KIAI HASYIM ASY'ARI (Sang Penebar Dakwah)
Kiai Hasyim Asy’ari adalah pendiri
Pesantrren Tebuireng dan perintis Nahdhatul Ulama (NU), salah satu organisasi
kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga dikenal sebagai tokoh pendidikan
pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama di dalam pesantren, ia pun
mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi dan
berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang
lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur pada 10 April 1875, tidak
terlepas dari peran nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin
pesantren.
Ayahnya bernama Kiai Asy’ari pemimpin
Pesantren keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Sedangkan ibunya
bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja
Brawijaya VI yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang
menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya,
semenjak usia 15 tahun, Kiai Hasyim Asy’ari berkelana dari satu pesantren ke
pesantren lainnya. Mulai dari menjadi santri di Pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semaranng),
hingga Pesantren Siwalan (Sidoarjo). Di Pesantren Siwalan, ia belajar kepada Kiai
Ya’kub yang kemudian menjadikannya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari
menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di mekah. Di sana, ia berguru kepada
Syekh Ahmad Khatib dan dan Syekh Mahfudh at-Taumusi, sang guru di bidang
hadits.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air,
Kiai Hasyim Asy’ari singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Ia pulang
ke Indonesia pada tahun 1899, lalu mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak
menjadi pesantren tebesar dan terpenting di Jawa pada abad ke-20. Sejak tahun
19000, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng sebagai pusat
pembaharuan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu, Kiai Hasyim Asy’ari
mengajarkan ilmu agama dan pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf
latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum,
berorganisasi, serta berpidato. Cara yang dilakukannya ini mendapat reaksi
keras dari masyarakat lantaran dianggap bid’ah. Ia dikecam, tetapi tidak mundur
dari pendiriannya.
Bagi Kiai Hastim Asy’ari mengajarkan
agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka
untuk terjun ke masyarakat termasuk salah satu tujuan utama perjuangannya.
Meskipun mendapat kecaman, Pesantren Tebuireng menjadi masyhur ketika para
santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah
dan menjadi besar.
Pada 31 Januari 1926, bersama dengan
tokoh-tokoh Islam tradisional,, kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdhatul Ulama,
yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak
anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan
Organisasi NU bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama
di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat
menyegani kewibawaan Kiai Hasyim Asy’ari. Kini, NU pun berkembang semakin
pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke
desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meskipun sudah menjadi tokoh penting
dalam NU, Kiai Hasyim Ays’ari tetap bersikap toleran terhadap aliran lainnya
dan yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah
Beland bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri Belanda dengan gaji yang
cukup besar, asalkan ia mau bekerja sama dengan Belanda, tetapi hal ini
ditolaknya mentah-mentah.
Dengan alasan yang tidak diketahui pada
masa awal pendudukan Jepang, Kiai Hasyim Ays’ari ditangkap. Berkat bantuan
anaknya, KH. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian, ia dibebaskan. Sesudah itu,
ia diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan ini diterimanya karena
terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
KH. Hasyim Asy’ari adalah pendiri
Pesantren Tebuireng serta tokoh ulama dan pendiri NU, organisasi Islam terbesar
di Indoensia, bahkan di Asia Tenggara. Namanya sudah tidak asing lagi di
telinga orang Indonesia. Pahlawan nasional ini merupaka salah satu tokoh besar
Indonesia abad ke-20.
Kiai Hasyim Asy’ari hidup menyatu
bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh kesederhanaan
dan kebersamaan. Semuanya itu memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap
pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di kemudian hari. Hal ini ditunjang
oleh kecerdasannya yang memang brilian. Dalam usia 13 tahun, ia sudah bisa
membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar daripada dirinya.
Selain cerdas, Kiai Hasyim Asy’ari juga
dikenal rajin bekerja. Watak kemandirian yang ditanamkan sang kakek mampu
mendorongnya untuk berusaha memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung
pada orang lain. Itulah yang membuat ia selalu memanfaatkan waktu luangnya
untuk belajar mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasil kerjanya
tersebut digunakan untuk membeli kitab dan bekal menuntut ilmu.
Pada usia 15 tahun, Kiai Hasyim
meninggalkan kedua orang tuanya untuk berkelana memperdalam ilmu pengetahuan.
Mula-mula, ia menjadi santri di Pesantren Wonorejo, Jombang, lalu di Pesantren
Wonokoyo, Probolinggo, kemudian Pesantren Langitan, Tuban dan Pesantren
Trenggilis, Surabaya.
Lantaran belum puas dengan ilmu yang
diperolehnya, Kiai Hasyim Asy’ari melanjutkan rihlah ilmiyahnya ke Pesantren
Kademangan, Bangkalan, Madura, di bawah asuhan Kiai Kholil bin Abdul Latif yang
terkenal waliyullah tersebut.
Pada tahun 1933, di Jombang terjadi
dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, yakni Kiai Hasyim Asy’ari dan
Kiai Kholil, sang guru. “Dulu, saya memang mengajar anda, tapi hari ini saya
nyatakan bahwa saya adalah murid anda,” ungkap Kiai Kholil.
Kiai Hasyim Asy’ari menjawab, “sungguh,
saya tidak menduga bahwa anda akan mengucapkan kata-kata yang demikian.
Tidakkah anda salah jika berguru kepada saya,padahal saya adalah murid anda?
Selamanya, saya akan menjadi murid anda. Tanpa merasa tersanjung, Kiai Kholil
tetap bersikeras dengan niaitnya. “keputusan dan kepastian hati saya sudah
bulat tidak dapat ditawar dan diubah lagi bahwa saya akan turut belajar kepada
anda guna memperdalam ilmu, “ucap Kiai Kholil.
Karena sudah hafal dengan watak sang
guru, Kiai Hasyim Asy’ari tidak bisa berbuat lainnya, kecuali menerima sang
guru sebagai santri. Lucunya, ketika turun dari masjid usai shalat berjamaan,
keduanya cepat-cepat menuju tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului,
karena hendak memasangkan ke kaki sang guru.
Pada daasarnya, Kiai Kholil adalah Kiai
yang sangat termasyhur pada zamannya. Hampir semua pendiri NU dan tokoh-tokoh
penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh sekaligus pemimpin.
Pesantren Kademangan, Bangkalan madura tersebut.
Sementara itu, Kiai Hasyim Asy’ari tak
kalah cemerlangnya. Ia bukan saja dikenal sebagai pendiri sekaligus pemimpin
tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat terhadap kalangan ulama, tetapi
juga dikenal lantaran ketinggian ilmunya. Apalagi, kakek Abdurrahman Wachid
(Gus Dur) ini terkenal mumpuni dalam ilmu hadits. Setiap bulan Ramadhan, Kiai
Hasyim Asy’ari punya “tradisi” menggelar kajian hadits Bukhari dan Muslim
selama sebulan suntuk. Kajian ini mampu menyedot perhatian umat Islam.
Setelah 5 tahun menuntut ilmu di
Bangkalan, pada tahun 1307 H atau 1891 M, Kiai hasyim Asy’ari kembali ke tanah
Jawa, lalu belajar di Pesantren Siwalan, Panji, Sidoarjo, dibawah bimbingan
Kiai Ya’qub. Lalu, pada usia 21 tahun, ia dinikahkan dengan Nafisah, salah
seorang putri Kiai Ya’qub. Pernikahan itu dilangsungkan pada tahun 1892 M atau
1308 H.
Tidak lama kemudian, Kiai Hasyim Asy’ari
bersama istri dan mertuanya berangkat ke Mekah guna menunaikan ibadah haji.
Kesempatan di tanah suci itu juga digunakan untuk memperdalam ilmu pengetahuan
hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu hadits.
Kala itu, 7 bulan pun telah berlalu dan
Nyai Nafisah pun melahirkan seorang putra yang diberi nama Abdullah. Kiai
Hasyim Asy’ari bersama istri dan mertuanya sangat bahagia dengan kelahiran bayi
mungil tersebut. Ditengah kegembiraan memperoleh buah hati, sang istri
mengalami sakit parah, kemudian meninggal dunia di tanah Suci Mekah dan 40 hari
kemudian, sag putra, Abdullah menyusul kepergian sang ibu menghadap Sang
Khaliq. Kesedihan Kiai Hasyim Asy’ari pun nyaris tak tertahankan. Namun, ia
selalu ingat kepada Allah Swt dengan melaksanakan thaawaf dan ibadah-ibadah
lainnya. Beberapa bulan kemudian, Kiai Hasyim Asy’ari kembali ke Indonesia
untuk mengantar mertuanya pulang.
Kerinduan terhadap tanah suci mengetuk
hati Kiai Hasyim Asy’ari untuk kembali lagi ke kota mekah. Pada tahun 1309 H
atau 1893 M, ia berangkat kembali ke mekah bersama adik kandungnya, Anis. Allah
kembali menguji kesabaran Kiai Hasyim Asy’ari. Sebab tak lama setelah tiba di
Mekah, Anis pun dipanggil oleh Allah Swt. Peristiwa ini tidak membuat Kiai
Hasyim Asy’ari hanyut dalam kesedihan. Ia justru semakin mencurahkan seluruh
waktunya untuk belajar dan mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Di tengah-tengah kesibukan menuntut
ilmu, Kiai Hasyim asy’ari menyempatkan diri berziarah ke tempat-tempat
mustajab, seperti Padang Arafah, Gua Hira, maqam Ibrahim dan makam
RasulullahnSaw. Setiap Sabtu pagi, ia berangkat menuju Gua Hira’ di Jabal Nur,
kurang lebih 10 km di luar kota Mekah untuk mempelajari dan menghafalkan
hadits-haadits Rasulullah Saw.
Setiap berangkat menuju Gua hira, Kiai
Hasyim Asy’ari selalu membawa al-Qur’an dan
kitab-kitab yang ingin dipelajarinya. Ia juga membawa perbekalan untuk
dimakan selama 6 hari di sana. Jika hari Jum’at tiba, ia bergegas turun menuju
kota Mekah guna menunaikan shalat Jum’at disana.
Kiai Hasyim Asy’ari juga rajin menemui
ulama-ulama besar untuk belajar dan mengambil berkah dari mereka. Guru-gurunya
selama di Mekah antara lain Syekh Syuaib ibn Abdurrahman, Syekh Bafadhal, Syekh
Khatib al-Minangkabawi dan Syek Ahmad Amin al-Athar.
Pada tahun ke-7 di Mekah, tepatnya tahun
1899 (1215 H, datanglah rombongan jamaah haji dari Indonesia. Di antara
rombongan haji terdapat Kiai Romli dari desa Karangkates, Kediri beserta
putrinya yang bernama Khadijah. Kiai Romli yang bersimpati terhadap Kiai Hasyim
Asy’ari mengambilnya sebagai menantu untuk dijodohkan dengan Khadijah.
Setelah pernikahan itu, Kiai Hasyim
Asy’ari bersama istrinya kembali ke tanah air. Pada awalnya, ia tinggal di
Kediri selama beberapa bulan. Menurut sumber lainnya, Kiai Hasyim Asy’ari
langsung menuju Pesantren Gedang yang diasuh oleh Kiai Utsman dan tinggal di
sana untuk membantu sang kakek. Setelah itu, ia membantu ayahnya, Kiai Asy’ari,
untuk mengajar di Pondok Keras.
Pada tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari
membeli sebidang tanah dari seorang dalang di dukuh Tebuireng. Letaknya
kira-kira 200 m sebelah barat Pabrik Gula Cukir, pabrik yang telah berdiri
sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur desa Keras, kurang
lebih 1 km.
Di sana, Kiai hasyim Asy’ari membangun
sebuah bangunan yang terbuat dari bambu sebagai tempat tinggal. Dari bambu
kecil iilah, embiro Pesantren Tebuireng dimulai. Kiai Hasyim Asy’ari mengajar
dan shalat berjamaah di bambu bagian depan, sedangkan bambu bagian belakang dijadikan
sebagai tempat tinggal. saat itu, santrinya berjumlah 8 orang dan 3 bulan
kemudian, jumlah santrinya meningkat menjadi 28 orang.
Setelah 2 tahun membangun Tebuireng,
Kiai Hasyim Asy’ari kembali harus kehilangan istri tercintanya, Nyai Khadijah.
Saat itu, perjuangan mereka sudah menampakkan hasil yang menggembirakan.
Selanjutnya, Kiai Hasyim Asy’ari menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri
Kiai Ilyas, pengasuh Pesantren Sewulan, Madiun. Dari pernikahan ini, Kiai
Hasyim Asy’ari dikaruniai 10 anak, yaitu Hannah, Khoiriyah, Aisyah, Assah,
Abdul Wahid, Abdul Hakim, Abdul Karim, Ubaidillah, Mashuroh dan Muhammad Yusuf.
Pada akhir dekade 1920-an. Nyai Nafiqoh
wafat sehingga Kiai Hasyim Asy’ari menikah kembali degan Nyai Masruroh, putri
Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Pagu, Kediri. Dari pernikahan
ini, Kiai Hasyim Asy’ari dikarunia empat orang orang putra-putri, yaitu Abdul
Qodir, Fatimah, Khotijah dan Muhammad Ya’kub.
Berjuang
Mengusir Penjajah
Pada pertengahan abad ke-19, Pesantren
Tebuireng merupakan pesantren yang paling besar dan penting di Jawa. Karena
pengaruhnya yang sedemikian kuat itu, keberadaan Kiai Hasyim Asy’ari menjadi
perhatian serius bagi para penjajah, baik Belanda maupun Jepang. Mereka
berusaha “merangkulnya”. Misalnya, pihak Belanda pernah memberikan anugerah
bintang jasa pada tahun 1937 kepada Kiai Hasyim Asy’ari, tetapi hal ini
ditolaknya. Justru, ia sempat membuat Belanda kelimpungan. Sebab, ia
memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang suci). Itulah
yang membuat Belanda merasa sangat kerepotan karena perlawanan gigih melawan
penjajahan muncul di mana-mana.
Pada tahun 1913 M, intel Belanda
mengirim seorang pencuri untuk membuat keonari di Tebuireng. Namun, ia
tertangkap dan dihajar beramai-ramai oelh para santri hingga tewas. Peristiwa
ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kiai Hasyim Asy’ari dengan
tuduhan pembunuhan. Dalam pemeriksaan, kiai hasyim Asy’ari yang sangat piawai
dengan hukum-hukum Belanda mampu menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis.
Akhirnya, ia dilepaskan dari jeratan hukum.
Pada bulan Maret 1942, Pemerintah
Hindia-Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati, dekat Bandung, sehingga
secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia berpindah tangan ke tentara
Jepang. Pendudukan Dai nippon menandai datangnya masa baru bagi kalangan Islam.
Berbeda dengan Belanda yang represif terhadap Islam, Jepang menggabungkan
antara kebijakan represif dan kooptasi sebagai upaya untuk memperoleh dukungan
para pemimpin muslim.
Salah satu perlakuan represif Jepang
adalah penahanan terhadap Hadratus Syekh beserta sejumlah putra dan kerabatnya.
Ini dilakukan karena Kiai Hasyim Asy’ari menolak melakukan Seikerei, yaitu
kewajiban berbaris dan menmbungkukkan badan ke arah Tokyo setiap pukul 07:00, sebagai
simbol penghormatan kepada Kaisar Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari
(Amaterasu Omikami). Aktivitas itu juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di
wilayah pendudukan Jepang, setiap kali berpapasan atau pun melintas di depan
tentara Jepang.
Kiai Hasyim Asy’ari menolak aturan
tersebut. Sebab, hanya Allah Swt yang wajib disembah, bukan manusia. Akibatnya,
ia ditangkap dan ditahan secara secara berpindah-pindah, mulai dari penjara di
Jombang, Mojokerto dan Bubutan, Surabaya.
Pada 18 Agustus 1942, setelah 4 bulan
dipenjara, Kiai hasyim Asy’ari dibebaskan oleh jepang karena banyaknya protes
dari para Kiai dan santri. Selain itu, pembebasan Kiai hasyim Asy’ari juga
berkat usaha dari Kiai Wahid Hasyim dan Kiai Wahab Hasbullah dalam menghubungi
pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Kiai Hasyim Asy’ari bersama para ulama
menyerukan revolusi jihad melawan pasukan gabungan NICA (yang dibentuk oleh
pemerintahan Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris) dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubuta, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang
rakyat semesta dalam pertempura 10 November 1945 yang bersejarah itu.
Pada 7 November 1945, tiga hari sebelum
Perang 10 November 1945 di Surabaya, umat Islam membentuk partai politik
bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan
salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari berbagai paham dan Kiai hasyim
Asy’ari diangkat sebagai Ra’is ‘Am (Ketua umum) pertama Masyumi periode 1945-1947.
Selama masa perjuangan mengusir
penjajah, Kiai Hasyim Asy’ari dikenal sebagai penganjur penasihat sekaligus
Jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan, seperti GPII, hizbullah,
Sabilillah dan Mujahidin. Bahkan, Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa
meminta petunjuk kepada Kiai hasyim Asy’ari
Meninggalnya
Kiai Hasyim Asy’ari
Pada 3 Ramadhan 1366 H, yang bertepatan
dengan 21 juli 1947 M, pukul 21:00, Kiai hasyim Asy’ari baru saja selesai
mengimami shalat Tarawih. Seperti biasanya, ia duduk di kursi untuk memberikan
pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, datanglah seorang tamu
utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Kiai Hasyim Asy’ari menemui utusan
tersebut didampingi Kiai Ghufron (Pimpinan Laskar Sabilillah Surabaya). Sang
tamu menyampaikan surat dari jenderal Sudirman. Kiai Hasyim Asy’ari meminta
waktu satu malam untuk berpikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Adapun isi pesan tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan
militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah karesidenan Malang,
Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri dan Madiun.
2.
Kiai Hasyim Asy’ari diminta mengungsi ke
Sarangan, Magetan agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap,
ia akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Apabila hal itu terjadi
maka moral para pejuang akan runtuh.
3.
Jajaran TNI di sekitarJombang diperintahkan
membantu pengungsian Kiai Hasyim Asy’ari
Keesokan
harinya, Kiai Hasyim Asy’ari memberikan jawaban bahwa ia tidak berkenan
menerima tawaran tersebut. Empat hari kemudian, tepatnya pada 7 Ramadhan 1366
M, pukul 21 : 00 datang lagi utusan membawa surat untuk disampaikan kepada Kiai
Hasyim Asy’ari mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam
Indonesia. Sebab, saat itu, Belanda telah menguasai wilayah Karesidenan Malang
dan banyak anggota laskar Hizbullah dan Sabilillah yang menjadi korban. Untuk
memberikan jawaban tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari kembali meminta waktu satu
malam.
Tak lama
berselang, Kiai Hasyim Asy’ari mendapatkan laporan dari Kiai Ghufron (Pemimpin
Laskar Sabilillah, Surabaya) bersama dua orang utusan Bung Tomo bahwa kota
Singosari, Malang (sebagai basis pertahanan Hizbullah dan Sabilillah) telah
jatuh ke tangan Belanda. Kondisi para pejuang semakin tersudur dan korban
rakyat sipil kian meningkat.
Mendengar
laporan tersebut, Kiai Hasyim Asy’ari berujar, “Masya Allah.... Masya Allah..,”
sambil memegang kepalanya. Selanjutnya, ia tidak sadarkan diri. Saat itu,
putra-putri Kiai Hasyim Asy’ari tidak berada di Tebuireng. Tetapi, tak lama
kemudian, mereka mulai berdatangan setelah mendengar kabar bahwa sang Ayah
tidak sadarkan diri. Menurut hasil pemeriksaan dokter, Kiai Hasyim Asy’ari
mengalami pendarahan otak yang sangat serius.
Pada pukul
03:00 yang bertepatan dengan 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, Kiai Hasyim
Asy’ari dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa. Kiai Hasyim Asy’ari memiliki banyak
jasa selama perang kemerdekaan melawan Belanda (pada tahun 1945-1947), terutama
yang berkaitan dengan tiga fatwanya yang sangat penting.
Pertama, perang melawan Belanda
merupakan jihad yang wajib dilaksanakan oleh semua umat Islam Indonesia. Kedua, kaum muslimin diharamkan
melakukan perjalanan haji menggunakan kapal Belanda. Ketiga, kaum muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut
lainnya yang menjadi ciri khas penjajah.
Berkat ketiga
jasa tersebut, maka Presiden Soekarno lewat Kepres No 249/1964 menetapkan Kiai
Hasyim Asy’ari sebagai Pahlawan Nasional.
0 Comments: