PDKT BUNG KARNO KEPADA FATMA
Bung
Karno bolehlah kita tasbihkan sebagai perayu ulung. Dalam tulisan terdahulu,
kita ketahui bagaimana Soekarno muda “memburu” noni-noni Belanda menjadi
kekasihnya. Kisah itu pun berhasil dengan gilang gemilang. Dalam sejarah hidup
cintanya, gadis pertama yang ia cium adalah gadis Belanda. Tercatat pula
sedikitnya empat noni Belanda pernah singgah mengisi dunia cinta Soekarno.
Menilik track record itu, kita tak
perlu ragu, ihwal kepiawaiannya menggaet wanita.
Yang
ini tentang percintaan klasik Bung Karno dan gadis belia asal Bengkulen
(Bengkulu) bernama Fatmawati. Romansa cinta Soekarno-Fatmawati sangat kesohor
karena memang telah ia umbar dalam banyak buku. Anda tahu? Bung Karno naksir
Fatmawati ketika Fatma masih berusia 15 tahun. Setahun lebih muda dari Ratna
Djuami, anak angkat Soekarno-Inggit Garnasih sewaktu proklamator kita menjalani
hidup pengasingan di Bengkulu. Fatma dan Ratna berkawan baik karena mereka
memang sebaya.
Perjumpaan
Bung Karno-Fatmawati lebih intens manakala Bung Karno diterima sebagai tenaga
pengajar di sekolah rendah agama Muhammadiyah pimpinan hassan Din, ayahanda
Fatmawati. Bung Karno menganggap permintaan Hasan Din kepada Bung Karno untuk
menjadi guru adalah sebuah rahmat. “Tapi ingat, jangan sekali-kali Bung membicarakan tentang politik,” ujar hassan
Din mengingatkan.
“Ah,
tidak,” Bung Karno menyeringai, “saya hanya kan menyinggung tentang Nabi
Muhammad yang selalu mengajarkan tentang kecintaan pada Tanah Air.”
Nah,
di kelas itulah ada Fatmawati sebagai salah satu muridnya. Fatma berarti “bunga
teratai”, wati berarti “kepunyaan”. Dalam
menggambarkan sosok Fatma, Bung Karno menunjuk rambutnya bak sutra
dibelah di tengah dan menjurai ke belakang terkepang dua.
Oleh
orangtuanya, Fatma bahkan dititipkan tinggal bersama keluarga Bung Karno-Inggit
saat ia melanjutkan pendidikan ke sekolah rumah tangga di Bengkulu, satu
satunya sekolah jenjang tertinggi di Bengkulu. Bung Karno bahkan sempat
mengajari Fatmawati bermain bulutangkis.
Hari
bergulir, hingga tersebutlah suatu sore di tahun 1943, saat untuk pertama
kalinya Bung Karno berkesempatan jalan-jalan berdua Fatma. Keduanya menyusuri
pasir pantai. Sesekali alunan ombak berbuih putih memukul-mukul kaki keduanya.
Sembari
menyusuri pantai di sore yang romantis, keduanya menyoal banyak hal mulai dari
soal ketuhanan dan soal-soal agama Islam pada umumnya. Tiba pada langkah entah
yang keberapa ratus, Fatma mengajukan tanya, “Mengapa orang Islam dibolehkan
mempunyai istri lebih dari satu?”
Mengalirlah
penjelasan Bung Karno yang bertolak dari kejadian tahun 650 M saat Nabi
Muhammad mengembangkan Islam. Karena pertentangan kaum kafir, memunculkan
semboyan pada zaman itu, “Pedang di satu tangan dan Al-Qur’an di tangan yang
lain. Di antara laki-laki banyak yang menjadi korban...” lalu Fatma menukas,
“Itu berarti banyak perempuan menjadi janda.”
Nabi
pun kemudian menerima wahyu yang mengizinkan laki-laki mempunyai istri sampai
empat orang agar tercapai suasana tenang. Tapi, kata Bung Karno, di Bali orang
menjalankan poligami secara tak terbatas. Seorang pangeran yang sudah berumur
76 tahun belum lama ini mengawini istrinya yang ke-36. Umurnya 16 tahun.
Lagi-lagi Fatma menukas, “Usia yang cocok untuk perkawinan.” Kala itu, usia
Fatma adalah lima belas setengah tahun.
Dialog
terus berlanjut, hingga bertanyalah Fatma kepada Bung Karno, “Jenis perempuan
mana yang bapak sukai?” kaget sejenak, Bung Karno lantas memandang gadis desa
putra tokoh Muhammadiyah yang berbaju kurung merah, berkerudung kuning itu
seraya menjawab, “Saya menyukai perempuan dengan keasliannya. Bukan wanita
modern pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan. Saya suka
wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senantiasa mengambilkan alas
kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya suka dengar
menyuruh suaminya mencuci piring.”
“Saya
setuju,” bisik Fatma. Mendengar percakapan mulai bersambut, Bung Karno makin
semangat menimpali, “Saya menyukai perempuan yang merasa berbahagia denga anak
banyak. Saya sangat mencintai anak-anak.” Lagi-lagi Fatma menyahut, “Saya
Juga.”
Minggu
berganti bulan dan bulan berganti tahun. Rasa cinta mulai bersemi di hati
keduanya. Fatma begitu mengagumi Soekarno. Begitu pula sebaliknya. Meski
begitu, Bung Karno berusaha memendam perasaan itu dalam-dalam karena pernghargaannya
yang tinggi terhadap Inggit, yang sudah separuh usianya mendampingi dengan
setia.
0 Comments: