KISAH BUNG KARNO MENAKLUKAN EMPAT NONI BELANDA

October 31, 2017 0 Comments



Ini adalah sepenggal pengalaman hidup proklamator kita saat ia duduk di bangku HBS (Hogere Burger School), sebuah sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang Belanda. HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Di HBS Surabaya ketika itu, dari lebih 100 murid, hanya 20 orang yang pribumi.
Pada waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta dan Medan, Sedangkan AMS ada di kota Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta dan Surabaya. Begitu sekelumit tentang HBS.
Sebagai pemuda, Bung Karno dalam penuturannya kepada Cindu Adams, penulis biografinya, menuturkan ihwal semangatnya yang membara untuk bisa menaklukan noni-noni Belanda, agar bisa menjadi pacarnya. Bukan saja karena penasarannya sebagai laki-laki menaklukan gadis bangsa penjajah, lebih dari itu ia juga punya tujuan lain, yakni agar capt mahir berbahasa Belanda.
Sebagai pemuda yang mengaku tampan selagi muda, Bung Karno penuh percaya diri “mengejar” gadis-gadis kulit putih. Dengan kepandaian otaknya, dengan penampilannya yang percaya diri, serta dengan tampangnya yang tampan, singkat kata Soekarno muda mulai mendapatkan gadis-gadis putih idamannya. Ia mencatat, gadis bule HBS yang pertama jadi kekasihnya bernama pauline Gobee, anak salah seorang gurunya di HBS. Pauline dikisahkan sebagai gadis Belanda yang cantik dan Soekarno tergila-gila kepadanya.
 Perjalanan cinta Soekarno beralih ke gadis putih lain bernama Laura. Betapa Soekarno juga memuja Laura. Ia memanfaatkan setiap kesempatan untuk bisa dekat dengan Laura. Tapi, kisah cintanya dengan Laura tak berlangsung lama.
 Perburuan cinta Soekarno berlanjut. Ia berhasil menangkap seorang kekasih bule yang nomor tiga. Mungkin Soekarno tidak benar-benar mencintainya. Buktinya, dalam otobiografinya, ia sendiri lupa nama noni Belanda ketiga yang dipacarinya. Yang ia ingat, gadis itu dari keluarga Raat, seorang Indo yang punya beberapa putri cantik.
Yang juga ia ingat, rumah keluarga Raat berlawanan arah dengan rumah yang ditinggali Soekarno (di rumah HOS Cokroaminoto). Sekalipun begitu, selama berbulan-bulan pacaran, Bung Karno rela tiap hari jalan berputar arah hanya untuk menemani gadis pujaannya.
Nah, tambatan hati keempat tidak pernah ia lupakan. Ia adalah seorang noni Belanda nan cantik. Soekarno ingat betul namanya: Mien Hessels. Seketika, Mien Hessels mampu menutup lembaran-lembaran indah Soekarno muda bersama pauline, laura dan juga putri keluarga Raat.
Mien Hessels telah menyihir Soekarno menjadi gelap mata. Soekarno memuja Mien Hessels sebagai “kembang tulip berambut kuning, berpipi merah mawar”. Kulitnya halus selembut kapas. Rambut blondenya ikal mayang. Pribadinya memesona. Soekarno bahkan merasa rela mati untuk mendapatkan gadis pujaannya. Maklumlah, usia Soekarno 18 tahun ketika itu.
Dan demi mendapatkan gadis bule pujaan hatinya, Soekarno benar-benar nekad. Suatu hari, ia menetapkan hati melamar Mien Hessels. Benar-benar nekad! Ia mengenakan busana terbaik, bersepatu pula. Sebelum melangkahkan kaki keluar rumah, Soekarno duduk di kamar, melemaskan lidah, menghafal kata, melatih bicara dalam bahasa Belanda yang intinya adalah: Melamar Mien Hessels menjadi istrinya
Sore itu begitu cerah, Soekarno mengayun langkah menuju rumah Mien Hessels. Begitu memasuki halaman rumahnya, tiba-tiba hatinya menggigil ketakutan. Belum pernah sekali pun Soekarno bertamu ke rumah orang Belanda yang mewah. Halamannya ditumbuhi rerumputan laksana hamparan beledu hijau. Kembang-kembang aneka warna berdiri tegak baris demi baris. Sementara, Soekarno tak punya topi untuk dipegang. Karenanya, ia hanya memegang hati, agar tak gugup nanti.
Di hadapan seorang laki-laki tinggi besar, ayah kekasih hatinya, Bung Karno melepas kata, “Tuan, kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak Tuan....” Belum selesai Soekarno muda bicara, ayah Hessels melabraknya, “Kamu?! Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku?! Keluar kamu binatang kotor. Keluar!!”
Soekarno hanya bisa melongo. Ekspresi wajah pucat pasi dengan langkah gontai ia angkat kaki. Hatinya begitu pedih bak dicambuk, muka coreng-moreng bak dicerca caci, hati terhina-hinanya, bak pengemis renta dihardik tuan kaya. Pendek kata peristiwa itu melekat sepajang hayat.
Tuhan sungguh mencintai Soekarno. Waktu terus berlalu dua puluh tiga tahun sejak peristiwa menyedihkan itu terjadi, tepatnya tahun 1942, Perang Dunia II tangah berkecamuk. Soekarno sendiri sudah menjelma menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan bagi bangsanya. Suatu sore, ketika sedang berjalan-jalan di suatu jalanan di jakarta. Ia mendengar seorang wanita menyebut namanya, “Soekarno?” berpalinglah Soekarno ke arah pemanggil seraya menjawab, “Ya, saya Soekarno.”
Wanita itu tertawa terkikik-kikik, “Dapat kau menerka siapa saya?” Soekarno memandangi wanita berbadan besar, jelek, tak terpelihara. “Tidak, Nyonya... saya tidak dapat menerka, siapakah Nyonya?”
Wanita itu kembali tertawa terkikik-kikik sebelum menjawab, “Mien Hessels!” dia terkikik lagi.
Hati Soekarno menyeru, “Huhhh!!! Mien Hessels! Putriku yang cantik seperti bidadari, kini berubah menjadi perempuan mirip tukang sihir, buruk  dan kotor..” Sadar ia melamun,buru-buru Soekarno memberi salam kepada mantan kekasihnya di Surabaya dulu. Setelah itu, ia segera berpamit untuk berlalu.
Sejurus kemudian, ketika sampai di rumah, ia menyempatkan mengenang pertemuannya kepada Mien Hessels dulu. Tanpa sadar, Bung Karno mendesiskan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Penyanyang. Hati kecilnya berucap, “Caci maki yang telah dilontarkan ayahnya dulu, sesungguhnya suatu rahmat yang tersembunyi...”


Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: