Part 6: Kongsi Soeharto dan Nasution
Jakarta, 11 Maret 1966.
Sekitar tengah malam,
Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto menelepon Jenderal A.H.
Nasution dan melaporkan mengenai adanya surat perintah dari Presiden Soekarno.
Menurut Nasution, dalam kesempatan itu Soeharto meminta doa restu agar dia
berhasil dan misinya bisa selamat. Esoknya, Nasution menerima kabar dari Ketua
G-5 KOTI Brigjen Soetjipto yang sengaja diutus Soeharto perihal rincian
peristiwa yang terjadi sejak Sidang Kabinet Dwikora di Istana Negara hingga
dikirimnya tiga jenderal ke Istana Bogor.
Menurut Nasution yang
mendapat penjelasan dari Soetjipto, surat perintah yang diterima dari tiga
jenderal lalu diperlihatkan oleh Soeharto kepada Soetjipto. Lantas Soetjipto
berkomentar, “Ini cukup membubarkan PKI.”
Sejak mengetahui bahwa
Supersemar justru antara lain digunakan untuk membubarkan PKI, Presiden
Soekarno berupaya menghentikan laju surat perintah tersebut. Dia lalu membuat
surat tanggal 13 Maret 1966 yang intinya mengembalikan Supersemar sesuai maksud
sang presiden, yaitu perintah agar Letjen Soeharto mengatasi ketidakstabilan
keamanan pada waktu itu. Lalu, mantan Duta Besar RI untuk Kuba, A.M. Hanafi,
memperbanyak surat tertanggal 13 Maret tersebut sejumlah 5.000 lembar untuk
dibagikan kepada sejumlah pihak.
Dari cerita tersebut
jelaslah kiranya bahwa Jenderal Nasution mengetahui alur lahirnya Supersemar.
Setidaknya, menurut versi Soeharto via Soetjipto. Hal ini penting diketahui
mengingat dalam tahap berikutnya Soeharto dan Nasution adalah bagian tak
terpisahkan dari berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno. Buktinya, pada 21
Juni 1966, MPRS terbentuk dan Nasution dikukuhkan sebagai Ketua MPRS.
Konon sebelumnya,
masuklah ratusan tuntutan, usulan dan resolusi, kepada MPRS untuk mendesak
lembaga itu agar mendukung pencalonan Nasution sebagai ketua. Dukungan itu
datang Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), ormas-ormas Islam, Angkatan 45
dan Golongan Karya. Tentu saja semua permintaan ini bertentangan dengan
Presiden Soekarno yang tidak setuju Nasution memimpin MPRS
Kelompok Soeharto
kemudian melancarkan manuver untuk mengundang Sidang Umum MPRS. Namun, sebelum
sidang digelar, dia terlebih dulu mengubah komposisi pimpinan dan keanggotaan
di dalam MPRS. Para pendukung Soekarno digantikan dengan orang-orang yang
mendukungnya atau setidaknya orang-orang yang anti-Soekarno. Misalnya, soal caretaker Ketua MPRS. Pada 18 Maret
1966, Ketua MPRS Chaerul Saleh telah ditangkap dan “diamankan”. Untuk
menggantikannya, Presiden Soekarno menunjuk Letjen Wilujo Puspojudo. Namun,
Soeharto menggantikannya dengan Jenderal A.H. Nasution yang dikenal bermusuhan
dengan Soekarno, juga Wakil ketua MPRS Ali Sastroamidjojo, yang dikenal
berhubungan dekat dengan Soekarno, digantikan oleh Osa Maliki.
Tampaknya, dukungan
ABRI sangat menentukan di sini karena ABRI menganggap penting untuk mengukuhkan
Supersemar samapi MPR hasil Pemilu 1971. Maka, strategi pun harus disusun.
Sebuah sumber mengatakan, anggota MPRS diangkat dari anggota DPR Gotong Royong
yang berjumlah 293 orang plus sejumlah tambahan. Di antara tambahan anggota itu
ada 75 orang dari ABRI dan 95 orang dari Golkar. “Jadi memang tak ada debat.
Mayoritas menghendaki Pak Karno dicopot, ya, mau apalagi,” kata Dahlan
Ranuwihardjo tentang penggalangan aksi menentang Soekarno, lantaran presiden
pertama itu dinilai telah melenceng jauh itu.
Letjen Soeharto lalu
menangkap 15 orang menteri, termasuk Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.
Dia juga menangkap dan memenjarakan 105 anggota DPRGR/MPRS pendukung Soekarno,
dari PKI, Partindo, PNI dan lain-lain. Anggota-anggota DPRGR/MPRS yang
ditangkap itu kemudian diganti oleh para anggota yang berasal dari KAMI, KAPPI
dan kesatan-kesatuan aksi lainnya.
Semua ditujukan demi
memperkuat basis konstitusional bagi Supersemar agar menjadi Ketetapan MPRS.
Salah seorang pakar hukum yang gigih menyuarakan kepentingan ini adalah Ismail
Suny. “Kita tidak mau Supersemar itu dacabut sebab kalau dicabut, maka Soekarno
berkuasa lagi. Jadi, saya menganjurkan agar Supersemar itu dijadikan Tap MPRS
supaya tidak bisa dicabut oleh Presiden.” Selain Ismail suny, pendukung Orde
Baru dari kalangan sipil yang gencar mendesak pengukuhan Supersemar menjadi Tap
MPRS adalah Adnan Buyung Nasution dan Dahlan Ranuwiharjo.
MPRS pimpinan Nasution
ini bekerja cepat dalam jangka waktu 14 hari. Hasailnya adalah 24 ketetapan
yang bersifat penting. Ketetapan yang terpenting adalah Tap No. IX/1966 tentang
Kelanjutan dan Perluasan Penggunaan Supersemar. Dengan ketetapan ini, mandat untuk
Letjen Soeharto diperkuat oleh MPRS, sedangkan Presiden Soekarno sebagai
mandataris MPRS tak bisa lagi menarik atau melakukan tindakan apa pun atas
pemegang Supersemar. Dengan ketetapan MPRS ini, kekuasaan pemerintahan
sebenarnya sudah berada di tangan pemegang Supersemar.
Ketetapan yang kedua
adalah Tap No. XV/1966 yang isinya memberikan jaminan kepada Pengemban Tap MPRS
No. IX/1966, yaitu Letjen Soeharto, untuk setiap saat menjadi presiden “apabila
presiden berhalangan”. MPRS ketika itu tidak memberikan penjelasan apa pun
tentang makna dari “berhalangan”.
Penghambatan terhadap
Presiden Soekarno juga dilakukan ketika pidato pertanggungjawaban presiden yang
berjudul “Nawaksara” pada 22 Juni 1966 ditolak oleh MPRS. Keputusan penolakan
MPRS itu dituangkan dalam Tap No. V/1966 yang dikeluarkan pada 5 Juli 1966.
“inilah pertama kalinya presiden dimintai pertanggungjawaban dan dengan itu
merupakan suatu langkah yang penting,” ungkap Nasution.
Seusai Sidang MPRS,
Presiden Soekarno agaknya tak senang dengan penolakan terhadap Nawaksara.
Sementara di jalanan, aksi-aksi demonstran mahasiswa terus berlangsung untuk
menyatakan ketidakpuasan kepada presiden. Para mahasiswa, misalnya kecewa
mengapa Bung Karno masih dilibatakan dalam penyusunan Kabinet Ampera. Sebaliknya,
PNI dan ABRI berpendirian agar posisi Soekarno sebagai presiden tidak diganggu
gugat.
Namun, Kabinet Ampera
akhirnya dilantik oleh Presiden Soekarno pada 28 Juli 1966. Letjen Soeharto
terpilih sebagai Ketua Presidium. Kabinet ini mengakhiri masa kerja Kabinet
Dwikora Yang Disempurnakan atau “Kabinet 100 Menteri”. Anehnya, pembentukan
kabinet ini tak menghentikan aksi-aksi mahasiswa.
Presiden Soekarno tak
tinnggal diam. Pada 22 Agustus 1966, dia membubarkan Komando Tertinggi (KOTI)
dan memberhentikan Nasution dari jabatan Wakil Panglima Besar. Ketegangan di
antara Bung Karno dan Nasution ternyata terus berlanjut. Pada 22 Oktober 1966,
keluarlah nota pimpinan MPRS yang mengharuskan presiden untuk melengkapi
Nawaksara, khususnya bagian-bagian yang menyangkut PKI. Lama Bung Karno tak
menjawab permintaan ini. Baru pada 10 Januari 1967 presiden mau menjawabnya
melalui pidato berjudul “pelengkap Nawaksara”.
Sebelum menanggapi
“Pelengkap Nawaksara”, rupanya ada perubahan dalam komposisi keanggotaan di DPR
Gotong Royong. Pada awal Februari 1967, anggota DPR-GR ditambah. Keluarlah
Keputusan Presiden No. VII/1967 yang mengatur tentang penambahan anggota
DPR-GR. Agaknya ini merupakan pembersihan dewan dari para pendukung Soekarno.
Hasilnya, masuklah 45 orang dari kalangan partai dan 63 orang dari Golkar.
“Proses pengangkatan anggota-anggota baru DPR dengan Kepres No VII/1967
ditandatangai oleh oleh Jenderal Soeharto,” lata Nasution.
Dalam hal ini dahlan
Ranuwihardjo berkata,
“Mereka
diganti anggota baru. Yang tergusur itu adalah anggota partai-partai kecil dan
menggantinya kebanyakan tokoh-tokoh muda yang terkenal sekarang dengan Angkatan
66. MPRS yang sudah diganti itulah yang memutuskan untuk menolak pidato
Nawaksara yang dibacakan Bung Karno. Jadi, penggantian Bung Karno oleh MPRS itu
tidak ada halangan lagi. Menurut undang-undang tidak sah. Karena anggota
MPRS-nya sendiri sebelumnya sudah diresmikan oleh presiden.”
Kemudian, ibarat
pertandingan yang memasuki babak-babak akhir, DPR-GR “yang disempurnakan” itu
mengadakan sidang-sidang untuk membahas “Pelengkap Nawaksara”. Hasilnya, pada 9
Februari 1967, Dewan menyetujui usulan resolusi dan memorandum yang diajukan
oleh tokoh Nahdlatul Ulama, Nuddin Lubis yang menyatakan menolak laporan
“Pelengkap Nawaksara”. DPR-GR juga meminta pimpinan MPRS mengadakan Sidang
Istimewa MPRS guna membahas pemberhentian Soekarno dari jabatan presiden.
Setelah Nasution
menerima resolusi dan memorandum tadi, pada 14-16 Februari 1967, Badan Pekerja
MPRS bersidang. Hasilnya, menolak “Pelengkap Nawaksara”. Rapat juga memutuskan
untuk memberlakukan Tap MPRS No. XV/1966 yang mendudukkan Soeharto sebagai
pejabat presiden. Sementara jabatan wakil presiden untuk sementara dikosongkan.
Ada catatan tambahan: pimpinan MPRS memutuskan akan menyelenggarakan Sidang
Istimewa pada 7-11 Maret 1967.
Mengenai hal ini,
Dahlan Ranuwihardjo berkata,
“Menjatuhkan
Presiden Soekarno, itu juga sudah
kelihatan ketika ada pengiriman pasukan yang tidak memakai tanda pengenal di
Istana Negara. Padahal, saat itu sedang ada rapat kabinet yang dipimpin
langsung oleh Presiden Soekarno. Tetapi, yang menjadi masalah kemudian adalah
siapa yang akan menggantikan Bung Karno menjadi presiden. Pada waktu itu banyak
orang mengira yang akan menjadi presiden adalah Jenderal Nasution. Tetapi,
kemudian Pak Nas merasa dirinya tidak cukup kuat karena dia bukan orang jawa,
lantas ditunjuk Pak Harto.”
Menurut Amanat
Kenegaraan Presiden Soekarno tertanggal 10 November 1960, MPRS tak berwenang
mengubah Undang-Undang Dasar dan memilih presiden serta wakil presiden. Kalau
perubahan itu hendak dilakukan, fungsi MPRS harus diubah lebih dulu menjadi MPR
hasil pemilihan umum. Presiden Soekarno yang masih resmi dan sah sebagai
presiden tentu tak mengubah fungsi MPRS sebagai alat revolusi. Namun, dengan
mengabaikan Amanat Kenegaraan, Nasution melalui pidato Pembukaan Sidang Umum
Istimewa MPRS pada 7 Maret 1967 menyatakan,
“Sidang
Umum I, II, III berbeda dengan SU IV. Tiga SU masih berdasarkan Penpres dan
wewenangnya pada azasnya masih dibatasi kepada penentuan GBHN saja dan tidak
mewujudkan pasal-pasal UUD 1945 sepenuhnya, di mana MPRS adalah pemegang
kedaulatan rakyat, yang menetapkan atau mengubah UUD, memilih Presiden dan
Wakil Presiden dan lain-lain wewenang
kedaulatan, yang UUD jelaskan sebagai satu-satunya kekuasaan negara yang
tak terbatas. Dengan SU IV ini telah kembali ke MPRS, maupun presiden, DPR,
kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintahan pada posisi menurut UUD 1945 dan
bukan lagi menjadi pembantu Presiden/PBR sebagai hakikat sebelum itu.”
Dahlan Ranuwihardjo
menjelaskan, sebenarnya pada 20 Februari 1967 Sidang MPRS telah mengangkat
Jenderal Soeharto sebagai pengemban Tap MPRS No. IX/1966. Artinya, Presiden
Soekarno sejak itu sudah kehilangan kekuasaan. Akan tetapi, soal ini selalu dilupakan
orang. Yang dipercayai banyak orang sebagai tanggal penyerahan kekuasaan adalah
12 Maret 1967. Bila dilihat secara protokoler kata Dahlan, penyerahan kekuasaan
negara sebenarnya terjadi pada Februari 1967 dan disidangistimewakan pada Maret
1967.
Di sepanjang Februari
1967 itu aksi-aksi demonstrasi mahasiswa terus berlangsung. Pada 9 Februari,
misalnya, peringatan hari ulang tahun KAPPI menyuarakan tuntutan untuk segera
menurunkan Soekarno dari jabatan sebagai presiden.
Melihat kondisi politik
yang memanas, konon Bung Karno berusaha mendekati Letjen Soeharto untuk
menawarkan konsep surat penugasan tentang penyerahan tugas pemerintahan
sehari-hari kepada Soeharto. Apabila disetujui, kabarnya Soekarno berjanji akan
menyampaikan konsep surat itu pada Badan Pekerja MPRS dan kemudian dia tetap
akan memegang pimpinan kenegaraan serta menentukan garis-garis besar
pemerintahan.
Tampaknya, upaya Bung
Karno ini merupakan langkahnya untuk memotong pimpinan MPRS yang sudah menolak
“Pelengkap Nawaksara”. Namun, tawaran itu ditolak oleh Soeharto setelah
membicarakannya dengan para petinggi Angkatan Darat. Penolakan disampaikan oleh
Jenderal Soeharto kepada Presiden Soekarno pada 10 Februari 1967. Pada 11-20
Februari, dia membahasnya secara serius bersama seluruh panglima ABRI di Istana
Bogor dan Istana Merdeka.
Begitulah, pada 7 Maret
1967, Sidang Istimewa MPRS dibuka dengan pidato Ketua MPRS A.H. Nasution.
Sesuai jadwal, kedudukan Soeharto sebagai pejabat presiden dituangkan dalam Tap
No XXXIII/1967. Maka, dilantiklah Presiden Soeharto sebagi presiden kedua RI.
Puncak skenario ala
Soeharto itu bukanlah sesuatu yang tidak direncanakan secara matang. Semenjak
Sidang Umum MPRS 1966 sudah muncul kesan adanya dualisme kepemimpinan nasional
antara Presiden Soekarno dan Pengemban Tap No. IX.1966. dualisme ini sebenarnya
tidak lebih rekayasa belaka. Yang sebenarnya terjadi adalah insubordinasi
Letjen Soeharto terhadap Presiden Soekarno. Apa pun yang diucapkan dan
dilakukan Presiden, tantangan sengit selalu datang dari militer yang sepenuhnya
sudah dikendalikan oleh Soeharto serta para mahasiswa yang terus-menerus
melancarkan demonstrasi di seluruh pelosok Tanah Air.
Menurut kesaksian
Dahlan Ranuwihardjo, berdasarkan pengakuan Hardi S.H yang menjadi penghubung
Soekarno dan Soeharto, sebenarnya Soeharto sudah membuat daftar calon menteri
ketika membentuk Kabinet Ampera. Namun, hanya dua orang calon usulan dari
Presiden Soekarno yang disetujui Soeharto, yaitu Sanusi Hardjodinata dan Ir.
Bratanata, masing-masing sebagai Menteri P & K dan Menteri Pertambangan.
Tampaklah bahwa
Soeharto sepenuhnya telah mengendalikan roda pemerintahan karena jabatannya
sebagai Ketua Presidium Kabinet dan Panglima Angkatan Bersenjata. Di pihak
lain, Soekarno terus-menerus berteriak bahwa dirinya masih Presiden dan
Panglima Tertinggi yang sah. Hal inilah yang memberikan argumentasi kuat bagi
militer untuk segera dicarikan jalan keluarnya, yaitu tekanan politik. Maka,
sejak lahir 1966 muncul isu bahwa penyerahan kekuasaan dari Presiden soekarno
dan Letjen Soeharto adalah satu-satunya solusi terbaik untuk mengakhiri krisis
politik.
Karena daya tawarnya
yang semakin lemah. Presiden Soekarno hanya bisa berkapitulasi. Beberapa
permintaannya pun ditolak, seperti jaminan keamanan dan sebagainya. Maka, pada
20 Februari 1967 sekitar pukul 17:00, Presiden Soekarno di Istana Merdeka
menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan. Soeharto datang ke istana
didampingi beberapa petinggi militer. Namun, pengumuman perihal penyerahan
kekuasaan ini ditunda hingga “hari yang baik”. Terbukti bahwa “hari yang baik”
itu muncul pada 7 Maret 1967.
Dahlan Ranuwihardjo
menyebut peristiwa 20 Februari 1967 itu sebagai “ kudeta Letjen Soeharto
terhadap Presiden Soekarno”. Alasannya, dengan Surat Pernyataan Penyerahan
Kekuasaan, Soekarno kehilangan semua kekuasaannya. Sebaliknya, Soeharto secara
de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.
Pada pagi tanggal 22 Februari 1967, berita tentang penyerahan
kekuasaan Soekarno kepada Soeharto sudah bocor ke luar. Bahkan, sudah ada surat
kabar yang melansirnya. Menjelang pengumuman dokumen penting itu pada 22
Februari 1967 pukul 19:00, Presiden Soekarno dengan wajah kesal sambil
menunjuk-nunjuk surat kabar bertanya kepada Letjen Soeharto yang duduk di
sampingnya, “Kenapa beritanya sudah bocor?”
Soeharto menjawab
sambil tersenyum, “Cuma menerka-nerka saja.”
Menurut Dahlan,
perhatikanlah diktum pertama pengumuman Presiden Soekarno pada 22 Februari 1967
itu, “Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti ABRI terhitung mulai hari ini
menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengembangan Ketetapan MPRS No.
IX/MPRS/1966 Jenderal TNI Soeharto sesuai dengan jiwa Ketetapan MPRS No
XV/MPRS/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945.” Jadi,
penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto dilakukan berdasarkan Tap No
XV/MPRS/1966 yang menyatakan, “Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang
Surat Presiden 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden.”
Pertanyaannya, apakah
Presiden Soekarno ketika itu berhalangan atau berhalangan tetap sehingga dia
tidak lagi bisa menjalankan kekuasaannya?
Jawabannya: jelas
tidak. Soekarno, kata Dahlan, sehat walafiat ketika mengumumkan penyerahan
kekuasaan tersebut. Secara fisik, dia masih gagah perkasa, apalagi muncul
dengan seragam kebesarannya, lengkap dengan segala atribut kehormatan di
dadanya. Soekarno sengaja dibuat “berhalangan” dalam arti pemerintahannya tidak
lagi efektif.
Di sisi lain, tindakan
Ketua MPRS A.H. Nasution mengubah fungsi MPRS sebagai pembantu presiden menjadi
MPR, hanya dengan sebuah pidato Pembukaan Sidang Umum Istimewa MPRS seakan-akan
Nasution telah menjadi presiden, padahal dia bukan presiden dan Soekarno masih
sebagai Presiden RI yang sah pada 7 Maret 1967 itu, adalah tindakan yang tidak
konstitusional. Semua itu dilakukan untuk memberi peluang kepada Letjen
Soeharto agar menjadi presiden.
Sidang MPRS telah
diatur sedemikian rupa oleh Nasution menjadi MPR tanpa melalui pemilihan umum.
Dari MPRS yang seperti itulah lahir Tap No. XXXIII/MPRS1967 tentang pencabutan
kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan Tap No VXXXVI/MPRS/1967
yang menyudahi ajaran-ajaran Soekarno.
Dengan Tap No
XXXIII/MPRS/1967, secara definitif kekuasaan tidak lagi berada pada Presiden
Soekarno. Artinya, Soeharto menjadi Presiden RI setelah menggulingkan Presiden
Soekarno melalui MPRS yang inkonstitusional. Dalam hal ini, Nasution berperan
penting mengantarkan Soeharto ke puncak kekuasaan.
0 Comments: