DI BALIK PERPECAHAN SOEKARNO-HATTA

October 30, 2017 0 Comments


Mundurnya Mohammad Hatta  dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember 1956 adalah sebuah antiklimaks bagi keagungan “dwitunggal” Soekarno-Hatta. Menelisik perbedaa pendapat antar keduanya, adalah sebuah telaah sejarah politik yang sungguh menarik dan tak berkesudahan.
Akan tetapi, mendudukkan keduanya dalam dua kursi terpisah, juga tidak terlalu pas. Apalagi jika kursi itu digambarkan sebagai beradu punggung. Setali tiga uang, menyamakan perpecahan Bung Karno dan Bung Hatta seperti pecahnya Presiden-Wapres Gus Dur-Mega dan SBY-JK, juga tidak benar.
Jika ada perbedaan prinsip antar keduanya, cukup berhenti pada tataran perbedaan pendapat antarnegarawan. Perbedaan Soekarno-Hatta, berhenti pada diri Soekarno-Hatta. Soekarno tidak pernah melibatkan rakyat untuk berdiri di belakangnya dan menentang Hatta. Sebaliknya, Hatta tidak pernah melakukan provokasi rakyat untuk bersama-sama menentang Soekarno.
Karenanya, kita menjadi paham jika sebelum dwitunggal pecah maupun setelah setelah dwitunggal pecah, rakyat Indonesia tetap mencintai Bung Karno rakyat pun tetap mencintai Bung Hatta. Cinta bangsa kepada dwitunggal, sama besarnya.
Demikian pula kecintaan Bung Karno dan Bung Hatta kepada rakyat. Selain itu, perbedaan pandangan politik keduanya berhenti pada tataran perbedaan pandangan yang sama sekali tidak membunuh keintiman batin keduanya. Sejarah juga mencatat, perbedaan keduanya bukan hanya kali yang pertama. Era pra-kemerdekaan, keduanya juga pernah berbeda paham, bahkan sempat memecah keduanya dalam kubu PNI (Hatta) dan Partindo (Soekarno),
Itu artinya, manakala pasca kemerdekaan keduanya kembali terlibat perbedaan cara pandang, bukan hal aneh. Apalagi jika ditilik dari latar belakang pendidikan. Soeakrno adalah “tukang insinyur” lulusan THS Bandung, sedangkan Hatta adalah didikan University of Rotterdam untuk bidang  studi ekonomi dan politik ekonomi. Artinya, ia lama bermukim di Belanda, sedangkan Soekarno tak pernah jauh dari rakyatnya.
Sementara itu, manusia Soekarno dan manusia Hatta tetap menjalin hubungan batin yang tulus. Keduanya saling menolong bila salah satu memerlukannya. Keduanya tetap saling bertemu, keakraban hubungan keduanya tetap terjalin. Seperti contoh, tahun 60-an, sewaktu Bung Karno mendengar bahwa Bung Hatta sakit, Bung Karno segera datang menjenguknya. Tidak hanya itu, ia segera membantu agar secepatnya Bung hatta dapat segera berobat ke luar negeri.
Begitu pula ketika Bung Karno tergolek sakit. Ucapan semoga lekas sembuh serta iringan doa tulus Hatta ditujukan bagi Bung Karno, sahabatnya. Bahkan, Bung Hatta lah yang mewakili Bung Karno menjadi wali dalam pernikahan Guntur Sukarnoputra tahun 1968, sewaktu Bung Karno kritis dan berhalangan menghadiri akad nikah putra pertamanya.
Bahkan ketika Bung Hatta berkunjung ke Amerika Serikat dan mendapati Bung Karno diberondong cemooh dan hinaan, Bung Hatta tegas menukas, “Baik buruknya Bung Karno, beliau adalah Presiden saya!
Keduanya sungguh teladan bagi bangsa ini. Dengan tegar mereka saling mengkritik dan menghantam sikap atau pandangan pihak lain yang  yang dianggap tidak benar. Sebaliknya, keduanya akan saling menghargai dan mengakui dengan jujur kebenaran pihak lain yang menurutnya dianggap benar dan di atas semua itu, sejatinya, di dalam diri Bung Karno dan Bung hatta tidak sedebu kuku pun tersimpan noda permusuhan.

Keduanya gigih mempertahankan dan memperjuangkan pendiriannya, namun tetap manusiawi dalam melaksanakan hidup serta tetap berhubungan satu sama lain. Sejatinya, merekalah DWI-TUNGGAL INDONESIA dan satu-satunya DWITUNGGAL NEGERI INI.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: