MENGENAL IMAM AL-GHAZALI
Abu Hamid
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali ath-Thusi asy-Syafi’i atau Al-Ghazali lahir di
Thus pada tahun 450 H dan ia meninggal di Thus pada 14 Jumadil Akhir 505 H.
Saat itu, ia berusia 53 tahun. Ia adalah seorang filsuf dan teolog muslim
Persia yang dikenal sebagai Algazel di dunia Barat pada Abad Pertengahan.
Al-Ghazali
juga biasa disebut Abu Hamid karena salah seorang anaknya bernama Hamid.
Gelarnya adalah Al-Ghazali ath-Thusi, yang berkaitan dengan ayahnya yang
bekerja sebagai pemintal bulu domba dan tempat kelahirannya, yaitu Ghazalah di
Bandar Thus, Khurasan,, Persia (Iran). Sementara itu, ayah Al-Ghazali adalah
seorang pengrajin kain shuf (yang
dibuat dari kulit domba), yang dijual di kota Thusi. Menjelang wafatnya, ia
mewasiatkan pengasuh kedua anaknya kepada temannya dari kalangan orang yang
baik. Ia berpesan, “Sungguh, saya
menyesal tidak belajar khat (tulis-menulis Arab), dan saya ingin memperbaiki
sesuatu yang telah saya alami terhadap kedua anak saya ini. Maka, saya mohon
anda mengajari keduanya dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.”
Setelah
meninggal, temannya tersebut mengajari keduanya ilmu hingga habislah harta
peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian, ia meminta maaf lantaran tidak
dapat melanjutkan wasiat orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Ia
berkata, “ketahuilah oleh kalian, saya
telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya adalah seorang fakir
dan miskin yang tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian masuk ke
madrasah seolah-olah sebagai penuntut ilmu. Sehingga, kalian memperoleh makanan
yang bisa membantu kalian menjalani kehidupan.”
Al-Ghazali pu
bercerita bahwa ayahnya adalah seorang fakir yang shahih. Ia tidak makan,
kecuali hasil pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Ia
berkelilinng mengunjungi ahli fiqh dan bermajelis dengan mereka, serta
memberikan nafkah semampunya.
Apabila
mendengar perkataan mereka (ahli fiqh), ia menangis dan berdoa memohon diberi
anak yang aqih. Jika hadir di majelis, ia menangis dan memohon kepada Allah Swt
agar diberi anak yang ahlii dalam berceramah.
Kiranya, Allah
Swt mengabulkan doanya tersebut. Akhirnya, Imam Al-Ghazali menjadi seorang yang
faqih, sedangkan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi
ceramah.
A.
Pendidikan dan Kepribadian Al-Ghazali
Al-Ghazali mempunyai daya ingat
yang kuat dan bijak berhujjah. Ia digelari Hujjatul Islam karena kemampuannya
tersebut. Ia sangat dihormati di dua dunia Islam, yaitu Saljuk dan Abbasiyah,
yang merupakan pusat kebesaran Islam. Ia berjaya menguasai berbagai bidang ilmu
pengetahuan. Ia pun sangat mencintai ilmu pengetahuan.
Al-Ghazali juga sanggup
meninggalkan segala kemewahan hidup untuk ber-musafir dan mengembara, serta
meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan. Ia telah
mengembara selama 10 tahun. Sebelum itu, ia mempelajari karya ahli sufi
ternama, seperti AL-Junaid. Ia telah mengunjungi tempat-tempat suci di di
daerah Islam yang luas, misalnya mekah, Madinah,Jerusalem dan Mesir. Ia
terkenal sebagai ahli filsafat Islam yang sudah mengharumkan nama ulama di
Eropa melalui hasil karyanya yang sangat bermutu tinggi.
Sejak kecil, Al-Ghazali telah
dididik dengan akhlak yang mulia. Hal ini menyebabkan ia benci sifat riya’,
megah, sombong, takabur dan sifat-sifat tercela yang lain. Ia sangat kuat
beribadah, wara’, zuhud dan tidak gemar terhadap kemewahan, kepalsuan,
kemegahan dan mencari sesuatu untuk mendapatkan ridha Allah Swt.
Al-Ghazali mulai belajar saat
masih kecil. Ia mempelajari fiqh dari syekh Ahmad bin Muhammad ar-Radzakani di
kota Thus. Kemudian, ia berangkat ke Jurjan untuk menuntut ilmu kepada Imam Abu
Nashr al-Isma’ili, dan menulis buku At-Ta’liqat. Selanjutnya, ia pulang ke
Thus.
Al-Ghazali mendatangi kota
Naisabur, lalu berguru kepada Imam Haramain al-Juwaini dengan penuh
kesungguhan. Sehingga, ia berhasil menguasai fiqh madzhab Syafi’i dan fiqh
khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat dengan baik. Ia
pun memahami perkataan para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang
menyelisihinya. Ia menyusun tulisan yang membuat kagum gurunya, yaitu
Al-Juwaini dan As-Subki.
Setelah Imam Haramain meninggal,
berangkatlah Imam Al-Ghazali ke perkemahan Wazir Nidzamul Malik. Karena
majelisnya adalah tempat berkumpul para ahli ilmu, ia menantang debat kepada
para ulama dan ia dapat mengalahkan mereka. Kemudian, Nidzamul Malik
mengangkatnya menjadi pengajar di madrasahnya di baghdad, lalu memerintahkannya
untuk pindah ke sana. Maka, pada tahun 484 H, ia berangkat ke Baghdad, kemudian
ia mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah dalam usia 30-an tahun. Di sanalah, ia
berkembang dan menjadi terkenal. Ia pun berhasil mencapai kedudukan yang sangat
tinggi.
Pada tingkat dasar, Al-Ghazali
mendapatkan pendidikan dari beberapa orang guru. Pendidikan yang diperoleh pada
peringkat ini telah mengantarnya menguasai Arab dan Persi dengan fasih. Karena
minatnya yang mendalam terhadap ilmu, ia pun mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu
manthiq, usul fiqh dan filsafat serta mengkaji segala pendapat keempat madzhab
hingga ia mahir dalam bidang yang dibahas oleh madzhab-madzhab tersebut.
Selepas itu, Al-Ghazali
melanjutkan menuntut ilmu kepada Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqh, Abu
Nasr al-Ismail di Jarajan dan Imam Haramaim di Naisabur. Karena AL-Ghazali
memiliki ketinggian ilmu, ia dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah
(sebuah universitas yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun
484 H. Kemudian, ia dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana.
Dalam pengembaraannya, Al-Ghazali
menulis kitab Ihya’ Ulumuddin yang
memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan pemikiran manusia dalam semua
masalah. Dalam bidang tasawuf, Ihya’
Ulumuddin (kebangkitan ilmu-ilmu agama) merupakan karya Al-Ghazali yang
terkenal.
B.
Pengaruh Filsafat dalam diri Al-Ghazali
Pengaruh filsafat dalam diri
Al-Ghazali sangat mendalam. Ia menyusun buku yang berisi celaan terhadap
filsafat, seperti kitab At-Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan
tetapi, ia menyetujui filsafat dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya
saja, kehebatannya ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam
hadits-hadits Rasulullah Saw yang dapat menghancurkan filsaffat.
Kedudukan dan ketinggian jabatan
Al-Ghazali itu tidak membuatnya congkak dan cinta dunia. Bahkan, dalam jiwanya
berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya senang menekuni ilmu-ilmu
kezuhudan. Sehingga, ia menolak jabatan tinggi dan ia kembali kepada ibadah,
ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada Dzulqa’dah 488 H, ia berhaji dan mengangkat
saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya.
Pada tahun 489 H, Al-Ghazali masuk
ke kota Damaskus dan tinggal di sana beberapa hari. Kemudian, ia menziarahi
Baitul Maqdis beberapa lama dan kembali ke Damaskus dan beri’tikaf di menara
barat Masjid Jami’ Damaskus. Ia sering kali duduk di pojok tempat Syekh Nashr
bin Ibrahim al-Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang saat ini dinamai
Al-Ghazaliyah). Ia tinggal di sana dan menulis kitab Ihya’ Ulumuddin, Al-Arba’in, Al-Qisthas dan Mhakkun Nadzar. Ia
melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Ia tinggal di Syam
sekitar 10 tahun.
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi
penguasa Khurasan, Al-Ghazali diminta hadir dan tinggal di Naisabur. Al-Ghazali
akhirnya datang ke Naisabur, lalu mengajar di Madrasah An-Nidzamiyah beberapa
tahun lamanya. Setelah itu, ia pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu dan
menjaga waktunya untuk beribadah. Ia mendirikan satu madrasah di samping
rumahnya dan asrama untuk orang-orang sufi. Ia menghabiskan sisa waktunya
dengan mengkhatamkan al-Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para
penuntut ilmu, serta melakukan shalat, puasa dan ibadah lainnya sampai ia
meninggal dunia.
C.
Masa Akhir Kehidupan Al-Ghazali
Akhir kehidupan Al-Ghazali
dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan ahlinya.
Mengenai itu, Imam Adz-Dzahabi berkata, “Pada
akhir kehidupannya, Al-Ghazali tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan
ahlinya, serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya ia
berumur panjang, niscaya ia dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat. Ia
belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan, kecuali beberapa
orang putri.”
Abu Faraj Ibnul Jauzi meyampaikan
kisah meninggalnya Al-Ghazali dalam kitab Ats-Tsabat Indal Mamat, serta menukil
cerita Ahmad (saudaranya); “Pada Subuh hari Senin, saudaraku, Abu Hamid
berwudhu dan shalat lalu berkata, ‘Bawa
kemari kain kafan saya.’ Lalu, ia mengambil dan menciumnya, serta
meletakkannya di kedua matanya dan berkata, ‘saya
patuh dan taat untuk menemui-MU.’
D.
Al-Ghazali, Perang Salib dan Kebangkitan Islam
Perang Salib dimulai pada tahun
1095. Pada 50 tahun pertama, pasukan Salib berhasil mendominasi peperangan.
Kekuatan kaum muslim porak-poranda. Sebagian “jantung” negeri Islam, seperti
Syria dan Palestina, ditaklukan. Ratusan ribu kaum muslim pun dibantai.
Selanjutnya, pasukan Salib yang
memasuki Jerusalem (pada tahun 1099) melakukan pembantaian besar-besaran
terhadap penduduk Kota Suci itu. Di Masjid Al-Aqsha terpadat genangan darah
setinggi mata kaki, karena banyaknya kaum muslimin yang dibantai.
Seorang tentara Salib menulis
dalam Gesta Francorum menganai perlakuan tentara Salib terhadap kaum muslim dan
penduduk Jerusalem lainnya, dengan menyatakan bahwa belum pernah seseorang
menyaksikan ataupun mendengar pembantaian terhadap “kaum pagan” yang dibakar
dalam tumpukan manusia seperti piramid dan hanya Tuhan yang tahu jumlah
orang-orang yang dibantai.
Begitu dahsyatnya pembantaian
terhadap kaum muslim ketika itu. Karena itulah, banyak orang yang
mempertanyakan sikap dan posisi Al-Ghazali dalam Perang Salib dan konsepsinya
tentang jihad, dalam makna qithal (perang) melawan musuh yang jelas-jelas sudah
menduduki negeri muslim.
Tidak diragukan lagi, sebagai
seorang tokoh dalam madzhab Syafi’i, Al-Ghazali memahami kewajiban jihad
melawan kaum penjajah. Dalam pandangan ulama madzhab Syafi’i, jihad dihukumi
fardhu kifayah, dengan perkecualian jika penjajah sudah memasuki wilayah kaum
muslim, maka status jihad menjadi fardhu ‘ain.
Dalam kitab Al-jihad yang
diringkas oleh Niall Christie, As-Sulami mengutip ucapan Imam As-Syafi’ dan
Al-Ghazali tentang jihad. Di antaranya, Al-Ghazali menyatakan bahwa jihad dihukumi
fardhu kifayah. Jika satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi
maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi, bila kelompok itu lemah
dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatan musuh, maka
kewajiban jihad dibebankan pada negeri terdekat, seperti Syria, misalnya.
Jika musuh menyerang salah satu
kota di Syria, sedangkan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk
menghadapinya, maka seluruh kota di Syria wajib mengirimkan penduduknya untuk
berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai.
E.
Jihad bil ‘Ilmi
AL-Ghazali bukannya tidak peduli
terhadap Perang Salib. Tetapi, kondisi moral dan keimuwan umat Islam yang
sangat parah menyebabkan seruan jihad tidak banyak mendapatkan sambutan. Karena
itulah, para ulama seperti Al-Ghazali, berusaha menyembuhkan penyakit umat
secara mendasar. Caranya, dengan mengajarkan keilmuwan yang benar. Ilmu yang
benar akan mengantarkan pemiliknya kepada keyakinan serta kecintaan terhadap
ibadah, zuhud, dan jihad. Sebaliknya, ilmu yang rusak akan menghasilkan ilmuwan
dan manusia yang rusak, yang cinta dunia dan enggan berjihad di jalan Allah.
Itulah yang membuat kitab Ihya’ Ulumuddin
mengawali pembahasannya dengan bab tentag ilmu (kitabul ‘ilmi).
Langkah AL-Ghazali itu perlu
direnungkan secara serius. Ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai
bidang kehidupan, Al-Ghazali melakukan upaya penyembuhan secara mendasar.
Sebab, sumber dari segala sumber kebaikan dan kerusakan adalah hati. Rasululah
Saw bersabda, “sesungguhhnya. Didalam
tuuh terdapat mudghah. Jika ia baik maka baiklah seluruh tubuhnya. Dan, bila ia
rusak maka rusaklah seluruh tubuhnya. Itulah al-qalb.” (HR.Muslim).
Sesungguhnya, memperbaiki hati
manusia haruslah dengan ilmu dan pendidikan yang benar. Karena itu, menyebarnya
paham-paham yang merusak iman mesti dihadapi dengan serius. Pada masa hidupnya,
Al-Ghazali telah melakukan berbagai usaha yang sungguh-sungguh untuk
mengajarkan ilmu yang benar. Lebih dari itu, Al-Ghazali juga memberikan
keteladanan hidup. Meskipun ia berilmu tinggi dan mendapatkan peluang besar
untuk hidup mewah dengan ilmunya, tetapi ia justru memilih tinggal di
kampungnya, Thus.
Disanalah, Al-Ghazali mendirikan
satu pesantren, serta membina para santrinya dengan ilmu dan keteladanan hidup
yang tinggi. Dari upaya para ulama, seperti Al-Ghazali, lahirlah satu generasi
yang hebat, yaitu generasi Shalahuddin al-Ayyubi. Bukan hanya seorang
Shalahuddin, tetapi satu generasi Shalahuddin, yang pada tahun 1187 berhasil
memimpin pembebasan kota suci Jerusalem dari cengkraman pasukan Salib.
F.
Sisi Kedokteran Al-Ghazali
Al-Ghazali yang sering kali disebut
juga Algazel merupakan salah satu sarjana yang paling terkenal dalam sejarah
pemikiran Islam Sunni. Ia dianggap sebagai pelopor metode keraguan dan
skeptisisme. Salah satu karya besarnya berjudul Tahafut al-Falasifah atau The
Incoherence of the Philosophers. Ia berusaha mengubah arah filsafat awal
Islam dan bergeser jauh dari metafisika Islam yang dipengaruhi oleh filsafat
Yunani Kuno dan Helenistik menuju filsafat Islam berdasarkan sebab-akibat yang
ditetapkan oleh Allah Swt atau malaikat perantara sebuah teori yang kini
dikenal sebagai occasionalism.
Keberadaan Al-Ghazali telah diakui
oleh sejarawan sekuler, seperti William Montgomery Watt, yang menyebutnya sebagai
muslim terbesar setelah Rasulullah Saw. Selain kesuksesannya dalam mengubah
arah filsafat Islam awal Neoplatonisme yang dikembangkan atas dasar filsafat
Helenistik, ia juga membawa Islam ortodoks ke dalam ilmu tasawuf. Al-Ghazali
juga sering disebut sebagai wujud pembuktian Islam, hiasan keimanan, ataupun
pembaharu agama.
Pengaruh Al-Ghazali di bidang agama
maupun ilmu pengetahuan memang sangat besar. Karya-karya maupun tulisannya tak
pernah berhenti dibicarakan hingga saat ini. Pengaruh pemikirannya tidak hanya
mencakup wilayah di Timur Tengah, tetapi juga negara-negara lain, termasuk
Indonesia dan negara Barat lainnya. Para ahli filsafat Barat lainnya, seperti
Rene Descartes, Clarke, Blaise Pascal dan Spinoza, juga mendapatkan banyak
pengaruh dari pemikiran Al-Ghazali.
Kebanyakan orang mengenal pemikiran
Al-Ghazali hanya dalam bidang teologi, fiqh maupun sufisme. Padahal, ia
merupakan seorang ilmuwan yang hebat dalam bidang ilmu biologi maupun
kedokteran. Ia telah menyumbangkan pemikiran dan jasa yang besar di bidang
kedoktern modern dengan menemukan sinoatrial
node (nodus sinuatrial), yaitu jaringan alat pacu jantung yang terletak di
atrium kanan jantung dan generator ritme sinus. Bentuknya berupa sekelompok sel
yang terdapat pada dinding atrium kanan, di dekat pintu masuk vena kava
superior. Sel-sel ini diubah oleh myocytes jantung. Meskipun mereka memiliki
beberapa filamen kontraktil, mereka tidak berkontraksi.
Penemuan sinoatrial node oleh
Al-Ghazali tampak dalam karya-karyanya yag berjudul Al-Munqidh min adh-dhalal, Ihya’ Ulumuddin dan Kimiya as-Sa’adat. Bahkan, penemuan sinotrial node oleh Al-Ghazali
ini jauh sebelum penemuan yang dilakukan oleh seorang ahli anatomi dan
antropologi dari Skotlandia, A. Keith dan seorang ahli fisiologi dari Inggris,
M.W. Flack, pada tahun 1907. Sinotrial node ini oleh Al-Ghazali disebut sebagai
titik hati.
Dalam menejelaskan hati sebagai
pusat pengetahuan intuisi dengan segala rahasianya, Al-Ghazali selalu
merumuskan hati sebagai mata batin atau disebut juga inner eye dalam karyanya
yang berjudul Al-Munqidh min adh-Dhalal, yang diterjemahkan oleh
C. Field menjadi Confession of Al-Ghazali. Ia juga menyebut mata batin sebagai
insting yang disebutnya sebagai cahaya Tuhan, mata hati maupun anak-anak hati.
Jika titik hati Al-Ghazali
dibandingkan dengan sinotrial node maka akan terlihat bahwa titik hati
sebenarnya mempunyai hubungan erat dengan sinotrial node. Ia menyebutkan bahwa
titik hati tersebut tidak dapat dilihat dengan alat-alat sensoris lantaran
titik ini mikroskopis. Para ahli keddokteran modern juga menyatakan bahwa
sinotrial node juga bersifat mikroskopis.
Al-Ghazali menyebutkan titik hati
tersebut secara simbolis sebagai cahay seketika yang membagi-bagikan cahaya
Tuhan dan elektrik. Menurut gagasan modern, dalam satu detik, sebuah implus
elektrik yang berasal dari sinotrial node mengalir ke bawah lewat dua atria
dalam sebuh gelomang setinggi 1/10 milivolt sehingga otot-otot atrial dapat
melakukan kontraksi.
Pada era modern ini, para ahli
anatomi menyatakan pembentukan tindakan secara potensial berasal dari hati,
yaitu kontraksi jantung yang merupakan gerakan spontan yang terjadi secara
independen dalam suatu sistem saraf. Ia juga menyatakan bahwa hati itu merdeka
dari pengaruh otak dalam karyanya yang berjudul Al-Munqidh min adh-Dhalal.
Sebagian besar para pemikir modern
mengatakan bahwa suatu tindakan kadang terjadi melalui mekanisme yang tak
seorang pun tahu mengenainya. Namun, Al-Ghazali menyatakan bahwa tindakan yang
terjadi melalui mekanisme yang tak diketahui tersebut sebenarnya disebabkan
oleh sinotrial node. Ia juga menjelaskan bahwa penguasa misterius tubuh yang
sesungguhnya adalah titik hati itu, bukan otak.
Al-Ghazali tidak hanya menggambarkan
dimensi fisik sinotrial node, tetapi ia juga menggambarkan dimensi metafisik
dari sinotrial node. Hal ini jauh berbeda dengan pandangan para pemikir sekuler
yang hanya mampu menggambarkan sinotrial node secara fisik semata.
G.
Anatomi dan Pembedahan
Selain menemukan sinotrial node,
Al-Ghazali juga memberikan sumbangan lain dalam bidang kedokteran dan bbiologi.
Catatan sejarah meneyebutkan bahwa tulisan-tulisan Al-Ghazali diyakini menjadi
pendorong bangkitnya kemauan untuk melakukan studi kedokteran pada Abad
Pertengahan Islam, Khususnya ilmu anatomi dan pembedahan.
Dalam karyanya The Revival of the
Religions Sciences, Al-Ghazali menggolongkan pengobatan sebagai salah satu ilmu
sekuler yang terpuji (mahmud) dan menggolongksn astrologi sebagai ilmu sekuler
yang tercela (madhmum). Sehingga, ia sangat mendorong orang-orang yang mempelajari
ilmu pengobatan.
Saat membahas tentang meditasi
(tafakur), Al-Ghazali menjelaskan anatomi tubuh di sejumlah halaman buunya
secara rinci untuk menerangkan posisi yang cocok guna melakukan kontemplasi dan
mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Al-Ghazali juga membuat pernyataan
yang kuat guna mendukung oang-orang untuk mempelajari ilmu anatomi dan
pembedahan dalam karyanya yang berjudul The Deliverer from Error. Ia
menyebutkan bahwa naturalis (al-tabi’yun) adalah sekelompok orang yang
terus-menerus mempelajari alam, serta kejaiban hewan dan tumbuhan. Mereka juga
sering kali terlibat dalam ilmu anatomi maupun pembedahan (ilm at tashrif dari
tubuh hewan.
Melalui proses pemdedahan itu,
mereka mampu merasakan keajaiban rancagan Allah Swt, serta kebijaksanaan dan
keajaiban-Nya. Dengan ini pula, mereka dipaksa untuk mengakui Allah Swt sebagai
penguasa alam semesta dan siapa pun bisa
mengalami kematian. Tidak seorang pun dapat belajar anatomi maupun
pemedahan dan keajaiban kegunaan dari bagian-bagian oragan tubuh tanpa
mengetahui kesempurnaan desain ciptaan Allah, yang berhubungan dengan struktur
(binyah) hewan dan struktur manusia.
Dengan demikian, Al-Ghazali
menganggap bahwa dengan mempelajari ilmu anatomi, maka manusia akan sadar
dengan kehebatan Allah Swt Yang Maha Agung, sehinga hal itu membuat mausia
lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dukungan kuat Al-Ghazali untuk
memajukan studi tentang anatomi dan pembedahan memberikan pengaruh yang kuat
dalam kebangkitan ilmu anatomi dan pembedahan yang mulai dilakukan oleh para
dokter muslim padda abad ke-12 dan 13. Sejumlah dokter sekaligus ilmuwan hebat
muslim yang mulai mendorong kebangkitan ilmu anatomi dan pembedahan pada masa
itu antara lain Ibnu Zuht, Ibnu an-Nafis dan Ibnu Rusyd.
Sementara itu, gelar Asy-Syafi’i
menujukkan bahwa Al-Ghazali bermadzhab Syafi’i ia berasal dari keluarga yang
sederhana. Ayahnya mempunyai cita-cita yang tinggi, yaitu ia ingin anaknya
menjadi orang alim dan shahih.
Sungguh, Al-Ghazali adalah seorang
ulama, ahli pikir, dan ahli filsafat Islam terkemuka yang banyak memberi
sumbangan bagi perkembangan kemajuan manusia. Ia pernah memegang jaatan sebagai
Naib Kanselor di Madrasah Nizhamiyah, pusat pengajian tiggi di Baghdad. Imam
Al-Ghazali meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir 505 H, yang bersamaan dengan
tahun 1111 M. Ia meninnggal di Thus. Jenazahnya dikebumikan di tempat
kelahirannya.
0 Comments: