AD-DAKHIL (Sang Penakluk Kordoba)
Ketika pasukan musllimin menggali
kanal untuk Perang Parit, seorang Anshar tertimpa sebongkah batu besar. Umar
segera melaporkan dan meminta pertolongan Nabi Muhammad Saw. Kemudian, Nabi
Muhammad Saw. Mengambil pangkur, lalu
memukul batu itu. Pada pukulan pertama, keluar kilatan cahaya di atas kota
mengarah ke selatan. Beliau memukul batu tersebut dan keluar lagi kilatan
cahaya, namun kali ini mengarah ke Uhud dan melewatinya menuju utara. Pada
pukulan ketiga, batu itu hancur berkeping-keping dan kilatan cahaya menyemburat
ke arah timur.
Salman yang menyaksikan peristiwa
itu bertanya kepada Nabi Muhammad Saw, “Apa takwilnya?”
Nabi Muhammad Saw. Menjawab,
“Dengan cahaya yang pertama, aku dapat menyaksikan kastil-kastil di yaman.
Dengan cahaya yang kedua, aku melihat kastil-kastil di Syria. Dengan cahaya
yang ketiga, aku menyaksikan Istana Kisra di Mada’in. Melalui cahaya yang
pertama, Allah Swt membukakan pintu bagiku menuju Yaman. Lewat cahaya yang
kedua, Allah Swt membukakan pintu bagiku menuju Syria dan dunia Barat. Melalui
cahaya yang ketiga, Allah Swt membukakan pintu bagiku ke arah timur.”
Itulah inspirasi ilahi yang
diterima oleh Nabi Muhammad Saw, yang terwujud pada masa Khulafaur Rasyidin
yang keempat, yang berupa penaklukan dan perluasan wilayah kekuasaan Islam.
Estafet penyebaran Islam terus berlanjut dengan berdirinya Kerajaan Bani
Umayah, yang kemudian digantikan dengan berdirinya Bani Abbasiyah (750-1258 M) yang
berpusat di Baghdad. Sejak itu, banyak pemuka Bani Umayah yang ditangkap dan
dipenjarakan, bahkan dibunuh kejam oleh penguasa Abbasiyah.
A.
Akhir Dinasti Umayah di Wilayah Timur
Dari kota Khurasan, ibu kota
Provinsi Kufah, Gubernur Nashr menuliskan sepucuk surat kepada Khalifah Marwan
ibn Muhammad (Marwan II) menjelang tahun 132 H atau 749 M. Dalam surat iitu, ia
memperingatkan khalifah bahwa saat keruntuhan Dinasti Umayah akan tiba jika ia
tidak waspada.
“Aku melihat arang telah berkobar
di tengah-tengah bara api. Seklipun kecil, besar kemungkinan akan menjadi bara
api. Api menyala dari para pencuri kayu, sedangkan peperangan akan berkobar
dari lidah-lidah yang mengibasnya,” ungkap Gubernur Nashr dalam surat tersebut.
Gubernur Nashr tahu persis bahwa
di wilayahnya sampai kota Baghdad sedang berkobar gerakan anti Umayah. Marwan
pun paham aksi-aksi tersebut. Sejak Mu’awiyah ibn Abi Sufyan naik tahta, telah
ada gerakan semacam itu dari para pendukung Ali ibn Thalib.
Namun, pada 28 November 749 M (12
Rabi’ul Akhir 132 H), setelah 89 berkuasa, Dinasti Umayah terjungkal, bukan
oleh pendukung keluarga Ali, tetapi oleh keturunan Abdullah ibn Abbas. Di
Masjid Jami’ Kuffah, pada hari itu, dilantik Abdul Abbas sebagai Khalifah Bani
Abbas yang pertama.
Marwan II, setelah melakukan
perlawanan sengit selama 2 tahun lamanya, akhirnya tumbang juga. Sontak, semua
anggota klan Umayah diburu pasukan Bani Abbas, lalu dibantai. Namun, diantara
pemuka Bani Umayah, ada pula yang berhasil meloloskan diri dari kepungan maut
abbasiyah itu.
Dinasti Umayah di Kordoba bermula
dari seorang pemuda yang lolos dari pembantaian Bani Abbas di Damaskus, yang
mulai membangun kembali dari awal kekuasaannya di Andalusia, Spanyol, sampai
menjadi besar dan disegani. Pemuda itu berdiri lama di tepian Pantai Ceuta,
pantai timur Selat Gibraltar, Afrika Utara. Matanya memandang ke arah barat.
Mungkin saja ia sedang membayangkan jazirah di Semenanjung Iberia di Eropa
barat daya yang terletak persis di bagian barat Selat Gibraltar; satu wilayah
yang telah ada di bawah kekuasaan pasukan muslim sejak 710 M.
Ketika itu, Thariq ibn Abdil Malik
an-Nakha’i memimpin 400 psukan infantri bersama 100 pasukan berkuda (kavaleri)
dan melakukan invasi awal atas perintah Musa ibn Nusair, Gubernur Afrika Utara.
Ceuta, tanah yang dipijak oleh Thariq ketika itu baru sekitar dua tahun
ditaklukan oleh Musa ibn Nusair atas perintah Khalifah Walid ibn Abdil Malik
(Walid I) dari kekuasaan Bizantium, kemudian terkenal sebagai Magribi.
Gubernur Ceuta yang berada di
bawah kekuasaan Bizantium adalah Julianus. Penguasa Bizantium ini bekerja sama
dengan Gubernur Musa guna menyerang Andalusia. Julianus menaruh dendam terhadap
Roderick, Raja Andalusia. Roderick telah menggagahi putri Julianus yang diutus
ke Kordoba. Selain itu, Julianus ingin memanfaatkan situasi untuk memisahkan
Ceuta dari Andalusia.
Pemuda di tepi Pantai Ceuta itu
bernama Abdurrahman ibn Mu’awiyah ibn Hisyam ibn Abdil Malik (ad-Dakhil).
Mengenai nama ibunya jarang tertulis dalam sejarah, tetapi pernah menyamarkan
dirinya bernama Rah, sebagai seorang hamba sahaya, dalam usaha menyembunyikan
identitasnya akibat pengejaran Bani Abbad. Pengembaraan Abdurrahman mmbutuhkan
waktu selama 5 tahun sampai ia tiba di Ceuta.
Abdurrahman adalah anggota klan
Umayah. Keluarga ini, dalam sejarah kekuasaan negeri-negeri muslim, pernah
sangat menderita dan terus-menerus menghindari pengejaran pasukan Abu Abbas
as-Saffah. Abdurrahman tiba di Ceuta pada tahun 755 M, dengan ditemani oleh
seorang pendukung setianya bernama Badr.
Sebagai orang yang terus diburu
oleh pasukan Bani abbasiyah, yang mengambil alih kekuasaan Bani Umayah pada
tahun 750 M, Abdurahman ad-Dakhil harus lari dan sembunyi. Ia meninggalkan
rumahnya di Syam (Suriah), dan melewati gurun-gurun ganas di Semenanjung Arabia
sampai Afrka Utara, serta melintasi Palestina, Mesir dan Barqa (Libya), hingga
mencapai Maroko. Tetapi, ia lebih memilih Libya sebagai tempat persembunyian,
di bawah perlindungan suku Berber. Di sana, ia menetap selama beberapa tahun,
memantau keadaan dan mengincar peluang. Di sanalah, ia menetapkan visi dan
misinya untuk merebut Andalusia.
Dalam sejarah Islam, ada dua
Dinasti Umayah, yang pertama berada di Damaskus, sedangkan yang kedua ada di
Kordoa. Keduanya dalam tempat dan waktu yang berbeda. Meskipun demikian, keduanya
masih satu rangkaian silsilah keluarga, yakni sama-sama berinduk pada klan
Umayah dari suku Quraisy di Mekah.
B.
Keturunan Terakhir
Di tepian Sungai Efrat, suatu
ketika terjadi pertempuran keras dua kubu, Bani Abbas sebagai pendongkel kekuasaan, melawan penguasa
saat itu, Bani Umayah. Di tengah sungai tersebut, ada dua pemuda kakak beradik
berusaha sekuat tenaga lolos dari kejaran tentara Bani Abbas. Mereka
mati-matian berenang dan tangan-tangan mereka mengayuh-ngayuh di air tak
beraturan. Dari cara bergerak, tampaknya mereka tak bisa berenang. Mereka harus
lari jika tidak, bisa dipastikan bahwa mereka akan dibunuh karena termasuk
keturunan Umayah.
Si kakak bisa lolos, tetapi si
adik yang bernama Sulaiman tertangkap. Sulaiman menemui ajal di ujung pedang
para tentara Abbasiyah yang dikomandoi oleh Abdullah ibn Ali, paman Khalifah
Abdul Abbas. Di tengah sungai itu, Abdurrahman menengok ke arah teriakan
adiknya sambil terus berenang. Ia masih melihat adiknya berteriak meminta
tolong, namun keadaan memaksanya terus berenang. Jika ia berbalik menolong
adiknya, berarti ia mmenyerahkan kepala untuk di tebas. Dalam hatinya, ia
berharap agar adinya tidak bernaasi seperti anggota keluarganya yang lain.
Sebab, adiknya masih kanak-kanak yang baru berusia 13 tahun. Tetapi dalam
kenyataannya, si adik dibunuh juga.
Abdurrahman adalah pemuda yang
lolos itu. Namun, pasukan bani Abbas terus melakukan pengejaran terhadap
dirinya. 5 tahun lamanya, ia berpindah-pindah di kawasan Jazirah Arab Asia
Timur, kemudian menuju Jazirah Arab di Afrika utara dengan menyamar. Ia pernah
kepergok pasukan khusus yang dikirim oleh Abdurrahman ibn Habib, penguasa
Afrika Utara, Maroko dan Andalusia, ke Tripoli (Libya) untuk menangkapnya.
Pasukan ini adalah orang-orang berber suku Naghwaza. Mujur, mereka tak
mengenali Abdurrahman.
Lolos di Tripoli, Abdurrahman
bertekad bulat menuju Ceuta pada tahun 755, setelah 6 tahun perjalanan, sejak
dari penyeberangan Sungai Efrat di Suriah. Ia diterima baik oleh kalangan
Berber yang masih punya hubungan famili dengan ibunya.
Di Ceuta, Abdurrahman merasa
nyaman lantaran warga Berber meerupakan pendukung setia Dinasti Bani Umayah.
Dengan begitu, ia leluasa mewujudkan tekadnya untuk membangun kembali Dinasti
Umayah di Negeri Semenanjung Iberia atau yang lebih dikenal dengan nama
Andalusia. Kini, wilayah itu menjadi Spanyol dan Portugal.
C.
Penaklukan Andalusia
Hanya beberapa bulan di Ceutra,
Abdurrahman sudah mampu membaca peta politik di Afrika Utara dan Andalusia.
Secara diam-diam, ia menyurati para pendukung setia keluarganya di Andalusia.
Ia mengutus Badr, pelayan setianya untuk membawa surat itu. Dalam surat
tersebut, ia menceritakan kisah pelariannya, termasuk Abdurrahman ibbn Habib,
bekas Gubernur Umayah yang kemudian berbalik mendukung Abbasiyah, tetapi belakangan
ini menyatakan wilayahnya merdeka. Ia meminta kepada para simpatisan klan
Umayah agar bersedia menerima kehadirannya di tengah mereka agar dirinya aman.
Ketika surat itu dibawa oleh Badr
ke tengah-tengah tokoh-tokoh politik pendukung Umayah, maka serta merta mereka
bersedia dan senang menerimanya. Tokoh utamanya adalah Abdul Hajjaj Yusuf Ibn
Bukht. Adapun tokoh lainnya, seperti Shumail ibn Khatim dari Zaragosa, pun
diajak memperbincangkan isi surat tersebut. Sebab, mereka menangkap adanya
isyarat politik di balik surat ini, yakni keinginan Abdurrahman untuk tampil
menjadi penguasa Andalusia guna meneruskan kejayaan Dinasti Umayah yang telah
ditumbangkan oleh Bani Abbas di Damaskus.
Shumail ibn Khatim menyambut
tawaran politik tersebut sebagai sesuatu yang dapat dimanfaatkan. Sebab, saat
itu, ia sedang berada dalam kondisi terjepit akibat pengepungan Amir Ibn Amr
dan Tamim ibn Ma’bad, dua pimpinan pemberontak yang tak suka terhadap dirinya
kala ia berkuasa sebagai Gubernur Zaragosa. Ia telah mengetahui bahwa
Abdurrahman sudah memperluas pengaruhnya di kalangan rakyat Afrika Utara dan
telah terbentuk pula pasukan Abdurrahman pergi ke Andalusia maka ia bisa
berkoalisi demi keselamatan dirinya. Bahkan, ia menawarkan anak gadisnya untuk
diperistri oleh Abdurrahman demi mengikat kekeluargaan, tetapi Abdurrahman
menolak dengan halus.
Mendengar Abdurrahman akan datang
dengan kekuatannya, amir dan Tamim segera melepaskan pengepungannya terhadap
Shumail. Sulaiman ibn Syihab, seorang tokoh perang, diangkat oleh simpatisan
Umayah untuk menajdi pangllima perang demi mengamankan kedatangan Abdurrahman.
Maklum, rencana kedatangan itu telah menyebar ke banyak kalangan, termasuk di
kalangan orang-orang Yaman di Andalusia yang sedang terpinggirkan oleh Syam
(Qais) akibat keberpihakan Gubernur Andalusia yang diangkat oleh Khalifah Abu
Ja’far al-Manshur, khalifah kedua yang menggantikan As-saffah. Maka, pantas
saja bila orang-orang Yaman memberontak dan bergabung dengan Abdurrahman.
Satuan-satuan pasukan yang terdiri
atas orang-orang Suriah dan Yaman menyambut kedatangan Abdurrahman. Ia
meninggalkan Ceuta bersama sekelompok pendukungnya dengan kapal yang sengaja
dikirim oleh massa pendukungnya di Andalusia guna menyeberangi Selat Gibraltar
menuju Andalusia.
Pertempuran di sungai Guadalete atau Barbete
Di Andalusia, pasukan Abdurrahman
ternyata mendapat “sambutan panas”. Gubernur Yusuf bin Abdirrahman al-Fihry
memimpin perang melawan Abdurrahman di Wadi Bakkah, pada 14 Mei 756 M. Tepat
pada hari raya Idul Adha, pasukan Abdurrahman berhasil menduduki kota Kordoba,
kota utama Andalusia.
Abdurrahman digelari “Ad-Dakhil”,
bermakna yang masuk atau yang menaklukkan. Ia menaklukkan masyarakat yang
bertikai, penguasa Abbasiyah dan para raja Kristen Spanyol yang bergerilya
menentang kependudukan penguasa muslim. Pada gilirannya, Abdurrahman pulalah
yang menggusur dominasi peradaban zaman pertengahan Eropa yang digambarkan
sebagai penuh lumpur dan kotoran.
D.
Sang Pemersatu
Keberhasilan Abdurrahman ad-Dakhil
di Andalusia, yang ketika itu diperintah oleh Yusuf bin Abdurrahman al-Fihry, dikarenakan
Andalusia sedang dilanda beragam masalah, yakni adanya berbagai pertentangan
antar bangsa Arab dengan bangsa Berber. Dua kelompok ini merasa paling berjasa
dalam mendirikan Islam di Andalusia. Sehingga, mereka ingin berkuasa.
Pertentangan yang demikian itu telah membuka peluang bagi Abdurrahman untuk
ikut serta berperan dalam mengatasi masalah yang dihadapi negeri tersebut.
Agar mudah masuk ke Andalusia,
terlebih dahulu diutus seorang pengiringnya yang setia bernama Badar, untuk
pergi ke Semenanjung Andalusia. Utusan Abdurrahman diterima dengan baik oleh
kabilah Arab. Dengan demikian, Abdurrahman dapt memasuki tanah Andalusia, serta
memperoleh pengikut yang banyak jumlahnya.
Masuknya Abdurrahman ke Andalusia
telah membuat Yusuf Bin Abdurrahman marah besar. Sebab, kehadiran Abdurrahman
ad-Dakhil akan menjadi ancaman bagi pendukungnya. Pada tahun 139 H atau 758 M,
terjadilah pertempuran antara kelompok Abdurrahman bin Muawiyah bin Hisyam
dengan tentara Yusuf bin Abdurrahman
al-Fihry di dekat kota Kordoba yang berakhir dengn kemenangan pihak Abdurrahman
bin Mu’awiyah bin Hisyam (ad-Dakhil). Maka, masuklah ia ke kota Kordoba sebagai
panglima besar yang membawa kemenangan dengan gelar “Ad-Dakhil” yang berarti
“Penakluk Spanyol”. Sedangkan Khalifah Al-Mansur dari Daulat Abbasiyah memberi
gelar “Saqar Quraisy” (Rajawali Quraisy). Sejak itulah Abdurrahman ad-Dakhil
mendirikan pemerintahan Bani Umayah II di Andalusia, yang terlepas dari
kekuasaan Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad, dengan mengambil ibu kotanya
di Kordoba.
Faktor keberhasilan Ad-Dakhil dlam
mendirikan kekuasaan Bani Umayah di Andalusia yaitu:
1.
Kecerdikan Abdurrahman ad-Dakhil dalam mengatur
siasat
2.
Keberhasilannya dalam menghimmpun kekuatan yang
besar
3.
Keberhasilannya dalam menggalang persatuan pada
kelompoknya
4.
Kurangnya dukungan rakyat terhadap Yusuf bin
Abdurrahman al-Fihry
E.
Siasat Abdurrahman
Ketika berhasil menduduki Kordoba,
Abdurrahman langsung memberlakukan amnesti umum dan menjadi amir pemerintahan
di Spanyol sampai tahun 788 M. Penanganan
krisis ekonomi dan pangan menjadi prioritas pemerintahannya. Situasi internal
di Spanyol yang penuh pemberontakan bisa diredamnya dengan membangun pasukan
terlatih berdisiplin tinggi sebanyak 40.000 personel. Sebagian besar
personelnya adalah muslim suku Berber yang didatangkan dari Afrika Utara. Agar
pasukannya loyal, mereka digaji tinggi.
Pasukan ini cukup ampuh menjaga
stabilitas negeri. Satu demi satu pemberontakan dipatahkan, bahkan bisa
menaklukan Yusuf al-Fihry yang telah diampuni, tetapi memberontak lagi di
wilayah utara dan akhirnya terbunuh di Toledo. Pemerintahan Abdurrahman pun
dapat memadamkan rencana makar kaum Syiah dan kabilah Arab yang didalangi oleh
pengikut Abbasiyah, bahkan sampai memukul mundur Karel Agung.
Saat Khalifah Abu Ja’far
al-Manshur mengangkat Al-A’la ibn Mughirah sebagai Gubernur Andalusia pada
tahun 761 M, Abdurrahman segera menangkapnya. Dua tahun kemudian, ia dijatuhi
hukuman mati. Kepalanya diawetkan dengan garam dan kamper, kemudian dibungkus
bendera hitam dan diselipi surat pengangkatan sang gubernur. Bungkusan itu
dikirimkan ke Khalifah Manshur yang sedang berhaji.
Menerima kenyataan itu, Al-Manshur
memuji Allah karena ia dan Abdurrahman dipisahkan oleh laut. “jika tidak, tentu
saja akan terjadi pertempuran yang dahsyat,” ungkap Al-Manshur.
Ketiadaan reaksi Al-Manshur
menunjukkan kekuasaan Abdurrahman sangat diperhitungkan. Al-Manshur menjuluki
penguasa Spanyol itu dengan “Saqar Quraisy” alias Rajawali Quraisy karena ia
berhasil membangun kekuasaan jauh melintasi Jazirah Arab.
Pada tahun 756-788 M, pada masa
pemerintahan Abdurrahman ad-Dakhil, Islam berkemilau di dunia Barat. Pada masa
itu, berdiri Masjid Agung Kordoba, yang kemudian masyhur sebagai pusat Islam di
Barat. Abdurrahmanlah yang menjadi pelopor kegiatan intelektual, seni dan
budaya, sehingga Kordoba pada abad ke-9 sampai ke- 11 merupakan pusat
Kebudayaan, serta pusat imu pengetahuan dunia di Barat, yang sejajar dengan
Baghdad di Timur.
Salah satu peninggalan masa keemasan Cordoba
yang masih ada sampai saat ini masjid cordoba
F.
Negeri Pengetahuan
As-Samah bin Malik Al-Khaulani
adalah arsitek yang membangun kota dan menjadikannya sebagai salah satu pusat
kebudayaan terbesar yang kemudian Kordoba menjadi pusat kebudayaan Andalus yang
muslim. Pada masa kepemimpinan Khalifah Umawiyah, Kordoba mengalami masa
keemasan dan puncak kejayaan, khususnya setelah Khalifah Abdurrahman ad-Dakhil
mengumumkan sebagai ibu kota kerajaan Andalus dan menjadikannya sebagai pusat
ilmu pengetahuan, kebudayaan dan sastra di wilayah Eropa secara keseluruhan.
Setelah itu, sang khalifah mulai memanggil para fuqaha (ahli fiqh), ulama dan
sastrawan untuk singgah di Kordoba. Saat itu, Eropa masih terlelap dalam
kebodohan, kemunduran dan keterpurukan.
Pada masa pemerintahan Abdurrahman
ad-Dakhil dan putranya, Al-Hakam al-Mustanshir, Kordoba mengalami jaman
keemasan dan puncak kejayaan dalam bidang kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Saat
itu, yang menjadi saingan Kordoba adalah Baghdad, ibu kota Kerajaan Abbasiyah,
Konstantinopel (Istanbul), Ibu kota Bizantium serta Kairo, Ibu kots Dinasti
Fathimiyah.
Para duta besar dari negara-negara
jauh sampai di Kordoba, seperti India dari kota-kota Bizantium, Jerman,
Prancis, Italia, negara-negara lain di Eropa dan sebelah selatan Spanyol, para
penguasa suku Berber serta dan kabilah-kabilah di Afrika, yang berdatangan ke
Kordoba.
Al-Hakam al-Mustanshir atau
Al-Hakam bin Abdurrahman ad Dakhil adalah salah satu khalifah Dinasti Umawiyah
di Andalus. Al-Hakam menerima kursi kekuasaan pada 3 Ramadhan 350 H sebagai
pengganti ayahnya, Abdurrahman ad-Dakhil yang kemudian digelari dengan Al-Hakam
al-Mustansir.
Masa pemerintahannya terkenal
dengan kemajuan yang sangat pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan sastra. Ia
adalah khalifah yang paling cinta terhadap kitab-kitab dan buku. Ia mengirim
banyak utusan dengan membawa harta yang berlipat-lipat dalam rangka
mendatangkan kitab-kitab ke Andalus. Di Kordoba, ia mendirikan sebuah
perpustakaan yang erisi 400.000 jilid kitab.
Bidang pendidikan mengalami masa
kebangkitan yang luar biasa pada masa pemerintahannya. Kepandaian baca tulis
merata di seluruh lapisan masyarakat. Saat itu, kebanyakan tokoh dan bangsawan
Eropa tidak mengerti baca tulis.
Al-Hakam juga mendirikan sekolah
yang memberikan pendidikan secara gratis bagi kaum fakir miskin, sebagaimana ia
mendirikan Universitas Kordoba, salah satu universitas terkenal pada masanya
dan yang menjadi pusatnya adalah sebuah masjid. Di dalamnya diajarkan semua
bidang ilmu pengetahuan dalam bentuk halaqah, dan seorang murid bebas memilih
guru yang ia kehendaki.
dari Universitas inilah, barat menyerap ilmu pengetahuan. salah satunya mahasiswa
Kristen yang menuntut ilmu di Spanyol adalah Gerbert d' Aurillac (945-10003)
yang kemudian menjadi pemimpin agama katolik di dunia Paus Sylvester II
Metode belajar dengan sistem
halaqah seperti ini bisa menghabiskan separuh bangunan Masjid Jami’. Pada
masanya ada pula penggolongan para guru agar mereka bisa terjun secara maksimal
dalam pendidikan dan menulis karya ilmiah. Pada masanya juga diadakan beasiswa
bagi para pelajar, serta uang tanggungan dan gaji bagi mereka yang membutuhkan
(fakir miskin). Bahkan, ada beberapa syekh atau guru yang mengisi jabatan ustadziyyah (semacam level profesor) di
bidang ‘ulum al-Qur’an, hadits dan nahwu.
Al-Hakam mempercayakan kepada
saudaranya, Al-Mundzir untuk bertanggung jawab dan memimpin Jami’ah Qurtubah
(Universitas Kordoba). Ia juga mempercayakan perpustakaan umum Dinasti Umawiyah
kepada saudaranya yang lain, yakni Abdul Aziz.
Kordoba telah menghasilkan banyak
ulama dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti Ibnu Abdil Barr, Ibn Hazm
az-Zhahiri, Ibn Rusyd, Al-Zahrawi, Al-Idrisi, Al-Abbas bin Farnas, Al-Qurthubi
dan lain sebagainya.
Kordoba tetap dalam keunggulan
seperti ini dibandingkan dengan kota-kota lain di Spanyol hingga runtuhnya masa
Dinasti Umawiyah pada tahun 404 H atau 1013 M ketika tentara berber
memberontak, serta menggulingkan kekhalifahan. Mereka menghancurkan
istana-istana para kekhalifahan. Mereka menghancurkan istana-istana para
khalifah, meluluhlantakkan kota, serta merampas keindahannya. Sejak saat itu,
padamlah sinar kemajuan di kota tersebut dan akhirnya pindah ke kota
selanjutnya, Asybiliah (Sevilla).
Masjid Jami’ terhitung sebagai
satu karya besar dalam bidang seni bangunan yang didirikan pada masa
Abdurrahman ad-Dakhil dan Masjid Kordoba tetap eksis hingga sekarang dengan
seni dan artefak ala Islam lengkap dengan mihrab-mihrabnya. Akan tetapi, saat
ini, masjid itu telah berubah fungsi menjadi Gereja Katedral setelah Kordoba
berhasil ditaklukan dan dirombak dengan membuang banyak kubah serta ornamen
keislamannya.
Sekalipun demikian, masjid ini mampu
mempertahakan sebagian keunggulannya hingga jatuh ke tangan Fernando III pada
23 Syawal 633 H. Maka, kaum muslimin sangat bersedih melihat keruntuhan itu,
sehingga masjid tersebut beralih fungsi menjadi gereja. Kaum muslimin dipaksa
meninggalkannya dan usailah sudah lembaran kebudayaan kaum muslimin yang luar
biasa, yang berlangsung selama 5 abad di kota tersebut.
0 Comments: