Pembantaian Massal di Desa Soca, Kec Bendo
Disamping
pembantaian di Batokan dan Rejosari (baca artikel sebelumnya), di Desa Soca,
Kecamatan Bendo, masuk wilayah Kawedanan Gorang Gareng, juga terdapat dua sumur
tempat pembantaian. Menurut berbagai sumber, di dalam sumur pertama terkubur
korban sebanyak 108 orang, namun yang teridentifikasi hanya 67 orang, sedang di sumur lainnya terkubur 30
orang, tetapi nama-nama mereka tidak teridentifikasi dalam daftar di monumen
sehingga tidak diketahui siapa saja yang dibantai dan dimasukkan dalam sumur
itu.
Lubang
pembantaian di sumur Soco mungkin tidak akan pernah terungkap andaikata seorang
anggota FDR/PKI tidak kesurupan dan mengigau. Saat itu peristiwa pembantaian
sudah berlewat sekitar 100 hari. Entah bagaimana ada anggota FDR/PKI yang ikut
melakukan pembunuhan di sumur Soco itu mengigau bahwa ia telah melakukan
pembantaian tersebut. Anggota FDR/PKI yang mengigau itu lalu diinterogasi oleh
petugas dengan intensif. Sekalipun letak lubang pembantaian di Soco telah ditemukan,
penggaliannya tidak dapat segera dilakukan karena pada tangga 19 Desember 1948
(atau tiga bulan setelah pemberontakan PKI di Madiun), pihak Belanda dengan
kekuatannya menghantam daerah-daerah Republik Indonesia dalam aksi militer yang
dikenal dengan sebutan Clash II.
Penggalian
sumur Soca baru terlaksana pada tahun 1950. Untuk penggalian sumur tersebut,
dikumpulkan 12 orang penggali yang dibagi dalam dua kelompok. Karjo Kuret (62
tahun) yang ketika itu menjadi penggali sumur Soco menyatakan bahwa penggalian
tersebut dilakukan dengan cara melandhak, yakni menggali lubang dari dua arah
menuju titik pusat sumur. Cara itu dilakukan agar mayat tidak rusak terkena
peralatan sehingga lebih mudh mengidentifikasi korban. Selain itu, Karjo Kuret
dan para penggali lainnya berpuasa terlebih dahulu sebelum melakukan
penggalian. Saran untuk berpuasa ini diberikan oleh Kiai Sukemi dari Tanjung.
Sang Kiai juga berpesan agar penggalian makam dilakukan dengan sangat hati-hati
agar tidak merusak jenazah.
Penggalian
lubang pembantaian itu sendiri berlangsung cukup lama. “Sumur itu sudah berisi
tanah biasa, tetapi bagian dalam ada lubang seperti gua. Di situlah mayat-mayat
itu bertumpuk,” kata Karjo Kuret mengisahkan pengalamannya. Menurut Karjo
Kuret, keadaan jenazah yang diangkat dan sumur itu mirip seperti tape ketela
pohon di mana ada daging dan kulit sedikit kering melekat di tulang-tulang. Hal
itu juga dibenarkan oleh Suto Kancil (77 tahun), salah satu anggota penggali
sumur, “Pada waktu jenazah para korbaan itu diangkat, tulang-tulang mereka
lepas semua,” ungkap Suto.
Karjo
Kuret menyatakan bahwa di lubang sumur Soco I dia menemmukan tidak kurang dari
78 jenazah. Sementara regu Karso Karimun yang menggali sumur Soco II menemukan
tak kurang dari 30 jenazah. Kedalaman kedua sumur itu rata-rata 12 meter. Untuk
mengenang para korban sekaligus untuk mengingatkan akan pengkhianatan PKI saat
negara RI masih belia, Pemerintah Daerah Magetan membangun sebuah monumen.
Peresmian monumen itu dihadiri Kharis Suhud, karena ayahnya juga dijagal dalam
lubang pembantaian di Soco ini.
Soco
yang terletak hanya beberapa ratus meter di sebelah selatan Lapangan Udara
Iswahyudi, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan, memiliki cerita sendiri dalam
peristiwa berdarah tahun 1948. Banyak tokoh dari wilayah itu ditangkap dan
dibunuh karena dianggap memusuhi FDR.PKI.
Sebenarnya
sebelum peristiwa pembunuhan tersebut, penduduk Soco sudah merasakan provokasi
PKI seperti yang dialami di kawasan Magetan lainnya. Ketika itu pencurian dan
perampokan berlangsung dengan semena-mena, namun yang menjadi korban bukan
orang-orang PKI. Kejadian di Soco itu mencapai puncaknya ketika pada akhir
tahun 1947, lurah Soco, Achmad Saikun, yang dikenal sebagai tokoh PNI diculik
oleh orang-orang yang tak dikenal.
Suminem
istri Lurah Achmad Saikun, bertutur bahwa pada sekitar pukul 03:00 dini hari,
orang-orang berpkaian serdadu menggedor rumahnya. Malam itu, orang-orang
tersebut diantar oleh Kebayan Soco. Kebayan Soco sendiri tidak berdaya karena
berada dalam todongan senjata mereka. Kemudian para tamu itu menangkap Achmad
Saikun, merampas harta bendanya, bahkan mereka mengancam akan menembak siapa
saja yang berteriak. Kalung, gelang dan cincin yang dipakai Suminem dirampas.
Orang-orang yang bertindak brutal itu sulit dikenali karena wajahnya ditutup
dengan kain merah. Malam itu juga, Lurah Achmad Saikun dibawa pergi. Paginya,
jenazah Achmad Saikun ditemukan di Desa Kidul Kinandang di sebuah gorong-gorong
di perbatasan Desa Soco.
Sebelum
pembantaian di Soco dan tempat-tempat lain, FDR/PKI terlebih dahulu melakukan
pembantaian di Desa Bangsri pada tanggal 20 September 1948. Desa Bangsri
merupakan tempat pertama di Magetan di mana PKI melakukan pembantaian, tepatnya
di tegalan ketela di Dukuh Dadapan, terhadap sekitar 10 orang. Mereka yang
dibantai di Bangsri kebanyakan adalah penduduk biasa. Dari Desa Bangsri FDR/PKI
meneruskan aksinya di Desa Selo Tinatah, yang oleh FDR/PKI dianggap menentang
atau merugikan mereka. Di desa ini, salah satu orang yang menjadi aksi tindakan
FDR/PKI adalah Camat Bendo. Namun, jauh sebelum itu keadaan Desa Selo Tinatah
sangat kacau akibat banyak perampokan, perampasan dan pencurian yang tidak
jarang diiringi dengan kekerasan.
Seorang
anggota tentara Depo Militer VII Magetan bernama Salam diminta penduduk untuk
meminta bantuan guna mengamankan Desa Selo Tinatah dan sekitarnya. Berkat
bantuan Salam, datanglah satu regu militer yang dipimpin oleh Pak Dullah.
Sayangnya, pasukan ini diserbu oang-orang PKI sehingga pasukan kembali ke Depo
Magetan. Orang-orang PKI terus melanjutkan aksi dengan menangkapi penduduk desa
serta merampas harta milik mereka. Ketika PKI melancarkan aksi di Madiun, para
tawanan ini pun dibunuh. Tercatat, beberapa nama yang diduga dibunuh oleh PKI
adalah Salam, Maulana, Sastra Ros, Sarmadi, Doblo, Sarpin, Ruslan, semuanya
dari Selo Tinatah. Satu-satunya korban yang lolos dari pembantaian di Dusun
Dadapan, Bangsri itu adalah KH. Rokhib dari kauman, Magetan.
Hanya satu kata untuk pki.. Biadab!! Sesama bangsa sendiri dibantai
ReplyDelete