PANGERAN ANTASARI (Pemantik Perang Banjar)
Pangeran Antasari lahir pada tahun 1979
di Kalimantan Selatan dan ia meninggal dunia di Bayan Begak, Murung Raya,
Kalimantan Tengah, pada 11 Oktober 1862. Ia adalah seorang Pahlawan Nasional
Indonesia. I meninggalk karena penyakit cacar di pedalaman Sungai Barito,
Kalimantan Tengah. Kerangkanya dipindahkan ke Banjarmasin dan ia dimakamkan
kembali di Taman Makam Perang Banjar (Kompleks Makam Pangeran Antasari),
Banjarmasin Utara, Banjarmasin.
Ayahnya bernama Pangeran Mas’ud,
sedangkan ibunya bernama Gusti Hadijah; putri Sultan Sulaiman. Ia adalah
keluarga Kesultanan Banjarmasin, tetapi hidup dan dibesarkan di luar lingkungan
istana, yakni di Antasan Senor, Martapura.
Kericuhan-kericuhan yang terjadi,
khususnya dalam kalangan pengusaha kesultanan, menjadikan cicit dari Sultan
Aminullah ini tersisih, walaupun ia sebenarnya pewaris pula atas tahta
Kesultanan Banjar. Kericuhan itu terjadi ketika Sultan Aminullah wafat pada
tahun 1761. Ia meninggalkan 3 orang putra yang masih kecil. Oleh karena itu,
saudara Sultan Aminullah yang bernama Pangeran Natanegara diangkat menjadi
Wali. Adapun 2 orang putra Sultan Aminullah meninggal, sedangkan yang lainnya,
yaitu Pangeran Amir, pergi ke Pasir. Sesudah itu, pangeran Natanegara
menobatkan diri menjadi Sultan Sulaiman Saidullah.
Pada tahun 1787, Pangeran Amir
melancarkan pemberontakan untuk mengambil tantanya kembali dengan kekuatan
3.000 orang bugis. Utuk mengatasinya, Sultan Sulaiman Saidullah meminta bantuan
Belanda. Pasukan Belanda di bawah pimpinan kapten Hoffman berhasil mematahkan
perlawanan Pangeran Amir. Dalam suatu pertempuran pada 14 Mei 1787, Pangeran
Amir tertangkap dan pada bulan Juni, ia dikirim ke Batavia untuk selanjutnya di
buang ke Ceylon (Srilangka). Salah satu seorang putranya bernama Pangeran
Mas’ud, yaitu ayah dari Pangeran Antasari.
Belanda menarik keuntungan dari kericuha
itu. Sebagai imbalan jasa memadamkan “pemberontakan” Pangeran Amir,
ditandatanganilah antara pihak Belanda dan penguasa Kesultanan Banjar sebuah
Traktat dan Acta van Afstand pada 13 Agustus 17887. Hal tersebut berarti Sultan
Sulaiman Saidullah terpaksa mengurangi kekuasaan dan kedaulatan Kesultanan
Banjar. Ia dan keturunannya masih berhak menyandang gelar-gelar sultan dan
memerintah wilayah keultanan, tetapi hanya sebagai oinjaman (vazal) dari
Belanda.
Kericuhan terjadi lagi pada masa
pemerintahan Sultan Adam Alwatsiqubillah, putra Sultan Sulaiman. Selagi masih
bertahta, ia mengangkat anaknya, Pangeran Abdurrahman, sebagai sultan muda atau
putra mahkota. Pada tahun 1852, Abdurrahman meninggal dunia dan ia meninggalkan
dua orang anak, yaitu Pangeran Hidayatullah (anak dari perkawinan dengan Ratu
Siti) dan Paangeran Tamjidillah (anak dari perkawinan dengan Nyai Aminah).
Keduanya merasa berhak atas tahta kesultanan. Selain itu, ada lagi pihak ketiga
yang juga merasa berhak, yaitu Prabu Anom, putra Sultan Adam Alwatsiqubillah,
adik Pangeran Abdurrahman. Sebenarnya, Pangeran Hidayatullah yang paling berhak
atas tahta kesultanan.
Belanda ikut campur tangan lagi dengan
alasan berinvestasi dalam pertambangan batu bara “Oranye Nassau” di Pengaron
dan “Julia Hermina “ di Banyu Ireng. Kedua tambang ini mendatangkan hasil yang
cukup banyak. Karena itu, Belanda memerlukan sultan yang dapat mereka
kendalikan. Sultan Adam Alwatdiqubillah meninggal dunia pada tahun 1857. Lalu,
Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah sebagai penggantinya, sedangkan
Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Para bangsawan, ulama dan
rakyat tidak menyukai terhadap pengangkatan Pangeran Tamjidillah sebagai
sultan.
Keresahan rakyat tampak jelas dengan
timbulya perlawanan di daerah pedalaman, yaitu di Banua Lima (Negara, alabio,
Sungai Banar, Amuntai dan Kalua) yang dipimpin oleh Tumenggung Jalil; serta di
Muning, dibawah pimpinan Aling yang menobatkan dirinya menjadi sultan dengan
nama Panembahan Muda. Anaknya yang bernama Sambang diangkat dan bergelar sultan
Kuning. Anak perempuannya yang bernama Saranti diberi gelar Putri Junjung Buih.
Adapun nama kampungnya diganti menjadi Tambai Makkah.
Perlawanan di daerah Batang Hamandit,
Gunung Madang, dipimpin oleh Tumenggung Antaluddin. Sedangkan perlawanan di
tanah laut dan hulu sungai dipimpin oleh Demang Lehman. Adapun perlawanan di
Kapuas Kahayan dipimpin oleh Tumenggung Surapati.pada hakikatnya,
gerakan-gerakan rakyat itu menghendaki agar yang bertahta di Kesultanan Banjar
adalah Pangeran Hidayatullah. Sebab, ia lebih berhak menjadi sultan, yang
sesuai dengan harapan rakyat Banjar dan yang diperkuat oleh wasiat Sultan Adam
Alwatsiqubillah.
Isi surat wasiat tersebuh adalah Sultan
adam memberi kepada Pangeran Hidayat gelar Sultan Hidayatullah Khalilullah,
mengangkat menjadi penguasa agama, serta mewariskan semua tanah kesultanan,
semua alat senjata kesultanan, alat pusaka dan padang-padang perburuan. Apabila
Sultan Adam wafat maka penggantinya adalah pangeran Hidayat dan hendaknya
memerintah rakyat dengan penuh keadilan, serta mengikuti perintah agama. Ia
memerintahkan kepada seluruh rakyat Kesultanan Banjar supaya menaati hal ini
dan jika perlu mempertahankan dengan kekerasan. Ia pun memerintahkan kepada
semua pangeran, menteri orang besar
kesultanan, ulama dan tetua kampung supaya mematuhi ketentuan itu. Jika
dilanggar, Sultan Adam akan menjatuhkan kutukannya.
Pada mulanya, gerakan-gerakan itu
berdiri sendiri-sendiri. Di berbagai tempat, seperti di kampung-kampung. Mereka
mempengaruhi rakyat dan mengganggu ketentraman. Kemudian, gerakan-gerakan ini
dapat dipersatukan oleh Pangeran Antasari yang sewaktu itu berusia 50 tahun.
Hingga saat itu, nama Pangeran Antasari
hampir tidak dikenal. Ia tidak memiliki kekayaan yang memungkinkan untuk hidup
layak sebagai seorang pangeran. Sebaliknya, ia merasa prihatin menyaksikan
Kesultanan Banjar yang penuh kericuhan, bahkan pengaruh Belanda di Benua Banjar
semakin besar. Ini membuka kesempatan bagi Pangeran Antasari yang berada di
pedalaman Banjar untuk menggalang gerakan-gerakan rakyat melawan Belanda.
Untuk mengawali gerakan ini, Pangeran
Hidayatullah dalam kedudukannya sebagai mangkubumi mengutus 3 orang untuk
menyelidiki gerakan-gerakan rakyat yang sedang bergejolak. Salah satu seorang
dari utusan itu adalah pamannya sendiri, yaitu Pangeran Antasari.
Maka, terbukalah kesempatan bagi
Pangeran Antasari untuk menghubungi pemimpn-pemimpin gerakan rakyat yang siap
mengadakan perlawanan. Bahkan, ia berhasil memperoleh kepercayaan rakyat dan
dipilih sebagai pemimpin perlawanan. Cita-cita mereka memang sesuai dengan
sikap dan pendirian Pangeran Antasari.
Oleh karena itu, Pangeran Antasari dan
keluarganya diam-diam meninggalkan kediamannya di Antasan Senor Martapura, lalu
menyatukan diri dengan kaum perlawanan di pedalaman. Putranya yang bernama
Gusti Panembahan Muhammad Said dikawinkan dengan Saranti, putri Panembahan
Aling, tokoh yang berpengaruh di kalangan mereka.
Pangeran Antasari berhasil mempersatukan
gerakan rakyat yang dipimpin oleh Panembahan Aling di Muning, sedangkan gerakan
rakyat di Benua Lima dipimpin oleh Tumenggung Jalil. Saat itu, wilayah
perlawanan bertambah luas yang meliputi Tanah Dusun Atas, Tabanio dan Kuala
Kapuas, serta Tanah Bumbu. Semuanya menjadi satu front di bawah pimpinan
Pangeran Antasari untuk menentang Belanda yang menggunakan Sultan Tamjidillah
sebagai simbol kekuaaannya.
Pengaruh Pangeran Antasari menjadi
semakin luas hingga kalangan alim ulama Banjar yang sebagian besar bersedia
ikut menempuh jalan kekerasan. Pada permulaannya, ia berhasil menghimpun
sebanyak 6.000 orang laskar. Setelah Sultan Hidayatullah ditipu Belanda dengan
terlebih dahulu menyandera ibunya, kemudian diasingkan ke Cianjur, akhirnya
perjuangan umat Islam Banjar dilanjutkan oleh Pangeran Antasari, sebagai salah
satu pemimpin rakyat yang penh dedikasi maupun sebagai paman dari pewaris
kesultanan Banjar.
Untuk mengokohkan kedudukannya sebagai
pemimpin perjuangan umat Islam tertinnggi di Kalimantan Selatan bagian utara
(Muara Teweh dan sekitarnya), maka pada 13 Ramadhan 12 78 H, dimulailah seruan,
“Hidup untuk Allah dan mati untuk Allah,” oleh seluruh rakyat, pejuang-pejuang,
para alim ulama dan bengsawan-bangsawan Banjar. Dengan suara bulat, mereka
mengangkat Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin.
Tidak ada alasan lagi bagi Pangeran
Antasari untuk berhenti berjuang. Ia harus menerima kedudukan yang dipercayakan
oleh pangeran Hidayatullah kepadanya dan ia pun mesti bertekad melaksanakan
tugasnya dengan rasa tanggung jawab sepenugnya kepada Allah dan rakyat.
Serangan pertama dilakuan pada 28 April
1859. Dengan serangan itu, meletuslah Perang Banjar. Pada pagi-pagi buta, 300
orang laskar yang dipimpin secara langsung oleh Pangeran Antasari menyerang
tambang batu bara dan benteng Belanda di Pengaton. Pertempuran berlangsung
hingga pukul 14:00 dan banyak berjatuhan korban, baik di pihak Pangeran
Antasari maupun pihak Belanda. Namun, Pengaron terus dikepung oleh rakyat
laskar Pangeran Antasari.
Komandan Beeckman sangat khawatir
terhadap persediaan makanan yang sudah menipis. Ia segera mengirim kurir,
tetapi kurir itu dapat dibunuh oleh laskar. Keadaan di luar tambang dan benteng
Belanda di Pengaron bis dikuasai oleh laskar Pangeran Antasari. 20 orang
bersenjata perang menyelinap ke dalam pos dan benteng tambang batu bara Oranje
Nassau Pengaron, namun diketahui oleh musuh dan semuanya gugur terbunuh. Dokter
Belanda di dalam lokasi itu diamuk dan dibunuh oleh orang hukuman.
Pangeran Antasari sebagai pimpinan
laskar perlawanan mengirim surat kepada Beeckman agar ia menyerah. Dalam
keadaan semacam ini, pemerintah Belanda menganggap Pangeran Antasari terlalu
berbahaya dan di cap sebagai pemberontak yang dikenai premie atau harga kepala
10.000 gulden untuk menangkpanya hidup atau mati. Demikian pula terhadap
Pangeran Hidayatullah yang kemudian bergabung dengan Pangeran Antasari. Hal ini
dilakukan oleh Belanda setelah dihapuskannya Kerajaan Banjar pada 11 Juni 1860
secara sepihak oleh Belanda.
Pada bulan Ramadhan 1278 H (Maret 1862),
para alim ulama dan pemimpin rakyat di Barito, Sihong dan Teweh, serta
kepala-kepala suku Dayak Kapuas Kahayan berkumpul di dusun Hulu untuk
menobatkan Pangeran Antasari menjadi Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukmin,
pemimpin tertinggi agama. Dengan demikian, dalam pengertian rakyat, kedaulatan
daerah Banjar dipegang oleh Pangeran Antasari. Kekuasaan dan kedaulatan
dilaksanakan sesuai dengan keadaan perang yang masih berkobar.
Pihak Belanda masih berusaha berdamai
dengan Pangeran Antasari dan mereka bersedia memberi pengampunan. Tetapi,
Pangeran Antasari sadar bahwa itu hanyalah tipu muslihat Belanda. Pangeran
Antasari menolak ajakan Belanda dengan mengirim surat kepada Gezaghebbe (Kepala
Daerah) di Marabahan (Bakumpai). Isinya ialah penolakan pengampunan yang
diajukan oleh Belanda kepada Pangeran Antasari. Ia tidak percaya terhadap
janji-janji yang diberikan oleh Belanda dan menganggapnya sebagai tipu muslihat
belaka.
Pangeran Antasari sebagai Panembahan
Amiiruddin Khalifatul Mukminin hanya memberi satu jaminan untuk perdamaian,
yaitu diserahkannya Kesultanan Banjarmasin, sedangkan Belanda hanya diizinkan
untuk menarik pajak. Kalau syarat tersebut tidak dipenuhi, kama Pangeran Antasari
memilih untuk meneruskan peperangan.
Ternyata, Pangeran Antasari benar-benar
menunjukkan jiwa kepahlawanannya. Ia selalu berkata, “Haram menyerah, waja
sampai keputing.” Maksudnya, Haram hukumnya menyerah kepada usuh, tak
tergoyahkan, ulet dan tabah sampai akhir. Perkataan tersebut diamanatkan pula
kepada keturunannya.
Sewaktu itu, Pangeran Antasari berusia
lebih dari lima puluh tahun. Dengan penuh kesadaran dan keyakinan, ia memimpin
gerakan melawan pemerintah Belanda di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Ia mempunyai kekuatan pribadi dan keluhuran budi yang menjadi tenaga pendorong,
yang membuatnya mempertahankan pendiriannya tanpa pernah mundur setapak pun
untuk berkompromi dengan lawan sampai akhir hayatnya.
Pangeran Antasari telah membuktikan
bahwa ia memiliki keahlian dalam siasat perang gerilya, serta mampu memimpin
pasukan di daerah-daerah yang luas dan sukar didiami manusia. Ia adalah
pemimpin yang ulet, tabah dan berwibawa, serta mempunyai kekuatan batin untuk
mengikat para pengikutnya di dalam tujuan yang mulia.
Pangeran Antasari adalah seorang
pemimpin yang tidak mementingkan diri sendiri. Saat para bangsawan yang
berkuasa dalam Kesultanan Banjarmasin secara sistematik dikuasai dan dipecah
belah oleh Belanda dengan memanfaatkan situasi dan kondisi Kesultanan Banjar
itu sendiri, Pangeran Antasari mengangkat senjata dengan semboyannya yang
pantang mundur tersebut.
Sementara itu, wabah penyakit melanda
daerah pedalaman. Pangeran Antasari jatuh sakit. Dalam keadaan sakit yang
parah, ia diangkut ke pegunungan dusun Hulu. Akhirnya, ia wafat di Bayan Pegog,
Hulu Teweh pada 11 Oktober 1862. Kemudian, pada masa Indonesia merdeka,
kerangka tulang belulangnya dipindahkan dan dimakamkan kembali di Kompleks
Makam Pahlawan Perang Banjar, Jl. Masjid Jami di Banjarmasin, pada November
1958. Saat ini, makamnya diberi nama Makam Pahlawan Nasional Pangeran Antasari.
Dengan wafatnya Pangeran Antasari,
rakyat kehilangan pemimpin yang berani, cerdas, tangguh, cerdik dan alim.
Meskipun demikian, semangat Pangeran Antasari tetap berkobar-kobar. Rakyat Banjar
tidak tenggelam kesedihannya dan kedudukan Pangeran Antasari segera digantikan
oleh putra-putranya, yaitu Pangeran Muhammad Seman sebagai Sultan. Sementara itu,
saudara Muhammad Seman, yaitu Pangeran Panembahan Muhammad Said dijadikan
sebagai mangkubumi.
Pusat pemerintahan berpindah-pindah
karena senantiasa dikejar-kejar oleh Belanda. Semula berpusat di dusun Hulu
dengan kedudukan di Muara Teweh, kemudian di Kapuas Kahayan dengan pertahanannya
di dekat sungai Patangan dan yag paling akhir adalah di Baras Kuning di mulut
Sungai Manawing.
Tidak hanya keturunan Pangeran Antasari
yang melanjutkan perlawanan, tetapi juga rakyat Banjar, seperti Tumenggung
Surapati yang sampai meninggal tidak pernah menyerahkan diri kepada Belanda. Demikian
halnya dengan Demang Lehman yang tertangkap melalui pengkhianatan pada tahun
1864, yang air mukanya tak berubah dan urat mukanya tak bergerak saat ia
menaiki tiang gantungan, yang menunjukkan bahwa itulah ketabahan hatinya. Setelah
digantung kepalanya dipotong oleh Belanda.
Ada pula orang bernama Jalil yang gugur
karena luka dalam pertempuran. Kuburnya ditemukan oleh Belanda dan dibongkar,
sedangkan kepalanya dipotong. Ada juga seorang penghulu bernama Rasyid da Benua
Lawas yang memimpin golongan agama dan sangat terkenal dengan gerakan “Baratib
Baamal”. Ia bertempur dengan gagah berani.
0 Comments: