Part 1 : Kontroversi Supersemar
Istana Negara, jakarta,
1988.
Sejumlah
pejabat tinggi, termasuk Presiden Soeharto, serta bekas aktivis Angkatan 66,
tertawa riuh. Saat itu mereka sedang bersama-sama menyaksikan pemutaran film
Djakarta 1966. Acara yang berlangsung santai itu diawali dengan penuturan
Presiden Soeharto mengenai peristiwa sekitar kebangkitan Orde Baru.
“Runtuhnya
rezim Orde Lama terjadi melalui mekanisme yang konstitusional,” tutur Soeharto.
“MPRS ketika itu memang mencabut kepercayaannya terhadap mendiang Bung Karno.
Jadi, Bung Karno jatuh sama sekali bukan oleh kup militer terselubung yang
dilakukan TNI.”
Lahirnya
Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), tutur Soeharto adalah keputusan
politik untuk mengatasi keadaan yang serba tak menentu. Konflik pun terjadi.
Kekuatan PKI berhadapan dengan kekuasaan non-PKI. Kekuatan-kekuatan yang ada
itu saling curiga, culik-menculik. Sementara itu, keadaan kian memburuk karena
tak ada tindakan tegas untuk meredam sumber konflik.
Situasi
tak nyaman tersebut mendorong mahasiswa turun ke jalan, lewat aksi Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang disusul aksi serupa oleh pelajar dan
kelompok lain anti PKI. Buntutnya, lahir Tri Tuntutan Rakyat (Tritura), yang
menghendaki pembubaran PKI, pembubaran kabinet dan penurunan harga. “Tritura,”
kata Soeharto, “menggema di seluruh Tanah Air dan mendapatkan dukungan rakyat.”
Dalam
situasi demikian, Supersemar lahir dan digunakan untuk mengatasi keadaan,
antara lain dengan membubarkan PKI. Akan tetapi, “Di sinilah ada penilaian
seolah-olah keluarnya Supersemar itu karena kekuatan senjata, dengan ujung
bayonet di belakangnya, seolah Bung Karno dipaksa menandatanganinya. Tuduhan
itu sesungguhnya tidak benar,” ujar Soeharto.
Soeharto
juga menuturkan bahwa berbekal Supersemar itulah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan
Ketertiban mengambil tindakan tegas terhadap menterimenteri yang terlibat dalam
aksi G 30 S. Hal ini yang mendorong Bung Karno melakukan reshuffle kabinet.
Namun, “Ada penilaian seolah-olah Supersemar itu digunakan untuk membubarkan
kabinet. Padahal, sebetulnya tidak demikian,” tutur Soeharto.
Soeharto Akhirnya Behasil Menjadi Presiden
Demikianlah
antara lain pernyataan Soeharto tentang Supersemar, surat perintah yang
ditandatangani oleh Presiden RI Soekarno pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi
perintah yang menginstruksikan agar Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen
Soeharto mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengatasi situasi
keamanan yang buruk pada saat itu.
Menurut
versi resmi, awalnya keluarnya Supersemar terjadi ketika pada 11 Maret 1966
Presiden Soekarno mengadakan Sidang Pelantikan Kabinet Dwikora Yang
Disempurnakan. Pada saat sidang dimulai, Ajudan Presiden Brigjen M. Sabur
melaporkan adanya “pasukan liar” atau “pasukan tak dikenal” yang berada di
sekitar Istana Merdeka, jakarta, tempat berlangsungnya Sidang Kabinet.
Berdasarkan
laporan, Presiden Soekarno meninggalkan Istana Negara dan menuju Istana Bogor
dengan menggunakan helikopter. Tak lama berselang, Wakil Perdana Menteri I Dr.
Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh menyusul, juga dengan
menumpang helikopter. Sidang Kabinet sempat dilanjutkan, namun akhirnya ditutup
oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang kemudian menyusul ke Bogor.
Chaerul Saleh
Situasi
tersebut kemudian dilaporkan oleh Menteri Veteran Brigjen M. Jusuf, Panglima
Kodam V/Jaya Brigjen Amirmachmud, dan Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen
Soeharto yang saat itu memang tidak menghadiri Sidang Kabinet karena sakit.
Soeharto lantas mengutus ketiga perwira tinggi Angkatan Darat itu untuk menemui
Presiden Soekarno di Istana Bogor.
M. Jusuf
Setibanya
di Istana Bogor, terjadi pembicaraan antara tiga perwira tinggi itu dengan
Presiden Soekarno mengenai situasi yang terjadi. Ketiga perwira tersebut
menyatakan bahwa Letjen Soeharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan
keamanan bila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan kewenangan
kepadanya untuk mengambil tindakan. Presiden lantas setuju dan membuat surat
perintah yang ditujukan kepada Letjen Soeharto agar mengambil tindakan yang
dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.
Brigjen Amirmachmud
Surat
perintah tersebut tiba di Jakarta pada 12 Maret 1966 pukul 01:00 dinihari.
Setelah diserahkan oleh ketiga perwira kepada Soeharto, Soeharto lantas
memberikannya kepada Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat, Brigjen Budiono.
Hal tersebut berdasarkan penuturan Soedharmono, yang mengaku menerima telepon
dari ketu G-5 KOTI Mayjen Soetjipto pada 11 Maret 1966 sekitar pukul 22:00 WIB.
Soetjipto meminta agar konsep tentang pembubaran PKI disiapkan dan harus
selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Letjen Soeharto.
Soedharmono bahkan mengaku sempat berdebat dengan Moerdiono mengenai dasar
hukum teks tersebut sampai surat perintah itu tiba.
Brigjen Basuki Rachmat
A. Proses
Kelahiran
Supersemar bukanlah
cerita omong kosong, melainkan fakta. Artinya, benar bahwa presiden Soekarno
pernah menulis surat perintah untuk Letjen Soeharto pada 11 Maret 1966. Kata
sejarawan Anhar Gonggong “Soekarno sendiri mengakui itu memang ada. Saya pernah
tanya beberapa orang mengakui memang ada. Tapi, yang menjadi persoalan kalau
kita baca isinya itu kan untuk mengamankan Soekarno. Tapi Justru digunakan
untuk menjatuhkan Soekarno. Namun itu bukan sesuatu yang salah dalam dunia
politik. Orang bisa melakukan apa saja untuk meraih kekuasaan.”
Sejumlah orang juga
mengaku melihat, mengetahui, ataupun melakukan proses pengetikan Supersemar.
Inilah beberapa di antara mereka :
· Letkol
Ali Ebram: Staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa
Dia mengaku dipanggil oleh Brigjen M.
Sabur untuk mengetik Supersemar di kamar pribadi Presiden Soekarno di paviliun
Ny. Hartini di Istana Bogor. Hanya ada tiga orang di ruangan tersebut, yaitu
Soekarno, Sabur dan Ebram. Menurut Ebram, dirinya mengetik surat perintah dalam
waktu satu jam dengan didiktekan Bung Karno. Dia mengaku gemetar salama
mengetik dan Sabur duduk di sampingnya. Surat perintah itu terdiri dari dua
lembar.
· Mangil
Martowidjojo: Komandan Detasemen Kawal Pribadi Presiden
Dia berada dalam helikopter dalam
perjalanan dari Istana Merdeka menuju Istana Bogor pada 11 Maret 1966 bersama
dengan presiden, Brigjen M. Sabur dan pilot S. Kardjono. Dia juga mengaku
melihat kedatangan helikopter di halaman istana Bogor sekitar pukul 15:00 yang
membawa mayjen basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf dan Brigjen Amirmachmud.
Bahkan, Mangil melihat Sabur mengetik surat perintah di markas Cakrabirawa lalu
masuk ke paviliun Ny. Hartini.
· Dr.
Soebandrio, Wakil Perdana Menteri I
Dia menyusul Presiden Soekarno ke Istana
Bogor pada 11 Maret 1966 dengan menggunakan helikopter bersama Wakil Perdana
Menteri III Chaerul Saleh. Soebandrio juga mengaku bahwa dirinya bersama
Chaerul Saleh mengoreksi surat perintah atas permintaan Soekarno. Proses itu
berlangsung di paviliun Ny. Hartini. Perihal orang yang mengetik surat
tersebut, Sobandrio hanya menyebutkan bahwa pengetikan dilakukan oleh staf
Istana, entah siapa.
Dr. Soebandrio
· Soekardjo
Wilardjito
Dia mengaku melihat Presiden Soekarno
menandatangani surat berdiktum militer yang disodorkan empat jenderal Angkatan
Darat pada dini hari tanggal 11 Maret 1966 dengan upaya paksa. Kesaksian
Wilardjito ini diperkuat pernyataan saksi lainnya, antara lain R. Soekiran
(purnawirawan CPM, 31 Agustus 1998), Soeprapto Karto Siswoyo (pensiunan TNI AD,
4 Oktober 1998) dan Rian Ismail (purnawirawan CPM, 7 September 1998).
Wilardjito, menyebut jenderal keempat itu adalah Wakil Men/Pangad Jenderal M.
Panggabean. Presiden Soekarno, kata Wilardjito, ditodong pistol oleh salah satu
jenderal agar menandatangani Supersemar
B.
Isi Supersemar
Supersemar “versi
resmi” memuat keputusan atau perintah Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto
untuk atas nama presiden/panglima tertinggi/pemimpin besar revolusi:
1. Mengambil
segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan
serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, serta menjamin
keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/
Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS demi untuk keutuhan bangsa dan negara
Republik Indonesia dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar
revolusi.
2. Mengadakan
koordinasi pelaksanaan perintah dengan panglima-panglima angkatan-angkatan lain
dengan sebaik-baiknya.
3. Supaya
melaporkan segala sesuatu yang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung
jawabnya seperti tersebut di atas.
Tampak jelas bahwa
Supersemar secara tekstual tidak berisi “Pengalihan kekuasaan”. Ironisnya,
Supersemar kemudian dianggap sebagai lisensi konstitusional bagi Soeharto untuk
“mengambil segala tindakan yang dianggap perlu”. Sejarah mencatat rentetan
peristiwa “yang dianggap perlu” tersebut menyusul terbitnya surat perintah
tersebut. Hasilnya, Soeharto diangkat sebagai presiden pada 12 Maret 1967.
Lantas, apakah
sebenarnya isi Supersemar?
Pada 11 Maret 1966
pukul 23:00 Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf dan Brigjen Amirmachmud
kembali dari Istana bogor ke Markas Kostrad di Jakarta dengan membawa surat
dari Presiden Soekarno, yang memerintahkan Letjen Soeharto untuk mengambil
segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengamankan situasi. Dalam hal ini,
Brigjen Kemal Idris berkata, “Saya sempat membawa surat itu, yang memberikan
kekuasaan kepada Pak Harto untuk bertindak mengamankan situasi. Setelah tugas
dilaksanakan, kekuasaan dikembalikan kepada Bung Karno, sebagai Presiden RI.
Surat itu dikenal dengan nama “Supersemar”.
Roeslan Abdul Gani
menafsirkan bahwa Supersemar yang asli itu berisi pendelegasian kekuasaan (delegation of authority), sedangkan yang palsu mengandung makna transfer of
authority. Yang jelas, sejak terbit, Supersemar sudah kabur makna dan
keberadaannya. Masalahnya, manakah Supersemar yang asli atau Palsu? Apakah yang
sekian lama beredar di masyarakat adalah Supersemar asli, atau sebaliknya
justru palsu? Atau, bahkan semuanya palsu? Lalu, dimanakah yang asli?
Soebandrio menyatakan
bahwa dalam naskah asli Supersemar sebenarnya tertera kalimat “ setelah keadaan
terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno”. Pernyataan
Soebandrio ini dikuatkan oleh kemal Idris. “itu biasanya kalau ada surat
perintah untuk melaksanakan tugas dan kalau sudah selesai ya harus lapor.
Kewenangannya ya harus ditarik. Tapi, itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto,
seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan
kekuasaannya sendiri.
Sementara itu,
sejarawan Baskara T. Wardya mengatakan bahwa Supersemar adalah surat perintah
harian. Supersemar tersebut berisi perintah untuk mengamankan situasi ketika
itu. Masalahnya, supersemar dijadikan seakan-akan pengalihan kekuasaan.
Padahal, bung Karno dengan tegas mengatakan, kata Baskara, Superemar bukan
pengalihan kekuasaan dan bukan pengalihan otoritas.
Karena ketiadaan arsip
yang akurat tentang surat perintah tersebut, penafsiran atas isinya pun menjadi
sangat beragam. Cara penafsiran itu bahkan sudah muncul sejak awal lahirnya
Supersemar. Penafsiran bahwa Supersemar adalah “penyerahan atau pengalihan
kekuasaan” diyakini oleh Brigjen Amirmachmud ketika dalam perjalanan naik jip
bersama Brigjen M. Jusuf dan Brigjen Basuki Rachmat sepulang dari Istana Bogor.
“Lho ini kan penyerahan kekuasaan,” seru Amirmachmud ketika itu.
Letjen Soeharto mungkin
saja keliru memahami isi Supersemar. Namun, mungkin pula dia sengaja melangkahi
kewenangan yang disebutkan dalam surat perintah tersebut. Buktinya, hal pertama
yang dia lakukan adalah membubarkan PKI. Betapa pun langkah ini secara
kondisional adalah tepat, tapi jelas tidak bersandar pada Supersemar. Tak heran
jika Presiden Soekarno terkejut dan marah dengan langkah Soeharto ini.
Pada 13 Maret 1966,
Presiden Soekarno mengeluarkan surat lanjutan untuk menjelaskan maksud sebenarnya
dari Supersemar kepada Soeharto. Surat ini dibawa oleh Wakil Perdana Menteri II
Dr. J Leimena kepada Soeharto. SP 13 Maret terdiri atas tiga hal, yakni:
1. Mengingatkan
bahwa Surat Perintah 11 Maret 1966 sifatnya teknis/administratif, tidak
politik, semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan
pemerintah untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/PangitMandataris MPRS.
2. Bahwa
Jenderal Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yang
melampaui bidang politik sebab bidang politik adalah wewenang langsung
presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden semata-mata.
3. Jenderal Soeharto diminta datang menghadap presiden di
istana untuk memberikan laporannya.
Setelah membacanya,
Soeharto menyatakan bahwa pembubaran PKI adalah tanggung jawabnya sendiri. Dia
bukannya tidak peduli terhadap surat tertanggal 13 Maret yang intinya
mengoreksi kekeliruan pemahamannya terhadap Supersemar, melainkan pelaksanaan
Supersemar itu cenderung manipulatif. Dia tidak melaksanakan isi seutuhnya,
bahkan justru menggunakan Supersemar dalam fungsi di luar yang menjadi maksud
Presiden Soekrano.
C.
Supersemar Palsu
Pada 4 Desember 2008,
Ubaydillah Thalib, putra dari almarhum Staf Intelijen Komando Operasi Tertinggi
Gabungan-5 (G-5 KOTI) Salim Thalib, mengatakan bahwa ayahnya sempat melihat
teks Supersemar ketika diperlihatkan oleh Letkol Soedharmono. “Supersemar yang
selama ini beredar adalah palsu,” kata Ubay menirukan pengakuan ayahnya. “Teks
itu tidak tersusun rapi seperti yang sekarang beredar, tapi memang diketik.”
Salim mengaku sempat
melihat teks tesebut sekilas saat diperintahkan oleh Letkol Soedharmono untuk
menyimpan di ruangannya. Isi dari teks tersebut juga diyakini berbeda dengan
instruksi Presiden Soekarno sesungguhnya. “Ayah saya yakin isinya tidak seperti
itu. Tidak seperti itu bunyinya,”jelas Ubay.
Ubay memperkirakan, isi
teks Supersemar sesungguhnya sama dengan pernyataan pidato Presiden Soekarno
pada 17 Agustus 1966 yang bertajuk “Djangan sekali-kali meninggalkan Sedjarah
(Djas Merah)”. Perintah Soekarno saat menerbitkan Supersemar hanyalah untuk
meningkatkan pengamanan pemerintahan, pengamanan presiden dan pengamanan ajaran
presiden. “Tapi, sayangnya yang melihat teks Supersemar itu hanya beberapa
orang,” keluh Ubay.
Keberadaan teks
Supersemar asli memang masih menjadi misteri. Hingga saat ini, Arsip Nasional
RI (ANRI) belum mampu mendapatkan kejelasan dari para saksi kunci keberadaan
surat tersebut. ANRI memiliki dua versi Supersemar yang isinya senada. Padahal,
Supersemar 1966 merupakan dokumen negara yang tidak kalah pentingnya dengan
naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 yang disimpan di ANRI.
Dalam buku 30 Tahun Indonesia Merdeka Jilid III
terbitan Sekretariat Negara RI termuat dua macam fotokopi Supersemar yang
menampilkan fisiknya amat berbeda. Fotokopi Supersemar pertama diketik satu
spasi dengan tampilan lebih rapi, mengesankan asli. Sedangkan, fotokopi yang
kedua diketik satu setengah spasi, mengesankan kurang rapi, bahkan amatiran.
Agaknya, kedua arsip inilah yang kini disimpan di ANRI.
Supersemar Versi Sekretaris Negara RI
Faktanya, Presiden
Soekarno hanya menandatangani satu surat perintah, Artinya, jika ada 3 naskah
Supersemar, satu diantaranya adalah asli dan dua lainnya palsu. Bahkan, bisa
jadi ketiga naskah itu palsu.
Usaha ANRI untuk
mendapatkan Supersemar 1966 yang asli sudah dilakukan dengan menghubungi para
jenderal dan pemegang Supersemar 1966, namun tak mendapat respons. Artinya,
kedua versi Supersemar yang ada di ANRI
sulit untuk dipastikan keasliannnya.
Masalah lainnya adalah
soal jumlah arsip Supersemar. Ada yang satu lembar ada yang dua lembar, mana
yang benar?
Selain dua surat di
ANRI, mendiang Jenderal M. Jusuf juga mengklaim memiliki naskah asli
Supersemar. Atmadji Sumarkidjo, penulis buku Memoar Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit menyatakan dirinya
diberi fotokopi Supersemar lansung dari M. Jusuf pada 1992. Kata Atmadji, M.
Jusuf juga tidak mendapatkan surat asli, tapi hanya fotokopi. “Beliau tidak
bisa menjelaskan keberadaan Supersemar yang asli dan saya tidak tahu dari mana
beliau mendapatkan fotokopi itu. Ya, memang faktanya seperti itu dan saya yakin
M. Jusuf tidak berbohong,” ujarnya.
Supersemar Versi Pusat Sejarah dan Tradisi TNI
Hal senada dikatakan
oleh sejarawan Anhar Gonggong. Menurutnya, “Surat itu adalah pergumulan politik
siapa yang menang siapa yang salah selalu ada rekayasa untuk kepentingan
Soeharto. Pak Jusuf bukan pembohong, Supersemar adalah proses kekuasaan Pak
Harto hingga 30 tahun, jadi kalau Pak Jusuf bohong tentu ini jadi masalah
besar, tapi saya yakin Jusuf bukan pembohong.”
Sekarang, bandingkan
dengan pernyataan mantan Menteri Sekkretaris Negara Moerdiono. Menurutnya, teks
asli Supersemar berjumlah dua lembar. Satu poin dalam surat itu berisi perintah
kepada Letjen Soeharto untuk mengendalikan kondisi yag dinilai sudah kacau.
Surat itu menjadi satu lembar, katanya, atas dasar kepraktisan. Perkembangan
teknologi fotokopi, kata Moerdiono memudahkan orang memfotokopi surat dan tanda
tangan Soekarno dalam satu lembar.
“Seingat saya aslinya
dua lembar,” tutur Moerdiono. Berdasarkan Supersemar itu, kata dia, Letjen Soeharto
juga tak diwajibkan melaporkan segala sesuatu setelah keadaan terkendali.
“Bunyinya begitu, kalau pak Harto melaporkan seperti itu, ya seperti TNI
melaporkan tugasnya,’ ujarnya.
D. Hilang atau
Dihilangkan?
Lalu
dimanakah naskah asli Supersemar?
Dalam
hal ini kita perlu mendengarkan pendapat Benedict R.O’G Anderson, pakar sejarah
Indonesia dari Amerika Serikat. Dia mengutip pengakuan seorang tentara yang
mengaku bertugas di Istana Bogor ketika Supersemar ditandatangani oleh Presiden
Soekarno. Tidak dijelaskan nama dan pangkat tentara tersebut, tetapi Anderson
meyakini kebenaran keterangan sang tentara bahwa mungkin saja surat Supersemar
yang asli itu dihilangkan karena diketik dengan kop Markas Besar Angkatan Darat
(MABD). Jika dipertahankan tentu sangat lucu, surat kepresidenan ditulis dengan
kertas berkop MBAD. Jadi, Supersemar “dihilangkan”, kata Anderson, bukan karena
isi, melainkan karena kop suratnya.
Menarik
pula pernyataan Anhar Gonggong yang meyakini bahwa Soeharto sangat mengetahui
keberadaan naskah asli Supersemar. “Sejak dari dulu, bahkan ketika Soeharto
berkuasa, selalu saya katakan, saya tidak percaya kalau Soeharto tidak tahu
keberadaan Supersemar,” ujarnya.
Sejarawan
Asvi Warman Adam juga mempertanyakan keberadaan naskah Supersemar dan pelaksanaan
atas naskah yang beredar. “dari perbedaa naskah itu, isinya itu apakah
dilaksanakann atau tidak, dilaporkan atau tidak ke Presiden Soekarno,” ujarnya.
Menurut Asvi, naskah Supersemar yang beredar dan lama diketahui publik
mempunyai beberapa perbedaan dalam kata-kata, letak lambang garuda, tanda
tangan dan kop surat.” Yang satu memakai kop surat presiden yang dicetak, yang
satu lagi adalah naskah yang diketik,” ujarnya.
Moerdiono,
orang yang dekat dengan Soeharto mengaku tidak tahu keberadaan naskah asli
Supersemar walau dia mengaku, “Saya kenal dekat dengan jenderal-jenderal yang
menemui Bung Karno di Istana Bogor, “katanya.
Menurut
Moerdiono, berdasarkan Supersemar, Soeharto menyuruh Soedharmono melalui Mayjen
Soetjipto untuk membuat surat pembubaran PKI. Nah, Moerdiono adalah orang yang
disuruh oleh Soedharmono membuat konsep surat pembubaran PKI tersebut.
Kisah
Moerdiono ini pada dasarnya hanya mengulang versi militer Soeharto. Namun, ada
pengakuannya yang dinilai objektif oleh Asvi Warman Adam, yakni Moerdiono tidak
pernah melihat langsung naskah asli Supersemar yang ditafsirkan Soeharto
sebagai dasar untuk membubarkan PKI.
Moerdiono
yakin bahwa naskah asli Supersemar itu digandakan dengan menggunakan mesin
semacam stensilan. “Belum ada mesin fotokopi saat itu,’ katanya. ini berbeda
dengan keterangan Soedharmono dalam bukunya bahwa Supersemar digandakan dengan
cara difotokopi. “jadi, apakah Supersemar itu ada, saya yakin ada. Apakah
Supersemar itu dipalsukan? Saya rasa tidak,’ kata Moerdiono.
Moerdiono
menilai wajar soal naskah asli Supersemar yang hilang, sebagaimana teks
proklamasi yang hilang dan baru kembali disimpan negara setelah bertahum-tahun.
Dia juga mengaku tak menemui hasil saat menjabat menteri dan mencoba mencari
naskah asli surat perintah tersebut.
0 Comments: