MADIUN SEBAGAI BASIS
MADIUN SEBAGAI BASIS
Pasca
proklamasi kemerdekaan pemerintah mengeluarkan maklumat wakil Presiden tanggal
3 November 1945 yang berisi kebebasan membentuk partai politik beserta
laskarnya. Kebijakan ini, tentu saja ditujukan untuk membentuk kehidupan
bernegara yang demokratis di mana rakyat diberi jaminan utuk berperan aktif dalam
politik atau dalam penyelenggaraan negara.
Dengan
kebijakan ini, Indonesia segera memasuki babak baru yang dipenuhi dengan
hiruk-pikuk aktivitas partai politik seperti Majelis Syuro Muslimin Indonesia
(Masyumi), Partai Buruh Indonesia, Partai Rakyat Jakarta, Partai Kristen
Indonesia, Partai Sosialis indonesia, Parta Rakyat Sosialis Indonesia, Partai
Katolik Indonesia , Partai Komunis Indonesia, persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia, Partai Nasional Indonesia.
Selain
partai-partai politik, organisasi pemuda yang tumbuh bagai cendawan dimusin
hujan. Tercatat, hingga tahun 1945 telah ada setidaknya 30 organisasi
kepemudaan yang lazim disebut sebagai badan-badan perjuangan atau laskar. Di Jakarta,
gerakan pemuda ini bergabung dalam sesuatu yang disebut sebagai Komite van Aksi
yang dipimpin oleh Sukarni, Chaerul Saleh dan Maruto.
Untuk
melebarkan pengaruh dalam gerakan-gerakan kepemudaan, misalnya pada periode
1945-an, kader-kader pertai komunis Indonesia berhasil membentuk sebuah wadah
organisasi pemuda yang bernama Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) yang
dimotori oleh Amir Syarifuddin. Organisasi ini merupakan peleburan dari
beberapa organisasi pemuda yang dibentuk dala kongres. Angkatan Pemuda
Indonesia (API) tanggal 9-11 November 1945.
Sementara
itu, dalam ranah politik Amir Syarifuddin juga membentuk Partai Sosialis
Indonesia (Parsi) pada tanggal 12 November 1945. Partai ini didirikan dengan
asas membangun masyarakat sosialistis dengan buruh, petani dan tentara sebagai
tulang punggungnya. Program politik partai ini adalah mendirikan Front
Persatuan Rakyat sebagai penopang tegaknya negara RI.menurut Amir Syarifuddin,
Front Persatuan Rakyat memiliki tugas ganda, membangun negara dan juga
membangun semangat anti kapitalis. Namun, rupanya partai ini berusia pendek,
hanya sekitar satu bulan.
Dengan
buruh sebagai tulang punggung, dapat dipahami jika kader-kader partai komunis
juga berupaya merebut kekuatan buruh. Untuk keperluan ini, mereka mendirikan
Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang dibentuk pada bulan
November 1946. Dengan cepat, SOBSI berhasil melebur berbagai organisasi buruh
yang semula dikuasai oleh Gasbi dan kelompok Tan Malaka.
Perjuangan
kaum kiri semakin menemukan vitalisasinya ketika pada bulan Maret 1946 para
mantan pemimpin Partai Komunis Indonesia tahun 1926 yang dipimpin oleh Sardjono
dibebaskan dari Digul. Tidak lama kemudian, datang juga kader-kader Partai
Komunis dari Belanda seperti Maruto Darusman dan Soeripno yang kemudian
bergabung dengan beberapa tokoh muda seperti Aidit, Lukman dan Nyoto, serta
Alimin yang baru datang dari Cina.
Tanpa
menunggu terlalu lama, para tokoh tersebut di atas segera melakukan konsolidasi
dan menggelar Kongres IV PKI pada bulan Mei 1946 atau kongres pertama pasca
Proklamasi. Kongres ini menelurkan sebuag pernyataan politik yang menyebutkan bahwa
PKI tidak akan masuk le dalam Kabinet karena masuknya PKI dalam kabinet hanya
akan memperlemah kedudukan RI yang akan dicap sebagai sel Moskow. Sebagai bentuk
realisasi terhadap Perdana Menteri Sjahrir yang berkuasa saat itu. Selain itu,
kongres tersebut juga berhasil memilih pemimpin dan struktur kepengurusan
partai sehingga keberadaan PKI semaki solid.
Namun,
ketika Perjanjian Linggarjati antara Indonesia dan Belanda disepakati kedua
belah pihak kelompok sayap kiri berbeda pendapat dalam soal tersebut dan
berbalik menantang kebijakan Perdana Menteri Sjahrir. Puncaknya, Sjahrir harus
mundur dar jabatannya dan digantikan oleh Amir Syarifuddin. Amir Syarifuddin
dengan cepat melakukan konsolidasi untuk menyatukan partai Sosial bentukannya
dengan PKI, yang saat itu dipimpin oleh Sardjono.
Tidak
lama setelah Kabinet Amir Syarifuddin terbentuk, Belanda melancarkan Agresi
Militer 1 tanggal 21 Juli 1947. Pada tanggal 8 Desember 1947 hingga 17 Januari
1948, Indonesia dan Belanda mengadakan perundingan yang dikenal dengan nama
Perundingan Renville. Perundingan ini merupakan perundingan segi tiga yang
melibatkan Indonesia, Belanda dengan penengah Komisi Tiga Negara (AS,
Australia, Belgia). Dalam perundingan ini, delegasi Indonesia dipimpin oleh
Perdana Menteri Amir Syarifuddin, sementara Belanda dipimpin oleh Kolonel KNIL.
R. Abdul Kadir, sedangkan delegasi Amerika dipimpin oleh Frank Porter Graham.
Hasil
perundingan Renville dipandang oleh banyak kalangan sangat merugikan Indonesia
karena wilayah kedaulatan RI jauh berkurang, hanya terdiri atas Jawa Tengah, Yogyakarta
dan Sumatra, sehingga pemerintah terpaksa memindahkan ibukota negara ke
Yogyakarta. Hasil perundingan ini membuat Kabinet Amir Syarifuddin dikritik
oleh banyak kalangan dan akhirnya menyebabkan Kabinet Amir Syarifuddin jatuh
pada tanggal 23 Januari 1948.
Perdana Menteri Amir Syarifuddin sedang menyampaikan pidato pada Perundingan Renville
Perdana Menteri Amir Syarifuddin sedang menyampaikan pidato pada Perundingan Renville
Meski
telah jatuh, Amir Syarifuddin yang
telah mengadakan konsolidasi gerakan kiri sejak masih berkuasa, berhasil
membentuk gerakan oposisi yang cukup kuat. Pada tanggal 26 Februari 1948, ia
membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR) di Solo. FDR merupakan jelmaan dari
golongan kiri yang program jangka pendeknya adalah menuntut pembatalan
Perundingan Linggarjati dan Renville yang justru dihasilkannya sendiri
sementara program jangka panjangnya adalah mendominasi pemerintahan. Dalam hal
ini, FDR memiliki basis massa dan dukungan yang cukup besar, bahkan ada
kesatuan-kesatuan militer yang turut bergabung di dalamnya. Di antara basis
pendukung FDR adalah:
1. TNI-Masyarakat
daerah Purwodadi, Laskar Rakyat, Laskar Merah dan Laskar Buruh dan Pesindo yang
pernah bergabung dalam Biro Perjuangan ketika Amirr Syarifuddin menjabat
sebagai menteri pertahanan.
2. Partai
Buruh Indonesia (PBI) dan Sentra Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
3. Partai
politik seperti Partai Sosialis Indonesia dan PKI.
Gerakan
oposisi ini semakin solid ketika pada bulan Agustus 1948, Musso, seorang tokoh
PKI yang telah lama tinggal di Russia kembali ke Indonesia. Musso menurut
banyak pihak adalah seorang yang diutus oleh gerakan komunis internasional
untuk melaksanakan koreksi terhadap revolusi Indonesia. Menurut mereka,
revolusi Indonesia merupakan revolusi yang defensif sehingga harus diganti
dengan revolusi yang lebih ofensif. Dengan cepat, Musso berhasil mengambil alih
pimpinan PKI dari tangan Sardjono.
Kehadiran
Musso disambut hangat oleh para aktivis sayap kiri yang menganggap bahwa Musso
dapat memperbaiki arah dan semangat revolusi Indonesia. Musso sendiri
menyampaikan hal ini dihadapan Presiden Soekarno di Yogyakarta pada tanggal 13
September 1948. Pertemuan antara Musso dengan Presiden Soekrano yang tampak
mesra dan menggembirakan keduanya itu, ternyata tidak sepenuh hati, karena
akhirnya musso melancarkan pemberontakan di Madiun. Bahkan Musso telah membawa
konsep untuk mencapai cita-cita Komunis.
Pada
tanggal 10 September 1948, FDR/PKI mengadakan rapat umum besar-besaran yang
dihadiri oleh Musso dan Amir Syarifuddin. Rapat ini menandai semakin
meningkatnya aktivitas untuk menguasai Madiun yang kali ini tidak segan-segan
menggunakan cara-cara kekerasan. Sebelum rapat umum tersebut, banyak
berdatangan pasukan tak dikenal dengan seragam hitam-hitam. Mulanya, orang
menduga bahwa pasukan tersebut adalah pasukan pengawal Musso dan Amir Syarifuddin
yang hendak menghadiri rapat umum di Madiun. Namun, dugaan tersebut ternyata
salah karena ketika rapat umum telah berakhir, justru semakin banyak pasukan
berseragam hitam-hitam yang datang ke Madiun. Pasukan ini kemudian menjaga
berbagai obyek vital seperti pasar, alun-alun, stasiun kereta api, perempatan
jalan-jalan besar, pabrik gula, jembatan, bahkan mereka berani menggeledah
siapapun yang melintas di tempat-tempat tersebut.
Selain
itu, pasukan ini juga berani menculik dan membunuh beberapa tokoh politik lawan
PKI serta pegawai pemerintah. Di antara tokoh lawan politik yang diculik adalah
Ketua PNI Suradji beserta bendaharanya, Atim Sudarso, tokoh Taman Siswa,
Iskandi, tokoh Partai Murba, Hardjowiryo dan tokoh Masyumi, Kusen dan Abdul
hamid. Sementara pegawai pemerintah yang diculik oleh pasukan ini antara lain
Walikota Madiun Supardi, Patih Madiun Sarjono, Medana Dungus Charis, kepala
Kepolisian Karisidenan Madiun Komisaris Besar Sunaryo. Selain itu, para tokoh
agama pun tidak luput dari tindakan seperti ini.
Setiap
hari, selain melakukan penculikan, pasukan hitam-hitam tersebut gemar melakukan
demonstrasai yang tampaknya ditujukan untuk pameran kekuatan. Teror dan
ketakutan ada di mana-mana. Setiap malam, penduduk Madiun tidak dapat tidur
dengan nyenyak karena khawatir akan menjadi sasaran penculikan dan pembunuhan
dari pasukan tersebut, yang kini jumlahnya kian membesar karena banyak penduduk
yang menjadi simpatisan PKI bergabung dalam pameran kekuatan dan kewenangan
tersebut. Awan hitam seolah menggelayuti Madiun. Sebuah peristiwa bersejarah
yang menelan korban jiwa dan raga, harta dan benda, tengah terjadi.
menarik sekali
ReplyDelete