Part 3 : Kisah Tiga Jenderal
Hingga
Maret 1966 situasi Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia belum aman. Masih
banyak tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang belum tertangkap oleh aparat
keamanan. Brigjen Sarwo Edhi Wibowo pun diperintah oleh Men/Pangad Letjen
Soeharto untuk memimpin operasi penumpasan terhadap PKI. Sedangkan, di Jawa
Timur dilancarkan Operasi Trisula di bawah pimpinan Kepala Staf Kodam VIII
Brawijaya Brigjen TNI Witarmin.
Pada
masa seperti itulah Supersemar lahir. Kisahnya terjadi ketika 11 Maret 1966,
Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M, Jusuf dan Brigjen Amirmachmud menemui
Presiden Soekrano di Istana Bogor dan kembali ke Jakarta dengan membawa surat
perintah untuk Letjen Soeharto. Sepintas mereka seolah-olah hanya kurir yang
membawa surat perintah tersebut. Namun, secara faktual, mereka berperan jauh
lebih besar karena penyerahan surat tersebut terjadi setelah melalui
perundingan yang cukup alot.
a.
Profil
Tiga Jenderal
Mengapa ketiga Jenderal
itu yang diutus ke Bogor? Mengapa bukan Wakli Men/Pangad Jenderal M.
Panggabean?
Jawabannya: ketiga
jenderal itu adalah orang-orang yang dekat dengan Bung Karno.
Presiden Soekarno
memercayai Basuki Rachmat seperti yang tampak dalam karier militer Basuki.
Selepas menjadi atase militer di Australia pada 1959, dia dipercaya untuk
menjabat Kepala Staf Penguasa Perang Tertinggi (Peperti) di bawah presiden.
Setelah itu, dia menjadi Panglima Kodam Brawijaya di Jawa Timur. Lalu, pada
Februari 1966 dia diangkat menjadi
Menteri Urusan Veteran dalam Kabinet Dwikora Yang Disempurnanakn sambil
merarangkap Rektor Universitas Bung Karno Cabang Surabaya.
Pada 27 September 1965,
terjadi demonstrasi yang dilakukan GOW (Gabungan Organisasi Wanita), termasuk
Gerwani, terhadap Gubernur Jawa Timur Kolonel Wiyono. Aksi menuntut penurunan
harga beras itu berlangsung ricuh. Dalam biografi Basuki Rachmat disebutkan
tujuan demonstrasi perempuan itu konon
kabarnya untuk menangkap gubernur, kemudia diarak keliling kota dan selanjutnya
dibunuh.
Pangdam Basuki Rachmat
tidak berada di tempat karena sedang melakukan latihan militer di luar kota.
Setelah kejadian tersebut, 30 September seusai shalat ashar, dia berangkat ke
Jakarta dengan pesawat Dakota. Pada malam pukul 20:00 tanggal 30 September
1965, dia melapor kepada Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani di kediamannya di
Jakarta. Kedatangannya tersebut untuk melaporkan perkembangan situasi politik
dan keamanan di Jawa Timur walaupun tidak diketahui secara rinci rekaman
pembicaraan mereka karena terjadi beberapa jam sebelum Yani tewas ditembak.
Pada 1 Oktober 1965,
dengan berpakaian preman, Basuki Rachmat bergabung ke markas Kostrad. Kecuali
satu kompi yang terlibat Gerakan 30 September, Batalyon 530 Raiders dari Jawa
Timur melalui Kolonel Sabirin Mochtar berhasil digiring Basuki Rachmat ke
markas Kostrad. Di sana mereka mendapat jatah makanan.
Basuki Rachmat baru
pulang ke Surabaya pada 4 Oktober 1965. Tidak dirinci apa saja yang dia
kerjakan selama 3 hari di Ibukota dalam suasana yang sangat genting tersebut.
Setelah itu, dia diangkat menjadi staf khusus Men/Pangad Letjen Soeharto.
Bagaimana dengan
Brigjen M. Jusuf?
M. Jusuf lahir di
Kayuaran, Bone Selatan, Sulawesi Selatan, pada 23 Juni 1928. Menurut Achadi,
mantan menteri era Presiden Soekarno, Jusuf ditugasi menjadi Rektor Universitas
Cabang Makassar dan Amirmachmud memimpin Universitas Bung Karno Cabang
Banjarmasin.
Brigjen M. Jusuf
kemudian menjadi Menteri Perindustrian Ringan sejak Juni 1965. Bahkan, Rosihan
Anwar dalam sebuah artikelnya pernah mengungkapkan upaya Presiden Soekarno
mengangkat M. Jusuf sebagai wakil perdana menteri keempat. Upaya sang presiden
ini ditentang Jenderal Ahmad Yani sehingga melahirkan apa yang disebutnya
sebagai “mosi tidak percaya” tentara terhadap presiden pada Agustus 1965.
M. Jusuf termasuk
anggota rombongan Indonesia yang pergi ke Beijing, Cina, menjelang Hari
Nasional Republik Rakyat Cina (RRC) pada 1 Oktober 1965. Acara peringatan itu berlangsung meriah. Beberapa jam kemudia,
dari pihak tuan rumah, mereka memperoleh informasi bahwa di Jakarta “terjadi
suatu gerakan untuk menyelamatkan Soekarno”. Secara naluriah, Jusuf memutuskan
pulang malam itu juga ke Indonesia.
Karena tidak ada jadwal
penerbangan saat itu, M. Jusuf berdua dengan rekannya naik kereta api secara
bersambung dari Beijing menuju Guangzhou yang berjarak lebih dari 2.000 km
selama dua hari satu malam, lalu menyeberang ke Hongkong. Dari Hongkong dengan
naik pesawat Garuda yang bertolak dari Tokyo, Jepang mereka sampai di Jakarta.
Walaupun kunjungannya
ke RRC sebagai anggota kabinet. Sesampai di Jakarta, M. Jusuf tidak melapor
kepada Presiden Soekarno. Dia justru langsung menemui Mayor Jenderal Soeharto.
Tanpa sempat berganti pakaian dari Bandara Kemayoran, dia langsung ke markas
Kostrad. Dia beralasan bahwa tindakannya itu karena pertama-tama dia adalah
anggota TNI.
M. Jusuf kemudian
langsung menyatakan kesediaannya mendukung tindakan yang diambil Mayjen
Soeharto. Pilhannya terseut ternyat tidak meleset. Dalam biografi Jusuf
disebutkan bahwa dia satu-satunya pejabat Indonesia yang berangkat ke RRC
menjelang 1 Oktober 1965 yang tidak diinterogasi aparat keamanan setelah pulang
ke Jakarta.
M. Jusuf kemudian
merangkap Menteri Perindustrian dalam kabinet Soeharto dan anggota Tim Bidang
Politik Mayjen Soehato. Pada masa Orde Baru, dia menjadi Menteri Pertahanan dan
keamanan sekaligus Panglima ABRI pada 1978-1983. Pada masa inilah dia menjadi
sangat populer di kalangan. Dia mengunjungi tamtama dan bintara di
pelosok-pelosk. Dia menegur sapa prajurit dan keluarganya dengan penuh kaasih,
sambil merehabilitas barak prajurit. Dia bahkan menerapkan gerakan ABRI Mauk
Desa (AMD) sehingga namanya sangat dikenal oleh masyarakat pedesaan lantaran
kebiasaannya melakukan inspeksi mendadak (sidak).
M. Jusuf adalah tokoh
militer yang memiliki integritas baik. Dia pernah memarahi di depan umum dan
memindahkan salah seorang petinggi ABRI yang terbukti membagikan ransum,
termasuk susu, bagi prajurit tidak sebagaimana mestinya. Lalu, ketika menjadi
Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 1983-1988, dia pernah menyatakan
ucapan yang terkenal, “Anggota BPK harus lebih bersih dari yang diperiksa.”
Pada saat itulah nama
M. Jusuf oleh sejumlah kalangan disebut-sebut sebagai saingan Presiden Soeharto
dalam hal popularitas di mata rakyat Indonesia. Sejumlah pihak bahkan
berspekulasi bahwa posisi Jusuf sebagai ketua BPK usai menjabat
Menhankam/Pangab adalah upaya Soeharto untuk “menyingkirkan” Jusuf. Dalam hal
ini Jusuf mengatakan, “Tidak benar itu. Saya dan Pak Harto saling menghormati
dan saya orang yang menjungjung tinggi kehormatan. Untuk menghormati diri
sendiri, bagi saya antara lain harus diwujudkan dengan menghormati orang lain,”
ujarnya.
M. Jusuf wafat dalam
usia 76 tahun pada 8 September 2004. Dia meninggal karena faktor usia. Fungsi
alat-alat tubuh pentingnya merosot drastis. Dia lalu dimakamkan di pemakaman
umum di Panaikang, Makassar, disamping makam putra satu-satunya, Jaury Jusuf.
Jenderal-jenderal yang
dibicarakan tersebut adalah perwira yang memiliki naluri kuat dan mampu
bertindak strategis. Jelas mereka dipercayai oleh Presiden Soekarno. Basuki
Rachmat dan M. Jusuf menjadi anggota kabinet. Tidak mungkin Amirmachmud menjadi
Pangdam di Ibukota bila dia tidak disukai oleh Soekarno. Walaupun kemudian
Amirmachmud pada 1968 selaku pangdam/Pepelrada Jaya pernah mengeluarkan surat
perintah agar semua dokter yang merawat Bung Karno berhubungan atau di bawah
koordinasi Mayor dr. Suroyo, seorang dokter umum, bukan ketua tim dokter
kepresidenan.
Musim berganti,
kepercayaan yang diberikan Bung Karno mereka alihkan kepada pemimpin baru,
Jenderal Soeharto. Mereka bergeser posisi pada saat yang tepat.
Jenderal Basuki Rachmat
adalah tokoh yang diangkat menjadi pahlawan nasional hanya berselang sehari
setelah meniggal pada 1969. Pengangkatan
itu menunjukkan eratnya persahabatan Soeharto dengan Basuki. Bahkan,
ketika meninggal dunia, Soeharto melayat dua kali dalam sehari ke rumahnya.
Soeharto “membayar”
jasa ketiga jenderal tersebut dengan jabatan yang lebih tinggi. Mula-mula
Basuki Rachmat dijadikan Menteri Dalam Negeri. Ketika Basuki Wafat, Amirmachmud
yang menggantikannya. Orang yang terakhir mendapatkan bonus istimewa adalah M.
Jusuf. Berbeda dengan Amirmachmud dan Basuki yang mendapat jabatan di luar
stuktur militer, Jusuf, yang sudah lebih lama menanggalkan pakaian dinas
militer, menduduki kursi Menteri Perindustrian selama 14 tahun, justu diangkat
memimpin ABRI.
M. Jusuf adalah sosok
yang nyaris tanpa cacat, kecuali terkesan tertutup, termasuk erannya dalam
peristiwa Supersemar. Dia dinilai sebagai seorang saksi sejarah yang pasa 1973
ingin memaparkan informasi yang disimpannya sejak alam. Dia juga dianggap
sebagai kunci bagi apa yang dipersepsikan banyak orang bahwa Supersemar adalah
kudeta yang dilakukan Soeharto terhadap Presiden Soekarno.
b.
Siapa
yang berinisiatif
Soal inisiator menjadi
penting untuk menjawab: benarkah Supersemar adalah aksi kudeta konstitusional
Soeharto terhadap kekuasaan Presiden Soekarno?
Pelaku utama terbitnya
Supersemar berjumlah 9 orang, yaitu Bung Karno, Soebandrio, Chaerul Saleh, J.
Leimena, Sabut, Soeharto dan trio utusan Soeharto, yaitu M. Jusuf, Amirmachmud
serta Basuki Rachmat. Kesembilan pelaku tersebut bisa dibagi ke dalam dua
kelompok, kubu Soekarno dan kubu Soeharto. Pelaku kubu Soekarno tidak pernah
memberi kesaksian karena mendapat banyak hambatan. Hingga awal 1970-an, mereka
sudah meninggal semua kecuali Soebandrio yang masih dikurung dalam tahanan.
Sedangkan dari kubu
Soeharto, setelah Basuki Rachmat berpulang, maka yang tersisa adalah Soeharto,
Amirmachmud, dan M. Jusuf. Namun dari mulut ketiga saksi kunci ini sering
terlontar kesaksian yang bertentangan.
Ketika memperingati 5
tahun Supersemar pada 1971 di Jakarta, Soeharto mengaku dialah yang sebenarnya
menjadi penggagas Supersemar. Mantan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono juga
mengatakan bahwa Soeharto tak terlibat dalam proses terbitnya Supersemar.
Inisiatif meminta surat itu kepada Presiden Soekarno, kata Moerdiono, muncul
dari tiga jenderal Angkatan Darat. “ Setahu saya itu inisiatif tiga jenderal.
Mengapa? Karena mereka spontan bercerita sama,” kata Moerdioo. “ Bukan atas
perintah Pak Harto.
Namun menurut
Amirmachmud, inisiator Supersemar adalah M.. Jusuf; sedangkan Basuki Rachmat
mengklaim dirinya sebagai inisiator. Kesaksian yang saling bertentangan ini
sekaligus menggugurkan pernyataan Soeharto dan Moerdiono. Basuki Rachmat, M.
Jusuf dan Amirmachmud tak pernah memberikan kisah dan kesaksian yang sama.
Bagaimanakah proses
berlangsungnya kepergian mereka menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor?
Setelah Sidang Kabinet
Dwikora Yang Disempurnakan dibubarkan, Menteri Urusan Veteran mayjen Basuki
rachmat dan Menteri Perindustrian Brigjn M. Jusuf berbincang-bincang di tangga
sebelah kanan Istana Merdeka bagian barat.
Brigjen M. Jusuf dan
Mayjen Basuki Rachmat berbincang-bincang serius pada saat menteri satu per satu
berjalan keluar dari Istana Merdeka. Menurut pengakuan Jusuf sebagaimana
ditulis Atmadji Sumarkidjo, mereka berdua sama sekali tidak tahu soal
pengerahan pasukan oleh Kepala Staf Kostrad Brigjen Kemal Idris, apalagi soal
memo Brigjen Sabur yang menyebut adanya “pasukan liar” karena tanpa memakai
identitas.
Jenderal Soeharto dan Brigjen M. Sabur
Tak lama kemudian,
Pangdam V/Jaya Brigjen Amirmachmud bergabung dengan mereka. Mereka bertiga
akhirnya sepakat untuk mendatangani rumah Men/Pangad Letjen Soeharto di jalan
Agus Salim 98 Jakarta. Ketiga jenderal itu melapor kepada Soeharto, yang tak
bisa hadir dalam sidang kabinet dengan alasan sakit, tentang apa yang terjadi
di istana Bogor menggunakan helikopter. Kemudian, mereka berangkat ke Bogor
untuk menyampaikan pesan Soeharto kepada Soekarno.
Pesan Letjen Soeharto
sangat gamblang: dia bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan
diberikan oleh Presiden. Seuai pengakuan M. Jusuf, sebagaimana dikutip A.
Pambudi, “Pak Harto bersedia memikul tanggung jawab apabila kewenangan
diberikan kepada beliau, untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik
berdasarkan Tritura.
Namun, menurut Kemal
Idris, dalam biografi maupun wawancaranya dengan tabloid Detak, Letjen Soeharto tidak sekedar menitip pesan, tetapi juga
menulis surat untuk Presiden Soekarno. Isi surat itu: “saya tidak akan
bertanggung jawab kalau saya tidak diberi kekuasaan untuk mengatasi keadaan
ini.”
Surat itu, menurut
Kemal Idris, akan diantarkan oleh Basuki Rachmat, sebagai orang kepercayaan
Soeharto. Akan tetapi, karena Basuki tak disenangi oleh Soekarno, dia ditemani
dua jenderal lain yang dekat dengan Soekarno, yaitu Amirmachmud dan M. Jusuf.
Sayangnya, pernyataan Kemal tentang surat Soeharto kepada Soekarno ini tidak
disebut-sebut oleh Amirmachmud, M. Jusuf, maupun Soeharto.
Lantas, apa kata
Soeharto perilah kejadian pada 11 Maret 1966 itu?
A. Pambudi mengutip
pernyataan Soeharto,
“Menteri
Veteran Mayjen Basuki Rachmat, Menteri Perindustrian Ringan Brigjen M. Jusuf
dan Pangdam V/Jaya Brigjen Amirmachmud datang di rumah saya, diajaln Agus
Salim. Dalam keadaan flu berat, batuk-batuk dan tidak bisa bicara keras, saya
terima mereka. Saya mengenakan piyama dan leher dibebat dengan kain angkin
milik saya.”
Soeharto juga bertutur:
“Sebelum
berangkat, ketiga jenderal itu minta izin saya dan bertanya apa pesan saya.
Saya jawab, ‘Sampaikan salam dan hormat saya kepada Bung Karno. Laporkan, saya
dalam keadaan sakit. Kalau saya diberi kepercayaan keadaan sekarang ini akan saya
atasi.’ Dengan pesan itu ketiga jenderal berangkat ke Bogor dan pada malamnya
mereka sudah datang kembali di rumah di Jalan Haji Agus Salim dengan
menyerahkan surat perintah dari Presiden Soekarno.’
Lantas, siapakah yang
berinisiatif menyusul Presiden Soekarno ke Bogor dan memintas surat perintah?
Menurut M. Jusuf, dia
dan dua jenderal lainnya ditugaskan oleh Letjen Soeharto. Namun, menurut versi
Soeharto, “kemudian ketiga Jenderal itu mengambil inisiatif untuk menyusul Bung
Karno ke Bogor dengan maksud menemui Bung Karno agar lebih tenteram dan
sekaligus menunjukkan kepada beliau bahwa Angkatan Darat tidak mengucilkannya.”
Akan tetapi, menurut
Brigjen M. Jusuf, pesan yang disampaikan kepada Bung Karno dari Pak Harto
adalah lebih spesifik, yaitu, “ bersedia memikul tanggung jawab apabila
kewenangan itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan
politik berdasarkan Tritura...”
Manakah yang benar?
Sebagai perbandingan,
mari kita lihat pengakuan Kemal Idris,
“kejadian di istana itu dilaporkan
ke Soeharto. Terus, Pak Harto tulis surat ke Soekarno bahwa dia tidak bisa
bertanggung jawab kalau Soekarno tidak memberikan kekuasaan kepada dia untuk
mengatasi keadaan. Soeharto menyuruh Basuki Rachmat membawa surat itu ke Istana
Bogor. Tapi, Basuki Rachmat itu bukanlah kawan atau orang yang disenangi
Soekarno. Basuki mengajak Andi Jusuf dengan Amirmachmud karena dua orang itu
dipercaya Soekarno.”
Kemal Idris bahkan
menolak anggapan bahwa waktu itu Letjen Soeharto sedang sakit. “ah...kata
siapa. Dia sehat walafiat. Saya kan datang ke rumahnya. Dia sehat,” ujarnya.
Namun demikian, Kemal
tidak menyebut surat dari Soeharto itu sebagai konsep surat perintah yang akan
diajukan kepada Presiden Soekarno. “Enggak, enggak, bukan konsep Supersemar.
Suratnya itu menyatakan, kalau Soeharto tidak diberikan kewenangan untuk
mengambil tindakan mengamankan keadaan di jakarta, dia enggak mau tanggung
jawab kalau keadaan kacau,” katanya.
Adanya dugaan bahwa
sebelum berangkat ke Bogor, ketiga jenderal utusan Letjen Soeharto itu
menyiapkan senjata. Dalam ceita versi Amirmachmud dikatakan bahwa M. Jusuf
mengusulkan agar mereka membawa senjata. Bahkan, Jusuf katanya mengusulkan agar
mereka membawa senjata otomatis sten gun.
Mengenai hal ini, Jusuf mengatakan bahwa dia tahu apa peraturannya jika
menghadap presiden. Dia mengaku mempunyai senjata, tetapi senjata itu disimpan
di rumahnya dan tak pernah dibawa-bawa.
c.
Negosiasi
di Paviliun Hartini
Menurut kesaksian
Mangil Martowidjojo ketiga jenderal utusan Letjen Soeharto tiba di Istana Bogor
dengan naik helikopter.
“Beberapa
saat kemudian, saya mendengar ada sebuah helikopter yang terbang di atas
halaman Istana Bogor dan kemudian mendarat di halaman. Saya amati dari pavilun
yang turun adalah Dr. Soebandrio dan Bapak Chaerul Saleh, masing-masing dengan
ajudannya. Tidak lama saya mendengar lagi ada helikopter yang akan mendarat di
halaman Istana Presiden di Bogor. Waktu itu menjelang sore, sekitar pukul
15:00. Saya amati dari depan paviliun yang turun dari helikopter adalah
Jenderal Basuki Rachmat, Menteri Veteran, Jenderal M. Jusuf, Menteri
Perindustrian dan Jenderal Amirmachmud, Panglima Kodam V Jaya. Beliau terus
menuju paviliun di mana saya telah siap untuk menerima beliau. Kemudian, saya
persilahkan beliau duduk di kursi yang memang untuk tamu di depan teras
paviliun saya.”
Kesaksian Mangil sesuai
dengan kesaksian Brigjen M. Jusuf yang mengaku bahwa dirinya bersama Brigjen
Amirmachmud dan Mayjen Basuki Rachmat tiba di Istana Bogor setelah para ajudan
dan pengawal Presiden Soekarno datang. Mereka terpaksa harus menunggu karena
saat itu sang presiden sedang tidur. “Barulah sekitar pukul 14:30 kami bertiga
dipanggil,” kata Jusuf. Ketiganya diterima Soekarno di paviliun Ny. Hartini
tinggal. Di sinilah terjadi dialog dan negosiasi yang melahirkan Supersemar.
Mangil mengaku bahwa
dia kemudian menghubungi Brigjen M. Sabur yang segera datang menemui 3 jenderal
tersebut. Setelah berbincang-bincang dengan mereka, Sabur terus menuju ke
paviliun. Presiden Soekarno. Di sana sang presiden sedang beristirahat.
Beberapa saat kemudian, Sabur datang lagi dan mempersilahkan para jenderal itu
datang ke paviliun presiden.
Kira-kira waktu maghrib
Sabur datang ke paviliun sementara Mangil dengan tergesa-gesa sambil membawa
kertas dan berkata kepada para anggota staf ajudan presiden bahwa dia
memerlukan mesin ketik dan kertas. “Gua mau bikin surat perintah ni,” kata
Sabur.
Mangil tidak
memerhatikan apa yang diketik Sabur. Mangil tetap duduk di kursi. Setelah Sabur
selesai mengetik, dia terburu-buru kembali ke paviliun presiden. Kata Mangil,
waktu itu Sabur kelihatan sangat bangga. Maklum, selain menjadi Ajudan Presiden
dan Komandan Pasukan Pengawal Presiden RI Resimen Cakrabirawa, Brigjen M. Sabur
adalah Sekretaris Militer Presiden.
Mangil berkata lagi,
“Sekitar pukul 20:00 ketiga jenderal itu meninggalkan paviliun Istana Bogor
kembali dengan mobil. Setelah itu, tidak ada kegiatan lagi/tidak ada tamu untuk
bapak Presiden Soekarno di Istana Bogor.
Mari kita
konfrontasikan kesaksian Mangil dengan kesaksian Letkol Ali Ebram, orang yang
mengaku mengetik naskah Supersemar.
Menurut Ebram, dirinya
tiba di Istana Bogor dari jakarta sesuai mengikuti jalannya Sidang Kabinet pada
11 Maret 1966. Tak lama kemudian, datanglah petugas dari pos jaga yang melapor,
“Pak, ini ada jenderal mau masuk.”
Ebram menjawab, “Ya
sudah, biarkan masuk.”
Dia lalu menemui dan
bertanya, “ Mau apa, pak?”
“Saya mau bertemu
Sabur.”
Lalu saya bilang,
“Harap lapor posko dulu!”
“Enggak perlu, saya mau
ketemu Sabur,” jawab Brigjen Amirmachmud.
“Ya sudah, silahkan
ketemu, itu rumahnya di belakang.”
Kata Ebram, ketiga
jenderal itu datang di Istana Bogor tanpa menggunakan helikopter, melainkan
naik mobil. “saya kok enggak ingat persis ya. Kalau enggak salah mereka dua
mobil. Tapi, datangnya bersamaan. Satu datang, lalu disusul di belakangnya.
Selisih waktunya tak jauh,” ujar Ebram.
Pengakuan Ebram ini
sesuai dengan kesaksian M. Jusuf, dan bertentangan dengan kisah yang diceritakan
Amirmachmud bahwa ketiga jenderal menggunakan helikopter ke Istana Bogor. Kata Jusuf, dirinya memegang
setir jip yang mereka kendarai bertiga.
Ketiga jenderal itu
lalu bertemu Brigjen Sabur. Kedatangan mereka segera dilaporkan oleh Sabur
kepada Presiden Soekarno. Tak lama kemudian, mereka dipersilahkan masuk
paviliun Ibu Hartini.
Tak lama kemudian,
Ebram dipanggil oleh Sabur.
“Kamu dipanggil Bapak,”
kata Sabur
Ebram mengaku ikut
masuk ke paviliun Ibu Hartini, tapi dia diam saja di sana. Pada saat itulah dia
mendengar salah satu jenderal berkata, “Pak, berikan perintah pada Soeharto
biar aman.”
Kata Ebram,
“Amirmachmud yang ngotot agar Bapak membuat surat untuk Soeharto.”
Pembicaraan berlangsung
cukup lama. Amirmachmud yang banyak bicara. “Sudah, bapak bikin saja! kata
Amirmachmud sambil berdiri, padahal Bung Karno hanya duduk dengan kepala
bersandar pada kursi.
Melihat sikap seperti
itu, Ebram marah. “Hee, yang sopan dong, Jenderal!”
Namun, kata ebram, “Eh,
saya justru dimarahi Bapak. Saya dijawil dan diajak masuk ke belakang. Pipi
saya ditempeleng. Kata Bapak, ‘kamu itu pembantuku, jangan ikut-ikut! Kamu diam
saja!”
Ebram mengaku saat itu
langsung terdiam. Dia kemudian keluar dari paviliun dan kembali ke pos jaga.
Dia masih marah, bukan kepada Presiden Soekarno karena ditempeleng, melainkan
marah melihat sikap Brigjen Amirmachmud. “Waktu melihat tingkah Amir itu, saya
sangat marah. Rasanya sudah ingin merogoh pistol saja. kalau tidak ada Bapak,
enggak tahu apa yang terjadi,” kata Ebram.
Menurut Amirmachmud,
jam menunjukkan 15:30 tatkala ketiga perwira ABRI itu diterima presiden di
Istana Bogor. Bung Karno baru saja bangun dari tidur siang. Dia hanya
mengenakan celana setengah lutut, berkaos oblong putih.
“Ada apa kamu kemari?”
tanyanya.
Basuki Rachmat selaku
juru bicara berdiri tegak menyampaikan maksud kedatangannya dan pesan dari
Letjen Soeharto.
“Jadi, bagaimana cara
mengatasinya?” kata Soekarno.
Ah, gampang saja, Pak.
Perintahkan saja kepada Pak Harto,” Amirmachmud menyahut dengan polos.
“Caranya? Caranya yang
saya tanyakan,” kata Soekarno dengan nada marah.
“Tunjuk saja kami
sebagai panitian,” sahut Amirmachmud.
Usai maghrib, semua
berkumpul di paviliun Istana Bogor, tempat tinggal Ny. Hartini, di depannya,
ketiga wakil perdana menteri dan di belakangnya ketiga jenderal dari Jakarta.
Brigjen Sabur menyerahkan kopi naskah surat perintah..
Menurut kesaksian
Amirmachmud, menjelang penandatanganan surat perintah, Brigjen M. Sabur berkata
kepada Presiden Soekarno, “Secara teknis administratif, Pak, ini tidak bisa
dipertanggungjawabkan karena permulaan kalimat pada halaman kedua tidak
tercantum pada bagian bawah halaman pertama.
Soekarno kaget, lalu
memandangi ketiga jenderal itu. Sebelum Bung Karno berkomentar, Amirmachmud
berkata, “Buat apa persoalan teknis-teknisan itu? Ini kan dalam revolusi. Kita
ini semua sudah menjadi saksi-saksinya!”
Setelah dibaca
berulang-ulang, tampaknya Bung Karno ragu. Dia tercenung sejenak hingga
Amirmachmud menyeletuk “Teken saja, Pak. Bismillahirrahmanirrahim.”
“Iya, Pak. Bismillah!”
dukung Hartini.
Amirmachmud
mengungkapkan peristiwa itu demikian,
“Naskah tersebut dibaca oleh Bung
Karno secara tekun dan tenang. Kemudian beliau bertanya, ‘Bagaimana ya, saya
tandatangani atau tidak? Berulang kali beliau menanyakan dengan kalimat sebagai
berikut, ‘Saya tandatangani atau tidak?’ Hal ini ditanyakan juga kepada anggota
Presidium. Mengingat bahwa dengan adanya keragu-raguan dari Bung Karno,
masalahnya bisa buyar kembali.”
M. Jusuf mengakui
adanya ketegangan dalam pembicaraan dengan Soekarno, antara pukul 14:30 –
17:30. Ketiga jenderal yang waktu itu dinilai cukup dekat dengan Soekarno
berani beradu argumentasi dengan sang presiden. Jusuf mengakui, apa yang
diperbincangkan adalah masalah yang menentukan bagi peralihan dari masa lama ke
masa baru.
Semua wakil perdana
menteri akhirnya setuju agar Presiden Soekarno menandatangani naskah itu.
Dengan mengucap “Bismillah”, Bung Karno menandatangani naskah itu. Maka,
lahirlah Surat Perintah 11 Maret 1966 pada hari Jumat sesudah Maghrib. Sesudah
maghrib merujuk pada pukul 18:30-19:00. Akan tetapi, menurut catatan . Jusuf,
Supersemar ditandatangani Bung Karno pada pukul 20:55. Setelah dilihat
sebentar, surat perintah itu lalu diserahkan oleh Bung Karno kepada Mayjen
Basuki Rachmat tanpa ada komentar sama sekali.
d.
Mereka
Kembali ke Jakarta
Dari Bogor, ketiga
jenderal itu kembali ke Jakarta dengan menggunakan mobil. Menurut M. Jusuf,
rombongan langsung menuju Letjen Soeharto di Jalan Agus Salim. Sebaliknya,
menurut Amirmachmud, mereka menuju markas Kostrad.
Di tengah perjalanan,
ketika rombongan tiba di Jembatan Satu Duit, Bogor, Amirmachmud meminjam surat
itu dari tangan Basuki Rachmat. Dengan bantuan lampu senter, dia membacanya
kata per kata, “Lho, Pak, ini ‘kan penyerahan kekuasan kepada Pak Harto?” kata
Amirmachmud sedikit berteriak.
M. Jusuf dan Basuki
menjawab, “Ya, ya, penyerahan kekuasaan.”
Ketika pada 12 Maret
1966 Letjen Soeharto membubarkan PKI dengan bekal Supersemar itu, Presiden
Soekarno pun marah mendengarnya. Untuk menyampaikan teguran keras, dia mengutus
Dr. J. Leimena menemui Soeharto sambil membawa surat penjelasan tentang
Supersemar. Surat lanjutan ini tertanggal 13 Maret 1966. Ketiga jenderal yang
menemui Bung Karno di Bogor pun disebut-sebut dipanggil kembali. Kata salah
seorang jenderal it, “Kita bertiga mendapat perintah untuk menghadap lagi
kepada Bung Karno di Bogor, Kita dimaki-maki,”
Pada waktu itu Bung
Karno berkata, “Kamu salah memberitahukan kepada Soeharto. Salah
menjelaskannya. Tidak ada tercantum pembubaran PKI di dalam instruksi itu.”
Teguran keras Presiden
ini diakui oleh Soeharto. Dalam suatu briefing pada 14 Maret 1966, Soeharto mengutip kata-kata
presiden Soekarno yang mengatakan, “saya perintahkan untuk kembali kepada
pelaksanaan surat perintah Presiden/Pangti/Mandataris/Pemimpin Besar Revolusi,
denga arti melaksanakan keputusan di luar bidang teknis.
0 Comments: