AL-KINDI (Sang Maestro Filosof Islam Pertama)
Nama
lengkapnya Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq ash-Shabbah bin ‘Imran
bin Ismail bin Al-Asy’ats bin Qaya Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun
185 H (801 M). Ayahnya bernama Ishaq Ash-Shabbah, Gubernur Kufah pada masa
pemerintahan Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid. Ia hidup pada masa Khalifah Al-Amin
(pada tahun 809-813), Al-Ma’mun (pada tahun 813-833), Al-Mu’tasim (pada tahun
833-842). Al-Wathiq (pada tahun 842-847) dan Al-Mutawakkil (pada tahun
847-861).
Keluarga Al-Kindi berasal dari suku Kindah,
salah satu suku Arab yang besar di Yaman, sebelum Islam datang ke sana.
Selanjutnya, nenek moyangnya hijrah ke Kufah. Nama Al-Kindi dikenal di kemudian
hari melalui kitab-kitabnya yang berjumlah tidak kurang dari 241 buah dalam
bidang filsafat, logika aritmetika, kedokteran, ilmu jiwa, politik, musik,
matematika dan lain-lain. Semasa hidupnya, penerjemahan buku-buku Yunani sangat
pesat dan ia turut aktif dalam kegiatan itu, yakni sejak didirikannya Bait
al-Hikmah oleh Al-Ma’mun.
Al-Kindi
adalah filsuf berbangsa Arab dan dipandang sebagai filsuf muslim pertama.
Memang, secara etnis, Al-Kindi lahir dari keluarga berdarah Arab yang berasal
dari suku Kindah, salah satu suku besar di daerah Jazirah Arab Selatan. Salah
satu kelebihan Al-Kindi adalah ia mampu menjelaskan filsafat Yunani kepada kaum
muslimin setelah terlebih dahulu mengislamkan pikiran-pikiran asing tersebut.
Pendidikan
dasar ditempuh oleh Al-Kindi di tanah kelahirannya. Kemudian, ia melanjutkan
dan menamatkan pendidikan di Baghdad. Sejak belia, ia sudah dikenal berotak
encer. Tiga bahasa penting dikuasainya, yakni Yunani, Suryani dan Arab. Inilah
sebuah kelebihan yang jarang dimiliki oleh banyak orang pada era itu.
Al-Kindi hidup
pada era kejayaan Islam Baghdad di bawa kekuasaan dinasti Abbasiayh. Tak kurang
dari 5 periode Khalifah dilaluinya, yakni Al-Amin (809-813), Al-Ma’mun
(813-833), Al-Mu’tasim, Al-Watsiq (842-847) dan Mutawakkil (847-861).
Kepandaian dan kemampuannya dalam menguasai berbagai imu, termasuk kedokteran,
membuatnya diangkat menjadi guru dan tabib kerajaan.
Khalifah juga
mempercayainya untuk berkiprah di Bait al-Hikmah (House of Wisdom), yang kala itu gencar menerjemahkan buku-buku imu
pengetahuan dari berbagai bahasa, seperti Yunani. Ketika Khalifah Al-Ma’mun
tutup usia dan digantikan oleh putranya, Al Mu’tasim, posisi Al-Kindi semakin
diperhitungkan dan mendapat peran yang besar. Secara khusus, ia diangkat
menjadi guru bagi putranya.
Al-Kindi mampu
menghidupkan paham Muktazilah. Berkat peran Al-Kindi pula, paham yang
mengutamakan rasionalitas itu ditetapkan sebagai paham resmi kerjaan. Menurut
An-Nadhim, selama berkutat dan bergelut dengan ilmu pengetahuan di Bait
Al-Hikmah, Al-Kindi telah melahirkan 260 karya. Di antaranya sederet buah
pikirnya dituangkan ke dalam risalah-risalah pendek yang tak lagi ditemukan.
Karya-karya yang dihasilkannya menunjukkan bahwa Al-Kindi adalah orang yang
berilmu pengetahuan luas dan mendalam.
Ratusan
karyanya itu dipilah ke berbagai bidang, seperti filsafat, logika, ilmu hitung,
musik, astronomi, geometri, medis, astrologi, dialektika, psikologi, politik
dan meteorologi. Bukunya yang paling banyak adalah geometri, yaitu sebanyak 32
judul. Adapun buku filsafat dan kedokteran masing-masing mencapai 22 judul.
Sementara itu, buku logika sebanyak 9 judul dan fisika sejumlah 12 judul.
Buah pikir
yang dihasilkan oleh Al-Kindi begitu berpengaruh terhadap perkembangan
peradaban Barat pada Abad Pertengahan. Karya-karyanya diterjemahkan ke dalam
bahasa Latin dan Eropa. Buku-buku itu tetap digunakan selama beberapa abad
setelah ia meninggal dunia.
Al-Kindi
dikenal sebagai filsuf muslim pertama, karena ia adalah orang Islam pertama
yang mendalami ilmu-ilmu filsafat. Hingga aba ke7 M, filsafat masaih didominasi
oleh orang orang Kristen Suriah. Al-Kindi tak sekedar menerjemahkan karya-karya
filsafat Yunani, namun ia juga menyimpulkan karya-karya filsafat Helenisme.
Salah satu kontribusinya yang besar adalah menyelaraskan filsafat dan agama.
Setelah era
Khalifah Al-Mu’tasim berakhir dan tampuk kepemimpinan beralih ke Al-Watsiq dan
Al-Mutawakkil, peran Al-Kindi semakin dipersempit. Namun, tulisan kaligrafinya
yang menawan sempat membuat Khalifah kepincut. Kumudian, Khalifah Al-Mutawakkil
mendapuknya sebagai ahli kaligrafi istana. Sayangnya, hal itu tak berlangsung
lama.
Ketika Khalifah
Al-Mutawkkil tak lagi menggunakan paham Muktszilah sebagai aliran pemikir resmi
kerajaan, Al-Kindi tersingkir. Ia dipecat dari berbagai jabatan yang sempat
diembannya. Jabatannya sebagai guru istana pun diambil alih oleh ilmuwan lain
yang tak sepopuler Al-Kindi. Friksi pun sempat terjadi dan perpustakaan
pribadinya sempat diambil alih oleh putra-putra Musa. Namun, akhirnya
Al-Kindiyah (perpustakaan pribadi itu) dikembalikan lagi.
“Al-Kindi
adalah salah satu dari 12 pemikir terbesar pada Abad Pertengahan,” cetus
sarjana Italia Era Renaissance, Geralomo Cardano (pada tahun 1501-1575). Di mata
sejarawan Ibnu an-Nadim, Al-kindi merupakan manusia terbaik pada zamannya. Ia menguasai
beragam ilmu pengetahuan. Dunia pun mendapuknya sebagai filsuf Arab yang paling
tangguh.
A. Tokoh Filsafat
Sebagai penggagas filsafat murni dalam dunia Islam,
Al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang mulia. Sebab, melalui
filsafatlah, manusia bisa belajar menganai sebab dan realitas Ilahi yang
pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Bagi Al-Kindi,
filsafat adalah ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat
dalam pandangan Al-Kindi bertujuan memperkuat agama dan merupakan bagian dari
kebudayaan Islam.
Salah seorang penulis buku tentang
studi Islam, Henry Corbin menggambarkan akhir hayat dari sang filsuf Islam. Menurut
Corbin, pada tahu 873, Al-Kindi tutup usia dalam kesendirian dan kesepian. Saat
itu, baghdad sedang dikuasai oleh rezim Al-Mu’tamid. Setelah Al-Kindi
meninggal, buku-buku filsafat yang dihasilkannya pun banyak yang menghilang.
Sejarawan Felix Klein Franke
menduga bahwa lenyapnya sejumlah karya filsafat Al-Kindi akibat dimusnahkan
oleh rezim Al-Mutawakkil yang tak senang terhadap paham Muktazillah. Selain itu,
papar Klein Franke, bisa juga lenyapnya karya-karya Al-Kindi akibat ulah
serangan bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yag membumihanguskan kota
Baghdad dan Bait al-Hikmah.
Pada dasarnya, menurut Al-Kindi,
filsafat adalah pengetahuan menuju yang benar. Al-Qur’an yang membawa
argumen-argumen yang lebih meyakinkan dan benar yang tidak mungkin bertentangan
dengan kebenaran yang dihasilkan oleh filsafat. Bertemunya agama dan filsafat
dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi tujuan dari keduanya.
Dengan demikian, menurut Al-Kindi,
orang yang menolak filsafat berarti mengingkari kebenaran. Ia mengibaratkan
orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang
memperdagangkan agama dan orang itu pada hakikatnya tidak lagi beragama karena
ia telah menjual agamanya. Dalam beberapa hal, Al-Kindi sependapat dengan
filsuf terdahulunya, seperti Plato dan Aristoteles. Namun, dalam hal-hal
tertentu, Al-Kindi mempunyai pandangan sendiri.
Banyak buah pemikiran Al-Kindi
yang kemudian menjadi hukum-hukum perspektif pada Zaman Renaissance Eropa. Karena
ditakdirkan untuk menyatukan unsur-unsur sains kealaman dan matematika,
Al-Kindi menolak konsep Aristoteles tentang penglihatan sebagai bentuk yang
diterima oleh mata dari objek yang sedang dilihat. Sebaliknya, ia memahami
bahwa proses penglihatan ditimbulkan oleh daya pencahayaan yang berjalan dari
mata ke objek dalam bentuk kerucut radiasi.
Hingga kini, Al-Kindi tetap
dikenang sebagai ilmuwan Islam yang banyak berjasa bagi ilmu pengetahuan dan
peradaban manusia.
B. Pemikiran Al-Kindi
Al-Kindi telah menulis hampir
seluruh ilmu pengetahuan yang berkembang pada saat itu. Tetapi, diantara sekian
banyak ilmu, ia sangat menghargai matematika. Hal ni dikarenakan matematika
bagi Al-Kindi adalah mukadimah bagi siapa saja yang ingin mempelajari filsafat.
Adapun yang paling utama dari cakupan matematika dalam hal itu adalah ilmu
bilangan atau aritmetika. Sebab, jika bilangan tidak ada makan tidak akan ada
sesuatu pun. Dalam hal inilah, kita bisa melihat pengaruh filsafat Pythagoras
secara samar-samar.
Al-Kindi membagi daya jiwa menjadi
3 yaitu, daya bernafsu (appetitive),
daya pemarah (irascible) dan daya
berpikir (cognitive atau rational). Sebagaimana Plato, ia
membandingkan ketiga kekuatan jiwa ini dengan mengibaratkan daya berpikir
sebagai sais kereta, sedangkan dua kekuatan lainnya (pemarah dan nafsu) sebagai
dua ekor kuda yang menarik kereta tersebut. Jika akal budi dapat berkembang
dengan baik maka dua daya jiwa lainnya dapat dikendalikan dengan baik pula.
Menurut Al-Kindi, fungsi filsafat
sesungguhnya bukanlah untuk menggugat kebenaran wahyu, serta menuntut
keunggulan yang lancang dan menggugat persamaan dengan wahyu. Filsafat haruslah
sama sekali tidak mengajukan tuntutan sebagai jalan tertinggi menuju kebenaran dan
mau merendahkan dirinya sebagai penunjang wahyu.
Al-Kindi mendefinisikan filsafat
sebagai pengetahuan tentang segala sesuatu sejauh jangkauan pengetahuan
manusia. Karena itu, Al-Kindi dengan tegas mengatakan bahwa filsafat memiliki
keterbatasan dan ia tidak dapat mengatasi problem, semisal mukjizat, surga,
neraka dan kehidupan akhirat. Dalam semangat ini pula, Al-Kindi mempertahankan
penciptaan dunia ex nibilio,
kebangkitan jasmani, mukjizat, keabsahan wahyu, serta kelahiran dan kehancuran
dunia oleh Tuhan.
C. Al-Kindi dan Ketuhanan
Menurut Al-Kindi, filsafat adalah
pengetahuan yang benar, sedangkan agama menerangkan sesuatu yang benar. Jadi jelaslah
ada perbedaan di antara filsafat dan agama. Keduanya bertujuan menerangkan
sesuatu yang benar dan baik. Agama menerangkan wahyu dengan mempergunakan akal
dan filsafat pun menggunakan akal. Wahyu tidak bertentangan dengan filsafat. Hanya
saja, argumentasi yang dikemukakan oleh Wahyu lebih meyakinkan daripada argumen
filsafat.
Al-Kindi beranggapan bahwa Tuhan
adalah pencipta alam, bukan penggerak pertama. Tuhan bersifat Esa, Azali dan
Unik. Dia tidak tersusun dari materi dan bentuk, serta tidak bertubuh dan
bergerak. Dia hanyalah keesaan belaka. Selain Tuhan, semuanya mengandung arti
banyak.
Sebagaimana yang telah diketahui,
Al-kindi banyak mempelajari filsafat yunani. Maka, dalam pemikirannya, banyak
terlihat unsur-unsur filsafat Yunani itu. Unsur-unsur yang terdapat dalam
pemikiran filsafat Al-Kindi adalah sebagai berikut :
1.
Aliran Pythagoraas tentang matematika sebagai
jalan ke arah filsafat
2.
Pikiran-pikiran Aristoteles dalam hal fisika dan
metafisika, meskipun Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles tentang
qadim-nya alam.
3.
Pikiran-pikiran Plati dalam hal kejiwaan
4.
Pikiran-pikiran Plato dan Aristoteles dalam hal
etika.
5.
Wahyu dan iman (ajaran-ajaran agama) dalam hal-hal
yang berhubungan dengan Tuhan dan sifat-sifat-Nya
6.
Pikiran-pikiran aliran Muktazilah dalam
penghargaan kekuatan dan menta’wil kan ayat-ayat al-Qur’an.
Karena pemikiran Al-Kindi banyak
mendapatkan pengaruh filsafat Yunani, maka sebagian penulis berpendapat bahwa
Al-Kindi mengambil alih seluruh filsafat yunani. Tetapi, bila pemikirannya
dipelajari dengan saksama, tampak bahwa pada mulanya Al-Kindi mendapatkan
pengaruh pikiran dari filsafat Yunani, tetapi akhirnya ia mempunyai kepribadian
sendiri.
Dari beberapa pemikiran filsaat
yang ditekuninya, akhirnya Al-Kindi berkesimpulan bahwa filsafat ketuhananlah
yang mendapatkan derajat atau kedudukan yang paling tinggi dibandingkan dengan lainnya.
Ia beranggapan bahwa menganai Tuhan adalah bagian filsafat yang paling tinggi
kedudukannya.
Filsafat Al-Kindi tentang keesaan
Tuhan didasarkan pada wahyu dan proposisi filosofis. Menurutnya, Tuhan tidak
mempunyai hakikat, baik hakikat secara juz’iyah
atau aniyah (sebagian) maupun hakikat
kulliyyah atau mahiyah (keseluruhan).
Dalam pandangan filsafat Al-Kindi,
Tuhan tidak merupakan genus atau species. Tuhan adalah Pencipta. Tuhan
adalah Dzat Yang Benar Pertama (Al-Haqq a-Awwal) dan Dzat Yang benar Tunggal.
Al-Kindi juga menolak pendapat yang menganggap sifat-sifat Tuhan itu berdiri
sendiri. Tuhan haruslah merupakan keesaan mutlak, bukan keesaan metaforis yang
hanya berlaku pada objek-objek yang dapat ditangkap indra.
Menurut Al-Kindi, Tuhan tidak
memiliki sifat-sifat dan atribut-atribut lain yang terpisah dengan-Nya, tetapi
sifat-sifat dan atribut-atribut tersebut haruslah tak terpisahkan dengan
Dzat-Nya. Jiwa atau ruh adalah salah satu pembahasan Al-kinndi. Ia juga
merupakan filsuf muslim pertama yang membahas hakikat ruh secara terperinci.
Al-Kindi membagi ruh atau jiwa ke
dalam tiga daya, yakni daya nafsu, daya pemarah dan daya berpikir. Menurutnya,
daya yang paling penting adalah daya berpikir, karena bisa mengangkat
eksistensi manusia ke derajat yang lebih tinggi.
Al-Kindi juga membagi akal menjadi
3 yakni, akal yang bersifat potensial, akal yang keluar dari sifat potensial
menjadi aktual dan akal yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
Akal yang bersifat potensial,
papar Al-Kindi, tak bisa mempunyai sifat aktual, jika tak ada kekuatan yang
menggerakkannya dari luar. Oleh karen itu, menurut Al-Kindi, masih ada satu
macam akal lagi, yakni akal yang selamanya dalam aktualitas.
D.
Kitab Pemecah Kode
Sebagai ilmuwan serba bisa,
Al-Kindi tak Cuma melahirkan pemikiran di bidang filsafat. Salah satu karyanya
yang termasuk fenomenal adalah Risalah fi Istikhraj al-Mu’amma. Kitab itu
mengurai dan membahas kriptologi atau seni memecahkan kode. Dalam kitabnya ini,
Al-Kindi memaparkan cara menguraikan kode-kode rahasia.
Teknik-teknik penguraian kode atau
sandi-sandi yang sulit dipecahkan dikupas tuntas dalam kitab tersebut. Selain itu,
ia juga mengklasifikasikan sandi-sandi rahasia, serta menjelaskan ilmu fonetik Arab
dan sintaksisnya dan yang paling penting lagi, dlam kitab ini, Al-Kindi
mengenalkan penggunaan beberapa teknik statistik untuk memecahkan kode-kode
rahasia.
Kriptografi dikuasai oleh Al-Kindi
lantaran ia adalah pakar di bidang matematika. Di area ilmu ini, ia menulis 4
buku mengenai sistem penomoran dan menjadi dasar bagi aritmetika modern. Al-Kindi
juga berkontribusi besar dalam bidang geometri bola, bidang yang sangat
mendukungnya dalam studi astronomi.
Bekerja di bidang sandi-sandi
rahasia dan pesan-pesan terembunyi dalam naskah-naskah asli Yunani dan Romawi
mempertajam naluri Al-Kindi dalam bidang Kriptoanalis. Ia menjabarkannya dalam
sebuah makalah yang setelah dibawa ke Barat beberapa abad sesudahnya,
diterjemahkan sebagai Manuscript on Decipthering
Cryptographic Messages. “Salah satu cara untuk memecahkan kode rahasia,
jika kita tahu pembahasannya, adalah dengan menemukan satu naskah asli yang
berbeda dari bahasa yang sama, lalu kita hitung kejadian-kejadian pada tiap
naskah. Selanjutnya, pilah menjadi naskah kejadian satu, kejadian dua dan
seterusnya,” ungkap Al-Kindi.
Setelah itu, lanjut Al-Kindi,
dicermati teks rahasia yang ingin dipecahkan, selanjutnya, dilakukan
klasifikasi simbol-simbolnya. “di sana, kita akan menemukan simbol yang paling
sering muncul, lalu ubahlan dengan catatan kejadian satu, dua dan seterusnya
sampai seluruh simbol terbaca,” papar Al-Kindi. Teknik itu akhirnya dikenal
sebagai analisis frekuensi dalam kriptografi, yaitu cara paling sederhana untuk
menghitung persentase bahasa khusus dalam naskah asli, persentase huruf dalam
kode rahasia dan menggantikan simbol dengan huruf.
Sejarah telah mencatat bahwa orang
yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau
sophists (pada tahun 500-400 SM) adalah Socrates (pada tahun 469-399 SM). Kemudian, hal ini diteruskan oleh Plato (pada
tahun 427-457 SM). Selanjutnya, hal itu diteruskan kembali oleh muridnya yang
bernama Aristoteles (pada tahun 384-322 SM).
Setelah Zaman Aristoteles usai, sejarah
tidak mencatat lagi generasi penerus para filsuf terdahulu hingga lahirnya
sosok filsuf muslim pertama pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah (pada tahun
132-656 H).
0 Comments: