IBNU BATUTAH (Pengembara Muslim Terbesar Dan Tak Terkalahkan)
Ibnu Batutah dikenal sebagai
muslim penjelajah terbesar sepanjang sejarah. Minimnya transportasi tak
menghalanginya untuk bertamasya dan berziarah. Namun, ia harus kuat dan tabah
dalam menjalaninya. Saat itu, ia telah menempuh perjalanan berjarak 75.000mil;
rekor yang tak ada duanya. Ia sudah melintasi batas dari Jazirah Arabia hingga
Asia, bahkan Eropa. Para ahli sejarah meyejajarkan namanya dengan Marcopolo,
Hsien Tsieng, Drake dan Magellan yang dikenal sebagai para penakluk dunia.
Ibnu Batutah lahir pada 24
Februari 1304 M di daerah Tangiers, Maroko, Afrika Utara. Ia masih keturunan
suku Barbar di Lawata. Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad ibn
Abdillah al-Lawati at-Tanji. Ia dibesarkan dalam keluarga yang cerdik dan
pandai. Keuarganya dikenal sebagai pemasok ahli jurisprudensi dan banyak yang
menjadi qadhi( hakim). Saat kecil, ia banyak belajar fiqh dan sastra. Ia
termasuk orang yang tekun, cerdas dan berwawasan luas.
Pada 14 Juni 1325, Ibnu Batutah
pergi meninggalkan Tangiers untuk menunaikan ibadah haji. Sewaktu itu, ia
berusia 21 tahun. Ia menyeberangi Tunisia dan hampir seluruh perjalanannya
ditempuh dengan jalan kaki. Tentunya, ini rekor tersendiri baginya. Medan yang
dilaluinya begitu sulit. Transportasi pu berbelit. Tak banyak yang bisa
diandalkan. Tanpa tekad yang kuat, tak mungkin perjalanan itu ditempuh.
Ibnu Batutah tiba di Alexandria,
Mesir pada 15 April 1326. Di sana, ia menghadap Sultan Alexandria. Karena
perjalanan yang ditempuhnya begitu jauh, Sultan Alexandria memberinya uang
untuk bekal perjalanan. Ia pergi ke mekah melalui Kairo, Aidhab, sampai Laut
Merah. Namun, rute itu banyak penyamunnya. Ia pun kembali ke Kairo dan
meneruskan perjalanannya lewat Gaza, Palestina, Hamah, Aleppo dan Damaskus.
Akhirnya, ia sampai di Mekah pada Oktober 1326.
Selama menunaikan ibadah haji,
Ibnu Batutah bertemu dengan kaum muslim dari berbagai penjuru dunia. Ia melihat
berbagai suku yang berbeda, beragam bahasa yang tidak sama, serta variasi
budaya yang beraneka. Hal itu cukup menakjubkannya. Ia tak puas hanya melihat
sekilas. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk menimba pengalaman ke mancanegara
dan untuk itu, ia membatalkan keinginannya untuk pulang, meskipun ia dihunjam
rindu yang tak kepalang.
A.
Sang Penjelajah Dunia
Mengawali penjelajahannya, Ibnu
Batutah menyeberangi Gurun Pasir Arabia dan sampailah ia di Persia (Irak dan
Iran). Dari sana, ia sekali lagi pergi ke Damaskus, menuju Mosul dan kembali
lagi ke Mekah. Ia pun menunaikan ibadah haji yang kedua kali. Bahkan, ia sempat
bermukim di sana selama 3 tahun (1328-1330).
Dari Mekah, Ibnu Batutah berlayar
ke Somalia menuju pantai-pantai Afrika Timur, termasuk Zeila dan Mambasa.
Kemudian, ia meneruskan perjalanannya ke Oman, Hormuz (Teluk Persia) dan Pulau
Dahrain. Ia pun menyempatkan diri untuk pergi ke Mekah dan menunaikan ibadah
haji yang ketiga kali pada 1332.
Setelah beristirahat sebentar, Ibnu
batutah kembali mengarungi samudra melewati Laut Merah, Nubia, Nil Hulu, Kairo,
Syria dan tiba di Lhadhiqiya. Sesudah itu, ia kemabali berlayar menaiki kapal
Genoa ke Alaya (Candelor) di Pantai Selatan Asia Kecil. Tak lama berselang,
Ibnu Batutah melanjutkan perjalanan darat di Jazirah Anatolia sampai akhirnya
tiba di Sanub (Sinope), sebuah pelabuhan di Laut Hitam. Lalu, ia naik sebuah
kapal Yunani menuju Caffa dan menyeberangi Laut Azow sampai stepa-stepa di
Rusia Selatan. Bahkan, konon, ia sampai di Istana Sultan Muhammad Uzbeq Khan di
Serai.
Tak berhenti di sana, Ibnu Batutah
melanjutkan perjalanan ke utara menuju Balghar di Siberia untuk merasakan
pendeknya malam musim panas dan ia ingin melanjutkan perjalanan ke “Tanah
Gelap” (Rusia paling utara). Namun, hal ini ururng dilakukanya karena iklim
yang teramat dingin. Ibnu Batutah kembali ke Balghar dan ia diminta mengawal
Permaisuri Sultan Uzbeg Khan, Khantun Pylon, ke Konstantinopel (Byzantium). Di
sana, ia menyempatkan diri menghadap Kaisar Byzantium, Audranicas III
(1328-1341).
Dari Byzantium, Ibnu Batutah
kembali ke Serai untuk pamit kepada Uzbeg Khan. Lalu, ia menuju Bukhara, Persia
Utara, Afghanistan dan akhirnya tiba di Kabul. Setelah itu, pria Maroko ini
menyusuri Sungai Sind dan ia sampai di Bakkar. Kemudian, ia berjalan melewati
kota Uja (Uch), pusat dagang di tepi Sungai Indus dan sampai di Multan. Dari
Multan, ia melanjutkan perjalanan ke Delhi. Jaraknya cukup jauh dan bisa
ditempuh kira-kira 40 hari perjalanan.
Sebelum tiba di Delhi, Ibnu Batutah
sempat singgah di Ajudhan (Pakpattan), sebuah kota kecil tempat mukim Syekh
Fariduddin yang Shalih. Ia menghadap Syekh Fariduddin. Di sana, untuk pertama
kalinya, ia melihat “Sati”.
Sesampainya di Delhi, Ibnu Batutah
ditunjuk menjadi qadhi negara oleh Sultan Muhammad Tughlaq. Ia tinggal selama 8
tahun di Delhi. Kemudian, ia dilantik oleh Sultan Muhammad untuk menjadi Duta
Besar di Kerajaan Cina. Namun, kemalangan menimpanya. Dalam perjalanan, ia
dirampok oleh para penyamun di Jalali, dekat Aligarh. Hartanya dirampas dan ia
pun di tawan.
Berkat pertolongan orang misterius,
Ibnu Batutah bebas dari hukuman dan kembali berlayar menuju Calicut. Tetapi
derita kembali menerpanya. Semua barang bawaannya musnah karena kapalnya
tenggelam. Oleh karena itu, ia tidak kembali ke Delhi. Ia melanjutkan perjalanan
ke Maladewa.
Pada tahun 1344, Ibnu Batutah
mengunjungi Sri Lanka. Lalu, ia berlayar ke timur. Sekitar 43 hari kemudian,
tibalah ia di Chittagong, Dacca dan Sumatra. Di Sumatra, ia tinggal selama 15
hari sebagai tamu sultan. Dari Sumatra, ia kembali berlayar menuju Malaya dan
mendarat di Amoy, Cina. Dari sini, putra Tangiers itu memutuskan membalik
perjalanannya. Ia melewati Sumatra, Malabar, India, Oman dan Persia serta
menyeberangi Padang Pasir Palmyra sampai Damaskus. Dari sana, ia kembali
bersimpuh di depan Ka’bah untuk keempat kalinya pada tahun 1348.
Setelah menunaikan haji ini, Ibnu
Batutah melanjutkan perjalanannya melewati Jerusalem, Gaza, kairo dan Tunisia.
Lalu, ia naik perahu menuju Maroko. Ia sempat mengunjungi Dardinia dan tiba di
Fez, ibu kota Maroko pada 8 November 1349. Sebelum benar-benar menetap di
Maroko, Ibnu Batutah menjelajah lagi. Tercatat, ia melakukan perjalanan dua
kali. Pertama, ia menyeberangi Gurun Pasir Sahara di Afrika tengah hingga
mencapai Timbuktu. Kedua, ia menyambangi Eropa, terutama Spanyol, Romawi Timur,
serta Rusia Selatan. Ia kembali ke Fez pada tahun 1354, dan ia menetap di sana.
B.
Merenda Pengalaman lewat tulisan
Perjalanan panjang yang ditempuh
oleh Ibnu Batutah memang mengesankan. Banyak hal yang ia alami. Ragam kehidupan
pun ia selami. Diperkirakan, jarak yang ia tempuh sejauh 75.000 mil telah
melampaui rekor perjalanan Marcopolo, sepanjang kelananya, ia telah mengunjungi
hampir seluruh negara musllim di tiga benua, yakni Asia, Afrika dan Eropa.
Sering kali ia bertemu dengan para pemimpin negara-negara itu. Sungguh, banyak pengalaman menariknya
yang asyik untuk disimak.
Di antaranya adalah perjalanan Ibnu
Batutah ke daerah Kabul, Afghanistan. Di pegunungan Hindu Kush. Ia bertemu
dengan seorang yang konon berusia 350 tahun. Lebih aneh lagi, menurut penuturan
orang itu, gigi barunya tumbuh setiap seratus tahun.
Di daerah Sind, Ibnu Batutah juga
menyaksikan hal yang menakjubkan. Ia melihat seekor badak untuk pertama kalinya
di sana. Ia juga bertemu dengan suku Samira yang mendiami daerah Janani.
Menurutnya, mereka tidak pernah makan bersama orang lain. Mereka juga tidak mau
menikah dengan orang-orang di luar suku mereka.
Di Siwasitan, masih di daerah Sind,
Ibnu Batutah juga menyaksikan pemandangan unik. Kota itu terletak di tengah
gurun pasir yang luas. Tak ada tanaman yang tumbuh di sana, kecuali labu.
Makanan penduduk daerah itu adalah sorgum dan kacang polong yang dibuat roti.
Di Ajudhan, utuk pertama kalinya, Ibnu Batutah menyaksikan “Sati”. Sewaktu itu,
ia sedang erkunjung ke rumah Syekh Fariduddin. Tetapi, tiba-tiba banyak orang
bergegas keluar. Ia pun bertanya-tanya dalam hatinya mengenai apa yang terjadi
saat itu. Ternyata, ada seorang Hindu yang baru saja meninggal. Maka,
dipersiapkanlah api untuk membakar jenazahnya dan yang lebih mencengangkan,
sang istri pun turut membakar diri bersama jenazah suaminya. Ia sempat
menyaksikannya. Ia juga melihat kaum Hindu yang mandi di sungai “Suci” Gangga.
Perjalanannya menuju Sumatra juga
memukau bagi Ibnu Batutah. Ia menceritakan bahwa dalam perjalanan itu, ia dan
kawan-kawannya merasakan laju angin yang segar. Laju angin tersebut membawa
kapal yang mereka tumpangi menyeberangi Lautan Cina. Hingga tiba-tiba, mereka
dikejutkan oleh angin kencang yang mengguncang kapal. Seketika, cuaca berubah
gelap. Hujan pun turun lebat. Hal ini berlangsung terus-menerus. Selama 10
hari, mereka tidak dapat melihat matahari.
Kapal terus berlayar hingga
memasuki sebuah lautan yang tak dikenal. Para penumpang pun resah. Mereka ingin
kembali ke Cina. Namun, karena cuaca yang tidak bersahabat dan tersesat di
daerah asing, mereka pun pasrah. Selama 42 hari, mereka terapung di atas lautan
tanpa arah. Keesokan harinya, saat fajar menyingsing, mereka terkejut. Ada
gunung besar di depan mereka. Gunung itu berjarak 20 mil dari kapal yang mereka
tumpangi. Maka, semua penumpang pun berdoa dan memohon kepada Allah Swt agar
dijauhkan dari berbagai macam malapetaka.
Ternyata, Allah Swt mengabulkan doa
mereka. Angin berhenti secara perlahan, tetapi pasti. Suasana pun kembali
tenang. Anehnya, mereka melihat gunung itu meninggi dan terbang ke angkaasa.
Sehingga, matahari yang sebelumnya berembunyi di balik gunung tersebut tampak
kembali. Setelah diteliti, ternyata gunung-gunung itu adalah burung ar-ruhk.
“Seandainya burung tersebut melihat
kita, maka ia aka melahap dan memangsa kita,” tutur mereka.
Akhirnya, mereka pun tiba di
Sumatera setelah dua bulan terapung di atas laut yang mengerikan.
Di Sumatera, khususnya di Samudra
Pasai, Ibnu Batutah disambut oleh Amir (Panglima) Daulasah, Qadhi Syarif Amir
Sayyir asy-Syirazi, Tajuddin al-Asbahani dan beberapa ahli fiqh atas perintah
Sultan Mahmud Malik Zahir (1326-1345).
Menurut Ibnu Batutah, Sultan Mahmud
adalah penganut madzhab Syafi’i yang giat menyelenggarakan pengajian,
pembahasan dan muzakarah keagamaan.
“Sultan Mahmud sangat rendah hati
dan ia berangkat ke masjid untuk menunaikan shalat Jum’at dengan berjalan
kaki.. selesai shalat, ia dan rombongannya biasa berkeliling kota melihat
keadaan rakyatnya,” ujar Ibnu Batutah.
Karena terpikat, Sultan Abu Enan
dari Maroko meminta Ibnu Batutah untuk mendiktekan perjalanannya kepada juru
tulis, Ibnu Jauzi. Selanjutnya, Ibnu Jauzi menulisnya secara terperinci dan
menyentuh. Hasil transkip ii selesai pada 13 Desember 1355. Kemudia, tulisan
tersebut dibukukan dan diberi judul Tuhfat an-Nazzar
fi Ghara’ih al-Amsar wa Aja’ih al-Asfar (hadiah bagi para pengamat yang
meneliti keajaiban-keajaiban kota dan keanehan-keanehan perjalanan). Buku ini
dikenal dengan sebutan Rihlat Inu
Batutah atau Rihla (perjalanan).
Tulisan tersebut begitu memukau
banyak pengamat di seluruh dunia. Buku itu pun diterjemahkan ke dalam berbagai
bahasa. Di antaranya ialah bahasa Inggris, Prancis, Latin, Portugis, Jerman dan
Persia. Ini tidaklah mengherankan karena buku perjalanan Ibnu Batutah merupakan
buku pengetahuan. Setiap detail cerita adalah rujukan peradaban. Meskipun ada
sejumlah sejarawan yang meragukan kebenaran perjalanan Ibnu Batutah, sebagian
besar mengapresiasinya. Mereka menilai bahwa cerita Ibnu Batutah benar adanya
dan jujur, walaupun tampak sederhana.
Pada tahun 1377 M, Ibnu Batutah
meninggal dunia. Namun, ia dikenang sepanjang masa. Selama 24 tahun mengelana,
ia telah mengarungi Asia, Afrika dan Eropa. Ia adalah penjelajah terbesar
sebelum mesin uap ditemukan. Ia sudah menggoreskan tinta emas peradaban. Dengan
tekad baja, ia menaklukan dunia.
0 Comments: