Part 2 : Pasukan Liar Mengepung Istana Negara
Menjelang
Akhir 1965, operasi militer terhadap sisa-sisa Gerakan 30 September bisa
dikatakan sudah selesai. Hanya penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut
yang belum dilaksanakan oleh Presiden Soekarno: PKI belum dibubarkan.
Pada
saat yang sama, krisis ekonomi semakin parah. Laju inflasi mencapai 650 persen.
Pada 13 Desember 1965, pemerintah melakukan devaluasi, uang bernilai Rp1.000
turun menajdi Rp1. Sementara itu, harga-harga membubung. Akibatnya, demokrasi
merebak dimana-mana, termasuk yang dilakukan oleh mahasiswa dan pelajar yang
tergabung dalam KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPI (Kesatuan
Aksi Pelajar Indonesia).
Aksi-aksi
demontrasi terus berlangsung dan semakin meningkat. Demonstrasi besar-besaran
secara serempak melanda berbagai tempat. Suasana kacau-balau hiruk-pikuk, lalu
lintas macet, kegiatan produktif berhenti. Di Jakarta, selama 60 hari, dengan
dipelopori para mahasiswa Universitas Indonesia, seluruh jalanan Ibukota
dipenuhi demostran. Mereka menyampaikan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yaitu
bubarkan PKI, retool Kabinet Dwikora dan turunkan harga.
Presiden
Soekarno tetap pada pendiriannya sebagai presiden. Dalam pidatonya pada
Pelantikan Para Menteri Baru Kabinet Dwikora di Istana Merdeka, Jakarta, 24
Februari 1966, dia berkata,
“Barangkali, ada baiknya ini kali
saya tegaskan sekali lagi, salah anggapan seseorang atau golongan bahwa saya,
apalagi sebagai Pemimpin Besar Revolusi, tetapi juga sebagai persoon, bisa dan
mau dijungkrak-jungkrakkan, didorong-dorong, dituntut-tuntut. Dalam bahasa
Inggris, I know my job, I know my job!...
tidak perduli dari mana itu! Tidak dari PKI, tidak dari KAMI, malahan pernah
saya berkata, hier sta ik, di sini aku berdiri, inilah Bung Karno, inilah
Perdana Menteri, inillah Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, inilah
Pemimpin Besar Rovolusi! Saya tidak akan mundur setapak, tidak akan mundur,
kataku di Bogor tempo hari! Ini pimpinanku! Saya menghendaki agar supaya
pimpinanku itu diikuti jikalau memang aku ini masih diaggap Pemimpin Besar
Revolusi.”
Di
sisi lain, sejak terjadinya peristiwa G 30 S, muncul perbedaan pendapat antara
Presiden Soekarno dengan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto.
Perbedaan pendapat berfokus pada cara mengatasi krisis nasional yang semakin
memuncak setelah terjadinya G 30 S. Soeharto berpendapat bahwa pergolakan
rakyat tidak akan reda selama PKI tidak dibubarkan. Sedangkan, Soekarno
menyatakan bahwa dia tidak mungkin membubarkan PKI karena hal ini bertentangan
dengan doktrin Nasakom (nasionalisme, agama dan komunis)
Perbedaan
pendapat ini selalu muncul dalam pertemuan-pertemuan berikutnya di antara
keduanya. Setelah Soeharto mengangkat dirinya sebagai pimpinan Angkatan Darat,
memang muncul dualisme kebijakan di tingkat elit. Di satu pihak kebijakan
Presiden Soekarno dan pihak lain kebijakan Angkatan Darat via Soeharto.
Dalam
masalah ini Letkol Ali Ebram, orang yang mengaku mengetik naskah Supersemar,
berkata,
“Soeharto pernah
dipanggil Bung Karno. Itu setelah G 30 S, sebelum SP 11 Maret. Harto itu
dipanggil karena protes. Bung Karno ‘kan menunjuk Pranoto Reksosamudra jadi
caretaker. Saya yang disuruh memanggil di jalan Agus Salim. Soeharto datang.
Waktu itu di Istana Merdeka hanya ada 4 orang, Bapak, Bu Dewi, Mangil dan
Soeharto. Saya sendiri, yang waktu itu tidak dinas, berdiri agak jauh. Begitu
menghadap Bung Karno bilang, “To, kamu masih keras kepala ya? Masih dagang?
Jangan terlalu keras kepala!.” Dimarahi dia. Bung Karno lalu bilang, “To saya
sudah lelah jadi presiden. Kamu yang jadi presiden ya! Harto langsung melesot
di lantai, di kaki Bung Karno, “jangan, Pak jangan.” Bung karno itu menguji
Soeharto.”
Peristiwa
lahirnya Supersemar dan rangkaian kejadian sesudahnya merupakan bagian dari
pertikaian politik di antara Presiden Soekarno dan Letjen Soeharto. Puncak
pertikaian itu terjadi pada 11 Maret 1966 ketika dilangsungkan Sidang Kabinet
Dwikora Yang Disempurnakan. Sidang diboikot, para mahasiswa melakukan
pengempesan ban mobil di jalan-jalan menuju ke istana.
Namun
demikian, upaya penekanan terhadap Soekarno sudah berlangsung sejak sebelumnya.
Pada 9 Maret 1966 malam, Hasjim Ning dan M. Dasaad diminta oleh Asisten VII
Men/ Pangad Mayjen Alamsjah Ratu Perwiranegara untuk membujuk Presiden Soekarno
agar menyerahkan kekuasaan kepada Letjen Soeharto. Pada malam itu juga,
keduanya mendapat surat perintah yang ditandatangani oleh Soeharto yang
menyatakan bahwa mereka adalah penghubung antara Presiden Soekarno dan
Men/Pangad Letjen Soeharto.
Hasjim
Ning dan M. Dasaad berhasil bertemu dengan Presiden Soekarno pada 10 Maret 1966
di Istana Bogor. Hasjim Ning menyampaikan pesan tersebut, tetapi Bung Karno
menolak. Dengan amarah, Bung Karno berkata, “kamu juga sudah pro Soeharto.”
Benarkah
tekanan sudah dilakukan oleh kelompok Letjen Soeharto sebelum 11 Maret 1966?
Untuk
membaca kemungkinannya, mari kita lihat pengakuan frans Seda dimuat dalam
majalah Tempo edisi 15 Maret 1986:
“Malamnya (10
Maret), saya bertemu dengan Ali Murtopu. Kami membicarakan soal instruksi
presiden kepada para panglima lalu soal pengebirian parpol dan Barisan
Soekarno. Akhirnya, Soeharto mengatur strategi, bahwa untuk menghadapi sidang
kabinet 11 Maret mesti ada gerakan. Soeharto memutuskan agar ada demonstrasi
mahasiswa dan untuk melindungi para mahasiswa itu, perlu didukung pasukan tanpa
tanda pangkat dan sombol lainnya. Menurut pak Harto waktu itu, pasukan itu akan
membuat panik presiden dan menteri-menterinnya. Karenanya Soeharto tak perlu
hadir pada sidang kabinet itu. Nyatanya yang tidak hadir Cuma Men/Pangad Letjen
Soeharto dan saya sebagai menteri perkebunan dan benar, sidang Kabinet 11 Maret
itu kacau, serta berakhir, karena presiden meninggalkan istana menuju Bogor.”
Pengakuan
Frans Seda itu sejalan dengan pengakuan Kepala Staf Kostrad Mayjen Kemal Idris.
Pada 9 Maret 1969, Wakil Men/Pangad Jenderal Panggabean, Jenderal Sumitro,
Musrsyid, Menteri Pertanian Soetjipto, kepala Logistik Angkatan Darat Hartono,
Jenderal Umar Wirahadikusumah dan Mayjen Kemal Idris mengadakan rapat khusus di
markas Kostrad. Mereka membicarakan tentang Pangdam V/Jaya Brigjen Amirmachmud
yang kurang responsif karena menghalangi gerakan mahasiswa.
“Panggil
saja Amirmachmud itu,” ujar Kemal Idris.
Kemudian,
Amirmachmud datang. Dia lalu menjelaskan keberatannya. “Saya tidak setuju
penempatan pasukan tanpa inisial mengepung istana. Saya tahu RPKAD. Kalau Bung
Karno bertanya, bagaimana saya harus menjawab,” kata Amirmachmud.
“Amir,
jangan takut, kalau saya jadi presiden, setiap detik kamu bisa datang,” ujar
Kemal berkelakar.
Menurut
Kemal, mungkin Amirmachmud takut dicopot atau ingin mengetahui apa yang ada
dalam pikiran Bung Karno. Amirmachmud takut Bung Karno tidak percaya lagi
kepadanya, padahal kalau dia selalu dekat dengan Bung Karno, dia bakal mendapat
informasi-informasi yang berguna untuk Angkatan Darat.
Ketika
pertemuan sedang berlangsung, Kemal Idris keluar ruangan menemui stafnya untuk
memberi informasi tentang masalah yang sedang dibicarakan. Namun, dia kaget
begitu kembali ke ruangan karena acara telah selesai. Da lalu mengantarkan para
tamu peserta pertemuan itu sampai ke depan pintu. Dia segera kembali ke ruangan
bersama Umar Wirahadikusumah dan menanyakan keputusan rapat.
“Kamu
harus menarik semua pasukan yang ditempatkan di sekeliling istana,” Jelas Umar.
“Kenapa
begitu,” Kemal kaget mendengarnya.
“itu
kehendak Amir.”
“Tidak
bisa,” jawab Kemal tegas. “Dengan alasan apa menarik pasukan itu kembali? Itu
adalah perintah saya sebagai pimpinan. Jika itu saya lakukan, bagaimana
pandangan anak buah atas kepemimpinan saya? Pimpinan saja bisa dengan mudah
mengubah ketetapan, bagaimana anak buah.”
Pada
waktu itu Umar Wirahadikusumah adalah komandan seluruh pasukan, Amirmachmud
mengurus teritorial dan Kemal Idris mengurus pasukan. Umar memerintahkan untuk
menarik kembali pasukan atas perintah M. Panggabean. Namun, Kemal tetap menolak
hingga Umar pun marah.
“Kamu
jangan jadi avonturir. Saya akan lapor ke Pak Harto. Kamu atau saya yang
keluar,” kata Umar dengan nada emosi.
“Silahkan,”
jawab Kemal.
“Umar,”
kata Kemal setelah marahnya reda. “kalau something
goes wrong, saya yang digantung. Bukan kamu, dengan izin saya kamu bisa
bilang he is insubordinate.”
“oke,”
jawab Umar.
Membaca
cerita ini jelas sekali Amirmachmud tak berdaya berhadapan dengan Kemal Idris.
Umar wirahadikusumah yang bertindak atas nama M. Panggabean pun menyerah. Jadi,
Kemal Idris adalah sosok yang memegang peranan penting dalam menempatkan
pasukan yang mengepung Istana Negara pada 11 Maret 1966.
Bagaimana
kisah 11 Maret 1966 itu berlangsung?
Menjelang
berlangsungnya Sidang Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan, Men/Pangad Letjen
Soeharto tidak tampak hadir. Dia dikabarkan sedang sakit. Pada waktu itu juga
tersebar desas-desus bahwa Jenderal Soeharto akan dicopot dan banyak perwira
tinggi akan diajukan ke Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub).
Pertanyaannya,
apakah Soehrato waktu itu memang sakit? Soeharto dalam biografinya seperti
dikutip A. Pambudi berkata,
“Saya ingat minggu-minggu itu
penuh dengan pertemuan dan pembicaraan hangat. Udara politik masih tetap panas
dan meresahkan. Tanggal 10 Maret, pukul 02:00 dinihari, pimpinan mahasiswa saya
undang ke Kostrad. Saya bicara dengan mereka. Pada kesempatan itu hadir dan
bicara pula Subchan ZE. Kerja berat terus-menerus sampai larut malam seperti
itu menyebabkan saya sakit tenggorokan sehingga saya tidak bisa hadir pada
sidang kabinet di istana tanggal 11 Maret pagi-pagi.”
Namun,
ihwal sakitnya Soeharto itu dibantah oleh Soebandrio. Menurutnya, Soeharto
tidak sakit karena pada sore harinya memimpin rapat di markas Kostrad. Alasan
sakit yang dikemukakan Soeharto, kata Soebandrio, adalah cara untuk
menghindarkan diri dari penugasan oleh Presiden Soekarno agar Soeharto
menghadapi demontrasi mahasiswa dan pasukan liar yang ada di depan Istana
Merdeka. Padahal, mahasiswa dan tentara ini adalah bagian dari skenario
Soeharto.
Ihwal
ketidakhadiran Soeharto nyatanya berhubungan dengan rangkaian peristiwa
berikutnya yang terjadi pada hari itu.
Menurut
Amirmachmud, pagi-pagi sekali pada 11 Maret 1966, selaku Panglima Kodam V/Jaya,
dia mendapat telepon dari Ajudan Senior Presiden Brigjen Sabur dari Istana
Bogor yang menanyakan apakah rencana sidang kabinet bisa diteruskan atau tidak.
Amirmachmud menjawab bahwa keamanan dapat dikendalikan dan sidang kabinet dapat
dilangsungkan.
Atas
jaminan dari Pangdam V/Jaya itulah Presiden Soekarno beserta anggota-anggota
Presidium Kabinet tiba di Jakarta dengan menggunakan helikopter. Soekarno tiba
sekitar pukul 09:00 pagi naik helikopter diiringi oleh para wakil perdana
menteri, yaitu Soebandrio, J. Leimena dan Chaerul Saleh. Mereka lalu duduk di
beranda belakang istana sambil menunggu protokol istana mempersiapkan semua
yang hadir.
Begitu
protokol memberi tahu bahwa semua menteri telah hadir, Presiden Soekarno dan
ketiga wakil perdana menteri berjalan ke ruang depan istana. Amirmachmud
kemudian pamit hendak melakukan tugasnya mengawasi situasi keamanan di luar
istana tapi oleh Soekarno diminta untuk hadir dalam rapat. Sempat terjadi
dialog antara Presiden Soekarno dan Brigjen Amirmachmud.
“Mir,
bagaimana situasi keamanan, Jij (Anda) punya tanggung jawab?” tanya Bung Karno
begiru menginjakkan kakinya di istana.
“laporan
: keamanan baik, Situasi dapat dikendalikan. Tidak terjadi apapun!’ jawab
Amirmachmud dengan sikap militer,
Yang
kemudian diteruskan, “Permisi, Pak. Saya akan mengamati situasi di luar
istana.”
“Nee,
Jangan, Jij harus ikut masuk,” kata Soekarno.
“ah,
tidak pak. Saya bukan menteri,” tolak Amirmachmud malu-malu.
Akhirnya,
Amir mengikuti jalannya Sidang Kabinet. Justru dengan keikutsertaannya itu
pula, dia kemudian memberi kesaksian,
“Sesudah
sidang kabinet berjalan kurang lebih 10 menit, saya menerima nota pertama dari
Sabur (pada waktu itu Bung Karno sedang bicara) yang intinya meminta saya agar
keluar sebentar, karena di luar ada pasukan liar. Saya memberi kode kepada
Sabur dengan menggoyangkan tangan yang artinya tidak akan terjadi apa-apa.”
Rupanya,
Brigjen Sabur sebagai Komandan Resimen Cakrabirawa tidak puas. Sekitar 5 menit
kemudian, dia mengirim nota lagi kepada Brigjen Amirmachmud yang isinya sama,
tapi dengan disertai kata-kata sangat. Amirmachmud tetap tidak bersedia keluar
dari ruang sidang. Brigjen Sabur tidak sabar atau malah terlalu takut dan
karena tak mau ambil risiko dia menyampaikan sebuah nota langsung kepada
Presiden Soekarno.
Bagaimana
Amirmachmud menyikapi reaksi Sabur yang berlebihan itu?
Menurut
seorang mantan menteri yang turut hadir dalam Sidang Kabinet, Amirmachmud
datang menghampiri dirinya. Menteri Penerangan Achmadi dan Menteri Pertahanan
Keamanan Sarbini. Amirmachmud lantas duduk dan mengomel. Dia berkata, “pak,
saya protes. Sabur itu tidak berhak tentang keamanan di Jakarta. Kalau dia
melapor keamanan istana boleh, lapor ke presiden bahwa Jakarta tidak aman dan meminta
Bung Karno meninggalkan istana, saya tidak setuju.’
Sarbini
kemudian bertanya sebaiknya bagaimana. Amirmachmud usul, nanti sore dia akan
menghadap presiden untuk menerangkan situasi itu. Kata sang mantan menteri,
“Kepada Pak Sarbini, Amirmachmud memohon agar Pak Soeharto sebagai Men/Pangad
dan Kaskoti (Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi) diikutkan dalam mengamankan
Ibukota. Pak Sarbini setuju. Nah, dari usul Amirmachmud itulah Supersemar
sebenarnya lahir.”
Setelah
berbicara dengan Dr. Soebandrio, Presiden Soekarno lalu menskors sidang dan
menyerahkan pimpinan sidang pada Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimana.
Soekarno berkata kepada Leimana, “Saya serahkan pimpinan ke you.”
Soekarno
lalu berdiri langsung berjalan ke luar ruangan, disusul Soebandrio dan Chaerul
Saleh. Sejarah akhirnya mencatat: itulah sidang kabinet terakhir yang dipimpin
oleh Presiden Soekarno.
Pengakuan
menarik muncul dari Letkol Ali Ebram. Dia berkata,
“Bung Karno
mendadak meninggalkan istana karena ada pasukan liar yang menyerbu. Bung Karno
memutuskan untuk terbang ke Istana Bogor. Ketika mesin heli mulai menderu, saya
segera menyusul berangkat ke Bogor
dengan menggunakan mobil. Sebenarnya (pasukan itu) bukan liar, hanya
mereka tak pakai tanda-tanda pengenal. Tapi, banyak yang tahu itu pasukan
kostrad.
Kemal Idris tahu
benar. Maka ketika bertemu, saya bilang, “Hai Jenderal, anda kok pakaiannya
baru sekarang?” dia marah-marah dengan saya, ‘kamu dodol, nek ngomong nyakiti
ati.’
“Lho pakaiannya
baru kok sakit,’ saya bilang begitu.
‘Ya, ngerti aku
maksudmu,’katanya.”
Dalam
kesaksian Mangil Martowidjojo, kepergian Presiden Soekarno itu berlangsung
demikian,
“Waktu sidang kabinet tersebut
berlangsung, Istana Negara dikepung oleh pasukan Para Komando. Sidang Kabinet
hanya berlangsung kurang lebih 10 menit kemudian Presiden Soekarno bersama dua
pembantu dekatnya bergegas ke Bogor dengan helikopter.”
Mangil
berkata lagi,
“Dari Istana
Negara Bapak Presiden Soekarno berjalan kaki menuju ke Istana Merdeka, lalu
terus ke helikopter disertai oleh Jenderal Amirmachmud dan saya sendiri. Di
dalam perjalanan di dekat koepel (sekolah taman kanak-kanak Istana Presiden),
antara Istana Negara dan Istana Merdeka, Bapak Presiden Soekarno bertanya
kepada Jenderal Amirmachmud “Mir, ada apa lagi ini?” dan dijawab oleh
Amirmachmud, “Ini tentara liar tidak banyak, hanya kira-kira 50 orang,
sebaiknya Bapak pergi ke Istana Bogor saja.”
Lanjut
Mangil,
“Melihat banyaknya
pasukan atau tentara yang dikatakan liar itu, Bapak Presiden tenang-tenang
saja. Menurut perkiraan Jenderal M. Sabur, tentara yang dikatakan liar itu
jumlahnya cukup banyak, tidak kurang dari satu batalion dan waktu helikopter
terbang ke atas, kelihatan sekali banyaknya tentara yang dikatakan liar itu
dari dalam helikopter.”
Pengerahan
tentara liar itu ternyata berkaitan dengan rapat Staf Umum Angkatan Darat
(SUAD) yang diselenggarakan beberapa hari menjelang Sidang Kabinet. Menurut
Jenderal Soemitro, pada 4 Maret 1966, Men/Pangad Letjen Soeharto meminta izin
kepada Presiden Soekarno untuk menangkap sejumlah menteri yang dinilainya
terlibat Gerakan 30 September. Akan tetapi, Soekarno menolak permintaan
Soeharto. Karena penolakan itu, Soeharto dalam rapat SUAD memutuskan untuk
memisahkan Soekarno dari “durna-durna”-nya, seperti soebandrio. Menurut Soemitro,
perintah itu akan dilaksanakan pada saat dilangsungkan sidang kabinet di Istana
Merdeka, 11 Maret 1966. Penangkapan para “durna” akan dilakukan oleh Resimen
Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Sejak beberapa bulan sebelumnya, para
petinggi Angkatan Darat memang dibuat gerah oleh ulah Soebandrio yang
mengisukan adanya Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.
Menurut
Kemal Idris,
“Menjelang 11 Maret adalah hari
tegang bagi Kostrad dan RPKAD. Hari-hari itu adalah hari-hari konsinyiring.
Salah satu tugas kami itu ialah melaksanakan perintah Pak Harto untuk menangkap
Dr. Soebandrio hidup-hidup. Perintah itu kami laksanakan bersama Kolonel Sarwo
Edhie, komandan RPKAD, yang juga menjadi wakil saya dalam memegang semua
pasukan Angkatan Darat yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Yang diketahui
oleh banyak orang mengenai “pasukan liar” itu adalah bahwa ada di sekitar
istana pada tanggal 11 Maret 19966, padahal beberapa hari sebelumnya mereka
sudah ada di sana. Itu tadi, untuk menangkap Soebandrio. Selain itu juga untuk
melindungi para mahasiswa yang berdemonstrasi.”
Bandingkan
dengan pengakuan Komandan RPKAD Sarwo Edhie Wibowo,
“Sebagai ABRI, jelas kami tak bisa
ikut demonstrasi meski tuntutan mahasiswa itu kita rasakan juga sebagai
kebenaran. Lalu ABRI harus berbuat apa? Akhirnya kami mengambil jalan tengah,
ialah yang paling bijaksana. Kami putuskan untuk mengamati pasukan-pasukan yang
menjaga istana, agar mereka tidak seenaknya menembaki para pelajar dan
mahasiswa yang berdemonstrasi. Caranya kami memperlihatkan diri di situ tanpa
tanda pangkat, tanpa tanda pengenal kesatuan dan senjata yang dibawa tidak
diacungkan, tapi dihadapkan ke bawah. Sekedar jalan-jalan di sekitar istana.
Perintahnya: jangan terlalu dekat agar tidak memancing insiden, tapi cukup dekat
supaya bisa menjadi semacam warning agar pihak sana tidak sembarangan main
tembak kepada rakyat. Ini hasil persetujuan antara RPKAD dan Kastaf Rostrad,
Kemal Idris.
Menurut
Sarwo Edhi, Pada 11 Maret 1966, pasukan itu, sesuai dengan instruksi, bergerak
di sekitar istana. Berita tentang adanya pasukan itu sampai ke istana lewat
seorang perwira Cakrabirawa yang mengenal seorang perwira RPKAD yang berada di
sekitar RRI Merdeka Barat. Perwira Cakra ini kenal perwira RPKAD yang tidak
memakai tanda-tanda itu.
“Lho,
kok kalian di sini?”
“Tugas,”
jawab perwira RKAD.
Ketika
ditanya tugasnya, sang perwira RPKAD menyuruh orang Cakra itu untuk bertanya
kepada komandan si perwira RPKAD. Namun, orang Cakra itu tidak bertanya kepada
komandan RPKAD, tetapi melapor ke istana.
Namun,
semula rencana tidak berjalan lancar sebagaimana yang mereka inginkan. Dalam
hal ini, kita bisa mengikuti kesaksian Kemal Idris yang mengaku bahwa pada 10
Maret 1966 dia datangi oleh Jenderal M. Panggabean di Kostrad. Mereka lalu
berbincang membicarakan keadaan. Waktu itu Kemal mengatakan, “Pak Panggabean
ada baiknya memanggil Amirmachmud. Dia tak ikut main seperti kehendak kita.
Ternyata dia tidak mau. Takut kehilangan kontak dengan Soekarno.”
Kemal
Idris juga mengatakan,
“Amir juga menuduh
saya mengepung istana dengan pasukan tanpa identitas. Saya mengepung istana itu
karena perintah dari Soeharto. Untuk menangkap Soebandrio yang sedang di
istana. Umar Wirahadikusumah juga meminta saya menarik pasukan yang mengepung
istana. Saya bilang, “Tidak mau, karena perintah keluar perintah ditarik,
perintah keluar perintah ditarik.” Bagaimana anggapan bawahan kepada kita
berdua. Leadership kita ke mana?”
Lanjutnya,
“Bayangkan kalau
saya tarik kembali perintah itu, apakah akan terjadi 11 Maret? Secara tak
langsung saya juga punya peran. Bukan hanya 3 jenderal atau Soeharto saja.
Kalau saya menarik pasukan, apa Bung Karno akan lari ke Bogor? Apakah Soeharto
akan menulis surat kepada Soekarno? Apakah Supersemar akan keluar? Apa Soeharto
bisa berkuasa? Barangkali kan enggak. Barangkali saja Soeharto sekarang masih
hidup.
Demikianlah,
laporan tentang munculnya “pasukan liar” telah mengguncangkan Presiden
Soekarno. Dia sepertinya menduga bahwa pasukan itu dikerahkan oleh pihak
Angkatan Darat yang menentangnya. Tampaknya, jaminan keamanan dari Brigjen
Amirmachmud tak sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Mengapa
hal itu terjadi? Apakah Amirmachmud menipu Soekarno atau justru karena
Amirmachmud menipu Soekarno atau justru karena Amirmachmud tak berdaya
menghadapi tekanan Kemal Idris?
Sesuai
pengakuan Frans Seda, Sarwo Edhie Wibowo dan Kemal Idris, tujuan mengepung
istana, melalui disusupkannya anggota RPKAD dan Kostrad dalam demonstrasi
pemuda dan mahasiswa, adalah untuk mengacaukan Sidang Kabinet dan kemudian
menangkap Dr. Soebandrio. Mereka akan memanfaatkan situasi kacau itu untuk
melancarkan jalan sesuai skenario yang sudah disusun, yaitu mengarahkan agar
Presiden Soekarno menyerahkan kekuasaan kepada Letjen Soeharto. Artinya,
pengepungan istana pada 11 Maret 1966 oleh pasukan liar sangat berkaitan dengan
rencana untuk lahirnya Supersemar.
Dalam
hal inilah Supersemar bisa dipahami sebagai surat perintah yang lahir bukan
atas kemauan atau prakarsa Presiden Soekarno. Surat itu diberikan di bawah
tekanan, seperti terlihat dari rangkaian peristiwa di atas.
Sebetulnya,
banyak faktor yang terjadi sebelum 11 Maret 1966 yang semuanya menjadikan
semacam “tekanan” terhadap Presiden Soekarno. Puncak dari tekanan itu
datang dari Mayjen Basuki Rachmat,
Brigjen Amirmachmud dan Brigjen M. Jusuf yang menemui Presiden Soekarno di
Istana Bogor. Bila tidak ada demonstrasi dari mahasiswa dan pasukan tak
dikenal yang mengepung Istana Negara, mungkin saja Supersemar belum atau tidak
akan terjadi.
0 Comments: