Part 7: Supersemar Adalah Kudeta
Istana Negara, Jakarta,
9 Agustus 1997
Presiden Soeharto
memberikan pembekalan khusus kepada para menteri selama hampir dua jam tanpa
teks dan tanpa minum setegak pun. Dalam acara ini Soeharto bercerita tentang
perannya dalam perang kemerdekaan, Serangan Umum 1 Maret, ditahannya presiden
dan wakil presiden, gerilya bersama Panglima Besar Jenderal Soedriman,
masa-masa perlawanan di Surabaya, hingga terjadinya peristiwa G 30 S pada 1965.
Itu bukan pertama
kalinya Soeharto menyatakan pendapatnya perihal berbagai peristiwa penting di
Indonesia yang berkaitan dengan peranan dirinya. Tentu saja menurut versinya,
walau banyak orang yang tak memercayai begitu saja pengakuan Soeharto.
Salah satu hal yang
kerap dijelaskan berulang-ulang oleh Soeharto adalah Supersemar. Dalam
biografinya, Soeharto bahkan mengaku beberapa kali menolak prakarsa untuk
mempertingati hari lahirnya Supersemar secara besar-besaran. “Ini untuk
menghindarkan mitos terhadap peristiwa itu atau terhadap diri saya sendiri,”
katanya.
Mari kita lihat
pengakuan Soeharto tentang Supersemar,
“Memang
setelah saya umumkan tentang adanya “Supersemar” itu, dipersoalkan orang,
apakah surat perintah itu hanya satu “instruksi” Presiden kepada saya, ataukah
satu “pemindahan kekuasaan eksekutif yang terbatas?” menurut saya, perintah itu
dikeluarkan di saat negara dalam keadaan gawaat di mana integritas Presiden,
ABRI dan rakyat sedang berada dalam bahaya, sedangkan keamanan, ketertiban dan
pemerintahan berada dalam keadaan berantakan
Seperti
saya nyatakan di depan Radio dan TVRI di pertengahan Juni 1966, saya tidak akan
sering menggunakan Surat Perintah 11 Maret tersebut, lebih-lebih kalau surat
perintah itu belum diperlukan. Mata pedang akan menjadi tumpul bila selalu
digunakan. Sebagai perbandingan saya kemukakan, segerombolan monyet yang
menyerang ladang jagung si Polan dapat diusir hanya dengan tepukan tangan
penjaganya. Oleh karena itu, tidaklah baik memobilisasi satu kompi kendaraan
berlapis baja cuma untuk mengusir segerombolan kera.
Lima
tahun kemudian, untuk pertama kalinya saya jelaskan latar belakang dan sejarah
lahirnya “Supersemar” itu, karena rakyat Indonesia memang berhak mengetahuinya.
“Supersemar merupakan bagian sejarah yang sangat penting untuk meluruskan
kembali perjuangan bangsa dalam mempertahankan cita-cita kemerdekaan dan
memberi isi pada kemerdekaan.
Berkenaan
dengan ini, beberapa kali saya telah menolak prakarsa untuk memperingati hari
lahirnya “Supersemar” secara besar-besaran. Ini untuk menghindarkan timbulnya
mitos terhadap peristiwa itu atau terhadap diri saya sendiri. Saya tidak pernah
meganggap “Supersemar” itu sebagai tujuan untuk memperoleh kekuasaan. Surat
Perinntah 11 Maret itu juga bukan merupakan alat untuk mengadakan coup secara
terselubung “Supersemar” itu adalah awal perjuangan “Orde Baru.”
Namun, penjelasan
semacam itu tak berarti mengubah opini publik bahwa Supersemar adalah kudeta
terselubung Letjen Soeharto terhadap Presiden Soekarno. Tidak sedikit sejarawan
yang mempunyai pandangan serupa.
Cara yang efektif untuk
membuka kemungkinan adanya kudeta tersebut, menurut Slamet Sutrisno, adalah
dengan terlebih dulu merunut betapa Soeharto sesungguhnya sangat berkepentingan
terhadap keluarnya Supersemar. Dengan kata lain, Soeharto menghendaki sesuatu
kekuasaan sebagaimana kesaksian Jenderal Kemal Idris, Jenderal Mursjid,
Jenderal Soemitro dan ketua Rukun Tetangga tempat kediaman Soeharto sekaligus
kolega baiknya, yakni Mashuri S.H., yang kelak diberi jabatan menteri dan
terakhir Wakil Ketua MPR/DPR.
Jenderal Soeharto
mengatakan, pada minggu kedua sebelum 11 Maret 1966, rapat Staf Umum Angkatan
Darat memutuskan untuk memisahkan presiden Soekarno dari “durna-durna”-nya dan
para “durna” itu akan ditangkap oleh RPKAD. Rapat itulah yang kemudian mewujud
dalam kehadiran “pasukan tak dikenal” yang mengepung Istana Negara pada pagi
hari saat berlangsungnya Sidang Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan. Akibatnya,
Bung Karno memilih untuk meninggalkan sidang dan terbang ke Istana Bogor.
Ketika kejadian itu
dilaporkan kepada Soeharto, kata Kemal Idris, Soeharto menulis pesan untuk Bung
Karno yang dibawa oleh Amirmachmud, Basuki Rachmat dan M. Jusuf ke Istana
Bogor. Isi pesannya, “Saya tidak akan bertanggung jawab kalau saya tidak diberi
kekuasaan untuk mengatasi keadaan ini.”
Adapun Jenderal
Musrsyidi, Asisten Men/Pangad Jenderal Ahmad Yani, lebih tegas menyatakan bahwa
Presiden Soekarno dikudeta dalam konteks bertemunya kepentingan Barat dan pihak
dalam negeri. Mursyid berbeda pendapat dengan analisis kudeta itu berjalan
“merangkak” dengan tonggak-tonggak pokok: 1 Oktober atau G 30 S, 11 Maret 1966
dan penolakan pidato presiden, yaitu “Nawaksara” serta “Pelengkap Nawaksara”.
Kata Mursyid, “Saya
tetap berpegang bahwa 1 Oktober kudetanya. Formalnya, terjadi pada 11 Maret
dengan Supersemar, yang dikoreksi Bung Karno pada 13 Maret. Dengan kata lain,
tanggal 1 Oktober merupakan langkah-langkah ke arah 11 Maret itu. Itulah aibnya
Soeharto, ia ambil kekuasaan dengan paksa.” Namun demikian, Mursyid tidak
melihat Soeharto sebagai dalang tunggal kejatuhan Bung Karno.
Dalam pada itu, Mashuri
menyatakan bahwa kejatuhan Bung Karno bukanlah “kudeta merangkak” (creeping cuop d’etat), melainkan memang
kudeta. “Itu jelas kudeta, tidak pakai merangkak-rangkak. Jadi, orang
mengatakan sidang nawaksara di sana itu dihabisi Soekarno, itu tanggal 11 Maret
sudah terjadi kudeta. Jadi, Soeharto mengepung istana dan Bung Karno terbang ke
Bogor itu sudah kudeta. Begini saya pernah bilang pada Ruslan. Sidang MPRS
Nawaksara itu hanya sebagai ijab kabul, tapi sebelum menyampaikan harus
menghadap penghulu dulu, penghulunya ya, sebelas Maret itu,” kata Mashuri.
Sementara itu, Benedict
R’OG. Anderson, ahli ilmu politik dari Cornell University, AS yang dimusuhi
oleh rezim Orde Baru, menyebutkan bahwa Supersemar hanyalah langkah terakhir
dari serangkaian strategi. Adapun langkah awalnya, kata Anderson, adalah di
sekitar 1964, yaitu saat “Geng Soeharto” membuka jalan rahasia langsung ke
Malaysia, Inggris dan AS di luar jalur Jenderal A.H. Nasution dan Jenderal
Ahmad Yani.
Pada saat itulah, Benny
Moerdani dan Ali Moertopo, yang disebut oleh Anderson sebagai “anggota Geng
Soeharto”, justru membuka jalur sendiri ke Washington dengan memakai
orang-orang eks-PRRI, yaitu Des Alwi dan kawan-kawan. “Ini ada buktinya.
Data-datanya saya ada di Amerika. Nah, kalau mereka tidak berambisi untuk
posisi paling atas, untuk apa itu. Itu jelas semacam pengkhianatan terhadap
politik yang ada waktu itu,” ujar Anderson.
Bandingkan dengan
pernyataan Soebadio Sastrosatomo bahwa telah terjadi penyalahgunaan Supersemar.
Lewat Supersemar, Soeharto mendapat perintah dari Soekarno untuk menyelamatkan
revolusi. Surat perintah itu jelas tidak berisi pelimpahan kekuasaan, tetapi
pelimpahan tugas. Selaku yang diperintahkan, Soeharto berkewajiban melapor
kepada Soekarno mengenai apa yang dikerjakan sesuai dengan perintah itu. Akan
tetapi, kewajiban itu tidak dilaksanakan oleh Soeharto yang notabene masih menjadi
bawahan Bung Karno. Soebadio menyimpulkan bahwa Supersemar adalah kudeta
Soeharto atas pemerintahan Soekarno. Kejadian itu sama dengan cerita ketika
Raden Patah mengkudeta Prabu Brawijaya Pamungkas.
Pernyataan lainnya
muncul dari Manai Sophiaan. Menurutnya, kegagalan “pasukan liar” menangkap Dr.
Soebandrio pada 11 Maret pada 1966 mendorong kelompok Letjen Soeharto untuk
mereka mengupayakan jalan terbaik, yaitu lewat jalan rekayasa konstitusional.
Kata Manai, “Jadi, kudetanya tidak terang-terangan karena terjadi kemudian, Pak
Harto mengirim tiga jenderal ke Istana bogor, meminta Bung Karno agar
mengeluarkan surat perintah guna mengamankan demonstrasi. Surat inilah yang
kemudian dianggap sebagai penyerahan kekuasaan. Kalau itu perintah, seharusnya dikembalikan
kepada yang memberi perintah. Perintah ini tidak dikembalikan. Malah
dikembangkan menjadi suatu usaha menuju Sidang Istimewa MPRS untuk menjatuhkan
Soekarno..”
Lalu, bagaimana
pendapat A.H. Nasution, sosok yang kerap disebut telah melempangkan jalan bagi
Soeharto untuk menjadi presiden?
Menurut Nasution,
sebelum pemberian Supersemar, tidak terdengar suara-suara tentang penggantian
Presiden Soekarno, pada umumnya, suara-suara
dari masyarakat hanya menghendaki pemurnian UUD 45 secara murni dan konsekuen.
Pada Pasal 2 Ayat 1 Tap No.XV/MPRS/1966 menyebutkan bahwa jika presiden
berhalangan, pemegang Supersemar memegang jabatan presiden. Demikian pula pada
Ayat 1 di atas oleh pengembannya dilakukan dengan didampingi oleh pimpinan MPRS
dan pimpinan DPR-Gotong Royong.
Nasution sangat
berperan bagi kenaikan Soeharto ke kursi kepresidenan. Dialah yang membawa
Supersemar ke dalam Sidanf Umum MPRS pada 21 Juni 1966 tanpa sepengetahuan
Presiden Soekarno. Dalam sidang itu dikeluarkan Tap No. IX/MPRS/1966 tentang
Supersemar. Dengan demikian, sulit bagi Presiden Soekarno untuk mencabut
kembali Supersemar.
Kemudian, MPRS
mengeluarkan Tap No XXXV/MPRS/1966 pada 5 Juli 1966 tentang PKI sebagai partai
terlarang dan melarang menyebarkan Marxisme-Leninisme atau Komunisme di
Indonnesia. Ketetapan ini pada hakikatnya bertentangan dengan UUD 1945 dan
Pancasila. Pasal 27 dan 28 UUD 1945 menyebutkan bahwa semua warga negara
mempunyai hak yang sama di depan hukum (pasal 27), semua warga negara mempunyai
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, bebas mengeluarkan pikiran secara
tertulis dan lisan tanpa mempersoalkan paham politik atau ideologi yang
dianutnya (pasal 28).
Dalam Pancasila,
seperti yang diucapkan oleh Bung Karno dalam lahirnya pancasila, Negara
Republik Indonesia ini didirikan bukan untuk satu golongan, melainkan semua
untuk semua. Undang-undang, hukum, ketetapan, peraturan dan sejenisnya sebagai
ide atau bangunan atas suatu masyarakat sangat tergantung pada alat pelaksana
ide, yaitu kekuasaan politik. Pemberlakuan undang-undang dan sejenisnya sangat
tergantung pada kekuasaan politik. Penguasa politik hanya peduli pada
undang-undang dan sejenisnya yang menguntungkan.
Soeharto tampaknya
mengetahui dan sangat memahami pemikiran tersebut. Oleh karena itu, dia membuat
undang-undang, hukum dan sejenisnya untuk melindungi kepentingan politiknya.
Tap No. IX/MPRS/1966 dan Tap No. XXXV/MPRS/1966 adalah langkah awal secara
hukum untuk mengakhiri kekuasaan Soekarno. Untuk mempercepat dalam
pengambilalihan kekuasaan Soekarno, Soeharto dan Nasution mendesak DPR Gotong
Royong mengusulkan Sidang Umum Istimewa MPRS dengan alasan bahwa Presiden
Soekarno melanggar GBHN karena tidak bersedia membubarkan PKI. GBHN yang
berlaku pada waktu itu adalah GBHN Manipol yang berbasis pada Nasakom (Nasionalis,
agama dan komunis), membubarkan PKI berarti bertentangan dengan GBHN Manipol.
Usul DPR-GR untuk
menggelar Sidang Istimewa tersebut disetujua oleh MPRS sehingga
diselenggarakanlah SI MPRS pada 7-12 Maret 1967. Soeharto dan Nasution
menyadari bahwa MPRS hasil Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tidak dapat mengganti
presiden. Menurut pidato kenegaraan Presiden Soekarno 10 November 1960, MPRS
tidak berwenang mengubah UUD 1945 serta memilih presiden dan wakil presiden.
Nasution agaknya kurang
menaruh perhatian tentang hal itu. Dia mengatakan bahwa MPRS sekarang ini
adalah hasil pemilihan umum masa lalu sehingga sah untuk mengubah UUD 1945 dan
mengangkat presiden dan wakil presiden dan merupakan satu-satunya kekuasaan
negara yang tidak terbatas.
Berdasarkan pemikiran
seperti itu, MPRS mengeluarkan Tap No. XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan
kekuasaan pemerinntaha negara dari Presiden Soekarno dan Tap No.
XXXVI/MPRS/1967 tentag pelarangan Ajaran Soekarno. Dengan dua ketetapan
tersebut, usailah kekuasaan Presiden Soekarno.
Banyak kisah
kontroversial dalam masalah Supersemar. Akan tetapi, secara umum dapat
disimpulkan bahwa surat tersebut bukan dibuat oleh Presiden Soekarno dengan
sukarela. Meskipun tidak ada todongan senjata, dapat dipahami bahwa
penulisannya dilakukan dengan tekanan.
Dengan Supersemar,
Letjen Soeharto mengambil aksi beruntun pada Maret 1966: membubarkan PKI,
menangkap 15 menteri pendukung Soekarno, memulangkan Cakrabirawa (yang terdiri
dari 4.000 anggota pasukan yang loyal kepada Presiden) dan mengontrol media
massa di bawah Pusat Penerangan Angkatan Darat (Puspen AD). Tindakan Soeharto
ini tidak lain bertujuan untuk mengakhiri dualisme kekuasaan yang telah terjadi
pasca G 30 S.
Dualisme kekuasaan itu
tampak jelas dalam kasus penghentian rencana nasionalisasi perushaan asing
akhir 1965. Pada 15 Desember 1965, dengan naik helikopter, Letjen Soeharto
menuju Istana Cipanas tempat pertemuan yang dipimpin Wakil Perdana Menteri III
Chaerul Saleh dengan agenda pengambilalihan Caltex.
Soeharto turun dari
helikopter dan berseru, “Angkatan Darat sutuju nasionalisasi Caltex!” Lalu, dia
langsung meninggalkan tempat dan kembali ke Jakarta. Peristiwa dramatis itu
sungguh menunjukkan adanya dua pimpinan nasional saat itu karena dalam kasus
ini jelas Soeharto tidak bertindak atas perintah Presiden Soekarno. Oleh karena
itu, pelajaran yang dapat diambil dari keluarnya Supersemar adalah pada mada
mendatang hendaknya pergantian kekuasaan presiden berlangsung melalui pemilihan
umum yang demokratis, bukan dengan “kudeta merangkak” yang menyakitkan.
0 Comments: