Part 4 : Detik-Detik Lahirnya Supersemar
Pada
11 Maret 1966, setelah berunding di rumah Menteri/ Panglima Angkatan Darat
Letjen Soeharto di Jalan H. Agus Salim,
Jakarta, ketiga orang jenderal menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor. Pada
malam harinya, lahirlah Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Kesaksian
mantan Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio menggambarkan adanya unsur tekanan
oleh Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen M. Jusuf kepada
Presiden Soekarno. Menurut Asvi Warman Adam, Supersemar memang tidak diberikan
lewat todongan senjata, tetapi di sini jelas terlihat unsur keterpaksaan
Soekarno untuk mengeluarkannya. Soebandrio, kata Avi, menyimpulkan rangkaian
peristiwa dari 1 Oktober 1965-11 Maret 1966 sebagai kudeta merangkak yang
dilakukan Soeharto melalui 4 tahap. Pertama, menyingkirkan saingannya di
Angkatan Darat, antara lain Jenderal Ahmad Yani. Kedua, membubarkan PKI, yang
merupakan rival terberat tentara sampai saat itu. Ketiga, melemahkan kekuatan
pendukung Bung Karno dengan menangkap 15 menteri yang Soekarnois, termasuk
Soebandrio. Keempat, mengambil alih kekuasaan dari Presiden Soekarno.
Berikut
ini adalah detik-detik lahirnya Supersemar dan kontroversinya yang melingkupinya.
A. Jenderal Panggabean Ikut ke Bogor?
Sekitar pukul 14:00,
sebuah helikopter mendarat di halaman Istana Bogor. Dari dalamnya turun Basuki
Rachmat, M. Jusuf, dan Amirmachmud. Semua berseragam militer. Mereka langsung
menuju paviliun tempat para pengawal presiden. Di sana mereka disambut oleh
Brigjen M. Sabur.
“Bur, kami datang ingin
ketemu Bapak,” kata Brigjen Basuki Rachmat.
“Bung Karno sedang
istirahat,” Jawab Sabur.
“Kalau begitu kami
tunggu.”
Kira-kira pukul 14:30
Sabur menemui mereka lagi dan mengatakan bahwa Bung Karno bisa ditemui ketiga
jenderal lalu dibawa masuk ke paviliun Hartini, istri Bung Karno. Waktu itu
sang presiden hanya mengenakan celana santai dan kaus oblong putih.
“Mau apa kalian ke
sini?” tanya Bung Karno.
Mewakili yang lain,
Basuki Rachmat sebagai jenderal tertua dalam rombongan berbicara, “ kami
sengaja datang menemui Bapak untuk menunjukkan bahwa kami tidak meninggalkan
bapak. Kami tidak ingin Bapak merasa ditinggalkan oleh Angakatan Darat. Kami
menyesalkan terjadinya peristiwa tadi pagi. Tapi, kami harap Bapak Presiden
tidak terpengaruh oleh kejadian ini.”
“Apa? Kalian bilang aku
jangan terpengaruh? Aku tidak usah gelisah?” ujar Bung Karno. “Kau mengatakan
Angkatan Darat tidak meninggalkan aku? Kalian sendiri tahu, Angkatan Darat ikut
demonstrasi. Ikut menjatuhkan saya. Kalian susupkan anggota RPKAD dan Kostrad
di antara pemuda dan mahasiswa itu. Untuk apa kalau bukan untuk menyerang
saya?”
Sedangkan, menurut kesaksian
seorang mantan menteri di Kabinet Dwikora yang enggan disebut namanya, Bung
Karno pernah bercerita kepadanya perihal lahirnya Supersemar. Ketiga jenderal
itu meminta agar Soeharto sebagai Kepala Staf Komando Tertinggi (Kaskoti)
diikuti dalam mengatasi keamanan. Bung Karno, ujar sang mantan menteri, pun
setuju. “Ya sudah, bikin saja surat perintah itu,” kata Bung Karno.
Surat perintah selesai
dibuat dan Bung Karno menunjukkannya kepada Dr. Soebandrio dan Chaerul Saleh.
Terus, Bung Karno menandatangani. Jadi, tidak ada suasana licik-licikan. Bung
Karno percaya kepada ketiga jenderal itu karena semuanya rektor Universitas
Bung Karno. Sementara itu, Soeharto diusulkan Komando Operasi Tertinggi dan
anggota tim keamanan. Jadi, tidak ada pikiran saat itu bahwa Pak Harto akan
nakal-nakalan. Maka, kata sang mantan menteri, kalau ada yang mengatakan diaog
dengan Bung Karno memakai todongan pistol, itu tidak betul karena pada
prinsipnya yang datang adalah teman-teman sendiri.
Bagitulah antara lain
pertemuan awal ketiga jenderal dengan Presiden Soekarno di Istana Bogor. Ya,
tiga jenderal. Namun, menurut kesaksian mantan Kepala Keamanan Istana Bogor
Lettu Soekardjo Wilardjito, ada 4 jenderal yang datang ke sana. Menurutnya,
pada 11 Maret 1966 pukul 01:00, empat orang perwira menemu Bung Karno, termasuk
Wakil Men/Pangad Brigjen Maraden panggabean.
Kesaksian Wilardjito
ini menimbulkan beberapa pertanyaan. Penunjukan waktu itu sangat berbeda dengan
kesaksian Amirmachmud, Basuki Rachmat, M. Jusuf, Soebandrio, Mangil Martowidjojo,
Ali Ebram, bahkan Soeharto. Jika empat jenderal tiba di Bogor pada dinihari,
kapankah Supersemar ditandatangani? Bukankah pada 11 Maret pagi hari Presiden
Soekrano sudah berada di Istana Merdeka untuk memimpin Sidang Kabinet Dwikora
yang Disempurnakan?
Kesaksian Wilardjito
juga tidak didukung oleh dugaan pendukung, semisal sosok pengetik naskah
Supersemar. Artinya, penglihatan Wilardjito tentang kehadiran Panggabean tidak
serta bisa menunjukkan bahwa ada empat jenderal yang meminta agar Presiden
Soekarno membuat surat perintah untuk Letjen Soeharto.
Dalam soal Wilardjito
A.M. Hanafi, mantan Duta Besar RI di Kuba, melalui buku A.M Hanafi Menggugat Kudeta Soeharto, membantah kesaksian
Wilardjito. Menurutnya, pada malam itu Presiden Soekarno menginap di Istana
Merdeka untuk keperluan sidang kabinet pada pagi harinnya. Demikian pula semua
menteri-menteri atau sebagian besar dari menteri sudah menginap di istana untuk
menghindari kalau datang baru besoknya, demonstrasi-demonstrasi yang sudah
berjubel di Jakarta. Hanafi hadir dalam Sidang Kabinet bersama Wakil Perdana
Menteri III Chaerul Saleh,
Menurut Hanafi, hanya
tiga jenderal yang pergi ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Soekarno yang
sudang berangkat ke sana terlebih dahulu. Amirmachmud, kata hanafi, sebelumnya
menelpon Komisaris Besar Soemirat, pengawal pribadi Presiden Soekarno di Bogor,
meminta izin untuk datang ke Istana bogor.
Yang menarik adalah
pengakuan hanafi bahwa ketiga jenderal itu sudah membawa satu teks surat
perintah. Namun, Presiden Soekarno tidak ditodong oleh mereka karena mereka
datang baik-baik. Sementara itu, di luar istana sudah banyak demonstran dan
tank-tank baja. Mengingat situasi yang seperti itu, kata Hanafi, rupanya Bung
Karno menandatangani surat itu. Jadi, Jenderal M. Panggabean tidak hadir di
Istana Bogor pada 11 Maret 1966.
B. Pengetikan Surat Perintah
Siapa sebenarnya yang
mengetik Supersemar?
Ada beberapa orang yang
mengaku mengetik surat itu, antara lain Letkol (Purn) Ali Ebram yang saat itu
menjabat Staf Asisten I Intelijen Resimen Carrabirawa. Ebram mengaku bahwa
dirinyalah yang mengetik surat tersebut dalam waktu satu jam dengan didiktekan
Presiden Soekarno. Dia mengetiknya dengan tangan gemetar dan mengatakan bahwa
konsep surat perintah itu berasal dari Bung Karno.
Menurut kesaksian
Ebram, sekitar pukul 15:00, dia dipanggil Brigjen M. Sabur dan diperintahkan
membawa mesin ketik sekaligus mencari kertas berkop kepresidenan, untuk dibawa
masuk ke ruang tengah pavilin Hartini. Di situlah Ebram mengetik setiap kalimat
yang diucapkan Presiden Soekarno. Setelah pengetikan selesai, dua lembar
hasilnya dibawa Soekarno kepada tiga jenderal, yang menunggu di ruang lain.
Kesaksian Ebram ini
cocok dengan penuturan Amirmachmud, bahwa ketika menerima para jenderal, Bung
Karno masuk kamar lagi dalam wwaktu cukup lama. Mungkin saat itu dia tengah
mendiktekan naskah awal Supersemar.
Kata Ebram, “Saya
dipanggil Sabur, kalau dibilang kepercayaannya, ya bukan. Tapi, pak Sabur itu,
kalau ada hal-hal yang rahasia, biasanya manggil saya,” tukas Ebram.
Waktu itu Sabur dari
paviliun Hartini memanggil Ebram dengan menggunakan isyarat tangan.
“Apa?” tanya Ebram.
“Mrene dobol (ke sini
sialan)!” bentak Sabur.
Tenryata Sabur meminta Ebram
membantu untuk mengetik surat.
“Saya tidak bisa
ngetik,” ujar Ebram.
Akan tetapi, Sabur
memaksa. “Sudahlah, ikut saja. bantu Saya.”
Ebram lalu disuruh
mencari blangko surat yang berkop kepresidenan. “Lho, di Jakarta dong!”
jawabnya.
Sabur berkata lagi,
“Sudah, cari saja!”
Menurut Ebram, blangko
itu akhirnya didapatkan pada sekitar pukul 15:00. Dia dan Sabur lalu masuk ke
kamar pribadi Bung Karno. Sementara tiga jenderal menunggu di ruang tamu.
Ebram mengatakan, “Saya
yang mengetik, sedang Sabur duduk di samping saya. Bung Karno mondar-mandir
sembari mendikte. Bapak waktu itu tidak pakai baju kebesaran. Baju santai,
celana dan tidak pakai peci. Ketika mengetik, gemetar saya.
Menurut Ebram. Surat
perintah itu terdiri dari dua halaman. “Enggak muat kalau Cuma satu halaman.
Spasinya itu berapa? Bapak itu orangnya correct.
Jangan main-main sama beliau,” katanya.
Waktu itu kertas
lembaran pertama sudah tidak cukup. “pak, kertasnya hampir habis,” kata Ebram.
“Wis, dijembleng wae (Sudah, dimolorkan saja)!” jawab Bung Karno.
Lalu, Ebram memasukkan
kertas kedua. lama pengetikan satu jam lebih. Begitu selesai, dia menyerahkan
surat itu kepada Sabur yang lantas memberikannya kepada Bung Karno di ruang
tamu.
“Itu dibaca Bapak lama
sekali sambil merenung. Bapak ‘kan masih ragu. Diam. Begitu bapak bilang,
‘Pulpen!’, saya tinggal. Saya keluar dari ruangan itu menuju ke rumah komando.
Tapi, saya masih sempat dengar Amirmachmud bilang, ‘Iya, Bapak tanda tangan
saja. kenapa sulit-sulit!”
Apakah pengakuan Ali
Ebram benar adanya?
Kolonel Sumirat, salah
satu ajudan Presiden Soekarno dari unsur kepolisian, mengaku mengenal Ali
Ebram. “Dia termasuk stafnya Jenderal Sabur di Resimen Cakra. Bagaimana kalau
enggak salah bagian intel. Hubungan Ali sama Sabur dekat. Sabur itu lebih banyak
di kantor Resimen Cakra. Nah, saya enggak pernah tahu bagaimana hubungannya.
Tapi, saya kadang lihat Ali Ebram ada di Istana Merdeka. Dia itu bisa di
mana-mana,” katanya.
Adapun Soebandrio, yang
mengaku turut mengoreksi naskah Supersemar bersama Chaerul Saleh, menyebut
bahwa naskah itu diketik oleh seorang staf di Istana Bogor. Siapakah staf itu?
Soebandrio berkata, “ndak tahu. Di sana kan banyak staf. Bung Karno tinggal
menyuruh, ‘Ketik ini.”
C. Benarkah Ada Koreksi
Soebandrio mengatakan,
“Saya
masuk ruang pertemuan. Bung Karno sedang membaca surat. Basuki Rachmat,
Amirmachmud dan M. Jusuf duduk di depannya. Lantas, saya disodori surat yang
dibaca oleh Bung Karno: sedangkan Chaerul Saleh duduk di sebelah saya. Isi
persisnya saya sudah lupa, tetapi intinya ada 4 hal. Presiden Soekarno memberi
mandat kepada Soeharto untuk: Pertama, mengamankan wilayah Jakarta dan
sekitarnya. Untuk itu, harus dijalin kerja sama dengan unsur-unsur kekuatan
lainnya. Kedua, penerima mandat wajib melapor kepada Presiden atas semua
tindakan yang akan dilaksanakan. Ketiga, penerima mandat wajib mengamankan
presiden serta keluarganya. Keempat, penerima mandat wajib melestarikan
ajaran-ajaran Bung Karno..”
Soebandrio bersaksi
bahwa dirinya, Chaerul Saleh, Amirmachmud, Basuki Rachmat dan M. Jusuf disuruh
oleh Bung Karno untuk membaca setelah surat perintah itu selesai diketik. “Kita
disuruh bilang mana yang setuju dan mana yang tidak setuju” kata Soebandrio.
Soebandrio dan Chaerul
Saleh lalu melakukan pencoretan dan penambahan kata-kata, kemudian diberikan
kembali kepada para perwira tinggi itu untuk dibaca kembali. Giliran para
jenderal yang tidak puas dengan konsep kedua wakil pedana menteri itu dan
meminta dilakukannya perbaikan kembali.
Kata M. Jusuf, “Selesai
Bung Karno membaca konsep tersebut, diadakanlah pencoretan di sana-sini pada
kata-kata yang tidak dikehendakinya. Sementara Dr. Soebandrio dan Chaerul Saleh
juga ikut mengadakan perubahan-perubahan. Akibatnya, kami bertiga dengan
Jenderal Basuki Rachmat dan Amirmachmud tidak puas dengan perubahan-perubahan
yang dikehendakinya itu...”
Pengakuan Soebandrio
juga menguatkan adanya naskah pertama tersebut. Soebandrio mengaku dipanggil
Soekarno untuk membaca dan meneliti naskah ketikan sebanyak dua lembar
tersebut.
Hasil koreksi yang
masih dua lembar itu kemudian diberikan kepada Brigjen M. Sabur untuk diketik
kembali. Saksi mata yang melihat sabur
mengetik adalah Mangil Martowidjojo. Sekita menjelang Maghrib, dia mengaku
melihat Sabur datang ke paviliunnya dengan membawa kertas dan berkata bahwa dia
memerlukan mesin tik. Saat itu Sabur berkata, “Gua mau bikin surat perintah
nih.”
Setelah diketik, naskah
itu dibawa kembali ke paviliun Hartini. “Dari dialog kedua itulah tersusun draf
Supersemar seperti kita kenal sekarang,” kata M. Jusuf.
Namun, Amirmachmud
mengakui setelah naskah dua lembar yang diketik Sabur itu diserahkan kepada
Soekarno, sang presiden masih enggan menandatanganinya. “Bagaimana ya, saya
tanda tangani atau tidak? Ucap Soekarno berkali-kali meskipun akhirnya, menurut
Jusuf, pada pukul 20:55 sang presiden membubuhkan tanda tanganya.
D. Soekarno ditodong Pistol?
Apakah Presiden
Soekarno ditodong agar menandatangi Supersemar?
Jawabannya, ya.
Setidaknya, begitulah menurut pengakuan eks Kepala Keamanan Istana Bogor Lettu
Soekardjo Wilardjito. Dalam peristiwa lahirnya Supersemar, dia menyebutkan
perihal keterlibatan Jenderal M. Panggabean serta penodongan terhadap Bung
Karno sebelum penandatanganan surat perintah itu dilakukan.
Soekardjo pada malam
itu bertugaa piket di Istana Bogor. Sekitar pukul 01:00 pasa 11 Maret 1966, dia
kedatangan beberapa jenderal. Dia mengetuk pintu kamar Presiden Soekarno.
Begitu Bung Karno keluar, Brigjen M. Jusuf segera menyodorkan sebuah map merah
jamu dan pulpen biru muda. Brigjen Basuki Rachmat langsung menodongkan pistol
FN-46 yang telah terkokang di dada Bung Karno.
Soekardjo segera
mengeluarkan pistolnya, tetapi dia dihentikan Bung Karno. “Jangan-jangan...”
katanya.
Soekardjo pun
menyarungkan pistolnya. Dalam jarak tiga meter dia melihat surat itu sudah
diketik dan tinggal ditandatangani.
Menurut Soekardjo,
Presiden Soekarno kemudian menandatangani surat itu. Kemudian, Bung Karno
berpesan kepada para jenderal itu bahwa kalau situasi sudah pulih, mandat itu
harus segera dikembalikan. Pertemuan lalu bubar dan keempat perwira tinggi itu kembali ke
jakarta.
Bung Karno kemudian
berkata kepada Soekardjo, “Saya harus keluar dari istana dan kamu harus
berhati-hati.”
Setengah jam kemudian,
Istana Bogor diduduki pasukan dari RPKAD dan Kostrad. Lettu Soekardjo dan
rekan-rekan pengawalnya dilucuti. Semua surat-surat disita, antara lain surat
kenaikan pangkat, surat tanda jasa (KOM I, KOM II), surat tugas dan ijazah
pendidikan militer. Kemudian, Soekardjo ditangkap, ditahan dan diberhentikn
dari dinas militer.
Kata Soekardjo, “Saya
dibawa ke Rutan Militer (RTM) Lapangan Banteng jakarta dan dituduh PKI.
Kemudian, saya dipindah ke rutan lain sampai enam kali. Siksaan berat pun saya
terima. Malahan, siksaan itu pernah saya alami di Denpom Yogyakarta. Kemaluan
saya sempat disetrum, tubuh digebuki. Tapi, yang paling menyakitkan saat
dicambuk dengan cambuk yang terbuat dari kemaluan sapi jantan, sakitnya sampai
terasa ke tulang sumsum.”
Terakhir, Soekardjo
menghuni rutan di Ambon, Maluku. Dia baru dibebaskan pada 1978 dengan status
Tapol Golongan B. Saat dibebaskan, dia sama sekali tidak mengantongi uang
sepeser pun untuk pulang. Padahal, jarak Ambon dan Yogyakarta tidak bisa
ditempuh dengan hampa. Namun, untunglah, beberapa teman yang dia kenal saat
masih aktif dan menjabat Komandan Seksi Keamanan Penguasa Perang Daerah Maluku
dan Irian Barat (Peperda MIB) banyak membantunya.
Sekembalinya dari
Ambon, bermacam teror terus mengancam keselamatan Soekardjo. Tampaknya, nasib
tetap tidak berpihak pada dirinya. Predikat bekas Tapol PKI sungguh sangat
menyulitkan hidupnya dan seluruh keluarganya. Ditambah lagi, pemerintahan
Soeharto telah sedemikian rupa mengeksploitasi peristiwa PKI untuk menghantui
rakyat. Rakyat menjadi takut berdekatan dengan orang-orang yang pernah terlibat
PKI, terlebih bekal Tapol.
Soekardjo pun
dikucilkan oleh masyarakat. Gerak-geriknya masih diawasi perangkat desa.
Untunglah masih ada yang berbaik menerimanya. Gelar Sarjana Misionaris-nya
membawanya untuk bisa membantu mengajar di Sekolah Tinggi Misiologi YKPN
Yogyakarta. Namun, itu tetap saja tidak
cukup cebab anaknya sembilan dan istrinya, Sih Wilujeng, hanya bisa membantu
mencukupi kebutuhan keluarga dengan berprofesi sebagai buruh kecil.
Penghasilan Soekardjo
setiap hari hanya dapat untuk membeli 3kg beras. Sudah selayaknya bila tiba
waktu makan, semua anggota keluarganya saling berebut. Baginya, kesempatan
tidak akan ada untuk kali kedua. Maka, saat reformasi bergulir dan Soeharto
tumbang, ia pun tidak tinggal diam. Rasa takut mulai dia disisihkan jauh-jauh.
Dia mulai bersuara lantang untuk menuntut hak dan kejelasan statusnya selama
dinas di militer. Sekaligus dia minta agar namanya direhabilitasi.
Setelah memberikan
kesaksian ihwal Supersemar, Wilardjito tetap menolak tuduhan bahwa dirinya
adalah penyebar berita bohong. Padahal, beberapa kalangan, bahkan M. Jusuf dan
M. Panggabean, meragukan kesaksian Wilardjito itu. Jusuf membantah adanya
todongan ala koboi itu. Dia menganggap Soekardjo mengada-ada. Apalagi, memang
ingatan Soekardjo kurang akurat. Kakek itu mengatakan Basuki Rahmat, M. Jusuf
dan Amir Machmud datang bersama M. Panggabean. Padahal, M. Panggabean tak ikut.
Mantan Menteri
Sekretaris Negara Moerdiono juga menampik anggapan perihal adanya tekanan dari
para jenderal terhadap Presiden Soekarno dalam membuat surat perintah berupa
todongan senjata. “Saya kenal para jenderal itu bukan model begitu,’ katanya.
“Saya tidak percaya.”
Lepas dari silang pendapat semacam
itu, lahirnya Supersemar merupakan peristiwa yang tidak berdiri sendiri. Kata
Frans Seda, “Supersemar bukan datang dari langit. Tapi, hasil suatu strategi
dan Supersemar bukan pula hasil upaya perorangan. Kalaulah ada yang mengatakan
demikian, saya yakin Pak Harto sendiri tak akan suka disebut demikian.
0 Comments: