Part 8: Supersemar Hilang atau dihilangkan?
Sampai kini,
kontroversi tentang Supersemar tidak kunjung selesai. Naskah aslinya secara
fisik hilang sehingga sulit untuk mengetahui kebenaran isi surat perintah yang
sekarang beredar itu. Artinya pula, penafsiran atas Supersemar menjadi
persoalan tersendiri yang sangat pelik.
Ada yang mengatakan
tersimpan di salah satu bank di luar negeri. Namun, hal itu masih sulit
diyakini karena tidak ada bukti autentik yang membenarkan hal itu. Demikian
pula dengan keberadaan di tanah air yang konon disimpan oleh mantan Presiden
Soeharto. Dengan kesimpangsiuran keberadaan Supersemar itu, kalangan sejarawan
dan hukum Indonesia mengatakan bahwa G 30 S pada 1965 dan Supersemar (1966)
adalah salah satu babak gelap dalam sejarah Indonesia.
Bagaimana Supersemar
bisa hilang?
Persoalan menjadi
serius ketika sebuah dokumen yang penting tentang peralihan kekuasaan negara
justru tidak jelas rimbanya. Mungkin saja hal itu terjadi karena pengarsipan
yang tidak jelas. Namun, di luar persoalan teknis pengarsipan yang tidak
teratur, Supersemar sejak semula diliputi sejumlah hal yang suram. Bahkan, kian
tidak bisa dirunut kebenarannya karena naskah aslinya tidak pernah diketemukan.
Mengapa surat penting
seperti Supersemar tidak pernah bisa ditemukan? Ada apa sebenarnya di balik
surat perintah itu? Adakah yang ditutupi atau yang pantas dijadikan rahasia
dalam isis surat dimaksud? Jika memang tidak ada, lantas mengapa sampai saat
ini keberadaan Supersemar masih misterius? Atau, pertanyaan paling mendasar:
apakah surat perintah itu betul-betul ada?
Yang jelas, sampai hari
ini naskah aslinya belum ada pada Arsip Nasional. Padahal, dalam Undang-undang
No 7 tahun 1971 tentang ketentuan-ketentuan pokok kearsipan, pasal 11, tercantum, “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan
melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a
undang-undang ini, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10
(sepuluh tahun) tahun.” Kita tentu menduga orang yang diberi tugas itulah yang
menyimpan surat penting itu dengan hati-hati.
Berbagai usaha pernah
dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan
mengenai Supersemar. Bahkan, ANRI berkali-kali meminta kepada Jenderal M.
Jusuf, saksi terakhir Supersemar, hingga akhir hayatnya pada 8 September 2004
agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun upaya itu selalu
gagal.
ANRI juga pernah
meminta bantuan Muladi, yang ketika itu menjabat Mensesneg, M. Jusuf Kalla.
Saelan, bahkan DPR untuk memanggil M. Jusuf. Akan tetapi, tetap saja
usaha-usaha itu tidak pernah membuahkan hasil. Saksi kunci lainnya adalah
mantan Presiden Soeharto. Namun, hingg Soeharto meninggal dunai pada 2008,
naskah asli Supersemar tetap tak ditemukan.
Sebagian kalangan
sejarawan Indoensia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar.
Dokumen yang tersimpan di ANRI terdiri dari beberapa versi. Namun, sebenarnya
perbedaan antar naskah, misalnya mengenai tempat penandatanganan, apakah
Jakarta atau Bogor, tidak mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman
surat perintah itu, satu atau dua halaman, itu hanya soal teknis.
Mantan Menteri
Sekretaris Negara Soedharmono pernah mengatakan bahwa Supersemar itu digandakan
atau difotokopi, Namun, ternyata hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan
bahwa surat itu dironeo (distensil). Tampaknya, pada awal 1966 belum ada mesin
fotokopi di Ibukota sehigga surat perintah itu distensil. Jika itu yang
terjadi, berarti naskah diketik ulang. Maka, tidak aneh jika terdapat berbagai
perbedaan. Bahkan, logo burung Garuda pun terlihat seperti digambar dengan
tangan.
Ketika biografi
Jenderal M. Jusuf diterbitkan pada 2006, masyarakat berharap menemukan titik
terang. Namun, ternyata Supersemar yang dilampirkan bukanlah yang asli. Setidaknya,
demikianlah menurut ANRI karen logo yang digunakan adalah Garuda Pancasila,
padahal lambang kepresidenan adalah padi kapas. Pada mulanya, kita bisa
berharap, draf pertama surat itu, draf kedua yang sudah ditulis komentar Dr.
Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak ditandatangani
Presiden Soekarno) yang semua dimiliki M. Jusuf dapat diserahkan kepada
pemerintah.
Menurut Soebandrio
Sastrosatomo, dengan mengutip penjelasan dari Dr. M. Noor Syam, Sekretaris
Laboratorium Pancasila IKIP Malang, naskah Supersemar berada di tangan keluarga
mendiang Haji Mas Agung, seorang pengusaha yang pernah dekat dengan Bung Karno.
Namun, naskah yang dipegang itu bukanlah naskah yang diserahkan kepada Letjen
Soeharto, melainkan naskah asli salinan yang sebelumnya dipegang oleh Bung
Karno.
Pendapat lainnya muncul
dari A.M Fatwa yang mengungkapkan bahwa dokumen tersebut saat ini masih ada dan
disimpan di sebuah bank oleh keluarga M. Jusuf. “Ada yang memberikan keyakinan
untuk itu (dokumen Supersemar) bahwa itu ada dan itu disimpan di sebuah bank,”
kata Fatwa.
Pernyataan Fatwa
diperkuat oleh sejarawan Salim Said yang menjelaskan bahwa menurut cerita yang
masih perlu dikonfirmasi, pada saat bersama Amirmachmud dan Basuki Rachmat
menghadap Presiden Soekarno, M. Jusuf adalah jenderal yang paling muda. “Jadi,
dokumen-dokumen, termasuk dokumen Supersemar itu, dibersihkan dari meja dan
disimpan oleh M. Jusuf dan itu berada di dalam kepemilikan keluarga,” kata
Said.
Menurut Salim Said,
dokumen Supersemar saat itu memiliki kopi atau tembusannya. Satu lembar
diserahkan kepada jenderal Soeharto, satu lembar lainnya diserahkan kepada
Presiden Soekarno dan satu lembar lainnya disimpan M. Jusuf. “dan, menurut
ceritanya, ini masih harus kita cari dokumen itu disimpan di loker sebuah bank,
namun bank mana itu saya belum tahu,” kata Salim.
Akan tetapi, pernyataan
tersebut dibantah oleh pihak keluarga m. Jusuf. “kita sudah bilang, keluarga
kami tidak menyimpan apa-apa,” tutur Heri Iskandar, salah seorang keponakan M.
Jusuf. Heri juga manyangkal jika istri M. Jusuf, Elly Saelan banyak mengetahui
soal supersemar dan akan mengungkapkan ke publik setelah kematian Soeharto.
“Kalau misalnya kami tahu, dari dulu akan kami ungkap, bahkan sebelum Soeharto
meninggal,” halsanya. “Pak Jusuf itu sertiikat saja kadang dia tidak tahu dia
simpan di mana, apalagi naskah Supersemar.”
M. Jusuf pernah berkata
kepada M. Jusuf Kalla mengenai naskah asli Supersemar. Dia mempunyai dua versi
cerita yang secara substansial berbeda cukup jauh. Yang pertama dan merupakan
versi yang banyak muncul adalah naskah itu hanya diketik bersih satu kopi.
Satu-satunya kopi yang ada itulah yang diberikan kepada Mayjen Basuki Rachmat
setelah ditandatangani Bung Karno.
Adapun versi kedua yang
pernah dikemukakan kepada Jusuf Kalla adalah Brigjen M. Sabur mengetik rangkap
tiga dengan kertas karbon. Kopi utama itulah yang ditandatangani Presiden
Soekarno, kemudian tindasan pertama disimpan Sabur dan tindakan kedua atau kopi
ketiga diambil dan disimpan oleh Brigjen M. Jusuf. Dua lembar sama sekali tidak
ditandatangani oleh presiden. Jadi, sebetulnya M. Jusuf menurut ceritanya
selain menyimpan kopi ketiga (palling bawah) dari surat perintah tersebut, lalu
konsep pertama surat perintah, juga konsep kedua (setelah diberi koreksi oleh
Soebandrio dan Chaerul Saleh).
Hal menarik mengenai
hilangnya naskah asli Supersemar disampaikan oleh Ben Anderson. Dia berkata,
“ada
suatu pengakuan dari seorang serdadu berpangkat rendah yang mengaku waktu itu
bertugas di Istana Bogor, buat saya yang dia katakan meyakinkan. Dia cerita
bahwa mereka lupa bahwa surat yang harus diteken. Bung Karno itu diketik di
atas kertas berkop Mabes AD. Jadi, masa Soekarno secara sukarela akan membuat
instruksi seperti Supersemar bukan di atas kertas kepresidenan, tapi Mabes AD.
Jadi, kalau itu diperlihatkan pada publik, enggak ada yang percaya. Jadi, perlu
dihilangkan bukan karena isinya, tapi karena letter headnya.
Anderson berkata lagi,
“Mungkin
sekali dihilangkan. Karena berbahaya. Itu masuk akal. Karena dalam situasi yang
serba darurat. Tapi, saya Cuma mau bilang bahwa Supersemar harus dilihat dengan
konteks perkembangan dan strategi politik geng sekitar Soeharto. Lalu, ada
pertanyaan mengapa Jusuf tidak mau bicara soal itu? Itu yang harus anda
tanyakan pada dia. I am not so sure. Dia mungkin juga ditipu waktu itu. Tapi,
itu sudah menjadi kontroversi besar-besaran. Satu-satunya orang yang masih
hidup yang ikut dalam delegasi ke Istana Bogor itu, kecuali kalau diam-diam
Panggabean ikut, kok selama 30 tahun dia diam seribu bahasa. Hubungan Jusuf
dengan Orde Baru ini buat saya tanda tanya besar. Saya ambil contoh waktu dia
jadi pangab, dia satu-satunya Pangab yang seolah-olah berani melawan rus.
Sesudah berusaha memperbaiki penampilan ABRI di dua daerah yang sangat rawan,
Timor Timur dan Irian, dia dicopot. Dia bukan orang yang menjadi kaya raya
seperti yang lain-lain, tapi dia toh tak mau bicara dia perlu ngomong.
Sekarang mari kita
bandingkan dengan pernyataan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Jenderal
Yoga Sugama. Menurutnya, Supersemar dihilangkan oleh orang yang berkepentingan
dengan surat perintah itu. Akan tetapi, yang lebih parah, katanya, keputusan
MPRS yang mengangkat Soeharto menjadi pejabat presiden itu hanya didasarkan
pada fotokopi (Supersemar). Jika surat perintah fotokopian itu ilegal, berarti
Soeharto juga adalah presiden ilegal atau “presiden fotokopi”.
Yoga Sugama berkata,
“Menurut
pengetahuan kita, surat itu sudah diterima dan dibawa Soeharto. Habis itu
hilang. Jawabannya tentu siapa yang berkepentingan kalau itu hilang. Saya
sendiri tidak bisa membuktikan. Tapi, siapa yang paling berkepentingan jika itu
hialang? Wah, saya tidak tahu. Tapi, jawabannya satu saja, siapa yang paling
berkepentingan jika itu hilang. Dulu kan sesneg nya itu si Soedharmono.
Dalam hubungannya
dengan hilang atau dihilangkannya Supersemar boleh jadi versi yang paling
mendekati kebenaran ialah kesengajaan Soeharto dan kelompoknya untuk kurang
beritikad baik. Hal ini bisa dilihat dari sikap Soeharto yang sejak semula
tidak melaksanakan dengan baik perintah dari Presiden Soekarno untuk: menjamin
keselamatan pribadi dan dan kewibawaan presiden serta melaksanakan dengan pasti
segala ajaran pemimpin besar revolusi; yang secara eksplisit diperintahkan
dalam Supersemar.
Kesaksian Soebandrio
juga membenarkan bahwa dalam naskah asli Supersemar sebenarnya tertera poin:
“Setelah keadaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden
Soekarno.” Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Kemal Idris, “Itu biasanya kalau
ada surat perintah untuk melaksanakan tugaas dan kalau sudah selesai ya harus
lapor. Kewenangannya ya harus ditarik. Tapi, itu tidak diaksanakan oleh
Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk
mendapatkan kekuasaannya sendiri.” Jadi, seperti kata Yoga Sugama, hanya pihak
yang memiliki kepentingan dengan Supersemar-lah yang kemudian menghilangkan
surat perintah tersebut.
0 Comments: