MASA KECIL SOEHARTO

November 06, 2017 4 Comments


Kelahiran dan Masa Balita Soeharto
H.M. Soeharto yang sebelumnya memiliki pangkat Jenderal Soeharto lahir di Desa Kemusuk, Godean, Yohyakarta pada 8 Juni 1921. Bayi Soeharto dilahirkan oleh Ibu Sukirah dengan bantuan seorang dukun bayi bernama Mbah Kromodiryo. Mbah Kromodiryo bukan orang lain bagi Soeharto, ia adalah saudara kandung kakek Soeharto. Mbah Kromolah yang membantu Ibbu Sukirah melahirkan dan merawat bayi Soeharto. Sungguh kelahiran yang seharusnya sangat dinantikan oleh seorang ibu muda seperti Sukirah, tetapi nyatanya kelahiran Soeharto justru menambah bebannya. Mengapa? Karena saat mengandung dan melahirkan Soeharto, Ibu Sukirah sedang mengalami masalah yang sangat pelik dengan suaminya, ayahnya Soeharto. Ibu Sukirah memang menikah dengan duda yang memiliki pekerjaan sebagai pegawai ulu-ulu atau penjaga tata air di desa. Setiap hari pak Kertosudiro, demikian sebutan bagi ayah Soeharto juga bertani di tanah lungguh sebutan bagi tanah penunjang jabatan selama seseorang menjadi ulu-ulu.
Meskipun tengh mengalami masalah pelik, nyatanya anak yang dilahrikan Bu Sukirah tampak sehat dan lincah. Pemberian nama Soeharto oleh ayahnya, Kertosudiro, mengandung harapan yang sangat tinggi. Soe dalam bahasa Jawa berarti tinggi serta baik dan Harto berarti harta. Jadi, nama Soeharto diharapkan mampu membawa nasib sang jabang bayi menjadi seseorang yang memiliki harta melmpah. Nama adalah doa dan Kertosudiro menamakan anaknya dengan doa yang baik sebagai seorang ayah. Nantinya doa dalam sebuah nama ini dijawab oleh Sang Mahakuasa dengan limpahan harta dan jabatan untuk Soeharto.
Soeharto pernah mengatakan dalam beberapa buku biografi mengenai dirinya, bahwa kedua orangtuanya, yaitu Kertosudiro dan Sukirah memiliki hubungan yang buruk sehingga tepat saat Soeharto berusia 40 hari, keduanya bercerai. Secara otomatis, sebagai sosok bayi, Soeharto seharusnya masih disusui oleh ibunya dan merasakan kehangatan kasih sayang kedua orangtuanya. Tetapi nyatanya tidak, Soeharto bayi harus menerima kenyataan ketika sang ibu menitipkannya di rumah Mbah Kromodiryo dan Mbah Amat Idris. Soeharto memiliki enam saudara yang seayah dan 7 saudara yang seibu.
Hubungan yang buruk antara kedua orangtua Soeharto kemungkinan besar dipicu oleh perbedaan usia yang terlalu lebar. Kertosudiro yang duda menikah dengan gadis muda belia yang masih bersifat manja. Meskipun demikian, orangtua Bu Sukirah tam memperbolehkan anaknya kembali ke rumah tanpa sepengetahuan suaminya sehingga bertambahlah kesedihan ibunda Soeharto tersebut. Setelah berpisah dengan Kertosudiro kelak Bu Sukirah justru akan menemukan kebahagiaan hidup bersama suaminya Atmoprawiryo yang mampu mengimbangi dan perhatian padanya.
Setelah Soeharto berusia Soeharto berusia 40 hari, Bu Sukirah merasa diriya tak sanggup menjaga bayi tampan tersebut bagaimanapun seorang ibu tetaplah ingin anaknya mendapatkan kasih sayang dan terpelihara dengan baik. Sementara Bu Sukirah merasa dirinya jauh dari kemampuan untuk memelihara dengan baik, pikirannya sedang kalut karena perpisahan dengan suaminya. Bu Sukirah ingin menyendiri sambil mendekatkan diri pada Tuhan yang memperbaiki diri dalam pemikiran yang jernih. Kemungkinan melihat sosok Soeharto akan selalu mengingatkan Bu Sukirah pada Kertosudiro yang telah melepaskannya. Dengan berat hati, Bu Sukirah menitipkan Soeharto di rumah Mbah Kromodiryo yang membantu persalinannya. Air susu Bu Sukirah tak lagi bisa keluar karena sakit yang sangat parah, sakit secara fisik dan emosional tentunya. Mbah Kromo dengan senang hati menerima Soeharto yang telah dianggap cucunya sendiri. Waktu ibu Sukirah melahirkan Soeharto, usianya masih sangat belia, yaitu 16 tahun. Seperti halnya gadis-gadis di masa tersebut yang menikah muda. Orangtua akan merasa bingung jika putrinya sudah mencapai usia 15 tahun dan belum ada yang meminangnya.
Hari-hari dilalui Soeharto di bawah pengasuhan Mbah Kromodiryo dan sering ditimang Mbah Amat Idris. Mbah Kromo putri yang seorang dukun bayi sering seirng bepergian menolong persalinan para ibu di Desa Kemusuk dan sekitarnya. Saat seperti ini Soeharto lantas diasuh Mbah Kromo Kakung. Mbah Kromo sering mengajak Soeharto balita pergi berjalan-jalan di sawah. Biasanya Mbah kromo memanggul Soeharto di pundaknya. Saat Mbah Kromo bertani, Soeharto seirng ikut turun ke sawah dan bermain dengan kerbau-kerbaunya. Soeharto sering duduk di atas pundah Mbah Kromo sementara ia mencangkul. Di waktu yang lain, Soeharto didudukkan di atas garu/ pembajak tanah yang dikendalikan oleh kerbau. Soeharto senang memberikan aba-aba pada kerbaunya untuk jalan luru, belok kanan, ataukah belok kiri. Tak jarang Soeharto mencari ikan belut yang kemudian dimasak oleh Mbah Kromo putri sebagai lauk kesayangannya. Konon sampai menjadi seorang presiden pun Pak Harto tak terlalu suka makan-makanan asing. Soeharto tetaplah anak desa yang suka ikan belut, sayur lodeh, tahu dan tempe bacem, serta ikan goreng.
Masa Kanak-kanak yang Penuh Liku
Setelah lama diasuh oleh Mbah Kromodiryo, Soeharto kecil tampak sengat bahagia dalam keterbatasan sebagai seorang anak desa. Tak banyak kenakalan yang diperbuat oleh Soeharto, karena pada dasarnya dia adalah anak penurut dan tahu diri kalau ngenger (ikut orang, Jawa). Diasuh oleh orang lain membuat pertumbuhan Soeharto sangatlah pesat, baik secara fisik maupun emosional. Soeharto termasuk anak yang pendiam, tak banyak bicara, meskipun temannya ternyata cukup banyak. Soeharto pandai membawa diri dalam pergaulan, tak pernah bertindak berlebihan, semua dijalaninya dengan pemahaman yang sulit dimiliki oleh anak kecil seusianya. Tak pernah Soeharto tampak merengek meminta ini dan itu, apalagi memukul dan mengganggu temannya. Yang ada ketika temannya mengganggunya, Soeharto tak segan untuk melawannya sampai si anak babak belur. Hal inilah yang akan terbawa sampai dewasa. Pak Harto tipikal orang yang pendiam, tetapi jika ada yang mengganggunya, tak segan ditumpasnya sampai habis.
Suatu saat Soeharto kecil mencoba menebang pisang dengan Sabit/arit dan ternyata benda tajam tersebut jatuh mengenai kakinya. Pada mulanya lukanya tak seberapa besar, tetapi ternyata lama-kelamaan semakin menjadi istilahnya sampai menjadi borok. Mbah Kromolah yang merawat  luka Soeharto dengan penuh kasih sayang sampai sembuh. Sampai menjadi seorang presiden, Soeharto tak pernah melupakan jasa baik dan kasih sayang Mbah Kromo kepadanya.
Desa Kemusuk tak akan pernah hilang dari benak Soeharto. Desa yang tentram dan sejuk dengan penduduk yang ramah dan sopan. Di desa inilah Soeharto menghabiskan masa bayi sampai kanak-kanaknya dengan riang meski dalam keterbatasan. bermain lumpur di sawah merupakan hal yang tak bisa dilhilangkan dari benak Soeharto. Saat menjabat presiden, kenangan ini dihidupkannya lewat safari pedesaan yang dilakukannya dari desa ke desa sepanjang Pulau Jawa. Meski kemudian daerah luar pulau terutama Indonesia bagian timur merasa tak diperhatikan, tak bisa dipungkiri Indonesia tetaplah meiliki taring di mata dunia daat kepemimpinannya.
Sayang sekali, cinta kasih dan ajaran sederhana Mbah Kromo harus berakhir saat Bu Sukirah mengambil Soeharto berusia kerang lebih empat tahun, masih balita saat sang ibu yang telah menikah lagi dengan Atmoprawiro menjemputnya. Tak diceritakan bagaimana perasaan sang calon presiden saat dijemput dari rumah Mbah Kromo. Hal yang pasti tak ada insiden apa pun karena tampaknya Mbah Kromo merupakan orang desa yang lugu, demikian pula Bu Sukirah telah merasa banyak terbantu selama empat tahun Mbah Kromo telah mengasuh dan mendidik anaknya.aa
Diambil oleh sang ibu dari rumah Mbah Kromo, kemudian Soeharto diajak menetap di rumah ayah tirinya Atmoprawiro. Sekali-kali Soeharto juga diasuh oleh kakeknya/ayah Bu Sukirah, yaitu Atmosudiro. Suami Bu Sukirah, Atmoprawiro yang sebelum bernama Pramono tampaknya merupakan seorang Jawa tulen yang memegang teguh ajaran nenek moyang. Dalam pengasuhan Atmoprawiro dan Bu Sukirah, Soeharto diajak untuk prihatin. Unsur pendidikan yang diberikan pada Soeharto sangatlah lengkap untuk ukuran pedesaan di tahun dua puluhanan. Soeharto  mengenyam sekolah kebangsaan di sekolah dasar dan lanjutan rendah dan tak lupa ayah tiri dan ibunya meyuruhnya mengaji di surau untuk membangun pendidikan agamanya. Kedua pendidikan yang ditunjang dengan pendidikan di rumah, membuat mental Soeharto tebentuk dan jiwanya menjadi kuat berpijak pada kemauan yang didasari oleh usaha keras.
Semenjak kecil Soeharto merupakan seorang anak yang tangguh dan pemberani, hal ini bisa dilihat dari kisah masa kecilnya saat ada kerbau milik Mbah Atmosudiro terperosok ke sungai. Soeharto kecil mengikuti kerbau tersebut sampai ke sungai yang agak jauh. Dipikirnya , kerbau akan bisa baik kembali dan tak lagi terperosok di sungai sempit tersebut. Namun perkiraan Soeharto salah, kerbau tersebut memang benar-benar terperosok dan tak tahu jalan untuk kembali ke daratan. Akhirnya, Soeharto menangis keras sampai semua orang mendengar tangisan tersebut lalu menolongnya. Tak lupa kerbau pun ditolong oleh orang-orang tersebut sehingga legalah hati Soeharto.
 Meskipun tinggal bersama ayah tiri, ayah Soeharto, Pak Kertosudiro tetap meerhatikan anak laki-lakinya tersebut. Saat memperoleh rzeki lebih, Kertosudiro mebawakan Soeharto seekor kambing. Kambing tersebut disambut dengan dengan suka cita oleh Soeharto dan menjadi salah satu teman bermainnya di waktu kecil. Sebagaimana anak kecil lainnya, Soeharto pun seringkali mengalami kenakalan masa kanak-kanak meskipun bisa dikatakan dia cenderung pendiam. Kadangkala Soeharto menangis, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi. Selain karena kerbau yang terperosok, pernah suatu saat Soeharto menangis kreas karena tanpa sengaja menelan uang logam. Saat Bu Sukirah akan berbelanja ke pasar, dia memberikan uang logam kepada Soeharto untuk jajan. Saat itu pulalah Soeharto bermain dengan uang logamnya sampai akhirnya tertelan. Teman-temannya justru mengatakan bahwa uang tersebut mengatakan bahwa uang tersebut akan menyangkut di perut dan tak  akan pernah keluar lagi. Inilah yang membuat Soeharto menangis namun setelah banyak mengatakan bahwa uang logam akan keluar dengan sendirinya, Soeharto mulai diam.
Di masa kecil, Soeharto juga pernah mengalami iri hati karena perlakuan berbeda nenek buyutnya, yaitu nenek dari Bu Sukirah. Kisahnya waktu itu Mbah Notosudiro menjahit baju yang kemudia meminta Soeharto mencobanya. Pemikiran Soeharto, baju tersebut akan diberikan kepada dirinya karena pas sekali di badan dan kebetulan ia tak memiliki baju. Namun ternyata Mbah Notosudiro memanggil cicit lainnya, yaitu sepupu Soeharto bernama Darsono untuk diberi baju tersebut. Sebagai seorang anak kecil, wajar jika Soeharto merasa bahwa nenek buyutnya pilih kasih. Tak sayng padanya karena ternyata baju yang dijahit diberikan pada Darsono yang justru telah memiliki baju. Darsoo, sepupu Soeharto adalah anak dari kakak Bu Sukirah yang kehidupannya lebih mapan. Soeharto memang kurang seberuntung sepupunya di waktu kecil. Kehidupan Bu Sukirah tak semapan kakaknya. Saat kecil Soeharto hanya mengenakan celana yang berujung runcing seperti saat akan ke sawah. Setelah sekolah baru ia mengenakan kemeja dan ikan pinggang “sabuk wolo” seperti halnya anak-anak Jawa pada umumnya.
Keprihatinan hidup yang dialami Soeharto membawa manfaat di masa mendatang. Dengan tak sempat bermanja-manja justru Soeharto beranjak menjadi anak yang tangguh, berani dan tak kenal lelah dalam menggapai apa yang dicita-citakannya.
Pendidikan Soeharto Kecil
Seperti telah menajdi suratan takdir bahwa  Soeharto tak pernah berdiam di satu tempat dalam waktu lama. Saat masih bayi, setelah 40 hari disusui oleh ibunya lalu Soeharto dititipkan ke rumah Mbah Kromodiryo, dukun bayi yang menolong kelahirannya. Dirumah Mbah Kromo, Soeharto banyak menemukan kebahagiaan masa kecil dalam kesederhanaan. Bermain di sawah, mandi di sungai dan naik ke punggung kerbau menjadi aktivitas keseharian balita Soeharto.
Setelah diambil oleh Bu Sukirah dari tangan Mbah Kromodiryo, Soeharto sering berada di rumah kakeknya (ayah dari Bu Sukirah), yaitu Sukiman atau lebih dikenal dengan sebutan Atmosudiro. Karena ayah tirinya, Atmoprawiro dan Bu Sukirah sering berpindah rumah, Soeharto juga ikut beberapa kali pindah sekolah. Soeharto memulai pendidikan formal di usia yang cukup, yaitu 8 tahun (tahun 1929). Bagi anak-anak desa zaman penjajahan Belanda, bisa bersekolah saja merupakan anugerah. Maka, usia tak lagi diperhitungkan asalkan si anak sudah siap untuk duduk mendengarkan guru mengajar dan menulis di sabak, mereka telah siap bersekolah. Tak ada buku yang bisa dibuat belajar sampai beberapa bulan saat ujian berlangsung alat tulis yang tersedia adalah sabak, semacam batu pipih yang ditulisi dengan kuas khusus. Kuas tersebut sebelumnya dicelupkan pada tinta khusus yang disediakan di meja para siswa. Sekedar membandingkan, jika kita melihat penampilan batu yang disebut dengan sabak, kita akan teringat dengan kemajuan modern, yaitu ipad atau tablet. Namun, tentu saja tablet bisa menyimpan banyak data dalam hard disk-nya, sedangkan sabak tidak. Tak heran siswa zaman dulu benar-benar siswa pilihan yang harus gigih dan mau belajar. Bagaimana tidak, sebelum keesokan hari sabak dibersihkan dan digunakan untuk menulis pelajaran sebelumnya, siswa harus menghafal tulisan pada sabak di hari sebelumnya. Demikian juga yang terjadi pada Soeharto, boleh banyak orang mengatakan Soeharto tak secerdas Soekarno atau pengetahuannya kurang luas, tetapi nyatanya semenjak kecil Soeharto telah melalui pendidikan sekolah layaknya rakyat Indonesia lainnya. Tak ada fasilitas istimewa yang diterima oleh Soeharto, hal tersebut justru membuatnya merasakan bagaimana hidup sebagai rakyat biasa. Jika Soeharto tak cerdas, mana mungkin dia bisa menamatkan sekolah dengan sebuah sabak yang tulisannya harus segera dihafalkan?
Berikut sekolah-sekolah tempat Soeharto pernah belajar
1.    SD Puluhan Godean, dulu namanya Sekolah Rakyat/Sekolah Rendah dan saat ini menjadi SD
2.    SD Pedes Yogyakarta
3.    SD Lanjutan (Sekolah Rendah Lanjutan) di Wuryantoro
4.    SMP Muhammadiyah Yogyakarta
Soeharto sekolah di SMP ini karena semua siswa yang belajar boleh memakai sarung dan tanpa alas kaki.
Soeharto memang hanya menamatkan sekolah sampai bangku SMP. Selain itu, Soeharto juga selalu diajarkan untuk mengaji di surau semenjak kecil. Pendidikan umum dan pendidikan agama yang diberikan oleh keluarganya membuat Soeharto tertempa sebagai sosok yang tidak tergesa-gesa. Ditambah dengan berbagai falsafah hidup mulai dari pengasuhnya semasa balita Mbah Kromodiryo, kakek kandungnya Mbah Atmosudiro, ayah tirinya Atmoprwiryo, ayahnya sendiri Kertosudiro, ibunya Sukirah dan sosok-sosok lain yang di kemudian hari mewarnai kehidupan Soeharto.

                                 Sabak, buku zaman dahulu sekilas mirip tablet saat ini


Dalam satu kesempatan Soeharto pernah menyampaikan penyesalan bahwa dia hanya bisa sekolah sampai SMP. Namun, Soeharto bisa membuktikan setelah masuk menjadi prajurit AD pendidikan yang dilaluinya justru lebih dari apa yang bisa didapatkan dari bangku sekolah umum. Seseorang tak pernah mengetahui takdirnya yang telah digariskan oleh Tuhan. Namun, dengan kesungguhan dan kehati-hatian ditunjang oleh doa dan keprihatinan hidup semua bisa dilalui dengan tangguh. Saat takdir telah menggiring ke dalam kehidupan yang berlimpah, seseorang tinggal mengucap syukur dan tak pernah melupakan kehidupannya terdahulu yang penuh dengan keprihatinan. Demikianlah yang terjadi dengan Soeharto, semua boleh mengatakan bahwa Soeharto pandai memanfaatkan situasi politik untuk akhirnya bisa berkuasa menjadi Presiden RI selama 32 tahun. Namun, apabila ditelaah lagi ke belakang ke dalam kehidupan masa kecil Soeharto, akan banyak yang menyatakan bahwa sudah sepantasnya Pak Harto mendapatkan jabatan setinggi itu di masa tuanya. Karena kehidupannya jauh dari hura-hura, jauh dari maksiat dan kenakalan yang merugikan orangtua, orang lain, serta keyakinan yang dianutnya.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

4 comments:

  1. Terima kasih cerita nya . Saya juga mengalami persis namun orang tua utuh . Saya menghargai pemimpin terdahulu karena mereka kita masih . Biarlah jasa pak harto di jawab oleh waktu . Karena bangsa ini masih belajar tentang mampu dan tidak nya . Sekian

    ReplyDelete
  2. terima kasih sudah mampir mas Jinggo, yup setiap pemimpin pasti ada plus dan minus nya

    ReplyDelete
  3. Seorang bintang dilahirkan, tidak dihasilkan

    ReplyDelete
  4. mantap om Yulianto, meskipun beliau banyak kontroversinya, tetap kita harus pelajari sisi positif dari beliau

    ReplyDelete