REMAJA DESA YANG GIGIH BERJUANG

November 08, 2017 0 Comments


Perjalanan Masa Awal Remaja
Perjalanan kanak-kanan Soeharto begitu berliku, berpindah dari asuhan satu orang ke orang lainnya. Seperti yang yang telah kita kupa dalam kisah sebelumya, Soeharto hanya disusui oleh ibunya selama 40 hari. Setelahnya bukan hanya tidak disusui karena Bu Sukirah sakit keras secara fisik dan mental, tetapi Soeharto dititipkan serta diasuh oleh dukun bayi yang menolong kelahirannya, yaitu Mbah Kromodiryo. Setelah dari Mbah Kromodiryo, Soeharto diminta lagi oleh Bu Sukirah untuk diasuh sendiri bersama suami barunya Pramono atau Atmoprawiro. Namun demikian, Soeharto seringkali juga diasuh oleh Mbah Atmosudiro.
Saat Soeharto tinggal bersama ibu Sukirah dan suaminya Atmoprawiro, dia mendapatkan berbagai ajaran keprihatinan, keikhlasan dan falsafah hidup yang luhur sebagai seorang Jawa. Ajaran 3A, yakni aja kagetan, aja gumunan dan aja dumeh terpatri kuat dalam memori Soeharto kecil sehingga diturunkan saat mengasuh anak-anaknya kelak. Keprihatinan yang ditunjukkan dengan cara tirakat, puaasa Senin-Kamis, turuing tritisan dan berbagai bentuk lainnya menguji mental Soeharto agar menjadi anak yang mau mengerti nasib wong cilik, nasib rakyat jelata sebagaimana dirinya berasal dan berada. Saat Soeharto beranjak remaja awal/usia pubertas tiba-tiba ayahnya Kertosudiro menjemputnya dari Desa Kemusuk. Ada riwayat yang menyatakan saat menjemput Soeharto, Kertosudiro tak mengabarkan kepada Sukirah karena khawatir Sukirah melarangnya. Bagaimanapun tetap tak ada perlawanan sedikit pun dari Soeharto, seakan tanpa emosi. Bisa jadi inilah ciri khas orang yang pernah menjabat presiden RI selama puluhan tahun tersebut, yaitu pendiam, bisa menahan emosi dan penurut.
Sewaktu ayahnya, Kertosudiro menjemputnya tak ada satu pun riwayat yang mengabarkan penolakan Soeharto. Seperti halnya masa balita saat ibunya menjemput dari rumah Mbah Kromo. Soeharto seperti memahami bahwa inilah jala hidupnya yang akan selalu berganti-ganti pegasuh sehingga justru lebih banyak pengalaman dan kemampuan adaptasi yang didapatnya. Penjemputan oleh Kertosudiro bukan bertujuan agar Soeharto diasuhnya sendiri. Setelah dijemput dari Kemusuk, Kertosudiro justru menitipkan Soeharto pada adiknya, yaitu Bu Prawirowihardjo di daerah Wonogiri, Solo. Alasan Kertosudiro waktu itu cekup masuk akal, bahwa di Kemusuk sangat terbatas sarana pendidikan sehingga alangkah baiknya apabila Soeharto mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Wonogiri.
Soeharto sangat mengingat kata-kata ayahnya saat menitipkannya ke keluarga Prawirowihardjo, “Saya menyerahkan Soeharto padamu, silahkan asuh. Saya khawatir kalau ia terus tinggal di Kemusuk ia tak akan jadi orang. Saya sangat bersyukur jika anak ini memperoleh bimbingan yang baik. “kata-kata yang penuh arti dan kasih sayang dari seorang ayah, meskipun tak pernah mengasuhnya sendiri. Untunglah langkah yang diambil Kertosudiro ini memang langkah terbaik bagi pendidikan Soeharto saat itu. Di keluarga Prawirowihardjo, Soeharto bukan hanya mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan agama saat mengaji. Tetpai dalam keluarga ini Soeharto merasa layaknya seorang kakak yang memiliki adik-adik untuk diperhatikan. Dalam keluarga Prawirowihardjo inilah Soeharto merasakan masa remaja layaknya orang lain yang diasuh sendiri oleh ayah-ibunya. Bibi dan paman Soeharto tak membedakan sedikitpun dalam mengasuh Soeharto dan anak-anaknya. Mereka sayang pada Soeharto karena rajin belajar dan taat beribadah.
Tinggal di rumah bibi dan pamannya, keluarga Prawirowihardjo sempat diselingi dengan kepulangan Soeharto ke Desa Kemusuk karena sang ibu kangen. Ayah tiri Soeharto Atmoprawiro bersama dua saudaranya, yaitu Sumowijatmo dan Sastroharjono datang ke Wonogiri untuk menjemput Soeharto. Sekali lagi Soeahrto hanya bisa pasrah, meskipun sebagai seorang anak yang beranjak remaja tentu saja dia sudah memiliki kekuatan untuk menolak atau menerima. Karena ketaatannya kepada orang yang lebih tua, raut muka Soeharto tak menampakkan rasa kecewa diambil kembali ke Kemasuk. Bagaimanapun ia juga kangen dengan Bu Sukirah, Ibu kandungnya.
Soeharto sempat berada 1 tahun lamanya di Desa Kemusuk, janji untuk dikembalikan ke Wuryantoro saat liburan sekolah telah usai ternyata tak ditepati oleh ayah tirinya. Saat di Kemusuk tersebut, Soeharto disekolahkan di Desa Tiwir. Kemudian paman dan bibinya menjemputnya untuk disekolahkan kembali ke Wuryantoro. Kesempatan yang indah bagi Soeharto yang banyak menimba ilmu di rumah keluarga Prawirowihardjo tersebut. Kedudukan Prawirowihardjo sebagai mantri tani membuat Soeharto semakin menyukai desa, sawah dan segala hal tentang pertanian serta pelakunya yang tak lain adalah para petani sendiri. Ada kedekatan emosional yang terbentuk antara Soeharto dengan petani. Mbah Kromodiryo yang mengasuhnya semenjak bayi adalah seorang petani, kakeknya Atmosudiro juga seorang petani, Kertosudiro ayahnya juga petani meskipun hanya bertani di tanah lungguh dan kali ini Prawirowihardjo pamannya justru mantri tani.
Istilah mantri tani adalah seseorang yang ditugaskan untuk mendampingi para petani. Mantri tani memantau setiap usaha petani untuk memulai menanam padi, memupuk sampai dengan memanen. Pak Prawirowihardjo sangat tekun menjalankan tugasnya, hal inilah yang menjadikan Soeharto kagum padany. Prawirowihardjo juga mendapat penghargaan dari bupati karena mampu menyuburkan tanah yang telah kering dengan pupuk berbahan tumbuhan orok-orok. Soeharto seringkali ikut pamannya ke desa-desa percontohan, di mana tanah tandus menjadi subur dan bisa menghasilkan padi. Desa-desa itu antara lain Desa Ngungkring, Kenongo dan Tangkil.
Selain rajin dan tekun belajar, Soeharto juga dikenal ramah sehingga setiap sudut Wuryantoro hampir dapat dipastikan dikenalnya dengan baik. Di masa kecil, Soeharto suka bermain bola dan memiliki teman akrab bernama Warikoen, Polo Soetarto, Wariman, Yahman, Tarno dan Kriyo. Mereka semua teman masa kecil sampai remaja Soeharto saat tinggal di Wuryantoro. Di samping itu, Soeharto juga memiliki seorang guru ngaji di langgar dekat rumah Prawirowihardjo, yaitu Kamsiri. Pak Kamsiri masih hidup saat Soeharto menjadi presiden. Namun demikian, karena memang beliau seorang desa yang lugu dan nriman, tak pernah sekalipun kamsiri mengungkit jasanya telah mengajar Soeharto mengaji. Baginya, melihat anak didiknya menjadi orang sukses sudah lebih dari cukup. Pernah suatu kali saat mengunjungi Wuryantoro, Soeharto meminta tutut putrinya dan beberapa orang untuk menjemput Sarimin, Warikoen dan beberapa sahabatnya yang masih hidup. Mereka mengenang masa lalu sambil bercerita dengan akrab. Soeharto tampak bahagia dan tak pernah merasa minder dengan masa lalunya sebagai orang desa.

Remaja Yang Suka Belajar

1.    Pendidikan formal umum Sekolah Rakyat Lanjutan di Wuryantoro
Sekolah Rakyat merupakan sekolah yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk anak-anak Indonesia. Sekolah ini penuh dengan keterbatasan. Sekolah Rakyat merupakan sekolah dengan jenjang yang sama dengan sekolah dasar saat ini. Di Sekolah Rakyat, anak-anak diajarkan pengetahuan membaca dan menulis huruf latin, berhitung dan berbagai pengetahuan dasar tentang alam, tumbuhan, binatang dan sosial kemasyarakatan. Semua diberikan secara sederhana dan anak-anak mencatat di sebuah Sabak. Mereka harus menghafal benar materi yang disampaikan sebelum keesokan harinya tulisan dalam Sabak harus dihapus dan siap menerima materi pelajaran yang baru. Sekolah Rakyat lanjutan di Wuryantoro setingkat dengan sekolah dasar kelas 4 saat ini. Mengapa harus di Wuryantoro? Karena di Dusun Kemusuk keadaan Sekolah Rakyat lebih memprihatinkan kondisinya dan berbeda dengan Sekolah Rakyat lanjutan di Wuryantoro tersebut.
2.    Pendidikan agama di langgar/mushola dekat rumah
Meskipun berada dalam masa penjajahan Belanda, keadaan pendidikan agaman atau disitilahkan dengan mengaji di langgar/surau tetap berjalan dengan baik. Di sinilah putra-putri Indonesia ditempa akhlaknya secara Islami agar tumbuh menjadi pribadi yang hormat kepada Tuhannya, kepada Allah Swt. Mengaji juga mengajarkan adanya satu keseimbangan antara hablumminallah dan hablumminannas. Ajaran yang sering dengan nasihat turun-temurun dari nenek moyang suku Jawa dan berbagai suku bangsa di Indonesia pada umumnya.
3.    Cara berkeluarga seperti yang dicontohkan paman dan bibinya
Secara langsung maupun tidak langsung, Soeharto banyak mempelajari tentang kehidupan berumah tangga dan berkeluarga secara sakinah mawaddah warrahmah seperti yang dilakukan oleh paman dan bibinya. Tinggal di rumah mereka dan menjadi bagian dari keluarga (dianggap anak sulung) menjadikan Soeharto mampu menyerap berbagai kebaikan dan tata cara memelihara hubungan harmonis dalam berkeluarga. Jika boleh berandai-andai, andai saja Soeharto tak dititipkan kepada keluarga Prawirowihardjo mungkin sulit baginya untuk mencintai dan dicintai oleh keluarganya seperti yang kelak di kemudian hari dilakukannya bersama Siti Hartinah beserta keenam putra-putrinya.

Menimba Falsafah Hidup

Ada beberapa nasihat Prawirowihardjo yang masih diingat oleh Soeharto sampai saat menduduki jabatan sebagai presiden.
1.    Nasihat untuk selalu memelihara budi pekerti sebagai seorang Jawa yang sopan, santun, adab, asor dan memiliki filsafat hidup yang kukuh sesuai ajaran nenek moyang. Dari sinilah Soeharto bersikap layaknya seorang Jawa yang selalu mengembangkan senyum, baik kawan maupun lawan. Soeharto bisa menyembunyikan emosi yang berlebihan sehingga tak tampak marah. Julukan “The Smiling General” dari negara-negara asing nantinya ditujukan untuk Soeharto karena sikapnya yang ramah dan selalu tersenyum di setiap situasi.
2.    Melakukan 3A yaitu Aja Gumunan, Aja Kagetan dan Aja Dumeh
·      Aja gumunan diartikan sebagai jangan suka keheranan melihat orang lain kaya heran, melihat orang lain lebih berhasil heran, melihat kenyataan diri yang kurang beruntung heran. Keheranan yang bertumpuk-tumpuk akan membuat prasangka buruk terhadap sesama dan bahkan terhadap Tuhan
·      Aja kagetan diartikan sebagai jangan suka terkejut. Terkejut saat mendapati kenyataan baik maupun buruk, terkejut saat ada orang lain mengalami hal yang menyenangkan atau menyedihkan, terkejut saat melihat ada orang yang sanggup mengkhianati kita. Terkejut saat apa yang diterima ternyata tak sesuai dengan harapan. Berbagai hal yang menyebabkan rasa terkejut tersebut sudah selayaknya dianggap “biasa”. Bukan lantas seseorang tak boleh memiliki emosi, melainkan lebih pada nasihat untuk mampu mengendalikan emosi. Karena jika seseorang dikendalikan oleh emosi, tak bisa dibayangkan kehancuran tatanan adat, negara dan bahkan dunia.
·      Aja dumeh diartikan sebagai jangan mentang-mentang sudah kaya lantas sombong dan mengejek yang miskin, mentang-mentang pandai kemudian meremehkan teman yang bodoh. Sungguh, pemikiran dumeh ini akan menikam diri sendiri.
3.    Menghormati Tuhan, Orangtua, Pemimpin dan Guru
4.    Puasa Senin Kamis
5.    Turu Ing Tritisan
Pengertian dari turu ing tritisan adalah tidur di teras rumah, dimana air pembuangan dari genting mengalir ke bawah. Keprihatinan semacam ini diajarkan secara turun menurun oleh nenek moyang sebagai sarana melatih fisik dan mental generasi muda agar kuat, tangguh dan tak mudah jatuh mentalnya.

Sewaktu Putus Sekolah

Soeharto memang menamatkan sekolah lanjutan di Muhammadiyah Yogyakarta, setingkat SMP saat ini. Namun setelah lulus, ayah dan keluarganya yang lain angkat tangan tak bisa lagi membiayai sekolahnya. Nasihat ayahnya, Soeharto diminta mencari kerja agar bisa membiayai sekolahnya sendiri jika memang maasih berkeinginan untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi. Tak mengherankan dan berlebihan jika keluarga Soeharto sulit untuk membiayai sekolah selepas lanjutan rendah. Hampir semua rakyat Indonesia kecuali golongan pejabat Belanda dan para pedagang kaya yang bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai sekolah lanjutan atas apalagi perguruan tinggi. Mengeyam pendidikan sampai sekolah lanjutan saja sudah teramat bagus bagi seorang pemuda pribumi Indonesia di zaman penjajahan Belanda.
Putus sekolah tak membuat Soeharto patah arang atau berputus asa. Banyak sekali pengalaman dan pelajaran hidup yang didapatkannya selama diasuh oleh beberapa orang secara bergantian. Dari mulai Mbah Kromodiryo yang penuh kasih sayang pada Soeharto bayi sampai balita, ibu kandung dan ayah tirinya Atmoprawiro, kakek kandungnya Atmosudiro, keluarga paman dan bibinya Prawirowihardjo, sampai dengan keluarga Hardjowijono yang notabene teman baik ayahnya. Peran ayahnya dalam menitipkan Soeharto untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik juga menunjukkan kasih sayang sebagai seorang ayah dengan segala keterbatasan karena memiliki anak-anak lain dengan istrinya.
Selepas sekolah lanjutan rendah, Soeharto disarankan untuk melamar pekerjaan sehingga bisa memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah jika memang berminat. Dalam pemikiran Soeharto yang masih sangat belia, akhirnya dia kembali ke Wuryantoro Wonogiri untuk mencari pekerjaan karena di sana banyak kenalan selama tinggal di rumah keluarga Prawirowihardjo. Di Wuryantoro inilah Soeharto akhirnya diterima bekerja sebagai pembantu “klereg” awalnya tidak menarik perhatian Soeharto, meskipun sebenarnya ia memang suka pelajaran berhitung sewaktu di sekolah. Tugas Soeharto adalah mendampingi klereg untuk mendatangi para petani, pedagang kecil dan pemilik warung yang akan meminjam uang di bank. Seragam dinas Soeharto waktu itu adalah kain/jarit, beskap dan blangkon khas Jawa. Sang klereg naik sepeda dan Soeharto mendampinginya ke mana pun sang klereg menemui kliennya.
Di Wuryantoro tersebut, Soeharto memiliki sahabat bernama Kamin yang diajaknya menemui seorang mantri bank desa untuk belajar pembukuan. Tak lama belajar pembukuan tampaknya Soeharto sudah sangat menguasainya sehingga Kamin terheran-heran dan mengatakan bahwa Soeharto memang pandai. Saat belajar mereka berdua naik sepeda, Soeharto di depan sedangkan Kamin ada di belakang. Begitulah setiap hari dijalani Soeharto dengan menjadi pembantu klereg. Pekerjaan tersebut harus diakhiri oleh Soeharto lantaran kainnya telah usang dan belum mampu membeli yang baru. Awalnya Soeharto meminjam kain bibinya, tetapi rupanya kain tersebut tersangkut sadel sepeda sehingga robek. Soeharto merasa tidak bersalah karena memang robeknya kain tanpa disengaja. Namun itulah jalan yang mengharuskan Soeharto kemudian meninggalkan pekerjaannya. Tak ada kata menyesal tentunya, meskipun dalam hati pasti ada rasa kecewa yang tak bisa ditutupi. Hanya karena kain sobek, lantas harus keluar dari pekerjaan.

Soeharto muda memang harus melalui jalan yang berliku sebelum mencapai kesuksesan dalam kariernya kelak. Usai tak lagi bekerja sebagai pembantu klereg, Soeharto sempat lama menganggur. Tentu saja dalam penganggurannya, jiwa mudanya yang tabah tak tinggal diam. Dilakukannya apa yang bisa dilakukan, bahkan Soeharto seringkali bekerja secara sukarela bergotong royong membangun fasilitas umum, jalan desa, mushala atau memperbaiki lumbung di sekitar Wuryantoro. Hari-hari terasa sangat lama bagi Soeharto. Ada beberapa temannya yang menyarankan untuk mendaftarkan diri ke lowongan sebagai Angkatan Laut Belanda. Namun, rupanya jiwa Soeharto belum tergerak kesana. Dia masih mencoba mengerjakan beberapa pekerjaan sipil sambil menjalin silaturahmi dengan teman dan saudara-saudaranya.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: