PERISTIWA MEMALUKAN DI JAFFA (Shalahuddin al Ayyubi)

August 08, 2020 0 Comments

 

 

 

 

 

Shalahuddin al ayyubi pun segera membatalkan tawarannya dan kembali mencoba peruntungan di medan perang. Saat pasukan Ricahrd berada jauh dari Acre, ia dan pasukannya pun bersiap-siap untuk menguasai kawasan selatan palestina. Sebab, ia ingin memperbaiki reputasinya yang telah rusak. Selain itu, ia juga ingin memberikan semangat baru kepada pasukannya untuk berjihad. Maka, ia meminta pasukan bantuan dari Damaskus.


Tidak lama kemudian, pasukan gabungan Kurdi dan Turki datang ke Jerusalem bergabung dengan pasukannya. Lalu, Shalahuddin pun segera melakukan invasi dengan target utama kota pesisir, Jaffa. Mereka mendapatkan perlawanan di Jaffa, namun mereka pun mampu mengatasi pasukan pertahanan Jaffa dengan sigap.

Selanjutnya, para prajurit Shalahuddin al ayyubi melakukan penjarahan di kota tersebut. Maka, Shalahuddin al ayyubi pun mencoba mengatasi penjarahan tersebut. Akan tetapi, pasukan Turki dan Kurdi justru menyerang pasukan pengawal Shalahuddin al ayyubi. Sehingga, mereka pun terlibat dalam pertempuran.

Shalahuddin al ayyubi tak habis pikir mengapa pasukannya bisa melakukan hal yang memalukan dengan slaing bertikai untuk memperebutkan piala-piala emas, kain-kain indah dan bahan-bahan makanan. Sebelumnya, ia memang pernah menyaksikan berbagai konflik internal sesama muslim, seperti di Mosul dan Aleppo. Namun, pertikaian yang terjadi pada waktu itu disebabkan oleh unsur politik yang cenderung mengarah pada perebutan kekuasaan. Sedangkan, pertikaian internal yang terjadi di Jaffa itu murni karena keserakahan.

Di sisi lain, ia menerima kabar bahwa Richard dan pasukannya sedang dalam perjalanan menuju kota tersebut. Saat itu pasukan Shalahuddin al ayyubi berjumlah sekitar 60 ribu orang prajurit, sedangkan Richard mencoba menghadapinya dengan pasukan yang pada awalnya hanya berjumlah 3 ribu tentara dan 3 ekor kuda. Tentu saja, tindakan Richard ini bisa dianggap sebagai langkah yang tidak masuk akal atau terlalu nekat. Bahkan, Ricahrd memilih untuk memimpin sendiri pasukan tersebut walaupun pasukannya jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan pasukan Shalahuddin.

Dengan demikian, Shalahuddin memiliki kesempatan untuk menghancurkan pasukan Perang Salib Eropa untuk selama-lamanya. Namun, ternayat keadaan berbalik 180 derajat. Harapan shalahuddin al ayyubi untuk mengalahkan pasukan Ricahrd secara mutlak berubah menjadi sebuah mimpi buruk.

Sebab, pasukan Richard melancarkan serangan secara frontal terhadap garda depan Shalahuddin sehingga membuat pasukan Islam bercerai-berai. Serangan pasukan Richard yang sangat mendadak ini benar-benar mengejutkan pasukan Shalahuddin sehingga membuat mereka terjebak dalam kepanikan.

Sebelum para petinggi Shalahuddin al ayyubi mampu menstabilkan garda depan pasukannya, pasukan Richard telah menyerbu mereka kembali. Maka, dalam sekejap, kemenangan Shalahuddin al ayyubi di Jaffa telah berubah menjadi malapetaka. Sehingga, ia harus menyerahkan kota yang baru saja ia menangkan tersebut kepada Richard. Selain itu, ia juga harus kehilangan pasukannya.

Walaupun menang dan berjaya di Tanah Suci, Richard tetap tidak mampu menghindar dari gangguan saudaranya di Inggirs. Maka, ia memberikan sebuah penawaran yang sangat luar biasa kepada Shalahuddin al ayyubi. Ia menganjurkan shalahuddin supa menghentikan serangannya terhadap Jaffa dan Asalon. Sebagai gantinya, ia akan membiarkan Jerusalem tetap berada dalam genggaman umat Islam.

Akan tetapi, Shalahuddin tetap menolak tawaran tersebut. Ia menjelaskan kepada Richard bahwa kesediannya menerima tawaran tersebut hanya akan mengimplikasikan kegagalan jihad yang ia usung. Maka, ia memilih kalah di medan tempur daripada mendeklarasikan kegagalan jihad.

Selanjutnya, Shalahuddin mulai memperkuat dan memperbarui semangat tempur pasukannya. Namun, hal ini tidak berlangsung lama karena prajurit-prajurit Islam tidak mengindahkan perintah Shalahuddin, bahkan mereka mulai melakukan berbagai macam pemberontakan. Maka, mau tidak mau, Shalahuddin harus menerima fakta bahwa jihadnya telah berakhir. Sehingga, untuk kesekian kalinya, ia kembali mengajukan kesepakatan gencatan senjata kepada Richard the Lionheart.

 

GENCATAN SENJATA PADA TAHUN 1192

Richard dan Shalahuddin al ayyubi berhasil menyepakati berakhirnya pertempuran mereka selama ini (yang oleh para sejarawan disebut Perang Salib III). Sejak 2 September 1192, kedua belah pihak mulai menerapkan gencatan senjata. Perjanjian damai ini berlaku selama 4 tahun. Setelah itu, kedua belah pihak dapat mendeklarasikan perang kembali (kedua belah pihak ini menyadari bahwa pion ini bersifat fiktif karena mereka tidak pernah membayangkan akan kembali terjun ke medan laga).

Selanjutnya, mereka membagi kekuasaan di wilayah Palestina dan sekitarnya. Mereka sepakat bahwa Ascalon merupakan wilayah yang netral sehingga tidak satu pihak pun yang boleh mengklaim kota tersebut. Sementara itu, berbagai wilayah yang telah berada dalam kekuasaan orang-orang Kristen akan tetap menjadi wilayah kekuasaan mereka.

Selain itu, Shalahuddin al ayyubi setuju untuk memberikan jaminan kebebasan bagi umat Kristiani yang ingin mengunjungi gereja dan tempat-tempat suci di Jerusalem. Namun, pasukan Shalahuddin akan tetap memegang kepemilikan Jerusalem. Setelah menandatangani kesepakatan damai tersebut, Richard kembali ke Inggirs. Akhirnya, perdamaian tercipta juga di kota suci tersebut.

 

HARI-HARI TERAKHIR SHALAHUDDIN AL AYYUBI

Semenjak berdamai dengan Richard, Shalahuddin al ayyubi menyibukkan diri dengan rutinitas barunya. Setelah menghabiskan waktu lebih dari dua puluh tahun untuk berperang, ia mulai memperhatikan kekuasaannya sebagai sultan secara detail.

Pertama-pertama, Shalahuddin al ayyubi mempersiapkan diri untuk melakukan tur keliling Palestina. Ia ingin mempelajari lebih dekat supaya bisa lebih menghargai negeri tandus yang penuh bebatuan telah ia perjuangkan dengan gigih. Selama ini, Shalahuddin hanya melihat Kota Suci ini dari sudut pandang strategi militer. Padahal, Jerusalem lebih dari sekedar titik dalam peta yang harus diamankan dari musuh-musuh Islam. Jerusalem adalah sebuah kota suci yang mampu memikat hati setiap orang beriman dan membuatnya tenang. Maka, ia pun mengakui bahwa Jerusalem sangat indah memiliki daya pikat tersendiri.

Selain itu, Shalahuddin al ayyubi mendedikasikan usahanya untuk memperbaiki berbagai kerusakan fisik dan spiritual akibat peperangan yang telah berlangsung selama hampir satu abad (terhitung sejak Perang Salib Pertama). Shalahuddin al ayyubi percaya bahwa masyarakat Jerusalem layak mendapatkan usaha terbaik yang bisa dilakukan oleh seorang pemimpin muslim seperti dirinya. Maka, sebelum bertolak menuju Damaskus, ia menggunakan sebagian hartanya untuk mendirikan sebuah rumah sakit dan sekolah baru di kota tersebut.

Akan tetapi, perjalanannya kembali ke Damaskus tidaklah mudah. Peperangan yang panjang telah membuatnya menua secara prematur. Ia merasa sangat lelah sehingga ia meretas jalannya dari pegunungan Syria menuju tepian Sungai Nil. Sang prajurit renta ini merindukan sebuah kesederhaanaan dalam masa-masa pensiunnya. Maka, ia pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.

Sesampaianya di sana, Shalahuddin al ayyubi menghabiskan waktunya untuk bersantai. Ia pun menggunakan waktu luangnya untuk bermain dengan cucunya yang banyak. Tak lupa, ia juga mendongengkan kisah-kisah pengabdiannya kepada Islam untuk mereka.

Selanjutnya, Shalahuddin menyadari bahwa ketenangan jiwa yang ia rasakan merupakan pertanda bahwa fase akhir dari kehidupannya. Usianya yang semakin hari semakin bertambah, membisikkan kematian. Namun, ia tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan penerus kekuasaannya.

Oleh karena itu, ia mengumpulkan putra-putranya untuk menyusun peralihan kekuasaan secara mulus dan damai. Ia berupaya untuk menyatukan keluarganya supaya Dinasti Ayyubiyyah bisa diteruskan tanpa kehadirannya. Maka, ia menasihati mereka untuk selalu ingat terhadap kewajiban-kewajiban mereka. Selain itu, ia juga mengingatkan mereka untuk membentengi diri dari berbagai konflik domestik yang dapat mencerai-beraikan dinasti yang telah ia perjuangkan dengan penuh kegigihan.

“berhati-hatilah pada pertumpahan darah. Jangan pernah percayakan hidup kalian pada cara tersebut. Sebab, darah yang tumpah tak akan pernah tidur sehingga selalu menyisakan dendam,” katanya kepada para putranya.

Selain itu, Shalahuddin al ayyubi juga menasihati mereka untuk tidak melupakan kepentingan dan kesejahteraan masyarakat awam saat mereka terjun ke dunia politik. Ia pun mengingatkan mereka untuk tidak bertindak secara gegabah. Sebab, hal tersebut bisa menafikan kerja keras yang telah mereka lakukan sepanjang hidup mereka.

Shalahuddin al ayyubi tidak ingin Islam menderita akibat tindakan para putranya yang masih hijau. Kekhawatiran Shalahuddin al ayyubi mengenai tindakan para putranya, persatuan Islam dan ancaman orang-orang Kristen yang menghantui Palestina selama terus-menerus bisa dilihat dari riwayat-riwayat yang disampaikan oleh para pelayannya. Sebab, mereka selalu menemani hari-hari terakhirnya.

Bahkan, para penasihatnya bisa mengenali perubahan subtil (halus) namun tak terbantahkan dalam diri Shalahuddin. Tatapan kosong dan sifat pelupanya benar-benar mengganggu mereka. Misalnya, di suatu siang yang terik, Shalahuddin pergi menunggang kuda kesayangannya untuk menyambut kedatangan para jamaah haji yang baru pulang dari Mekkah tanpa mengenakan jubah tebal yang selalu ia kenakan.

Karena selama ini, ia tidak pernah lupa untuk jubahnya tersebut, para pelayannya pun mulai mengartikan hal itu sebagai sebuah pertanda buruk. Keesokan harinya, ia merasa kurang enak badan dan demam. Maka, ia dipapah menuju peraduannya. Akan tetapi, kondisinya justru memburuk para putranya dan mempersiapkan hal yang tak terhindarkan.

Pada saat yang menegangkan itu, Shalahuddin al ayyubi tetap mempertahankan selera humor dan kelembutan sikapnya. Saat demamnya bertambah tinggi, Shalahuddin al ayyubi meminta segelas air yang hangat atau suam suam kuku kepada pelayannya. Namun, air dalam gelas pertama yang diberikan kepadanya terlalu hangat, sedangkan air dalam gelas kedua terlalu dingin.

Dalam keadaan seperti itu, sebagian besar penguasa mungkin akan memaki-maki, bahkan menghukum mati pembantunya. Tetapi, Shalahuddin al ayyubi hanya menghela napas dan tersenyum lembut pada pelayannya seraya mengatakan, “Barangkali memang tidak ada yang bisa membuat air dengan temperatur suhu yang tepat.”

Selain itu, Shalahuddin seolah-olah mengetahui bahwa waktunya di muka bumi akan segera berakhir. Maka, ia pun memanggil imam yang terpecaya untuk menemaninya disisi peraduan. Lalu, mereka pun membaca ayat suci al-Qur’an secara bersama-sama. Ketika sang imam sampai pada salah satu ayat yang sangat disukai oleh Shalahuddin al ayyubi, ia mencondongkan badan ke arah telinga Shalahuddin al ayyubi dan membacanya, “Dia-lah Allah yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang mengetahui yang gaib dan nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr 59:22).

Setelah itu, mata Shalahuddin al ayyubi pun menyiratkan cahayanya untuk terakhir kali. Kemudian, ia tersenyum sambil berbisik, “Maha Benar Allah.” Maka, pada 4 Maret 1193, Shalahuddin wafat dengan tenang dalam usia yang ke-55 tahun.

 

HUBUNGAN ANTARA SHALAHUDDIN AL AYYUBI DAN KAIRO

Shalahuddin al ayyubi telah berhasil menghadirkan sebuah konsep kota yang berbeda dengan orang-orang Fatimiyyah. Sebab, ia menginginkan Kairo sebagi tampat yang aman. Sehingga, dengan dibentengi oleh tembok-tembok kukuh dan tak tertembuskan, kota ini dapat berkembang dan bersatu.

Namun, ia tetap menginginkan tempat tersebut mampu berfungsi secara internal dengan segenap kebebasan komersial dan kulturalnya tanpa kawasan elite dan istana yang megah. Selain itu, ia juga menginginkan sebuah kota yang benar-benar dimiliki oleh warga kota tersebut, walaupun kelak ia yang akan menjadi penguasa mutlak di kota tersebut.

Ada banyak sejarawan yang menghubungkan rancangan tata kota Shalahuddin untuk Kairo itu murni berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan kebutuhan kemiliteran atau keadaan kawasan setempat. Namun, Shalahuddin memiliki sebuah “visi untuk dunia”. Sebab, pada kenyataannya, ia sedang berusaha melindungi dan mempertahankan sebuah keseluruhan kultur sekaligus wilayahnya, sebuah ideologi sekaligus agama.

Shalahuddin al ayyubi menganggap Mesir sebagai sebuah sumber pendapatan bagi peperangan yang ia lakukan (baik perang melawan orang-orang Kristen dan Eropa, serta perang dalam mengatasi perpecahan sekte-sekte muslim yang telah memilah-milah Islam saat itu).

Rupanya, ia ingin Kairo menjadi pusat kebangkitan kultur dan ideologi Sunni. Selain itu, ia juga mendambakan Kairo sebagai tempat pengumpulan dana yang ia butuhkan untuk membangun pertahanan terhadap serangan pasukan Perang Salib Eropa.

Sementara itu, Shalahuddin al ayyubi memulai meniti kariernya di Mesir, di bawah kekuasaan Fatimiyyah. Maka, ia lebih memilih melakukan proses reedukasi ajaran dan keyakinan Sunni terhadap Mesir daripada menghancurkan rivalnya, sesama orang muslim (walaupun ia juga memenjarakan atau mengeksekusi seluruh anggota keluarga Fatimiyyah).

Adapun, karya yang paling terkenal Shalahuddin al ayyubi di kota kairo adalah benteng militer yang dikenal dengan nama Citadel. Selain itu, ia juga memberikan kontribusi dalam bidang arsitektur dengan membangun madrasah, masjid yang sekaligus digunakan sebagai tempat untuk sekolah. Dalam kurun waktu 11 tahun, ia telah berhasil membangun 5 buah madrasah.

Maka, Shalahuddin pun mendatangkan ulama-ulama Sunni dari Timur untuk mengelola sekolah-sekolah barunya itu. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, namun mereka juga mengajarkan sistem administrasi, matematika, geodesi, fisika dan ilmu kedoteran.

Salah satu sekolah yang dibangun Shalahuddin al ayyubi berada tak jauh dari makam Imam al-Syafi’i, pendiri salah satu dari empat madzhab utama dalam Sunni dan Shalahuddin pun tercatat sebagai salah satu murid di sekolah tersebut. Hingga saat ini, masih banyak orang Mesir yang bersekolah di sini. Sekolah ini berada di kawasan selatan pemakaman yang dikenal dengan nama Khalifa.

Walaupun Shalahuddin al ayyubi telah berhasil mengubah kota elite yang sebelumnya hanya dikhususkan untuk kalangan ningrat menjadi sebuah kota terbuka bagi para penduduknya, ia tetap masih perlu memiliki sebuah benteng pertahanan untuk menahan segala macam bentuk serangan militer dan gempuran dari luar.

Maka, pada tahun 1176-1177, Shalahuddin al ayyubi pun mulai melakukan proses pembangunan Citadel (yang saat ini menjadi salah satu monumen paling terkenal di kota Kairo). Selain memerlukan sebuah benteng pertahanan, ia juga membutuhkan pusat pemerintahan di dalam kota dan pembangunan Citadel dapat memenuhi kedua kebutuhan tersebut.

Sebuah legenda menyebutkan bahwa Shalahuddin al ayyubi memilih kawasan itu untuk membangun Citadel karena udaranya sangat segat. Cerita lain yang berkembang menyebutkan bahwa ia juga menggantungkan potongan daging di senatero kota Kairo. Biasanya, potong-potongan daging membusuk dalam kurun waktu sehari. Namun, di Citadel, potongan-potongan daging tersebut bisa bertahan hingga beberapa hari.

Dengan demikian, lokasi ini merupakan lokasi yang strategi untuk mengendalikan Kairo maupun menahan serangan musuh. Selain itu, asal Shalahuddin al ayyubi juga mempengaruhi kebiasaannya. Karena di Syria, setiap kota memiliki benteng yang menjadi pusat pemerintahan bagi pemimpinnya, maka ia pun membawa kebiasaan ini ke Mesir.

Shalahuddin al ayyubi menerapkan teknik benteng yang terbilang modern di masa itu. Tembok Citadel dibangun dengan ketinggian lebih dari 10 m dan tebal 3 m. Selain itu, ia juga membangun beberapa menara bundar yang menonjol dari dinding benteng. Dengan demikian, para penjaga di Citadel bisa segera melancarkan serangan kepada siapa saja yang mencoba memanjat dinding kukuh tersebut.

Selanjutnya, Shalahuddin al ayyubi ingin mengabadikan seluruh kejayaan kairo, termasuk reruntuhan Fustat-Misr, di dalam sebuah tembok yang kukuh. Maka, ia pun mulai membangun tembok Badr (di sebelah utara), lalu menyambungnya hingga Sungai Nil dan Pelabuhan Al-Maks (di sebelah barat). Kemudian meneruskan ke sisi timur, yakni di bawah perbukitan mukattam. Selanjutnya, ia meneruskan tembok Badr ke arah selatan hingga menyatu dengan Citadel yang berada di ketinggian sekitar 250 kaki di atas kota.

Sayangnya, tidak ada satu pun monumen religius itu yang masih bertahan hingga sekarang. Walaupun ada bagian Citadel yang masih berdiri kukuh, bangunan ini tidak murni dibangun pada masa Shalahuddin al ayyubi. Sebab, setiap penakluk yang menginjakkan kaki di Mesir (termasuk Inggris) tercatat ikut andil dalam pembangunan atau perombakan benteng ini.

 

Salah satu fitur menarik di Citadel ialah Sumur Yusuf atau Sumur Shalahuddin al ayyubi. Sumur tersebut digali dengan tujuan untuk menyuplai air minum bagi para penghuninya. Sumur yang kedalamannya sekitar 87m itu menembus bebatuan padat menuju sumber mata air.

Selain airnya sangat melimpah, di dalam sumur juga terdapat jalan landai yang cukup besar. Sehingga, binatang peliharaan pun bisa dituntun turun menuju dasar sumur guna menggerakkan mesin untuk mengangkat air. Sayangnya, saat ini, sumur tersebut tak lagi dibuka untuk umum.

Satu hal lagi yang patut disayangkan adalah hiangnya jejak rumah sakit yang dibangun oleh Shalahuddin al ayyubi (rumah sakit ini menyerupai klinik modern pada masa sekarang). Hal ini seperti yang digambarkan oleh Ibn Jubair, juru tulis shalahuddin al ayyubi. Ia menyatakan bahwa rumah sakit tersebut merupakan sebuah tempat yang indah dan luas. Shalahuddin al ayyubi juga menugaskan banyak tabib dan ahli obat di rumah sakit itu. Selain itu, pusat layanan kesehatan ini juga dilengkapi dengan beberapa ruangan khusus dan tempat tidur yang bersepai rapi.

Selanjutnya, ia menugaskan para perawat untuk menjaga dan melayani para pasien. Mereka menyajikan makanan gratis dan memberikan obat-obatan, serta bangsa khusus bagi kaum perempuan. Tak jauh dari sana, Shalahuddin al ayyubi juga membangun gedung dengan jendela berteralis. Gedung itu ia peruntukkan bagi penderita gangguan jiwa. Di sini, mereka tetap diperlukan secara manusiawi. Bahkan, para ahli yang merawatnya pun selalu berusaha mencari tahu penyebab gangguan pikiran mereka.

Selanjutnya, Shalahuddin al ayyubi membuka gerbang Istana Al-Qahira (Kairo) dan menjual semua harta benda para penguasa Fatimiyyah yang berlimpah ruah termasuk batu merah delima 2.400 karat, zamrud sepanjang 4 jari dan perpustakaan khalifah yang mengesankan. Kemudian, hasil penjualan tersebut ia gunakan untuk membayar gaji para prajuritnya.

Kekayaan Mesir itu memberikan peluang kepada Shalahuddin al ayyubi untuk mendulang kesuksesan demi kesuksesan di Palestina. Misalnya, dalam Pertempuran Hattin (tahun 1187), ia mampu merebut Jerusalem dan menyarankan pukulan telak kepada pasukan Perang Salib Eropa sehingga mereka tidak mampu bangkit lagi. Lalu, ribuan orang Kristen ini, dipaksa untuk berjalan sejauh 400 mil ke arah kairo. Kemudian, mereka disuruh mengerjakan proyek pengembangan benteng kota dan pembangun Citadel.

Maka, pada tahun 1182, Shalahuddin al ayyubi pun meninggalkan kairo untuk memerangi pasukan Perang Salib di Syria. Maka, saat ia menghembuskan napas terakhirnya di Damaskus, ia telah memerdekakan hampir semua tanah Palestina dari tangan tentara-tentara Inggris, Prancis, Burgundi, Sisilia dan Austria.

Dalam pertempuran melawan pasukan Perang Salib tersebut, Shalahuddin al ayyubi kerap mendapatkan bantuan dari orang-orang Kristen Timur yang juga menjadi korban dari ekspansi pasukan Perang Salib Eropa. Sehingga, umat Kristiani Koptik Mesir pun lebih memilih tunduk kepada Shalahuddin al ayyubi daripada Paus.

Tabel Kronoligi Shalahuddin al ayyubi

TAHUN

PERISTIWA

1096-1099

Perang Salib pertama pecah dan berujung pada pendudukan Jerusalem oleh umat Kristiani pada tahun 1099

1138

Shalahuddin Lahir

1144

Imaduddin Zengi menaklukkan Edesa dari tangan orang-orang Kristen

1146

Zengi terbunuh sehingga posisinya digantikan oleh putranya yang bernama Nuruddin

1147-1149

Perang Salib kedua pecah dan pasukan Kristen gagal menduduki Damaskus

1152

Shalahuddin al ayyubi muda mengikuti pendidikan di bawah pengawasan pamannya, Asaduddin syirkuh, di Aleppo

1154

Ayah Shalahuddin membuka jalan bagi karier politik putranya dengan meyakinkan Damaskus agar bersekutu dengan Nuruddin

1156

Pada usianya yang ke-18, Shalahuddin al ayyubi kembali berkumpul dengan ayahnya di Damaskus

1164-1168

Shalahuddin menemani Syirkuh ke Mesir, termasuk mempertahankan kota Alexandria dari serangan bangsa Frank

1169

Shalahuddin menjadi wazir di Mesir

1171

Khalifah Dinasti Fatimiyyah terakhir wafat, lalu Shalahuddin mengambil alih kekuasaan Mesir

1174

Nuruddin mangkat, kemudian Shalahuddin segera menuju damaskus dan mengambil alih kekuasaan di Syria. Maka, Khalifah Dinasti Abbasiyyah di Baghdad memproklamirkan Shalahuddin sebagai Sultan Syria dan Mesir

1174-1186

Shalahuddin mengonsolidasikan kekuasaannya dalam serangkaian pertempuran melawan kota-kota yang memberontak antara lain Mosul dan Aleppo

1187

Shalahuddin menyerang Palestina dan mengalahkan pasukan Frank yang dipimpin oleh Guy of Lusignan dan Raymond of Tripoli dalam Pertempuran hattin. Lalu, ia melanjutkan kemenangan ini dengan menaklukkan Jerusalem

1188

Pasukan Shalahuddin  berhasil menduduki hampir semua titik penting di kawasan Palestina, kecuali Tripoli, Tyre dan Benteng Krak des Chevaliers

1188-1191

Serangan pasukan Kristen di bawah pimpinan Raja Inggris, Richard the Lionheart terhadap kota muslim, Acre merupakan kekalahan terhebat bagi Shalahuddin

1192

Richard dan Shalahuddin sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan berbagi kekuasaan di tanah Suci

1193

Shalahuddin wafat pada usia yang ke-55 tahun

 

 

 

 

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: