REMAJA DESA YANG GIGIH BERJUANG
Perjalanan Masa Awal Remaja
Perjalanan
kanak-kanan Soeharto begitu berliku, berpindah dari asuhan satu orang ke orang
lainnya. Seperti yang yang telah kita kupa dalam kisah sebelumya, Soeharto
hanya disusui oleh ibunya selama 40 hari. Setelahnya bukan hanya tidak disusui
karena Bu Sukirah sakit keras secara fisik dan mental, tetapi Soeharto
dititipkan serta diasuh oleh dukun bayi yang menolong kelahirannya, yaitu Mbah
Kromodiryo. Setelah dari Mbah Kromodiryo, Soeharto diminta lagi oleh Bu Sukirah
untuk diasuh sendiri bersama suami barunya Pramono atau Atmoprawiro. Namun
demikian, Soeharto seringkali juga diasuh oleh Mbah Atmosudiro.
Saat Soeharto
tinggal bersama ibu Sukirah dan suaminya Atmoprawiro, dia mendapatkan berbagai
ajaran keprihatinan, keikhlasan dan falsafah hidup yang luhur sebagai seorang
Jawa. Ajaran 3A, yakni aja kagetan, aja
gumunan dan aja dumeh terpatri
kuat dalam memori Soeharto kecil sehingga diturunkan saat mengasuh anak-anaknya
kelak. Keprihatinan yang ditunjukkan dengan cara tirakat, puaasa Senin-Kamis, turuing tritisan dan berbagai bentuk
lainnya menguji mental Soeharto agar menjadi anak yang mau mengerti nasib wong
cilik, nasib rakyat jelata sebagaimana dirinya berasal dan berada. Saat Soeharto
beranjak remaja awal/usia pubertas tiba-tiba ayahnya Kertosudiro menjemputnya
dari Desa Kemusuk. Ada riwayat yang menyatakan saat menjemput Soeharto,
Kertosudiro tak mengabarkan kepada Sukirah karena khawatir Sukirah melarangnya.
Bagaimanapun tetap tak ada perlawanan sedikit pun dari Soeharto, seakan tanpa
emosi. Bisa jadi inilah ciri khas orang yang pernah menjabat presiden RI selama
puluhan tahun tersebut, yaitu pendiam, bisa menahan emosi dan penurut.
Sewaktu
ayahnya, Kertosudiro menjemputnya tak ada satu pun riwayat yang mengabarkan
penolakan Soeharto. Seperti halnya masa balita saat ibunya menjemput dari rumah
Mbah Kromo. Soeharto seperti memahami bahwa inilah jala hidupnya yang akan
selalu berganti-ganti pegasuh sehingga justru lebih banyak pengalaman dan
kemampuan adaptasi yang didapatnya. Penjemputan oleh Kertosudiro bukan
bertujuan agar Soeharto diasuhnya sendiri. Setelah dijemput dari Kemusuk,
Kertosudiro justru menitipkan Soeharto pada adiknya, yaitu Bu Prawirowihardjo
di daerah Wonogiri, Solo. Alasan Kertosudiro waktu itu cekup masuk akal, bahwa
di Kemusuk sangat terbatas sarana pendidikan sehingga alangkah baiknya apabila
Soeharto mendapatkan pendidikan yang lebih baik di Wonogiri.
Soeharto
sangat mengingat kata-kata ayahnya saat menitipkannya ke keluarga
Prawirowihardjo, “Saya menyerahkan Soeharto padamu, silahkan asuh. Saya
khawatir kalau ia terus tinggal di Kemusuk ia tak akan jadi orang. Saya sangat
bersyukur jika anak ini memperoleh bimbingan yang baik. “kata-kata yang penuh
arti dan kasih sayang dari seorang ayah, meskipun tak pernah mengasuhnya
sendiri. Untunglah langkah yang diambil Kertosudiro ini memang langkah terbaik
bagi pendidikan Soeharto saat itu. Di keluarga Prawirowihardjo, Soeharto bukan
hanya mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan agama saat mengaji. Tetpai
dalam keluarga ini Soeharto merasa layaknya seorang kakak yang memiliki
adik-adik untuk diperhatikan. Dalam keluarga Prawirowihardjo inilah Soeharto
merasakan masa remaja layaknya orang lain yang diasuh sendiri oleh ayah-ibunya.
Bibi dan paman Soeharto tak membedakan sedikitpun dalam mengasuh Soeharto dan
anak-anaknya. Mereka sayang pada Soeharto karena rajin belajar dan taat
beribadah.
Tinggal di
rumah bibi dan pamannya, keluarga Prawirowihardjo sempat diselingi dengan kepulangan
Soeharto ke Desa Kemusuk karena sang ibu kangen. Ayah tiri Soeharto Atmoprawiro
bersama dua saudaranya, yaitu Sumowijatmo dan Sastroharjono datang ke Wonogiri
untuk menjemput Soeharto. Sekali lagi Soeahrto hanya bisa pasrah, meskipun
sebagai seorang anak yang beranjak remaja tentu saja dia sudah memiliki
kekuatan untuk menolak atau menerima. Karena ketaatannya kepada orang yang
lebih tua, raut muka Soeharto tak menampakkan rasa kecewa diambil kembali ke
Kemasuk. Bagaimanapun ia juga kangen dengan Bu Sukirah, Ibu kandungnya.
Soeharto
sempat berada 1 tahun lamanya di Desa Kemusuk, janji untuk dikembalikan ke
Wuryantoro saat liburan sekolah telah usai ternyata tak ditepati oleh ayah
tirinya. Saat di Kemusuk tersebut, Soeharto disekolahkan di Desa Tiwir. Kemudian
paman dan bibinya menjemputnya untuk disekolahkan kembali ke Wuryantoro.
Kesempatan yang indah bagi Soeharto yang banyak menimba ilmu di rumah keluarga
Prawirowihardjo tersebut. Kedudukan Prawirowihardjo sebagai mantri tani membuat
Soeharto semakin menyukai desa, sawah dan segala hal tentang pertanian serta
pelakunya yang tak lain adalah para petani sendiri. Ada kedekatan emosional
yang terbentuk antara Soeharto dengan petani. Mbah Kromodiryo yang mengasuhnya
semenjak bayi adalah seorang petani, kakeknya Atmosudiro juga seorang petani,
Kertosudiro ayahnya juga petani meskipun hanya bertani di tanah lungguh dan
kali ini Prawirowihardjo pamannya justru mantri tani.
Istilah mantri
tani adalah seseorang yang ditugaskan untuk mendampingi para petani. Mantri
tani memantau setiap usaha petani untuk memulai menanam padi, memupuk sampai
dengan memanen. Pak Prawirowihardjo sangat tekun menjalankan tugasnya, hal
inilah yang menjadikan Soeharto kagum padany. Prawirowihardjo juga mendapat
penghargaan dari bupati karena mampu menyuburkan tanah yang telah kering dengan
pupuk berbahan tumbuhan orok-orok. Soeharto seringkali ikut pamannya ke
desa-desa percontohan, di mana tanah tandus menjadi subur dan bisa menghasilkan
padi. Desa-desa itu antara lain Desa Ngungkring, Kenongo dan Tangkil.
Selain rajin
dan tekun belajar, Soeharto juga dikenal ramah sehingga setiap sudut Wuryantoro
hampir dapat dipastikan dikenalnya dengan baik. Di masa kecil, Soeharto suka
bermain bola dan memiliki teman akrab bernama Warikoen, Polo Soetarto, Wariman,
Yahman, Tarno dan Kriyo. Mereka semua teman masa kecil sampai remaja Soeharto
saat tinggal di Wuryantoro. Di samping itu, Soeharto juga memiliki seorang guru
ngaji di langgar dekat rumah Prawirowihardjo, yaitu Kamsiri. Pak Kamsiri masih
hidup saat Soeharto menjadi presiden. Namun demikian, karena memang beliau
seorang desa yang lugu dan nriman,
tak pernah sekalipun kamsiri mengungkit jasanya telah mengajar Soeharto
mengaji. Baginya, melihat anak didiknya menjadi orang sukses sudah lebih dari
cukup. Pernah suatu kali saat mengunjungi Wuryantoro, Soeharto meminta tutut
putrinya dan beberapa orang untuk menjemput Sarimin, Warikoen dan beberapa
sahabatnya yang masih hidup. Mereka mengenang masa lalu sambil bercerita dengan
akrab. Soeharto tampak bahagia dan tak pernah merasa minder dengan masa lalunya
sebagai orang desa.
Remaja Yang Suka Belajar
1.
Pendidikan formal umum Sekolah Rakyat Lanjutan
di Wuryantoro
Sekolah Rakyat merupakan sekolah
yang diselenggarakan oleh Pemerintahan Hindia Belanda untuk anak-anak
Indonesia. Sekolah ini penuh dengan keterbatasan. Sekolah Rakyat merupakan
sekolah dengan jenjang yang sama dengan sekolah dasar saat ini. Di Sekolah
Rakyat, anak-anak diajarkan pengetahuan membaca dan menulis huruf latin,
berhitung dan berbagai pengetahuan dasar tentang alam, tumbuhan, binatang dan
sosial kemasyarakatan. Semua diberikan secara sederhana dan anak-anak mencatat
di sebuah Sabak. Mereka harus menghafal benar materi yang disampaikan sebelum
keesokan harinya tulisan dalam Sabak harus dihapus dan siap menerima materi
pelajaran yang baru. Sekolah Rakyat lanjutan di Wuryantoro setingkat dengan
sekolah dasar kelas 4 saat ini. Mengapa harus di Wuryantoro? Karena di Dusun
Kemusuk keadaan Sekolah Rakyat lebih memprihatinkan kondisinya dan berbeda
dengan Sekolah Rakyat lanjutan di Wuryantoro tersebut.
2.
Pendidikan agama di langgar/mushola dekat rumah
Meskipun berada dalam masa
penjajahan Belanda, keadaan pendidikan agaman atau disitilahkan dengan mengaji
di langgar/surau tetap berjalan dengan baik. Di sinilah putra-putri Indonesia
ditempa akhlaknya secara Islami agar tumbuh menjadi pribadi yang hormat kepada
Tuhannya, kepada Allah Swt. Mengaji juga mengajarkan adanya satu keseimbangan
antara hablumminallah dan hablumminannas. Ajaran yang sering dengan nasihat
turun-temurun dari nenek moyang suku Jawa dan berbagai suku bangsa di Indonesia
pada umumnya.
3.
Cara berkeluarga seperti yang dicontohkan paman
dan bibinya
Secara langsung maupun tidak langsung,
Soeharto banyak mempelajari tentang kehidupan berumah tangga dan berkeluarga
secara sakinah mawaddah warrahmah seperti yang dilakukan oleh paman dan
bibinya. Tinggal di rumah mereka dan menjadi bagian dari keluarga (dianggap
anak sulung) menjadikan Soeharto mampu menyerap berbagai kebaikan dan tata cara
memelihara hubungan harmonis dalam berkeluarga. Jika boleh berandai-andai,
andai saja Soeharto tak dititipkan kepada keluarga Prawirowihardjo mungkin
sulit baginya untuk mencintai dan dicintai oleh keluarganya seperti yang kelak
di kemudian hari dilakukannya bersama Siti Hartinah beserta keenam
putra-putrinya.
Menimba Falsafah Hidup
Ada beberapa nasihat
Prawirowihardjo yang masih diingat oleh Soeharto sampai saat menduduki jabatan
sebagai presiden.
1.
Nasihat untuk selalu memelihara budi pekerti
sebagai seorang Jawa yang sopan, santun, adab, asor dan memiliki filsafat hidup
yang kukuh sesuai ajaran nenek moyang. Dari sinilah Soeharto bersikap layaknya
seorang Jawa yang selalu mengembangkan senyum, baik kawan maupun lawan.
Soeharto bisa menyembunyikan emosi yang berlebihan sehingga tak tampak marah.
Julukan “The Smiling General” dari negara-negara asing nantinya ditujukan untuk
Soeharto karena sikapnya yang ramah dan selalu tersenyum di setiap situasi.
2.
Melakukan 3A yaitu Aja Gumunan, Aja Kagetan dan Aja
Dumeh
·
Aja
gumunan diartikan sebagai jangan suka keheranan melihat orang lain kaya
heran, melihat orang lain lebih berhasil heran, melihat kenyataan diri yang
kurang beruntung heran. Keheranan yang bertumpuk-tumpuk akan membuat prasangka
buruk terhadap sesama dan bahkan terhadap Tuhan
·
Aja
kagetan diartikan sebagai jangan suka terkejut. Terkejut saat mendapati
kenyataan baik maupun buruk, terkejut saat ada orang lain mengalami hal yang
menyenangkan atau menyedihkan, terkejut saat melihat ada orang yang sanggup mengkhianati
kita. Terkejut saat apa yang diterima ternyata tak sesuai dengan harapan.
Berbagai hal yang menyebabkan rasa terkejut tersebut sudah selayaknya dianggap
“biasa”. Bukan lantas seseorang tak boleh memiliki emosi, melainkan lebih pada
nasihat untuk mampu mengendalikan emosi. Karena jika seseorang dikendalikan
oleh emosi, tak bisa dibayangkan kehancuran tatanan adat, negara dan bahkan
dunia.
·
Aja dumeh
diartikan sebagai jangan mentang-mentang sudah kaya lantas sombong dan mengejek
yang miskin, mentang-mentang pandai kemudian meremehkan teman yang bodoh.
Sungguh, pemikiran dumeh ini akan menikam diri sendiri.
3.
Menghormati Tuhan, Orangtua, Pemimpin dan Guru
4.
Puasa Senin Kamis
5. Turu Ing Tritisan
Pengertian dari turu
ing tritisan adalah tidur di teras rumah, dimana air pembuangan dari
genting mengalir ke bawah. Keprihatinan semacam ini diajarkan secara turun
menurun oleh nenek moyang sebagai sarana melatih fisik dan mental generasi muda
agar kuat, tangguh dan tak mudah jatuh mentalnya.
Sewaktu Putus Sekolah
Soeharto
memang menamatkan sekolah lanjutan di Muhammadiyah Yogyakarta, setingkat SMP
saat ini. Namun setelah lulus, ayah dan keluarganya yang lain angkat tangan tak
bisa lagi membiayai sekolahnya. Nasihat ayahnya, Soeharto diminta mencari kerja
agar bisa membiayai sekolahnya sendiri jika memang maasih berkeinginan untuk
menuntut ilmu yang lebih tinggi. Tak mengherankan dan berlebihan jika keluarga
Soeharto sulit untuk membiayai sekolah selepas lanjutan rendah. Hampir semua
rakyat Indonesia kecuali golongan pejabat Belanda dan para pedagang kaya yang
bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai sekolah lanjutan atas apalagi
perguruan tinggi. Mengeyam pendidikan sampai sekolah lanjutan saja sudah
teramat bagus bagi seorang pemuda pribumi Indonesia di zaman penjajahan
Belanda.
Putus sekolah
tak membuat Soeharto patah arang atau berputus asa. Banyak sekali pengalaman
dan pelajaran hidup yang didapatkannya selama diasuh oleh beberapa orang secara
bergantian. Dari mulai Mbah Kromodiryo yang penuh kasih sayang pada Soeharto
bayi sampai balita, ibu kandung dan ayah tirinya Atmoprawiro, kakek kandungnya
Atmosudiro, keluarga paman dan bibinya Prawirowihardjo, sampai dengan keluarga
Hardjowijono yang notabene teman baik ayahnya. Peran ayahnya dalam menitipkan
Soeharto untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik juga menunjukkan kasih
sayang sebagai seorang ayah dengan segala keterbatasan karena memiliki
anak-anak lain dengan istrinya.
Selepas
sekolah lanjutan rendah, Soeharto disarankan untuk melamar pekerjaan sehingga
bisa memiliki biaya untuk melanjutkan sekolah jika memang berminat. Dalam
pemikiran Soeharto yang masih sangat belia, akhirnya dia kembali ke Wuryantoro
Wonogiri untuk mencari pekerjaan karena di sana banyak kenalan selama tinggal
di rumah keluarga Prawirowihardjo. Di Wuryantoro inilah Soeharto akhirnya
diterima bekerja sebagai pembantu “klereg” awalnya tidak menarik perhatian
Soeharto, meskipun sebenarnya ia memang suka pelajaran berhitung sewaktu di
sekolah. Tugas Soeharto adalah mendampingi klereg untuk mendatangi para petani,
pedagang kecil dan pemilik warung yang akan meminjam uang di bank. Seragam
dinas Soeharto waktu itu adalah kain/jarit, beskap dan blangkon khas Jawa. Sang
klereg naik sepeda dan Soeharto mendampinginya ke mana pun sang klereg menemui
kliennya.
Di Wuryantoro
tersebut, Soeharto memiliki sahabat bernama Kamin yang diajaknya menemui
seorang mantri bank desa untuk belajar pembukuan. Tak lama belajar pembukuan
tampaknya Soeharto sudah sangat menguasainya sehingga Kamin terheran-heran dan
mengatakan bahwa Soeharto memang pandai. Saat belajar mereka berdua naik
sepeda, Soeharto di depan sedangkan Kamin ada di belakang. Begitulah setiap
hari dijalani Soeharto dengan menjadi pembantu klereg. Pekerjaan tersebut harus
diakhiri oleh Soeharto lantaran kainnya telah usang dan belum mampu membeli
yang baru. Awalnya Soeharto meminjam kain bibinya, tetapi rupanya kain tersebut
tersangkut sadel sepeda sehingga robek. Soeharto merasa tidak bersalah karena
memang robeknya kain tanpa disengaja. Namun itulah jalan yang mengharuskan
Soeharto kemudian meninggalkan pekerjaannya. Tak ada kata menyesal tentunya,
meskipun dalam hati pasti ada rasa kecewa yang tak bisa ditutupi. Hanya karena
kain sobek, lantas harus keluar dari pekerjaan.
Soeharto muda
memang harus melalui jalan yang berliku sebelum mencapai kesuksesan dalam
kariernya kelak. Usai tak lagi bekerja sebagai pembantu klereg, Soeharto sempat
lama menganggur. Tentu saja dalam penganggurannya, jiwa mudanya yang tabah tak
tinggal diam. Dilakukannya apa yang bisa dilakukan, bahkan Soeharto seringkali
bekerja secara sukarela bergotong royong membangun fasilitas umum, jalan desa,
mushala atau memperbaiki lumbung di sekitar Wuryantoro. Hari-hari terasa sangat
lama bagi Soeharto. Ada beberapa temannya yang menyarankan untuk mendaftarkan
diri ke lowongan sebagai Angkatan Laut Belanda. Namun, rupanya jiwa Soeharto
belum tergerak kesana. Dia masih mencoba mengerjakan beberapa pekerjaan sipil
sambil menjalin silaturahmi dengan teman dan saudara-saudaranya.
0 Comments: