KISAH BUNG KARNO MENAKLUKAN EMPAT NONI BELANDA
Ini
adalah sepenggal pengalaman hidup proklamator kita saat ia duduk di bangku HBS
(Hogere Burger School), sebuah
sekolah lanjutan tingkat menengah pada zaman Hindia Belanda untuk orang
Belanda. HBS setara dengan MULO + AMS atau SMP + SMA, namun hanya 5 tahun. Di
HBS Surabaya ketika itu, dari lebih 100 murid, hanya 20 orang yang pribumi.
Pada
waktu itu HBS hanya ada di kota Surabaya, Semarang, Bandung, Jakarta dan Medan,
Sedangkan AMS ada di kota Jakarta, Bandung, Medan, Yogyakarta dan Surabaya. Begitu
sekelumit tentang HBS.
Sebagai
pemuda, Bung Karno dalam penuturannya kepada Cindu Adams, penulis biografinya,
menuturkan ihwal semangatnya yang membara untuk bisa menaklukan noni-noni
Belanda, agar bisa menjadi pacarnya. Bukan saja karena penasarannya sebagai
laki-laki menaklukan gadis bangsa penjajah, lebih dari itu ia juga punya tujuan
lain, yakni agar capt mahir berbahasa Belanda.
Sebagai
pemuda yang mengaku tampan selagi muda, Bung Karno penuh percaya diri
“mengejar” gadis-gadis kulit putih. Dengan kepandaian otaknya, dengan
penampilannya yang percaya diri, serta dengan tampangnya yang tampan, singkat
kata Soekarno muda mulai mendapatkan gadis-gadis putih idamannya. Ia mencatat,
gadis bule HBS yang pertama jadi kekasihnya bernama pauline Gobee, anak salah
seorang gurunya di HBS. Pauline dikisahkan sebagai gadis Belanda yang cantik
dan Soekarno tergila-gila kepadanya.
Perjalanan cinta Soekarno beralih ke gadis
putih lain bernama Laura. Betapa Soekarno juga memuja Laura. Ia memanfaatkan
setiap kesempatan untuk bisa dekat dengan Laura. Tapi, kisah cintanya dengan
Laura tak berlangsung lama.
Perburuan cinta Soekarno berlanjut. Ia
berhasil menangkap seorang kekasih bule yang nomor tiga. Mungkin Soekarno tidak
benar-benar mencintainya. Buktinya, dalam otobiografinya, ia sendiri lupa nama
noni Belanda ketiga yang dipacarinya. Yang ia ingat, gadis itu dari keluarga
Raat, seorang Indo yang punya beberapa putri cantik.
Yang
juga ia ingat, rumah keluarga Raat berlawanan arah dengan rumah yang ditinggali
Soekarno (di rumah HOS Cokroaminoto). Sekalipun begitu, selama berbulan-bulan
pacaran, Bung Karno rela tiap hari jalan berputar arah hanya untuk menemani
gadis pujaannya.
Nah,
tambatan hati keempat tidak pernah ia lupakan. Ia adalah seorang noni Belanda
nan cantik. Soekarno ingat betul namanya: Mien Hessels. Seketika, Mien Hessels
mampu menutup lembaran-lembaran indah Soekarno muda bersama pauline, laura dan
juga putri keluarga Raat.
Mien
Hessels telah menyihir Soekarno menjadi gelap mata. Soekarno memuja Mien Hessels
sebagai “kembang tulip berambut kuning, berpipi merah mawar”. Kulitnya halus
selembut kapas. Rambut blondenya ikal mayang. Pribadinya memesona. Soekarno
bahkan merasa rela mati untuk mendapatkan gadis pujaannya. Maklumlah, usia
Soekarno 18 tahun ketika itu.
Dan
demi mendapatkan gadis bule pujaan hatinya, Soekarno benar-benar nekad. Suatu
hari, ia menetapkan hati melamar Mien Hessels. Benar-benar nekad! Ia mengenakan
busana terbaik, bersepatu pula. Sebelum melangkahkan kaki keluar rumah,
Soekarno duduk di kamar, melemaskan lidah, menghafal kata, melatih bicara dalam
bahasa Belanda yang intinya adalah: Melamar Mien Hessels menjadi istrinya
Sore
itu begitu cerah, Soekarno mengayun langkah menuju rumah Mien Hessels. Begitu
memasuki halaman rumahnya, tiba-tiba hatinya menggigil ketakutan. Belum pernah
sekali pun Soekarno bertamu ke rumah orang Belanda yang mewah. Halamannya
ditumbuhi rerumputan laksana hamparan beledu hijau. Kembang-kembang aneka warna
berdiri tegak baris demi baris. Sementara, Soekarno tak punya topi untuk
dipegang. Karenanya, ia hanya memegang hati, agar tak gugup nanti.
Di
hadapan seorang laki-laki tinggi besar, ayah kekasih hatinya, Bung Karno
melepas kata, “Tuan, kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak
Tuan....” Belum selesai Soekarno muda bicara, ayah Hessels melabraknya, “Kamu?!
Inlander kotor seperti kamu? Kenapa
kamu berani-berani mendekati anakku?! Keluar kamu binatang kotor. Keluar!!”
Soekarno
hanya bisa melongo. Ekspresi wajah pucat pasi dengan langkah gontai ia angkat
kaki. Hatinya begitu pedih bak dicambuk, muka coreng-moreng bak dicerca caci,
hati terhina-hinanya, bak pengemis renta dihardik tuan kaya. Pendek kata
peristiwa itu melekat sepajang hayat.
Tuhan
sungguh mencintai Soekarno. Waktu terus berlalu dua puluh tiga tahun sejak
peristiwa menyedihkan itu terjadi, tepatnya tahun 1942, Perang Dunia II tangah
berkecamuk. Soekarno sendiri sudah menjelma menjadi tokoh pergerakan
kemerdekaan bagi bangsanya. Suatu sore, ketika sedang berjalan-jalan di suatu
jalanan di jakarta. Ia mendengar seorang wanita menyebut namanya, “Soekarno?”
berpalinglah Soekarno ke arah pemanggil seraya menjawab, “Ya, saya Soekarno.”
Wanita
itu tertawa terkikik-kikik, “Dapat kau menerka siapa saya?” Soekarno memandangi
wanita berbadan besar, jelek, tak terpelihara. “Tidak, Nyonya... saya tidak
dapat menerka, siapakah Nyonya?”
Wanita
itu kembali tertawa terkikik-kikik sebelum menjawab, “Mien Hessels!” dia
terkikik lagi.
Hati
Soekarno menyeru, “Huhhh!!! Mien Hessels! Putriku yang cantik seperti bidadari,
kini berubah menjadi perempuan mirip tukang sihir, buruk dan kotor..” Sadar ia melamun,buru-buru
Soekarno memberi salam kepada mantan kekasihnya di Surabaya dulu. Setelah itu,
ia segera berpamit untuk berlalu.
Sejurus
kemudian, ketika sampai di rumah, ia menyempatkan mengenang pertemuannya kepada
Mien Hessels dulu. Tanpa sadar, Bung Karno mendesiskan rasa syukur kepada Tuhan
Yang Maha Penyanyang. Hati kecilnya berucap, “Caci maki yang telah dilontarkan
ayahnya dulu, sesungguhnya suatu rahmat yang tersembunyi...”
0 Comments: