SOEHARTO DATANG, SETELAH BUNG KARNO TERBANG
Akses
informasi yang terbatas, penjagaan yang sangat ketat, mengakibatkan tidak satu
pun wartawan dapat mengikuti hari-hari terakhir Bung Karno, baik ketika masih
dalam perawatan di RS Pusat Angkatan Darat, maupun detik-detik menjelang
kemangkatan Bung Karno. Satu-satunya informasi yang secara terbuka didapat
wartawan ketika itu adalah pengumuman resmi tim dokter ihwal meninggalnya Ir.
Soekarno, Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, pagi hari 21 Juni 1970 di
RSPAD Gatot Subroto, Jakarta.
Sejurus
kemudian, jenazah Bung Karno sudah meluncur membelah jalanan ibu kota dibawa ke
Wisma Yaso, rumah Dewi Soekarno (sekarang Museum Satria Mandala) di Jl. Gatot
Subroto, Wisma yang tak bepenghuni beberapa hari terakhir, sangat menyedihkan
keadaannya. Kotor, berdebu, senyap dan singup.
Sementara itu,
maysarakat ibu kota yang sudah mendengar berita kematian Bung Karno, tanpa
adanya komando, langsung menyebarkan berita itu dari mulut ke mulut. Tidak
sedikit yang secara atraktif dan atas inisiatif sendiri menyebar berita itu
melalui berbagai cara. Tak heran bila dalam waktu sekejap saja masyarakat ibu
kota sudah berjejal merangsek ke arah Wisma Yaso, hendak memberi penghomatan
terakhir kepada tokoh yang dikagumi dan dicintai.
Berbagai unsur
masyarakat berduyun-duyun ke Wisma Yaso, baik tokoh politik, tokoh militer,
tokoh sipil, hingga rakyat jelata tanpa pangkat dan kedudukan. Tak terkecuali,
Presiden Soeharto dan Ibu Tien juga hadir di sana, setelah sebelumnya petugas
Paspampres melakukan “pembersihan” lokasi.
Diketahui pula
pada pukul 07:30 atau 30 menit setelah berpulangnya Bung Karno ke Rahmatullah,
Soeharto dan Ibu Tien datang ke RSPAD. Dalam otobiografinya, Soeharto
mengatakan, “Waktu saya mendengar beliau meniggal pada 21 Juni 1970, cepat saya
menjeguknya di rumah sakit. Setelah itu barulah aku berpikir megenai
pemakamannya”. Dan hari itu menjadi pertemuan terakhir setelah Soeharto
“menjatuhkan” Bung Karno dan tidak menemuinya lagi sejak 1967.
Sebelumnya
Soeharto hanya menyadap berita tentang Soekarno dari para petugas yang dipasang
sejak di Wisma Yaso hingga di RSPAD Gatot Subroto. Termasuk berita kematian
Soekarno pun didapat dari hasil laporan cepat petugas yang dipasang di sekitar
Sang Proklamator yang sedang sakaratul maut.
Dalam beberapa
kesempatan sikap Soeharto terhadap Soekarno dikatakannya sebagai “mikul dhuwur,
mendem jero”. Falsafah Jawa itu
sejatinya mulai karena mengandung makna menghormati setinggi-tingginya dan
menyimpan atau mengubur aib sedalam-dalamnya. Falsafah itu oleh Soeharto
diartikan dengan mengasingkan Soekarno dan “membunuhnya” pelan-pelan dalam
kerangkengan kejam di Wisma Yaso hingga menjelang ajal.
Tanggal 22
Juni atau sehari setelah kematiannya, jenazah Soekarno dibawa ke Blitar, Jawa
Timur, lewat penerbangan dari bandara Halim Perdanakusuma ke Malang. Shalat
jenzah sudah dilakukan malam harinya dengan imam Menteri Agama K.H. Achmad
Dahlan, sedangkan shalat jenzah yang diikuti pula oleh rakyat, diimami Buya
Hamka.
Masih menurut
buku TRAGEDI SUKARNO tulisan Reni Nuryanti, ada catatan menarik lain tentang
makam Soekarno, yang ternyata hanya dimakamkan di bekas Taman makam Pahlawan
Bahagia Sentul, Blitar. Nah, ihwal dimakamkannya jenazah Soekarno di Blitar,
Soeharto berdalih adanya dua kehendak, antara permintaan almarhum Bung Karno
agar dimakamkan di Bogor dan keinginan keluarga yang berbeda-beda. Karena
itulah akhirnya diputuskan dimakamkan di Blitar.
Banyak pihak
menduga, keputusan Soeharto itu sarat pertimbangan politik. Ia tidak
menghiraukan testamen atau permintaan ahli kubur bernama Ir. Soekarno, Presiden
RI pertama yang menghendaki jika meninggal agar dimakamkan di Bogor. Para pihak
menduga, ada kepentingan jangka panjang dari Soeharto untuk “mengubur lebih
dalam” Soekarno beserta nama besar dan kecintaan rakyat kepadanya. Inilah yang
di kemudian hari disebut sebagai “desukarnoisasi”, upaya menghapus nama
Soekarno dari memori rakyat Indonesia.
Sebaliknya,
jika jasad Bung Karno dimakamkan di Bogor, sama saja menghambat langkah
Soeharto untuk menenggelamkan nama besar Soekarno. Jarak Bogor-jakarta terlalu
dekat, sehingga kenangan rakyat tetap melekat. Ini yang secara politis akan
mengganggu kewibawaannya. Langkah dan kebijakan untuk melarang semua ajaran
Soekarno, langkah menjebloskan orang-orang dekat Soekarno ke dalam tahanan
tanpa pengadilan adalah bentuk lain dari upaya Soeharto benar-benar
“menghabisi” Soekarno.
Satu hal yang
Soeharto lupa, bahwa kebenaran senantiasa akan mengalir menemukan jalannya
sendiri. Sekalipun kebenaran itu sudah dibelokkan. Sekalipun kebenaran itu
sudah disumbat. Sekalipun kebenaran itu sudah dikubur dalam-dalam dan kebenaran
niscaya akan mengalir dalam sungai sejarah.
Soekarno sudah
wafat, Soeharto sudah meninggal dunia. Keduanya telah menorehkan catatan dalam
lembar sejarah RI. Jika Soekarno berkuasa selama 22 tahun, maka Soeharto
berkuasa lebih dari 30 tahun. Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati
meninggalkan nama. Nama Soekarno dan Soeharto sudah mengguratkan citra
tersendiri di benak setiap pengucap dan pengingatnya.
0 Comments: