Part 5:Hari-Hari Setelah Supersemar
Presiden Soekarno hanya
bisa merutuk ketika mahasiswa menuduh Kabinet Dwikora yang dipimpinnya adalah
Kabinet Gestapu. Dia pun berteriak dalam pidatonya, “Saya bertanya, Musrsyid,
apakah kau komunis? Bukan? Hartono, engkau komunis? Bukan! Sjafei, engkau
komunis? Bukan! Basuki Rachmat, engkau komunis! Bukan! Orang diluar yel-yelkan
kabinet ini Kabinet Gestapu! Aku berkata, ini kip zonder kop, ayam yang tidak berkepala!”
Gestapu
adalah kependekkan dari Gerakan September Tiga Puluh, nama lain untuk peristiwa
berdarah yang terjadi pada dinihari 1 Oktober 1965 yang dilakukan oleh Gerakan
30 September. Presiden Soekarno menyebut peristiwa itu sebagai Gestok (Gerakan
Satu Oktober), sedangkan Pemerintahan Orde Baru terbiasa menyebutnya dengan G
30 S/PKI.
Pada 20 Januari 1966,
sekitar 92 menteri menyatakan kesetiaannya kepada Presiden Soekarno. Bulan
berikutnya diadakan rapat raksasa di bandung yang isinya menyatakan kesetiaan
kepada Pemimpin Besar Revolusi. Pada 10 Maret 1966, sejumlah organisasi massa
menyatakan kebulatan tekad mendukung Presiden. Akan tetapi, tindakan itu
sia-sia. Senjakala kekuatan Presiden sudah tiba.
Soekarno memang sudah
kehilangan dukungan rakyat sejak peristiwa G 30 S. Apalagi, sejumlah perwira
Angkatan Darat kian mengerucut dalam klik anti-komunis yang sekaligus berupaya
merobohkan kekuasaannya Soekarno. Dalam konteks innilah Surat Perintah 11 Maret
1966 lahir sebagai bagian dari skenario penghancuran atas kekuasaannya itu.
Bagaimanakah keadaan di
Ibukota pada hari-hari setelah lahirnya Supersemar?
Pada 11 Maret malam,
setelah Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen Amirmachmud dan Brigjen M. Jusuf
menerima surat perintah dari Presiden Soekarno untuk Menteri/Panglima Angkatan
Darat Letjen Soeharto, maka ketiga jenderal itu segera meninggalkan Istana
Bogor dan menuju Jakarta. Menurut Amirmachmud, mereka bertiga langsung menuju
markas Kostrad. Di sana, Letjen Soeharto sedang menerima para Pangdam.
Supersemar kemudian diserahkan langsung oleh Basuki Rachmat Kepada Soeharto.
Pada malam itu juga,
Letjen Soeharto memerintahkan Ketua G-5 KOTI Brigjen Soetjipto dari markas
Kostrad untuk menemui Letkol Soedharmono agar menyiapkan konsep keputusan
Presiden/Pangti ABRI/KOTI tentang pembubaran PKI dan ormas-ormasnya. Pada saat
inilah Soedharmono “bersentuhan” dengan Supersemar.
Pada pukul 22:00,
Soedharmono mengaku mendapat telepon dari Soetjipto yang menyampaikan perintah
dari Letjen Soeharto untuknya. Soetjipto meminta Soedharmono agar malam itu
juga menyiapkan konsep pembubaran PKI. Dia sempat menjelaskan bahwa hal ini
adalah perintah Pangkopkamtib, sebagai hasil keputusan rapat KOTI yang dipimpin
langsung oleh Pangkopkamtib. Jadi, Soeharto memang telah berencana untuk
mempergunakan wewenang dari Supersemar guna membubarkan PKI.
Cerita itu mirip dengan
kisah yang dituturkan oleh Jenderal A.H. Nasution sebagaimana dimuat oleh
majalah Tempo edisi 15 Maret 1986.
Hari-hari menjelang keluarnya Supersemar, Nasution sudah tidak menjabat apa-apa
lagi. Dia lebih banyak di rumah sambil mengikuti suasana politik. Akan tetapi,
banyak tokoh-tokoh, termasuk para perwira Angkatan Darat,yang datang ke
rumahnya.
Nasution mengaku tahu
persis bahwa Basuki Rachmat, M. Jusuf dan Amirmachmud dari Bogor membawa
Supersemar langsung ke rumah Soeharto di Jalan Agus Salim. Soeharto, kata
Nasution, saat itu tengah sakit.
Begitu memperoleh
Supersemar, Soeharto langsung bangkit dari tempat tidurnya. Kalau tak salah,
tutur nasution, dia lalu pergi ke markas Kostrad. Namun, sebelum pergi,
Soeharto menelepon istri Nasution untuk memohon restu dan istri Nasution pun
memberikan restu.
Dalam rapat di markas
Kostrad, Letjen Soeharto duduk berdampingan dengan mayjen Soetjipto, yang waktu
itu menduduki jabatan Ketua G-5 KOTI dan Kepala Staf Peperti. Ketika rapat
sedang berlangsung, Soeharto menunjukkan Supersemar kepada Soetjipto. Setelah
membacanya, Soetjipto berkata, “Ini sudah cukup dipakai untuk membubarkan PKI.”
Nasution juga mengaku
bahwa Soetjipto datang ke rumahnya di jalan Teuku Umar pada 12 Maret 1966.
Soetjipto menceritakan keputusan rapat pada malam sebelumnya. Nasution dan
Soetjipto lalu pergi ke rumah Soeharto.
Nasution lalu
memberikan usul kepada Soeharto, antara lain, “Kamu sudah cukup posisi untuk
membentuk Kabinet Darurat.”
Soeharto menjawab, “Wah
itu wewenang Bung Karno, bukan wewenang saya.”
Nasution kembali
berkata, “Saya nanti akan membantumu.”
Soeharto hanya terdiam,
Usul Nasution agar
Soeharto membentuk Kabinet Darurat menunjukkan keinginan Nasution untuk
menyingkirkan Soekarno sebagai presiden. Rupanya, Soeharto ketika itu menyadari
wewenangnya hanya mengenai teknis keamanan. Tentu saja kesediaan nasution untuk
membantunya juga berpengaruh kepada Soeharto untuk melangkah lebih lanjut
dengan menggunakan Supersemar.
Meskipun pada 13 Maret
1966 Presiden Soekarno mengutus Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena
didampingi Brigjen KKO Hartono mendatangi Letjen Soeharto di rumahnya dengan
membawa sepucuk surat yang isinya mengoreksi keputusan Soeharto yang
membubarkan PKI, tampaknya Soeharto sudah yakin bahwa dia akan mendapat bantuan
dari Nasution. Maka kepada Leimena, Soeharto berpesan, “Sampaikan pada Bapak
Presiden, semua yang akan lakukan atas tanggung jaawab saya sendiri.”
Bagaimana dengan kisah
Supersemar berikutnya?
Pukul 01:00 tanggal 12
Maret 1966, Soedharmono kedatangan tamu Sekretaris Markas Besar Angkatan Darat
(MBAD) Brigjen Budiono. Sang tamu membawa dokumen penting, menurutnya rahasia,
untuk difotokopi. Katanya di MBAD tidak ada mesin fotokopi. Ternyata, dokumen
itu adalah Supersemar. Setelah difotokopi, Soedharmono meminta salinannya satu
lembar. Sedangkan, aslinya dibawa oleh Budiono.
Menurut Soedharmono,
dokumen yang difotokopi itu tidak lain adalah Supersemar. Satu fotokopi diminta
oleh Soedharmono karena akan dijadikan dasar hukum bagi pembubaran PKI.
Menurutnya, surat tersebut memudahkan dasar hukum pembubaran PKI karena surat
perintah tersebut memberi wewenang kepada Letjen Soeharto untuk atas nama
Presiden/Pangti ABRI/KOTI mengambil langkah-langkah yang dianggapnya perlu.
Akan tetapi Moerdiono,
yang saat itu berpangkat letnan satu, memiliki versi yang agak berbeda
dibandingkan atasannya, Letkol Soedharmono. Dalam sebuah wawancara dia
mengatakan bahwa Budiono adalah seorang perwira menengah berpangkat Kolonel
CPM. Setelah memfotokopi surat perintah tersebut, Budiono tidak mau memberikan
kopi surat perintah kepada Moerdiono. Kata Moerdiono,
“Waktu
dia keluar, saya meminta surat itu. Tapi, dia bilang, ‘Enggak bisa, ini
rahasia. Lha, ini saya untuk kerja. ‘Enggak bisa.’ Ya sudah. Nanti juga saya
dapat. Jadi semuanya dibawa ke Kostrad. Saya enggak dapat. Dari Kostrad baru
dikirim lagi..”
Brgijen Budiono telah
meninggal dunia dan tidak pernah ada usaha konfirmasi kepada yang bersangkutan
mengenai keberadaan surat perintah yang asli dari Presiden Soekarno.
Soedharmono juga tidak pernah menceritakan bagaimana nasib fotokopi surat
perintah yang dia minta dari Budiono. Sedangkan, menurut Moerdiono, dia pernah
mendapat cerita dari Soeharto bahwa dokumen asli tersebut diserahkan kepada
Kepala Pusat Penerangan Angkatan Darat Ibnu Soebroto, yang juga telah meninggal
dunia tanpa pernah berbicara mengenai hal itu.
Di pihak lain, Presiden
Soekarno pada 12 Maret 1966 membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara yang
dihadiri lengkap oleh Men/Pangal, Men/Pangau dan Men/Pangak. Dalam kesempatan
itu, presiden juga membacakan surat perintah yang diberikan kepada Men/Pangau
dan Men/Pangak. Dalam kesempatan itu, presiden juga membacakan surat perintah
yang diberikan kepada Men/Pangad Letjen Soeharto, yang pada hari itu tidak
hadir dalam acara pembukaan rapat tersebut. Soekarno membacakan Supersemar yang
baru saja dia tanda tangani dan diserahkan kepada Soeharto.
Setelah membaca isi
surat perintah tersebut, Presiden Soekarno mengakhiri dengan kalimat, “Nah,
saudara-saudara, bersambung dengan perintahkan saudara-saudara untuk memenuhi
perintahku tersebut dan mengadakan koordinasi sebaik-baiknya untuk melaksanakan
perinntahku dengan angkatan-angkatan lain, yaitu Polisi, Udara dan Laut agar
supaya revolusi berjalan terus dengan selamat, aman dan sentosa, agar Pemimpin
Besar Revolusi sebagai pemimpin pemerintahan, bisa berjalan terus dengan
sebaik-baiknya.”
Reaksi terkejut
presiden tersebut baru muncul setelah menerima laporan bahwa Men/Pangad
membubarkan PKI dengan dasar Supersemar. Presiden lalu mengeluarkan surat
perintah susulan yang disampaikan khusus kepada Letjen Soeharto melalui Wakil
Perdana Menteri II J. Leimena pada 13 Maret 1966. Namun, Soeharto tidak
memberikan reaksi apa-apa. Sementara ketiga jenderal yang datang ke Bogor sama
sekali tidak pernah bertemu dengan Presiden Soekarno sesudah itu.
Dalam hal ini pengakuan
seorang mantan menteri di Kabinet Dwikora menjadi menarik untuk diperhatikan.
Dia mengaku telah melaporkan Presiden Soekarno perihal sikap Letjen Soeharto
yang membubarkan PKI.
Dengan adanya laporan
itu, Bung Karno segera memutuskan untuk membuat surat penjelasan kepada
Soeharto. “Kalau begitu harus dibuat surat yang memberitahukan maksud
sebenarnya dari Supersemar. Untuk itu, Leimena, Waperdam II, harus hadir,” kata
Bung Karno.
Waktu itu, kata sang
mantan menteri, Leimena tidak ada sehingga mereka menunggu Leimena untuk hadir.
Setelah Leimena tiba, Bung Karno membuat surat yang isinya memberita hukum
kepada Soeharto bahwa Supersemar itu sekadar perintah pelaksanaan teknis untuk
Ibukota. Surat itu dibawa Leimena pada 14 Maret pagi ke rumah Letjen Soeharto.
Pada 15 Maret pagi,
sang mantan menteri menuju Istana Bogor dan menemui Presiden Soekarno. Dia
melaporkan penangkapan para menteri oleh Letjen Soeharto. Bung Karno kaget
mendengarnya.
“Ora iso, Soeharto meminta izin kepada saya kemarin untuk mengawal
menteri-menteri yang diperkirakan mau didatangi demonstran. Dia punya daftar
menteri-menteri itu. Daripada terjadi insiden, Soeharto meminta izin mengawal
menteri-menteri itu,” kata Bung Karno.
Akan tetapi, sang
mantan menteri menyahut, “Lho, mereka semua sekarang ditahan, Pak.”
Bung Karno pun semakin
terkejut.
Perihal pembubaran PKI,
Menteri/Panglima Angkatan Udara Sri Mulyono Herlambang juga mengaku tidak
diajak berkoordinasi oleh Letjen Soeharto. Dia mengaku demikian,
“Sama
sekali tidak ada koordinasi. Terutama, masalah pembubaran PKI itu. Pembubaran
PKI itu kan masalah politik sehingga begitu keluar di surat kabar dan radio,
Bung Karno marah. Pada tanggal 12 Maret, kita para panglima dipanggil ke Bogor,
sekitar pukul 13:40. Saat itu di Jakarta, sudah ramai show of force dari RPKAD, Kostrad dan lain-lain. Bung Karno tanya,
‘Kalian ini bagaimana? Sudah diajak koordinasi Soeharto atau belum? Itu gimana,
perintah saya hanya di bidang keamanan. Mengapa mengambil tindakan membubarkan
PKI? Itu ‘kan wewenang saya.’ Pak Harto sendiri tidak hadir dengan alasan sakit
tenggorokan dan terbaring di rumahnya. Bung Karno marah. Kita tahu, kalau Bung
Karno marah, kata-kata go to hell-nya keluar.”
Karena menganggap
Supersemar telah digunakan secara lancang, Presiden Soekarno menyurati Letjen
Soeharto. Mantan Duta Besar RI untuk Kuba A.M. Hanafi menuturkan bahwa pada 13
Maret 1966 Soekarno mengirimkan surat kepada Soeharto yang terdiri dari tiga
poin:
1. Mengingatkan
bahwa Supersemar sifatnya adalah teknis/administratif, tidak politik,
semata-mata adalah surat perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan
pemerintah, untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS.
2. Bahwa
Jenderal Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan-tindakan yang
melampaui bidang dan tanggung jawabnya sebab bidang politik adalah wewenang
langsung presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak presiden
semata-mata.
3. Jenderal
Soeharto diminta datang menghadap presiden di istana untuk memberikan
laporannya.
Hanafi menyebut bahwa
surat teguran itu diantar oleh Leimena kepada Soeharto, tapi sebelumnya
diperbanyak hingga 5.000 lembar untuk disebarkan. Yang mengatur pembagiannya
adalah Menteri Penerangan Achmadi. Akan tetapi, tidak ada madia massa yang mau
menyebarluaskan.
Pada 16 Maret 1966,
Presiden Soekarno membuat pengumuman untuk menjelaskan Supersemar. Dia
menegaskan bahwa dirinya masih berkuasa penuh, sebagai kepala eksekutif
pemerintah dan mandataris MPRS. Hanya dia yang dapat mengangkat menteri. Dia
juga menyebut dirinya hanya bertanggung jawab kepada MPRS dan Tuhan.
Dengan mengantungi
Supersemar, Letjen Soeharto belum menjadi penguasa tertinggi di RI. Soekarno
secara de facto maupun de jure masih menjabat Presiden, Panglima Tertinggi
Angkatan Bersenjata, bahkan Pemimpin Besar Revolusi. Namun, tiupan angin memang
sudah bergeser. Soeharto kian mendapat peluang meraih kekuasaan melalui
Supersemar.
Presiden Soekarno
sebenarnya sadar bahwa dia ditelikung oleh Letjen Soeharto. Maksud hati ingin
memberi perintah pengamanan belaka, apa daya justru terjadi “pengalihan
kekuasaan”.
Soekarno dalam beberapa
pidatonya setelah penyerahan Supersemar menegaskan bahwa surat perintah itu
bukanlah penyerahan kekuasaan. Dia tetap Presiden RI yang sah. Pada 1 April
1966 atau beberapa minggu setelah 11 Maret, dia berpidato di Masjid Istiqlal
dalam peringatan Idul Adha. Waktu itu dia berkata, “Sang duta besar kita harus
menerangkan lagi, menerangkan bahwa berita-berita surat kabar nekolim itu tidak
benar. Presiden Soekarno has not been
toppled, Presiden Soekarno tidak digulingkan. Presiden Soekarno has not
been ousted. Presiden Soekarno tidak ditendang keluar. Presiden Soekarno is still president. Presiden Soekarno masih tetap
presiden. Presiden Soekarno is still
supreme commander of the armed forces. Presiden Soekarno masih tetap
Panglima Tertinggi daripada Angkatan Bersenjata!”
Setelah pada 6 Juli
1966 Sidang MPRS mengeluarkan Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 yang menegaskan tentang
kelanjutan dan perluasan penggunaan Supersemar, Presiden Soekarno masih merasa
bisa mempertahankan kekuasaannya. Dalam sebuah pidatonya dia berkata,
“Saya
plong MPRS mengukuhkan Surat Perinntah saya, 11 Maret. Boleh dikatakan Surat
Perintah saya 11 Maret itu diambil oper oleh MPRS. Jadi, saudara-saudara jangan
salah pengertian lo, jangan kira bahwa saya merasa, apa itu, terjegal atau
bagaimana, manakah MPRS mengukuhkan SP 11 Maret itu. Oo, tidak! Saya malah
gembira, malah senang bahwa perintah saya 11 Maret itu, bukan hanya perintah
saya saja, tetapi perintah yang seluruhnya diambil oper oleh MPRS. Saya baca
sekali lagi. Memutuskan, memerintahkan kepada Pak Harto untuk, dengarkan
betul-betul ya, atas nama Presiden/Pemimpin Tertinggi/Pemimpin Besar revolusi:
satu, mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan
dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi.
Ini saya terangkan begini, saudara-saudara, apalagi para asing, pers asing
mengatakan bahwa perintah ini adalah a
transfer of authority to General Suharto. Tidak. It is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini
sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya
pemerintahan untuk ini untuk itu, untuk itu.”
Soekarno kembali menegaskan
hal tersebut dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden pada 17 Agustus 1966.
Pidato itu berjudul “Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah” (Djas Merah).
“Dikiranya SP 11 Maret itu suatu transfer
of authority padahal SP 11 Maret adalah suatu perintah pengamanan,’ kata
Soekarno.
Soekarno dalam
pidatonya merasa kecewa terhadap Soeharto yang salah mengartikan Supersemar.
Menurut Soekarno, Supersemar itu ditujukan untuk melakukan antisipasi
langkah-langkah pengamanan terhadap dirinya, pengamanan terhadap ajaran yang
dipegangnya dan pengamanan terhadap pemerintahan yang berkuasa. “Bukan
penyerahan pemerintahan! Bukan transfer
of authority!’ ujar Soekarno.
Sambil sesekali
memekikan semangat perjuangan, Soekarno juga secara eksplisit menuding Soeharto
sebagai biang kehancuran pemerintahan yang ditampuknya. “Mereka kecele sama
sekali! Dan sekarang pun, pada Hari Proklamasi sekarang ini mereka kecele lagi!
Lho, Soekarno masih presiden! Soekarno pemimpin besar revolusi! Soekarno masih
mandataris MPRS! Soekarno masih perdana menteri! Soekarno masih berdiri lagi di
mimbar ini!” pekiknya.
Dalam sambutan untuk
memperingati 40.000 jiwa pahlawan Sulawesi Selatan di Istora Senayan, Jakarta,
pada 10 Desember 1966, Presiden Soekarno kembali mengingatkan bahwa Supersemar
bukanlah pengalihan kekuasaan kepada Letjen Soeharto, melainkan sekadar
perintah kepada Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan. Kata Bung Karno,
“Perintah itu bisa juga saya berikan, misalnya, kepada Pak Mul. Muljadi Pangal
(Panglima Angkatan Laut). Saya bisa juga perintahkan kepada Pak Soetjipto
Judodihardjo, apalagi dia itu Pangak, saya perintahkan kepadamu untuk keamanan,
kestabilan jalannya pemerintahan. Untuk keamanan pribadi Presiden/Pemimpin
Besar Revolusi dan lain-lain sebagainya. I
repeat again: it is not a transfer of authority. Sekadar satu perintah!
Mengamankan!”
0 Comments: