitar, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dan wafat pada tanggal 21 Juni 1970 di Jakarta. Saat lahir ia dinamakan Koesno Sosrodihardjo. Ayahnya bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Semasa hidup, beliau mempunyai tiga istri dan dikaruniai delapan anak. Dari istri Fatmawati mempunyai anak Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh. Dari istri Hartini mempunyai Taufan dan Bayu, sedangkan dari istri Ratna Sari Dewi, wanita turunan Jepang bernama asli Naoko Nemoto mempunyai anak Kartika.

                                                                            Ir. Soekarno

Soekarno merumuskan ajaran Marhaenisme dan mendirikan Partai Nasional Indonesia pada 4 Juli 1927 dengan tujuan Indonesia Merdeka. Akibatnya, Belanda memasukannya ke penjara Sukamiskin, Bandung pada 29 Desember 1929.

Setelah melalui perjuangan yang cukup panjang Soekarno bersama dengan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Beliau kemudian terpilih secara aklamasi sebagai Presiden Republik Indonesia yang pertama.

Broz Tito dilukiskan sebagai diplomat sangat ulung, yang luwes bergaul dengan Blok Barat dan Blok Timur. Dibawah kepemimpinannya, Yugoslavia tumbuh menjadi negara kuat di Eropa Timur tanpa harus menjadi anggota Pakta Warsawa ataupun Organisassi Pertahanan Atlantik Utara (NATO).

                                                                               Broz Tito

Tito memainkan peran sebagai pemimpin dalam forum-forum Dewan Pembebasan Antifasis Yugoslavia. Pada 4 Desember 1943, ia pun diangkat menjadi Presiden Dewan Pembebasan Yugoslavia dan mengumumkan pembentukan pemerintahan darurat Demokrasi Yugoslavia. Pada 14 Januari 1953, Tito terpilih menjadi presiden  Yugoslavia menggantikan Ivan Ribar. Dalam posisi itulah ia bersama empat pemimpin negara dunia (Soekarno, Jawaharlal Nehru, Kwame Nkrumah dan Gamal Abdel Nasser) menggagas pembentukan Gerakan Nonblok beberapa tahun kemudian.

Jawaharlal Nehru dikenal sebagai salah satu negarawan terbaik abad XX. Ia memiliki koneksi internasional cukup luas termasuk Presiden Soekarno. Nehru adalah penantang tangguh imperialisme barat. Tokoh negara-negara non blok ini merupakan aktivitis pejuang kemerdekaan India dan menjadi perdana menteri India ketika negara  ini merdeka. Nehru lahir pada tanggal 14 November 1889 dari keluarga yang berasal dari kasta brahmana. Ayahnya pengacara dan politisi dari khasmir yang tinggal di Alahabad. Masih berusia 16 tahun Nehru berangkat ke Inggir untuk sekolah di Harrow dan kemudian Universitas Cambridge.


                                                                        Jawaharlal Nehru

Ketika Perang Dunia II pecah, pemerintah kolonial Inggris secara sepihak menyatakan bahwa India adalah negara yang mesti ikut berperang. Meskipun dalam hatinya punya keinginan untuk mendukung aliansi anti fasis, namun Nehru setuju pada kebijakan kongres yang memutuskan non kooperasi dengan upaya perang itu. Ketika misi Cripps yang mendesak India bekerjasama dengan imbalan kemerdekaan seusai perang gagal. Kongres di bawah Ghandi dan Nehru melancarkan gerakan pembangkangan sosial yang lain. Nehru kembali ditahan bersama semua pemimpin kongres.

Setelah Inggris menarik diri pada Agustus 1947, india resmi menjadi dominion yang memiliki pemerintahan sendiri. Nehru terpilih sebagai perdana menteri. Walaupun majelis konstituante India menelurkan sebuah konstitusi federal bagi negara baru ini, namun kekuasaan efektif berada sebagian besar di tangan Nehru. Dialah yang sesungguhnya menentukan kebijakan politik dalam negeri dan luar negeri India pada masa itu.

Gamal Abdul Nasser (15 Januari 1918-8 September 1970) merupakan presiden kedua Mesir. Mungkin ia merupakan salah seorang negarawan Arab yang paling terkemuka dalam sejarah.

Nasser lahir sebagai putra seorang pejabat pos di pinggiran Alexandria. Bagian dari masa kecilnya dihabiskan di Kairo bersama pamannya yang revolusioner. Nasser bergabung dengan tentara Mesir pada tahun 1936 perguruan tinggi dan lulus pada bulan Juli 1938. Dia kecewa dengan rezim Raja Farouk yang korup dan membenci penduduk Inggris. Dia, bersama-sama dengan sekelompok rekan kerja, membentuk organisasi semi-bawah tanah yang dikenal di  Mesir sebagai El-El-Ahrar Dhobatt.

                                                                        Gamal Abdul Nasser

Gamal Abdul Nasser dilahirkan di Iskandariyah (Alexandria) dan aktif dalam gerakan Mesir menentang penjajahan dan kekuasaan asing ketika di Akademi Militer. Gamal Abdul Nasser berpangkat Mayor ketika terlibat dalam perang kemerdekaan Israel pada tahun 1948.

Pada awal 1954, Gamal Nasser menangkap dan menahan presiden Mesir ketika itu, jendral Muhammad Naguib dan pada 25 Februari 1954 Gamal Abdul Nasser menjadi Kepala Negara Mesir. Dua tahun kemudian, Gamal Abdul Nasser menjadi calon tunggal dalam pemilu presiden dan dilantik menjadi presiden Mesir kedua. Pada masa pemerintahannya, Gamal Abdul Nasser membangkitkan Nasionalisme Arab dan Pan Arabisme, menasionalisasi terusan Suez yang mengakibatkan krisis Suez yang membuat Mesir berhadapan dengan Perancis, Inggris dan Israel yang memiliki kepentingan terhadap terusan itu. Krisis ini berakhir dengan keputusan dunia Internasional yang menguntungkan Mesir serta terusan Suez resmi berada dalam kedaulatan Mesir.

Nelson Rolihlahla  Mandela adalah salah satu pemimpin revolusi terbesar di dunia. Ia memimpin bangsa Afrika Selatan melawan rasisme dan rezim apartheid hingga tuntas. Mandela memiliki kemampuan untuk memberdayakan dan memotivasi orang lain. Yang paling penting, Mandela memiliki visi yang cemerlang tentang dunia yang harus dimiliki oleh semua orang secara sama, tanpa harus membedakan bangsa, suku dan ras.

Pada periode setelah Perang Dunia II, Nelson Mandela membentuk Kongres Nasional Afrika (ANC). Di bawah kepemimpinannya, orang kulit hitam dan organisasinya di Afrika Selatan mulai menyuarakan kebutuhan dan hak-hak mereka. Buruh kulit hitam mulai menuntut upah yang lebih tinggi, perbaikan hidup dan pekerjaan. Mereka bangkit untuk mengorganisasi pemogokan dan kerusuhan di seluruh Afrika Selatan. Sejak saat itu, rakyat Afrika Selatan yang putus asa di bawah kolonialisme menemukan harapan pada diri Mandela. Ia didapuk sebagai pemimpin pejuang kebebasan dunia yang akan memimpin pembebasan rakyat dan tanah mereka dari belenggu kolonialisme.


                                                                  Nelson Rolihlahla  Mandela

Tentu saja, Mandela adalah salah satu pejuang kebebasan sejati di dunia. Dia mendedikasikan hidupnya untuk berjuang melawan penindasan rasial dan sebagai pemimpin gerakan anti-apartheid. Mandela bersama Kongres Nasional Afrika (ANC) yang ia bentuk, melakukan protes dan mengorganisasi pemogokan di sebagian besar provinsi Afrika Selatan untuk mengakhiri apartheid. Karena tindakan ini Mandela dipenjara selama 27 tahun. Setelah 27 tahun dipenjara, Mandela memutuskan sudah waktunya untuk mengambil masalah ke tangannya sendiri. Dia menyadari bahwa, sebagai seorang pemimpin, sudah waktunya untuk mengambil masalah ke tangannya sendiri. Dia menyadari bahwa, sebagai seorang pemimpin, sudah waktunya untuk mengambil langkah drastis dan ia mulai bertemu dengan presiden Afrika Selatan guna membahas idenya tentang bangsa yang demokratis. Mandela berhasil dan setelah dibebaskan ia terpilih menjadi pemimpin demokratis pertama di Afrika Selatan.

 

Masa Kecil Nelson Mandela

 


Rolihlahla Mandela lahir pada tanggal 18 Juli 1918 di transkei, Afrika Selatan. Ayah Mandela memiliki empat orang istri. Ibu Mandela yang bernama Nosekeni Fanny adalah istri yang ketiga. Saat Mandela berumur sembilan tahun, ayahnya meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, ia diasuh oleh seorang kepala suku yang mempunyai kedudukan tinggi yang memasukkan Mandela pendidikan pada layanan sipil. Di perguruan tinggi inilah Mandela mengembangkan posisinya sebagai seorang nasionalis dan mulai membela hak-hak warga kulit hitam Afrika. Ia ditangkap dan dipenjarakan selama dua puluh tujuh tahun oleh rezim apartheid. Ketika pemerintah kulit putih Afrika Selatan diguncang dengan berbagai tekanan politik dari dunia Internasional, saat itulah Mandela dibebaskan dari penjara. Sekembalinya Mandela ke dunia bebas, ia mulai bekerja sama dengan pemeritah kulit putih Afrika Selatan untuk memulai transisi kekuasaan dari yang semula dikuasai mayoritas kulit putih ke tangan kulit hitam Afrika. Bersamaan dengan itu, Mandela terus meningkatkan seruannya tentang anti apartheid.

Ada sedikit cerita tentang awal kehidupan Nelson Mandela yang menunjukkan bahwa kelak ia akan menjadi pemimpin gerakan kemerdekaan dan yang akhirnya menjadi presiden negaranya. Ia lahir sebagai Rolihlahla Mandela di Afrika Selatan, tepatnya di sebuah pedesaan di desa kecil Mvezo yang terletak di tepi sungai Mbashe di provinsi Transkei. “Rolihlahla” dalam bahasa Xhosa secara harfiah diartikan sebagai “menarik cabang pohon,” tetapi maknanya lebih sering ditujukan pada arti “pembuat onar.”

Ayahnya ditakdirkan untuk menjadi kepala dan selama bertahun-tahun menjabat sebagai penasihat bagi kepala suku. Tapi selama sengketa dengan hakim kolonial setempat, ia kehilangan gelar dan kekayaannya. Rolihlahla hanya seorang bayi pada saat itu dan hilangnya status ke Qunu, desa yang terletak di utara dan lebih kecil dari desa Mvezo. Desa itu terletak di sebuah lembah berumput yang sempit. Tidak ada jalan utama yang besar, hanya jalan kaki yang menghubungkan padang rumput di mana ternak merumput. Keluarga Mandela tinggal di sebuah gubuk dan makanan sehari-hari keluarga itu berupa hasil tanaman panen yang ditanam juga oleh mayoritas penduduk desa, yaitu jagung, sorgum, labu dan kacang-kacangan. Kebutuhan air penduduk desa bersumber dari mata air dan sungai di pinggiran desa. Keluarga Mandela dan kebanyakan penduduk desa desa Qunu mengambil air dari mata air dan sungai tersebut untuk memasak dan kebutuhan sehari-hari. Aktivitas memasak bagi sebagian bear penduduk desa Qunu dilakukan di luar rumah.

Nelson kecil memainkan permainan anak laki-laki, memerankan skenario permainan laki-laki dengan mainan buatan sendiri dari bahan-bahan alami yang tersedia di sekitar rumahnya, seperti cabang-cabang pohon dan tanah liat. Atas saran dari salah satu teman ayah Rolihlahla, ia dibaptis dalam gereja  Metodis dan menjadi yang pertama dalam keluarganya untuk bersekolah. Sebagaimana kebiasaan pada waktu itu dan mungkin karena bias dari sistem pendidikan Inggris di Afrika Selatan, gurunya mengatakan kepadanya bahwa Rolihlahla akan diberikan nama baru depan nama Mandela, yaitu “Nelson.”

Ayah Nelson Mandela meninggal karena penyakit paru-paru ketika Nelson berumur sembilan tahun. Dari titik itu, hidup Nelson Mandela kecil berubah secara dramatis. Di diadopsi oleh kepala Jongintaba Dalindyebo, seorang Bupati yang memimpin rakyat Thembu. Tindakan adopsi ini dilakukan sebagai bentuk bantuan untuk ayah Nelson yang pada tahun sebelumnya telah direkomdasikan Jongintaba untuk menjadi kepala. Sepeninggal ayahnya, Nelson kecil meninggalkan kehidupannya yang riang di Qunu dan dia takut tidak akan pernah melihat desanya lagi. Dia bepergian dengan motorcar ke Mqhekezweni, ibukota provinsi Thembuland, ke kerajaan kediaman kepala itu. Meskipun ia tidak pernah bisa melupakan desa Qunu yang amat dicintainya, ia dapat dengan cepat beradaptasi dengan lingkungannya yang baru, lingkungan yang lebih canggih di Mqhekezweni.

                                                             Nelson Mandela Semasa Kecil

Mandela diberi status dan tanggung jawab yang sama sebagai dua anak bupati lainnya, yaitu justice sebagai anak yang tertua dan putri bupati yang bernama Nomafu. Mandela mengambil kelas di sekolah yang bertempat di sebelah istana. Sekolah Mandela hanya mempunyai satu ruangan. Di sekolah ini Mandela kecil dengan tekun dan penuh antusiasme mulai belajar bahasa Inggris, Xhosa, sejarah dan geografi. Selama periode ini mandela mengembangkan minatnya yang besar dalam sejarah Afrika mulai dari kepala-kepala suku tua yang datang ke Great Palace dalam rangka berbisnis.

Ia mendengar bagaimana orang-orang Afrika telah hidup relatif penuh aman dan damai sampai kedatangan orang kulit putih ke tanah mereka. Sebelum itu, para tetua mengatakan, anak-anak Afrika Selatan hidup sebagai saudara. Mereka hidup dengan tenang di tanah mereka sendiri. Tidak ada pertikaiaan maupun perselisihan yang berarti di antara anak-anak itu. Mereka bebas bermain bersama di ladang-ladang, sungai dan padang rumput bersama ternak-ternak mereka. Sepanjang hari anak-anak bermain dengan merdeka. Mereka bermain bersama dengan alam, menggunakan semua sarana bermain yang diberikan oleh alam sekitarnya.

Tetapi kedatangan orang kulit putih menghancurkan persaudaraan ini. Pria kulit hitam berbagi tanah, udara dan air dengan orang kulit putih, tetapi orang kulit putih mengambil semua ini untuk dirinya sendiri.

Banyak orang yang mengatakan bahwa Mandela adalah orang yang memang telah dipersiapkan menjadi pemimpin sejak belia. Richard Stengel, penulis biografi yang lama menemani Mandela di Transkei, selalu diingatkan oleh orang-orang di sekeliling Mandela, “Anda harus ingat bahwa dia dipersiapkan untuk menjadi pemimpin.”

Ternyata hal itu tidak sepenuhnya benar. Ada sedikit kekeliruan dalam pandangan orang-orang di sekeliling Mandala tersebut. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa ayah Mandela adalah seorang kepala yang ditunjuk. Dia bukan orang yang mempunyai darah asli kepala suku dan pada kenyatannya Nelson tidak akan menjadi kepala suku. Mandela tidak dalam garis langsung suksesi, disebabkan ibunya adalah istri ketiga dari ayahnya. Jadi dia tidak benar-benar seorang kepala seperti yang dipikirkan orang-orang, tetapi dia berasal dari keluarga yang akan menjadi semacam aristokrat, keluarga yang termasuk dalam golongan kelas menengah ke atas. Ketika Mandela diadopsi oleh raja dan pindah ke lingkungan desanya, ia mampu mengamati semua hal tersebut.

Tetapi ada semacam “kearistokratan” alami dalam diri Nelson Mandela dan bagian mengagumkan itu muncul ketika ia melihat pada kenyataan dan pengamatannya pada penduduk Transkei. Pribadi Mandela benar-benar sebagai aristokrat alami ketika mengamati cara mereka berjalan, cara mereka membawa diri, seperti apa cara mereka berpakaian dan apa yang mereka kenakan. Di satu sisi, Mandela adalah raja yang alami. Seluruh postur tubuhnya secara luar biasa menunjukkan bakat alaminya sebagai raja.

Apa yang membuatnya menjadi orang besar adalah keadaan yang membuat martabatnya tersinggung sepanjang waktu. Penindasan, pelecehan dan penghinaan yang dilakukan kolonial kulit putih kepada kaum kulit hitam Afrika membangkitkan nuraninya untuk melawan. Bahwa ketika ia pergi ke dunia yang lebih besar, itu tidak cocok dengan konsepsinya tentang dirinya sendiri dan ia menyadari, “jika saya merasa begitu sangat ditolak dan semuanya begitu sangat tidak adil bagi saya, pikirkan bagaimana itu harus terjadi untuk semua orang Afrika, yang tidak dapat bertahan seperti saya.” Dan itu adalah motor penggerak yang memicu jiwa Mandela. Keadaan di Afrika lah awal mula pemicu yang menggerakkan mandela untuk menjadi pemimpin besar di Afrika.

Mandela memiliki sifat kepemimpinan, mengayomi, kasih sayang dan peduli terhadap sesama. Tetapi hal itu tidak pernah benar-benar diketahui darimana sumbernya dan apa yang sebenarnya mendorong orang untuk melakukan hal hal semacam ini. Mandela muda pernah mengalami saat yang mengerikan dalam perjalanan hidupnya saat ia memiliki anak-anak kecil ketika mereka berada di Soweto. Dia akan meninggalkan anak-anaknya setiap malam atau pergi untuk jangka waktu yang lama. Ketika Mandela akan pergi, anak anaknya selalu berkata, “Ayah kenapa tidak ada disini. Aku merindukanmu. Aku kesepian.” Dia harus selalu mengatakan kata-kata buruk yang tragis kepada mereka, “Nak, ada anak-anak lain di luar sana yang kesepian dan sedih dan mereka tidak memiliki ayah yang baik. Saya juga harus memikirkan mereka, Nak.”

Apa yang membuat seorng pria mengatakan bahwa kepada anaknya, sebagai lawan kepada orang lain yang mengatakan, “aku tidak bisa meninggalkan anak saya?” dan apa yang mendorongnya merasakan itu? Hal itu adalah sedikit yang kita bicarakan dal halnya cinta kepada sesamanya, martabatnya menjadi tersinggung. Tapi itu lambat, proses yang lambat. Butuh waktu lama baginya untuk berevolusi dari orang yang merasa martabatnya tersinggung, kepada seseorang yang akan memberikan semangat kepada bangsanya yang juga merasakan ketersinggungan yang sama dengan dirinya.

Sejumlah orang mengatakan bahwa pada hari-hari awal periode umur 20 tahun, saat kedatangannya di Johannesburg ke Rivonia, Mandela awalnya sedikit udik, atau ndeso adalah salah satu kata yang sering dikatakan orang kampungan, kata seorang wanita di Soweto. Sedangkan sebagian yang lain mengatakan bahwa sebenarnya dia itu dandy.

Mandela memiliki keyakinan diri yang besar, tetapi dalam waktu yang sama dia juga memiliki beberapa perasaan ketidaksamaan yang berasal dari pengalamannya ketika masa kana-kanak dan ketika ia pertama kali pergi ke Johannesburg. Jadi ini dua hal yang saling bekerja sama. Dia memahami betul janis-jenis bujuk rayu dan sanjungan, karena sebenarnya dia sangat rentan terhadap sanjungan dan pujian yang diberikan kepadanya. Ini adalah jenis rudal yang tepat mengarahnya, dengan menyanjungnya, karena menegaskan dengan cara rasa harga diri. Jadi dia sangat pandai menggunakannya dan melepaskan diri pada waktu yang sama.

Mandela pernah bercerita kepada Stengel tentang asal muasal perasaan ketidakamanan dalam dirinya. Ketika dia masih kanak-kanak di Qunu, ada toko kulit putih di perbukitan di sekitar kota. Pada suatu hari Mandela kecil pernah datang ke sana untuk membeli sesuatu untuk ayahnya dan dia berkata kepada Stengel, “Oh, orang kulit putih, pemilik toko bagaikan dewa bagiku.” Dapatkah anda bayangkan Nelson Mandela mengatakan bahwa beberapa pemilik toko orang kulit putih miskin di Transkei seperti dewa baginya? Tapi dia berkata tulus tentang hal itu. Perasaan ketidakamanan Mandela berasal dari masa kanak-kanak tersebut dan tidak ada bahkan dewa sekalipun akan memiliki perasaan tidak aman jika dibesarkan dalam situasi yang sama seperti Mandela, dimana ia diperlakukan sebagai sesuatu yang paling rendah dan paling hina. Jadi percampuran antara harga diri dan kepercayaan diri ini diseimbangi oleh beberapa perasaan ketidakamanan yang ada pada diri Mandela.

 

 

PERISTIWA MEMALUKAN DI JAFFA (Shalahuddin al Ayyubi)

 

 

 

 

 

Shalahuddin al ayyubi pun segera membatalkan tawarannya dan kembali mencoba peruntungan di medan perang. Saat pasukan Ricahrd berada jauh dari Acre, ia dan pasukannya pun bersiap-siap untuk menguasai kawasan selatan palestina. Sebab, ia ingin memperbaiki reputasinya yang telah rusak. Selain itu, ia juga ingin memberikan semangat baru kepada pasukannya untuk berjihad. Maka, ia meminta pasukan bantuan dari Damaskus.


Tidak lama kemudian, pasukan gabungan Kurdi dan Turki datang ke Jerusalem bergabung dengan pasukannya. Lalu, Shalahuddin pun segera melakukan invasi dengan target utama kota pesisir, Jaffa. Mereka mendapatkan perlawanan di Jaffa, namun mereka pun mampu mengatasi pasukan pertahanan Jaffa dengan sigap.

Selanjutnya, para prajurit Shalahuddin al ayyubi melakukan penjarahan di kota tersebut. Maka, Shalahuddin al ayyubi pun mencoba mengatasi penjarahan tersebut. Akan tetapi, pasukan Turki dan Kurdi justru menyerang pasukan pengawal Shalahuddin al ayyubi. Sehingga, mereka pun terlibat dalam pertempuran.

Shalahuddin al ayyubi tak habis pikir mengapa pasukannya bisa melakukan hal yang memalukan dengan slaing bertikai untuk memperebutkan piala-piala emas, kain-kain indah dan bahan-bahan makanan. Sebelumnya, ia memang pernah menyaksikan berbagai konflik internal sesama muslim, seperti di Mosul dan Aleppo. Namun, pertikaian yang terjadi pada waktu itu disebabkan oleh unsur politik yang cenderung mengarah pada perebutan kekuasaan. Sedangkan, pertikaian internal yang terjadi di Jaffa itu murni karena keserakahan.

Di sisi lain, ia menerima kabar bahwa Richard dan pasukannya sedang dalam perjalanan menuju kota tersebut. Saat itu pasukan Shalahuddin al ayyubi berjumlah sekitar 60 ribu orang prajurit, sedangkan Richard mencoba menghadapinya dengan pasukan yang pada awalnya hanya berjumlah 3 ribu tentara dan 3 ekor kuda. Tentu saja, tindakan Richard ini bisa dianggap sebagai langkah yang tidak masuk akal atau terlalu nekat. Bahkan, Ricahrd memilih untuk memimpin sendiri pasukan tersebut walaupun pasukannya jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan pasukan Shalahuddin.

Dengan demikian, Shalahuddin memiliki kesempatan untuk menghancurkan pasukan Perang Salib Eropa untuk selama-lamanya. Namun, ternayat keadaan berbalik 180 derajat. Harapan shalahuddin al ayyubi untuk mengalahkan pasukan Ricahrd secara mutlak berubah menjadi sebuah mimpi buruk.

Sebab, pasukan Richard melancarkan serangan secara frontal terhadap garda depan Shalahuddin sehingga membuat pasukan Islam bercerai-berai. Serangan pasukan Richard yang sangat mendadak ini benar-benar mengejutkan pasukan Shalahuddin sehingga membuat mereka terjebak dalam kepanikan.

Sebelum para petinggi Shalahuddin al ayyubi mampu menstabilkan garda depan pasukannya, pasukan Richard telah menyerbu mereka kembali. Maka, dalam sekejap, kemenangan Shalahuddin al ayyubi di Jaffa telah berubah menjadi malapetaka. Sehingga, ia harus menyerahkan kota yang baru saja ia menangkan tersebut kepada Richard. Selain itu, ia juga harus kehilangan pasukannya.

Walaupun menang dan berjaya di Tanah Suci, Richard tetap tidak mampu menghindar dari gangguan saudaranya di Inggirs. Maka, ia memberikan sebuah penawaran yang sangat luar biasa kepada Shalahuddin al ayyubi. Ia menganjurkan shalahuddin supa menghentikan serangannya terhadap Jaffa dan Asalon. Sebagai gantinya, ia akan membiarkan Jerusalem tetap berada dalam genggaman umat Islam.

Akan tetapi, Shalahuddin tetap menolak tawaran tersebut. Ia menjelaskan kepada Richard bahwa kesediannya menerima tawaran tersebut hanya akan mengimplikasikan kegagalan jihad yang ia usung. Maka, ia memilih kalah di medan tempur daripada mendeklarasikan kegagalan jihad.

Selanjutnya, Shalahuddin mulai memperkuat dan memperbarui semangat tempur pasukannya. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena prajurit-prajurit Islam tidak mengindahkan perintah Shalahuddin, bahkan mereka mulai melakukan berbagai macam pemberontakan. Maka, mau tidak mau, Shalahuddin harus menerima fakta bahwa jihadnya telah berakhir. Sehingga, untuk kesekian kalinya, ia kembali mengajukan kesepakatan gencatan senjata kepada Richard the Lionheart.

 

GENCATAN SENJATA PADA TAHUN 1192

Richard dan Shalahuddin al ayyubi berhasil menyepakati berakhirnya pertempuran mereka selama ini (yang oleh para sejarawan disebut Perang Salib III). Sejak 2 September 1192, kedua belah pihak mulai menerapkan gencatan senjata. Perjanjian damai ini berlaku selama 4 tahun. Setelah itu, kedua belah pihak dapat mendeklarasikan perang kembali (kedua belah pihak ini menyadari bahwa pion ini bersifat fiktif karena mereka tidak pernah membayangkan akan kembali terjun ke medan laga).

Selanjutnya, mereka membagi kekuasaan di wilayah Palestina dan sekitarnya. Mereka sepakat bahwa Ascalon merupakan wilayah yang netral sehingga tidak satu pihak pun yang boleh mengklaim kota tersebut. Sementara itu, berbagai wilayah yang telah berada dalam kekuasaan orang-orang Kristen akan tetap menjadi wilayah kekuasaan mereka.

Selain itu, Shalahuddin al ayyubi setuju untuk memberikan jaminan kebebasan bagi umat Kristiani yang ingin mengunjungi gereja dan tempat-tempat suci di Jerusalem. Namun, pasukan Shalahuddin akan tetap memegang kepemilikan Jerusalem. Setelah menandatangani kesepakatan damai tersebut, Richard kembali ke Inggirs. Akhirnya, perdamaian tercipta juga di kota suci tersebut.

 

HARI-HARI TERAKHIR SHALAHUDDIN AL AYYUBI

Semenjak berdamai dengan Richard, Shalahuddin al ayyubi menyibukkan diri dengan rutinitas barunya. Setelah menghabiskan waktu lebih dari dua puluh tahun untuk berperang, ia mulai memperhatikan kekuasaannya sebagai sultan secara detail.

Pertama-pertama, Shalahuddin al ayyubi mempersiapkan diri untuk melakukan tur keliling Palestina. Ia ingin mempelajari lebih dekat supaya bisa lebih menghargai negeri tandus yang penuh bebatuan telah ia perjuangkan dengan gigih. Selama ini, Shalahuddin hanya melihat Kota Suci ini dari sudut pandang strategi militer. Padahal, Jerusalem lebih dari sekedar titik dalam peta yang harus diamankan dari musuh-musuh Islam. Jerusalem adalah sebuah kota suci yang mampu memikat hati setiap orang beriman dan membuatnya tenang. Maka, ia pun mengakui bahwa Jerusalem sangat indah memiliki daya pikat tersendiri.

Selain itu, Shalahuddin al ayyubi mendedikasikan usahanya untuk memperbaiki berbagai kerusakan fisik dan spiritual akibat peperangan yang telah berlangsung selama hampir satu abad (terhitung sejak Perang Salib Pertama). Shalahuddin al ayyubi percaya bahwa masyarakat Jerusalem layak mendapatkan usaha terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin muslim seperti dirinya. Maka, sebelum bertolak menuju Damaskus, ia menggunakan sebagian hartanya untuk mendirikan sebuah rumah sakit dan sekolah baru di kota tersebut.

Akan tetapi, perjalanannya kembali ke Damaskus tidaklah mudah. Peperangan yang panjang telah membuatnya menua secara prematur. Ia merasa sangat lelah sehingga ia meretas jalannya dari pegunungan Syria menuju tepian Sungai Nil. Sang prajurit renta ini merindukan sebuah kesederhaanaan dalam masa-masa pensiunnya. Maka, ia pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.

Sesampaianya di sana, Shalahuddin al ayyubi menghabiskan waktunya untuk bersantai. Ia pun menggunakan waktu luangnya untuk bermain dengan cucunya yang banyak. Tak lupa, ia juga mendongengkan kisah-kisah pengabdiannya kepada Islam untuk mereka.

Selanjutnya, Shalahuddin menyadari bahwa ketenangan jiwa yang ia rasakan merupakan pertanda bahwa fase akhir dari kehidupannya. Usianya yang semakin hari semakin bertambah, membisikkan kematian. Namun, ia tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan penerus kekuasaannya.

Oleh karena itu, ia mengumpulkan putra-putranya untuk menyusun peralihan kekuasaan secara mulus dan damai. Ia berupaya untuk menyatukan keluarganya supaya Dinasti Ayyubiyyah bisa diteruskan tanpa kehadirannya. Maka, ia menasihati mereka untuk selalu ingat terhadap kewajiban-kewajiban mereka. Selain itu, ia juga mengingatkan mereka untuk membentengi diri dari berbagai konflik domestik yang dapat mencerai-beraikan dinasti yang telah ia perjuangkan dengan penuh kegigihan.

“berhati-hatilah pada pertumpahan darah. Jangan pernah percayakan hidup kalian pada cara tersebut. Sebab, darah yang tumpah tak akan pernah tidur sehingga selalu menyisakan dendam,” katanya kepada para putranya.

Selain itu, Shalahuddin al ayyubi juga menasihati mereka untuk tidak melupakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat awam saat mereka terjun ke dunia politik. Ia pun mengingatkan mereka untuk tidak bertindak secara gegabah. Sebab, hal tersebut bisa menafikan kerja keras yang telah mereka lakukan sepanjang hidup mereka.

Shalahuddin al ayyubi tidak ingin Islam menderita akibat tindakan para putranya yang masih hijau. Kekhawatiran Shalahuddin al ayyubi mengenai tindakan para putranya, persatuan Islam dan ancaman orang-orang Kristen yang menghantui Palestina selama terus-menerus bisa dilihat dari riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para pelayannya. Sebab, mereka selalu menemani hari-hari terakhirnya.

Bahkan, para penasihatnya bisa mengenali perubahan subtil (halus) namun tak terbantahkan dalam diri Shalahuddin. Tatapan kosong dan sifat pelupanya benar-benar mengganggu mereka. Misalnya, di suatu siang yang terik, Shalahuddin pergi menunggang kuda kesayangannya untuk menyambut kedatangan para jamaah haji yang baru pulang dari Mekkah tanpa mengenakan jubah tebal yang selalu ia kenakan.

Karena selama ini, ia tidak pernah lupa untuk jubahnya tersebut, para pelayannya pun mulai mengartikan hal itu sebagai sebuah pertanda buruk. Keesokan harinya, ia merasa kurang enak badan dan demam. Maka, ia dipapah menuju peraduannya. Akan tetapi, kondisinya justru memburuk para putranya dan mempersiapkan hal yang tak terhindarkan.

Pada saat yang menegangkan itu, Shalahuddin al ayyubi tetap mempertahankan selera humor dan kelembutan sikapnya. Saat demamnya bertambah tinggi, Shalahuddin al ayyubi meminta segelas air yang hangat atau suam suam kuku kepada pelayannya. Namun, air dalam gelas pertama yang diberikan kepadanya terlalu hangat, sedangkan air dalam gelas kedua terlalu dingin.

Dalam keadaan seperti itu, sebagian besar penguasa mungkin akan memaki-maki, bahkan menghukum mati pembantunya. Tetapi, Shalahuddin al ayyubi hanya menghela napas dan tersenyum lembut pada pelayannya seraya mengatakan, “Barangkali memang tidak ada yang bisa membuat air dengan temperatur suhu yang tepat.”

Selain itu, Shalahuddin seolah-olah mengetahui bahwa waktunya di muka bumi akan segera berakhir. Maka, ia pun memanggil imam yang terpecaya untuk menemaninya disisi peraduan. Lalu, mereka pun membaca ayat suci al-Qur’an secara bersama-sama. Ketika sang imam sampai pada salah satu ayat yang sangat disukai oleh Shalahuddin al ayyubi, ia mencondongkan badan ke arah telinga Shalahuddin al ayyubi dan membacanya, “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr 59:22).

Setelah itu, mata Shalahuddin al ayyubi pun menyiratkan cahayanya untuk terakhir kali. Kemudian, ia tersenyum sambil berbisik, “Maha Benar Allah.” Maka, pada 4 Maret 1193, Shalahuddin wafat dengan tenang dalam usia yang ke-55 tahun.

 

HUBUNGAN ANTARA SHALAHUDDIN AL AYYUBI DAN KAIRO

Shalahuddin al ayyubi telah berhasil menghadirkan sebuah konsep kota yang berbeda dengan orang-orang Fatimiyyah. Sebab, ia menginginkan Kairo sebagi tampat yang aman. Sehingga, dengan dibentengi oleh tembok-tembok kukuh dan tak tertembuskan, kota ini dapat berkembang dan bersatu.

Namun, ia tetap menginginkan tempat tersebut mampu berfungsi secara internal dengan segenap kebebasan komersial dan kulturalnya tanpa kawasan elite dan istana yang megah. Selain itu, ia juga menginginkan sebuah kota yang benar-benar dimiliki oleh warga kota tersebut, walaupun kelak ia yang akan menjadi penguasa mutlak di kota tersebut.

Ada banyak sejarawan yang menghubungkan rancangan tata kota Shalahuddin untuk Kairo itu murni berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan kebutuhan kemiliteran atau keadaan kawasan setempat. Namun, Shalahuddin memiliki sebuah “visi untuk dunia”. Sebab, pada kenyataannya, ia sedang berusaha melindungi dan mempertahankan sebuah keseluruhan kultur sekaligus wilayahnya, sebuah ideologi sekaligus agama.

Shalahuddin al ayyubi menganggap Mesir sebagai sebuah sumber pendapatan bagi peperangan yang ia lakukan (baik perang melawan orang-orang Kristen dan Eropa, serta perang dalam mengatasi perpecahan sekte-sekte muslim yang telah memilah-milah Islam saat itu).

Rupanya, ia ingin Kairo menjadi pusat kebangkitan kultur dan ideologi Sunni. Selain itu, ia juga mendambakan Kairo sebagai tempat pengumpulan dana yang ia butuhkan untuk membangun pertahanan terhadap serangan pasukan Perang Salib Eropa.

Sementara itu, Shalahuddin al ayyubi memulai meniti kariernya di Mesir, di bawah kekuasaan Fatimiyyah. Maka, ia lebih memilih melakukan proses reedukasi ajaran dan keyakinan Sunni terhadap Mesir daripada menghancurkan rivalnya, sesama orang muslim (walaupun ia juga memenjarakan atau mengeksekusi seluruh anggota keluarga Fatimiyyah).

Adapun, karya yang paling terkenal Shalahuddin al ayyubi di kota kairo adalah benteng militer yang dikenal dengan nama Citadel. Selain itu, ia juga memberikan kontribusi dalam bidang arsitektur dengan membangun madrasah, masjid yang sekaligus digunakan sebagai tempat untuk sekolah. Dalam kurun waktu 11 tahun, ia telah berhasil membangun 5 buah madrasah.

Maka, Shalahuddin pun mendatangkan ulama-ulama Sunni dari Timur untuk mengelola sekolah-sekolah barunya itu. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, namun mereka juga mengajarkan sistem administrasi, matematika, geodesi, fisika dan ilmu kedoteran.

Salah satu sekolah yang dibangun Shalahuddin al ayyubi berada tak jauh dari makam Imam al-Syafi’i, pendiri salah satu dari empat madzhab utama dalam Sunni dan Shalahuddin pun tercatat sebagai salah satu murid di sekolah tersebut. Hingga saat ini, masih banyak orang Mesir yang bersekolah di sini. Sekolah ini berada di kawasan selatan pemakaman yang dikenal dengan nama Khalifa.

Walaupun Shalahuddin al ayyubi telah berhasil mengubah kota elite yang sebelumnya hanya dikhususkan untuk kalangan ningrat menjadi sebuah kota terbuka bagi para penduduknya, ia tetap masih perlu memiliki sebuah benteng pertahanan untuk menahan segala macam bentuk serangan militer dan gempuran dari luar.

Maka, pada tahun 1176-1177, Shalahuddin al ayyubi pun mulai melakukan proses pembangunan Citadel (yang saat ini menjadi salah satu monumen paling terkenal di kota Kairo). Selain memerlukan sebuah benteng pertahanan, ia juga membutuhkan pusat pemerintahan di dalam kota dan pembangunan Citadel dapat memenuhi kedua kebutuhan tersebut.

Sebuah legenda menyebutkan bahwa Shalahuddin al ayyubi memilih kawasan itu untuk membangun Citadel karena udaranya sangat segat. Cerita lain yang berkembang menyebutkan bahwa ia juga menggantungkan potongan daging di senatero kota Kairo. Biasanya, potong-potongan daging membusuk dalam kurun waktu sehari. Namun, di Citadel, potongan-potongan daging tersebut bisa bertahan hingga beberapa hari.

Dengan demikian, lokasi ini merupakan lokasi yang strategi untuk mengendalikan Kairo maupun menahan serangan musuh. Selain itu, asal Shalahuddin al ayyubi juga mempengaruhi kebiasaannya. Karena di Syria, setiap kota memiliki benteng yang menjadi pusat pemerintahan bagi pemimpinnya, maka ia pun membawa kebiasaan ini ke Mesir.

Shalahuddin al ayyubi menerapkan teknik benteng yang terbilang modern di masa itu. Tembok Citadel dibangun dengan ketinggian lebih dari 10 m dan tebal 3 m. Selain itu, ia juga membangun beberapa menara bundar yang menonjol dari dinding benteng. Dengan demikian, para penjaga di Citadel bisa segera melancarkan serangan kepada siapa saja yang mencoba memanjat dinding kukuh tersebut.

Selanjutnya, Shalahuddin al ayyubi ingin mengabadikan seluruh kejayaan kairo, termasuk reruntuhan Fustat-Misr, di dalam sebuah tembok yang kukuh. Maka, ia pun mulai membangun tembok Badr (di sebelah utara), lalu menyambungnya hingga Sungai Nil dan Pelabuhan Al-Maks (di sebelah barat). Kemudian meneruskan ke sisi timur, yakni di bawah perbukitan mukattam. Selanjutnya, ia meneruskan tembok Badr ke arah selatan hingga menyatu dengan Citadel yang berada di ketinggian sekitar 250 kaki di atas kota.

Sayangnya, tidak ada satu pun monumen religius itu yang masih bertahan hingga sekarang. Walaupun ada bagian Citadel yang masih berdiri kukuh, bangunan ini tidak murni dibangun pada masa Shalahuddin al ayyubi. Sebab, setiap penakluk yang menginjakkan kaki di Mesir (termasuk Inggris) tercatat ikut andil dalam pembangunan atau perombakan benteng ini.

 

Salah satu fitur menarik di Citadel ialah Sumur Yusuf atau Sumur Shalahuddin al ayyubi. Sumur tersebut digali dengan tujuan untuk menyuplai air minum bagi para penghuninya. Sumur yang kedalamannya sekitar 87m itu menembus bebatuan padat menuju sumber mata air.

Selain airnya sangat melimpah, di dalam sumur juga terdapat jalan landai yang cukup besar. Sehingga, binatang peliharaan pun bisa dituntun turun menuju dasar sumur guna menggerakkan mesin untuk mengangkat air. Sayangnya, saat ini, sumur tersebut tak lagi dibuka untuk umum.

Satu hal lagi yang patut disayangkan adalah hiangnya jejak rumah sakit yang dibangun oleh Shalahuddin al ayyubi (rumah sakit ini menyerupai klinik modern pada masa sekarang). Hal ini seperti yang digambarkan oleh Ibn Jubair, juru tulis shalahuddin al ayyubi. Ia menyatakan bahwa rumah sakit tersebut merupakan sebuah tempat yang indah dan luas. Shalahuddin al ayyubi juga menugaskan banyak tabib dan ahli obat di rumah sakit itu. Selain itu, pusat layanan kesehatan ini juga dilengkapi dengan beberapa ruangan khusus dan tempat tidur yang bersepai rapi.

Selanjutnya, ia menugaskan para perawat untuk menjaga dan melayani para pasien. Mereka menyajikan makanan gratis dan memberikan obat-obatan, serta bangsa khusus bagi kaum perempuan. Tak jauh dari sana, Shalahuddin al ayyubi juga membangun gedung dengan jendela berteralis. Gedung itu ia peruntukkan bagi penderita gangguan jiwa. Di sini, mereka tetap diperlukan secara manusiawi. Bahkan, para ahli yang merawatnya pun selalu berusaha mencari tahu penyebab gangguan pikiran mereka.

Selanjutnya, Shalahuddin al ayyubi membuka gerbang Istana Al-Qahira (Kairo) dan menjual semua harta benda para penguasa Fatimiyyah yang berlimpah ruah termasuk batu merah delima 2.400 karat, zamrud sepanjang 4 jari dan perpustakaan khalifah yang mengesankan. Kemudian, hasil penjualan tersebut ia gunakan untuk membayar gaji para prajuritnya.

Kekayaan Mesir itu memberikan peluang kepada Shalahuddin al ayyubi untuk mendulang kesuksesan demi kesuksesan di Palestina. Misalnya, dalam Pertempuran Hattin (tahun 1187), ia mampu merebut Jerusalem dan menyarankan pukulan telak kepada pasukan Perang Salib Eropa sehingga mereka tidak mampu bangkit lagi. Lalu, ribuan orang Kristen ini, dipaksa untuk berjalan sejauh 400 mil ke arah kairo. Kemudian, mereka disuruh mengerjakan proyek pengembangan benteng kota dan pembangun Citadel.

Maka, pada tahun 1182, Shalahuddin al ayyubi pun meninggalkan kairo untuk memerangi pasukan Perang Salib di Syria. Maka, saat ia menghembuskan napas terakhirnya di Damaskus, ia telah memerdekakan hampir semua tanah Palestina dari tangan tentara-tentara Inggris, Prancis, Burgundi, Sisilia dan Austria.

Dalam pertempuran melawan pasukan Perang Salib tersebut, Shalahuddin al ayyubi kerap mendapatkan bantuan dari orang-orang Kristen Timur yang juga menjadi korban dari ekspansi pasukan Perang Salib Eropa. Sehingga, umat Kristiani Koptik Mesir pun lebih memilih tunduk kepada Shalahuddin al ayyubi daripada Paus.

Tabel Kronoligi Shalahuddin al ayyubi

TAHUN

PERISTIWA

1096-1099

Perang Salib pertama pecah dan berujung pada pendudukan Jerusalem oleh umat Kristiani pada tahun 1099

1138

Shalahuddin Lahir

1144

Imaduddin Zengi menaklukkan Edesa dari tangan orang-orang Kristen

1146

Zengi terbunuh sehingga posisinya digantikan oleh putranya yang bernama Nuruddin

1147-1149

Perang Salib kedua pecah dan pasukan Kristen gagal menduduki Damaskus

1152

Shalahuddin al ayyubi muda mengikuti pendidikan di bawah pengawasan pamannya, Asaduddin syirkuh, di Aleppo

1154

Ayah Shalahuddin membuka jalan bagi karier politik putranya dengan meyakinkan Damaskus agar bersekutu dengan Nuruddin

1156

Pada usianya yang ke-18, Shalahuddin al ayyubi kembali berkumpul dengan ayahnya di Damaskus

1164-1168

Shalahuddin menemani Syirkuh ke Mesir, termasuk mempertahankan kota Alexandria dari serangan bangsa Frank

1169

Shalahuddin menjadi wazir di Mesir

1171

Khalifah Dinasti Fatimiyyah terakhir wafat, lalu Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Mesir

1174

Nuruddin mangkat, kemudian Shalahuddin segera menuju damaskus dan mengambil alih kekuasaan di Syria. Maka, Khalifah Dinasti Abbasiyyah di Baghdad memproklamirkan Shalahuddin sebagai Sultan Syria dan Mesir

1174-1186

Shalahuddin mengonsolidasikan kekuasaannya dalam serangkaian pertempuran melawan kota-kota yang memberontak antara lain Mosul dan Aleppo

1187

Shalahuddin menyerang Palestina dan mengalahkan pasukan Frank yang dipimpin oleh Guy of Lusignan dan Raymond of Tripoli dalam Pertempuran hattin. Lalu, ia melanjutkan kemenangan ini dengan menaklukkan Jerusalem

1188

Pasukan Shalahuddin  berhasil menduduki hampir semua titik penting di kawasan Palestina, kecuali Tripoli, Tyre dan Benteng Krak des Chevaliers

1188-1191

Serangan pasukan Kristen di bawah pimpinan Raja Inggris, Richard the Lionheart terhadap kota muslim, Acre merupakan kekalahan terhebat bagi Shalahuddin

1192

Richard dan Shalahuddin sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan berbagi kekuasaan di tanah Suci

1193

Shalahuddin wafat pada usia yang ke-55 tahun