IBNU HAZM (Sang Ulama Brilian)
Ibnu Hazm
lahir di sebuah kawasan yang terletak di sebelah timur kota Kordoba, Spanyol
atau Andalusia, pada hari terakhir bulan Ramadhan 384 H atau bulen November 994
. nama lengkap Ibnu Hazm adalah Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm bin Ghalib bin
Shalih bin Khalaf bin Ma’dan bin Sufyan bin Yazid bin Abi Sufyan bin Hatb bin
Umayah bin Abd syams al-Umawiyah.
Keluarga Ibnu
Hazm tercatat mempunyai kedudukan tinggi pada masa kempemimpinan Yazid, saudara
Muawiyah, penguasa Dinasti Umayyah pertama di Syria. Ayah Ibnu Hazm, Abu Umar
Ahmad, mendapatkan posisi tinggi dalam hierarki administratif, serta memegang
jabatan wazir bagi Al-Mansur dan anaknya, Al-Muzaffar; ayah dan anak yang
memerintah secara efisien dengan nama Khalifh Hisyam II.
Ibnu Hazm
tumbuh dan besar di kalangan para pembesar dan pejabat. Ayahnya adalh salah
satu menteri Kerajaan Kordoba. Walaupun dikelilingi oleh gemerlap kemewahan,
namun tidak menjadikannya lupa terhadap kedudukan dan kewajiban agama. Ia sangat
tertarik dengan keilmuan Islam.
Kondisi
sosial, politik, mental dan intelektual yang melatarbelakangi Ibnu Hazm juga
menjadi faktor pendorong baginya untuk menjalani hidup dalam pengembaraan guna
mencari jati diri. Saat berkelana itulah, ia mengenal ilmu dan ulama dan dari
para ulama inilah, ia mendalami intisari agama. Ibnu Hazm belajar kepada para
ulama kenamaan, seperti Abu Muhammad bin Dakhun, Abdullah al-Azdi, Abi Qasim
Abdurrahma bin Abi Yazid al-Misri dan masih banyak lagi sederetan ulama yang
kadar keilmuan mereka diakui oleh rakyat Kordoba.
Dari dididkan
para ulama itulah, akhirnya Ibnu Hazm menjadi seseorang yang pakar dalam bidang
agama. Kepakarannya bukan hanya diakui oleh kaum muslimin, namun juga diakui
oleh sarjana Barat. Bukan haya itu, ia juga meguasai ilmu kenegaraan. Ia pernah
menjabat sabagi menteri pada Pemerintahan Kordoba.
Nasihat yang
terkenal dari Ibnu Hazm kepada pencari ilmu, yaitu “Jika anda menghadiri
majelis ilmu maka janganlah hadir, kecuali kehadiran itu menambah ilmu dan
memperoleh pahala dan bukanlah kehadiran ini lantaran merasa cukup atas ilmu
yang ada pada diri anda, serta mencari-cari kesalahan (dari pengajar) untuk
menjelekkanny. Sesungguhnya, itu merupakan perilaku orang-orang yang tercela,
yang tidak akan mendapatkan kesuksesan dalam ilmu selamanya.”
Meskipun
begitu,Ibnu Hazm berada pada masa krisis yang menentukan bagi Islam di
Andalusia. Di antaranya, konflik politik terhadap budak yang menyebabkan
pengaruh negatif bagi keluarga Ibnu Hazm. Ibnu Hazm pun menghadapi
petualangan-petualangan politik dan militer.
Walaupun
berada dalam fluktuasi kondisi politik yang labil, Ibnu Hazam harus mengikuti
jejak langkah ayahnya sebagai menteri pada tiga masa berbeda. Pertama, ia menjadi menetri dari Abd
ar-Rahman IV, Al-Murtada, pemegang tahta Umayyah. Kedua, ia menjadi menetri bagi Abd ar-Rahman V, Al-Mustazhir. Ketiga, ia menjadi menteri di bawah Hisyam
al-Mu’tad.
Ibnu Hazm
tidak terlbat dalam administrasi negara selama hidupnya, padahal ini merupakan
sebuah kesempatan yang datang saat itu memasuki situasi semipensiun. Dengan
demikian, ia mengabdikan usahanya pada aktivitas intelektual, mengajar dan menulis
beberapa karya. Pada tahun 456 H. Ia meninnggal di Manta Lisham, dekat Sevilla.
Sebagai
pribadi yang terhormat pada masanya, Ibnu Hazm mendapatkan penghormatan sebagai
salah satu pemikir besar pada peradaban Muslim-Arab. Ia terbukti menjadi
sastrawan yang hebat, sejarawan, ahli bahasa, ulama, filsuf dan ahli teologi.
Lingkungan edukatif yang sangat mendukung Ibnu Hazm, yang diberikan oleh orang
tuanya, memberikan tingkat edukasi yang baik. Sebagai hasilnya, ia mengetahui
segala pengajaran dan produktivitas, serta menguasai bahasa Arab dan alat-alat
fundametal akademik.
Ibnu Hazm
diakui sebagai soerang ulama yang memiliki kontribusi luar biasa dalam dunia
Islam. Tak kurang dari 400 judul kitab telah ditulisnya. Melalui karya-karyanya
itu, ia diakui sebagai filsuf, teolog, sejarawan, sastrawan, pakar fiqh,
negarawan, akademis dan poltisi yang andal.
Dua karya
monumentalnya, yakni Al-Ihkam fi Ushul
al-Ahkam (ushul fiqh) dan kitab Al-Muhalla
(fiqh), menjadi rujukan utama fuqaha mu’ashirin (pakar fiqh kontemporer) dalam
upaya penyelarasan Khazanah fiqh Islam. Karya Ibnu Hazm yang lain berjudul Tauqul Hamamah (di bawah naungan cinta)
menjadi kitab terlaris sepanjang Abad Pertengahan. Kitab yang berisi sebuah
kompilasi anekdot, observasi dan puisi tentang cinta ini tidak hanya menarik
bagi umat Islam, tetapi juga kaum Nasrani di Eropa.
Di kalangan
sarjana Islam, Ibnu Hazm dikenal sebagai ilmuwan yang memiliki keunikan dalam
kajian-kajiannya. Ia memiliki keunika dalam kajian-kajiannya. Ia memiliki
metodologi sendiri dalam memahami agama yang berbeda dengan fuqaha arba’a (ulama empat madzhab). Ia
menolak qiyas (dalil analoq) yang
telah disepakati oleh jumhur ulama (mayoritas ulama) sebagai salah satu
landasan hukum syari’at.
Alasan Ibnu
Hazm menolak qiyas karena menurutnya persoalan agama tidak boleh dipecahkan
dengan qiyas dan ra’yu. Sebab, perselisihan pendapat dalam Islam harus
dikembalikan pada al-Quran dan as-Sunnah. Ibnu Hazm juga beranggapan bahwa
madzhab yang berpengaruh saat itu telah mempolitisir hakikat ajaran Islam.
Karenanya, ia membuat sebuah metodologi yang berbeda dengan Madzhab yang ada.
Metodologi
yang dipakai oleh Ibnu Hazm adalah
menggunaka jalur tekstual dalam memahami syariat Islam dengan menolak analoq,
sebagai yang dipakai oleh 4 madzhab. Metodologi pemikiran tekstual Ibnu Hazm
itu mengambil kandungan kata, bukan intisari makna sebuah dalil atau ayat.
Metode ini bersandar pada dua inti dasar. Pertama,
berpegang pada teks-teks al-Quran, hadits dan ijma’. Kedua, tidak menerima dalil qiyas
dan istihsan, sebagaimana yang
dipakai oleh 4 madzhab.
Selain itu,
Ibnu Hazm juga gencar mengkampanyekan agar kaum muslimim tidak taklid kepada
para pemimpin madzhab. Untuk mensosialisasikan metodenya itu, Ibua Hazm sering
kali membuat forum kajian dan menuangkan pandangan-pandangan dalam sebuah media
tulisan. Hanya saja, cara yang dilakukan olehnya sangat provokatif sehingga
tidak disenangi oleh kaum muslimin.
Ibnu Hazm
seringkali menggunakan istilah yang kasar dalam mengungkap ketidaksetujuannya
dengan ulama lain. Hal ini bisa dilihat dalam beberapa kitabnya, seperti
Al-muhalla, An-Nubdzah al-Kafiyah, Al-Fisal fi al-Milal wa an-Nihal dan
Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Sebagai contoh, dalam Al-Muhalla, ibnu Hazm sering
menggunakan kata “orang ini tidak beriman”. Karena sikapnya yang seprti itu,
tak heran jika para ulama pada zamannya mengkritik habis-habisan sikapnya
tersebut.
Ibnu Katsir
dalam kitab Al-Bidayah wa an-Nihayah
menjelaskan bahwa Ibnu Hazm sangat sering mencela ulama dengan pena dan
lisannya. Hal ini yang menyebabkan
masyarakat pada zaman tersebut membencinya. Ia juga menilai Ibnu Hazm sebagai
orang yang kebingungan dalam hal furu’ (fiqh) yang tidak berpegang pada qiyas,
baik yang Jali (sangat jelas) maupun selainnya.
Sesungguhnya,
ada beberapa faktor penunjang yang membuat Ibnu Hazm dapat mencapai tingkat
tinggi dalam akademik dan kepemimpinan yang mengantarkannya pada kejayaan.
Pertama, Ibnu Hazm memiliki sifat
personal yang esensial untuk menghasilkan akademisi yang hebat, yakni memori
yang kuat, tajam dalam pengajaran dan kata-kata, serta mempunyai ketajaman yang
tinggi dalam observasi dan analisis.
Kedua, Ibnu Hazm memiliki keberuntungan
dalam pendidikan dibandingkan dengan antusiasme personal untuk mempelajari dan
dan memuaskan diri dalam bidang perhatiannya, sehingga memperluas dan
memperdalam ilmu pengetahuan. Gurunya adalah Abu al-Qasim ‘Abd ar-Rahman bin
Abi Yazid al-Azdi al-Misri (mengajarkan tentang as-Sunnah, grammar,
lexicography, rhetoric, dialectic dan teologi), Abu al-Khiyar al-Lughawi (mengajarkan
fiqh), Ahmad bin Muhammad bin al-Jasur (mengajarkan hadits), Abu abdullah
Muhammad bin al-Madhiji (mengajarkan filsafat) dan Abu Said al-Fata’ al-Ja’fari
(mengajarkan puisi).
Ketiga, Ibnu Hazm menguasai ragam
bahasa.
Keempat, Ibnu Hazm mengambil keuntungan
dari lingkungannya yang kondusif (menyertai keluarga Ibnu Hazm), yang mendorong
dan menjaga pengembangan akademiknya.
Kelima, Ibnu Hazm berpartisipasi aktif
sebagai menteri dalam tiap urusan publik, administrasi, militer dan politik.
Selain itu, ia juga secara terus-menerus menjalani the hardened aspects of such experiences. Jadi, Ibnu Hazm berbicara
sesuai dengan pendidikan dan pengalamannya yang kaya.
Keenam, Ibnu
Hazm bereaksi secara positif terhadap perlawanan dengan menanggungnya sendiri.
Sesungguhnya, disiplin personal menjamin bahwa ia harus secara luas mengetahui
musuh-musuhnya. Dengan demikian, ia dapat menyikapi kritikan mereka dengan cara
yang lebih efektif. Oleh karena itu, ia lebih siap daripada mereka.
a. Karya-karya Ibnu Hazm
Setelah kematian Ibnu Hazm, anaknya Abu Rafi’i,
melaporkan bahwa Ibnu Hazm telah menyelesaikan kurang lebih 400 karya dan
merangkum 8.000 lembar. Karya-karya ini mencakup hukum, logika, sejarah, etika,
perbandingan agama dan teologi. Namun, hanya kurang dari 40 karyanya yang masih
ada sampai saat itu.
b. Ajaran Ekonomi Ibnu Hazm
Ibnu Hazm adalah contoh rujukan yang disebut dengan
ulama total yang ahli dalam banyak bidang kehidupan manusia, yang tidak
dibatasi oleh sudut pandang konseptual, anmun lebih mampu menghadirkan opini
dasar Islam dan rasional, serta lebih membumi. Ia keluar dari keahlian
sejatinya dan bukan hanya keluar dari statusnya sebagai ulama.
Secara umum, karya-karya Ibnu Hazm menjadi bahan
diskusi dan empat di antaranya menyoroti tentang ekonomi. Ia telah mencurahkan
perhatian “ totalnya” pada aspek ekonomi kaum muslimin pada masanya, yang meliputi
kebutuhan dasar dan kemiskinan mereka.
c. Kebutuhan Dasar dan Kemiskinan
Ibnu Hazm mendata empat bentuk kebutuhan yang
merupakan hal esensial standar dasar kehidupan manusia, yaitu makanan, minuman,
pakaian dan tempat berlindung. Tiap item ini harus memuaskan kondisi yang
diperlukan (sebagaimana yang digambarkan dalam Islam). Makanan dan minuman harus cukup bagi pemenuhan
kesehatan dan energi. Pakaian mesti mencukupi untuk menutipi aurat (bagian
tubuh seorang muslim yang harus ditutupi dai non muhrim) dan yang sesuai alam
berbagai kondisi, baik untuk udara dingin, panas maupun hujan. Tempat
perlindungan pun harus bisa melindungi seseorang dari cuaca dan menyediakan
tingkat privasi tertentu.
Adapun pihak yang harus bertanggung jawab untuk
menjamin kepuasan terhadap kebutuhan dasar tersebut adalah negara. Namun, Ibnu
Hazm menekankan juga mengenai peran yang mesti dimainkan oleh orang kaya,
khususnya dalam membantu kebutuhan sesuai yang digariskan oleh agama.
Ibnu Hazm berpendapat bahwa kemiskinan dapat terjadi
saat tingkat kebutuhan meningkat dengan cepat daripada tingkat pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan dasar. Hal ini bisa muncul akibat meningkatnya populasi
(baik dari kelahiran maupun imigrasi), peningkatan tipe kebutuhan yang
diperlukan dalam waktu tertentu dan tempat atau terkait dengan peningkatan
jumlah orang kaya.
Adanya disparitas yang luas antara si kaya dan si
miskin dapat melipatgandakan kepelikan masalah ketika orang kaya mempengaruhi
struktur, administrasi, selera dan variabel strategis, seperti tingkat harga
umum ekonomi.
d. Pandangan Ibnu Hazm terhadap Zakat
Berkenaan dengan diskusi zakat, Ibnu Hazm menekankan
status wajib yang secara simultan menekan peran orang kaya dalm mengurangi
kemiskinan. Ibnu Hazm menulis hukuman bagi orang yang tidak mendukung zakat
dengan pengumpulan zakat oleh negara, baik secara sukarela ataupun paksaan. Dan
jika penentangan terhadap zakat masih dilakukan, orang tersebut harus
diperangi. Bila penentang ini mengingkari zakat sebagai kewajiban maka dapat
diumumka bahwa ia telah murtad. Di mana pun, hukuman harus diterapkan bagi
orang yang masih bersikeras menentang kewajiban itu, baik secara
sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
Ibnu Hazm menekankan posisi zakat seperti orang
meninggal yang belum membayar zakat semasa hidupnya. Ia harus memenuhi
kewajibannya. Ia harus memenuhi kewajibbannya yang diambil dari sebagian
kekayaannya. Zakat yang belum terbayarkan seperti utang kepada Allah Swt dan
kepada orang-orang yang berhak menerima Zakat
e. Keadilan Sistem Pajak
Ibnu
Hazm sangat perhatian terhadap faktor keadilan pada sistem pajak. Baginya,
sebelum segala sesuatunya dipertimbangkan, kepentingan masyarakat harus
diprioritaskan terlebih dahulu ketika merencanakan kewajibban pajak.
Kepentingan masyarakat mesti dipertimbangkan juga secara hati-hati sewaktu
pengumpulan pajak, karena masyarakat adalah kumpulan pembayar zakat. Dengan
demikian, apapun kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat, hal ini dapat
berpengaruh besar terhadap (sistem dan jumlah) pengumpulan pajak. Itu mesti
mengingatkan kita tentang diskusi dalam teori keuangan publik konvensional
mengenai keinginan dan kecenderungan membayar pajak.
Ibu
Hazm secara khusus menaruh perhatian terhadap sifat sistem pengumpulan pajak,
teror dan tindak eksploitatif dalam pengumpulan pajak yang harus dihindari.
Pajak dikumpulkan dengan cara tidak melampaui batas syariah. Kerugian bagi
pembayar zakat (yang muncul pada jangka pendek) dapat berarti kerugian bagi
negara juga. Hal tersebut mungkin bisa bisa mempengaruhi penurunan pajak,
kemandegan dukungan publik bagi pemerintah, serta penurunan potensi pendapatan
pajak, baik dari pajak yang tidak dibayarkan ataupun penyelewengan pajak oleh
pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Akun administrasi pajak di Andalusia
semasa Ibnu Hazm dicatat oleh S.M. Imamuddin (pimpinan spiritual).
f. Meninggalnya Ibnu Hazm
Pada 28 Sya’ban 402 H, yang bertepatan dengan tahun 1063 M,
Ibnu Hazm memenuhi panggilan Allah Swt. Kepergiannya ternyata cukup membuat
masyarakat kala itu merasa kehilangan dan terharu. Khlaifah Mansur
al-Muwahidin, khalifah ketiga dari Bani Muwahid, termenung menatap kepergian
Ibnu Hazm seraya berucap, “ Setiap orang adalah keluarga Ibnu Hazm.”
0 Comments: