PERANG BUBAT

August 03, 2019 0 Comments



Pada tahun 1343, Gajah Mada berusaha merealisasikan Sumpah Palapa yang baru ia ikrarkan dengan memimpin sebuah ekspedisi militer untuk menaklukkan Bali. Ekspedisi ini dikenal juga dengan nama Ekspedisi Bedahulu. Saat itu, Bali dipimpin oleh Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang diperkirakan sudah memerintah sejak tahun 1337. Ia memiliki seorang panglima perang yang gagah berani bernama Amangkubumi Paranggrigis.

Sebelum menggunakan jalan ekspansi militer, Gajah Mada melakukan langkah-langkah diplomasi, termasuk mengantarkan surat resmi dari Ratu Tribhuwana Tungga Dewi yang berisi ajakan untuk bersekutu. Kemudian, Amangkubumi Paranggrigis mengumpulkan para tokoh terpandang di kerajaannya guna menanggapi atas ajakan persekutuan dari Majapahit. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan yang menyatakan bahwa Bali tidak bersedia takluk kepada Majapahit.
Maka, pada tahun 1334M, Gajah Mada melancarkan ekspedisi militer ke pulau yang kelak dikenal dengan nama Pulau Dewata. Ekspedisi ini diperkirakan juga melibatkan Arya Damar (Adityawarman) yang saat itu menjabat sebagai Panglima Perang Majapahit. Selanjutnya, serangan militer yang dilakukan oleh Majapahit berhasil menundukkan Kerajaan Bali.
Oleh karena itu, kerajaan tersebut tidak lagi memiliki pemerintahan yang sah. Maka, Sri Kresna Kepakisan pun diangkat sebagai wakil pemerintahan Majapahit di Bali. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa pengangkatan itu terjadi setelah Patih Ulung bersama dua orang anggota keluarganya, yaitu Arya Pemacekan dan Arya Pemasekan, menghadap Ratu Tribhuwana Tungga Dewi untuk menyampaikan permintaan penunjukan perwakilan Majapahit di Bali.
Lalu, pada kurun waktu yang sama, Gajah Mada juga melakukan ekspansi ke Lombok. Arya Damar pun masih ikut ambil bagian dalam ekspedisi tersebut. Berkat jasa-jasanya, Arya Damar diangkat menjadi perwakilan Majapahit di Sumatra dan berkedudukan di Jambi.
Penunjukan Arya Damar ini dianggap layak mengingat ia merupakan saudara tiri dari Jayanegara, Raja Majapahit sebelumnya. Kemudian, di bawah arahan dan komando dari Gajah Mada, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Sumatera secara pesat hingga ke Sumatera bagian barat, tepatnya ke daerah Minangkabau. Selanjutnya, perluasan kekuasaan itu diteruskan hingga ke Samudra Pasai. Bahkan, perluasan wilayah ini juga merambah hingga Tumasik (Singapura), Bintan, Borneo (Kalimantan) dan Burni (Brunei).
Selain berkonsentrasi untuk melakukan penaklukan terhadap wilayah-wilayah bekas kerajaan Sriwijaya, ekspansi militer Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih Gajah Mada pun terus ditingkatkan ke wilayah timur nusantara. Maka, selain Bali dan Lombok, wilayah lain di sebelah timur, seperti Gurun, Seram, Sasak, Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor, Bima, Wandan (Banda), Ambon, timor, Dompo, Sukun, Taliwang (di Pulau Sumbawa), pulau Sangeang, Hutan Kendali (Pulau Buru), Luwuk (Kesultanan Luwu), Pulau banggawi (Kepualauan Banggai) dan Wanin berhaasil ditaklukkan oleh majapahit.
Sementara itu, panji Majapahit juga berkibar di nusantara bagian utara, yakni di Kapuas-katingan, Sampit, Kuta Lingga, Kuta Waringin, Sambas, Lawai, Kadandangan (Kendawangan di Ketapang), Landa (Kerajaan landak), Samandang di Tanjungpura, Tirem, Sedu (Serawak), barune (Brunei), Kalka, Saludung atau Kerajaan Maynila (sekarang Manila Filipina), Pasir (kesultanan Pasir, sekarang kabupaten Paser), Barito, Sawaku (sekarang Sawakung), Tabalung (Tabalong), Tanjung Kutei (Kesultanan Kutai Kartanegara), Malano (suku Melanau) di Serawak, Kalimantan Barat dan lain sebagainya. Namun, perlu disadari pula bahwa nama-nama daerah yang berhasil ditaklukkan oleh Makapahit diakui oleh para sejarawan berdasarkan atas klaim kerajaan ini. Sementara itu, mereka belum pernah menemukan bukti yang tentang pengakuan dari daerah-daerah yang bersangkutan terhadap Majapahit.


PERANG BUBAT

Di tengah-tengah semangat ekspansi wilayah yang terus kobarkan oleh Gajah Mada, Majapahit harus mengalami transisi pemerintahan. Pada tahun 1350, Tribhuwana Tungga Dewi turun tahta dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk (yang dianggap sebagai Raja Majapahit paling masyhur). Selanjutnya, di bawah pemerintahan Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara, Majapahit mencapai puncak kejayaannya. Kerajaan ini berhasil menguasai seluruh kepulauan Indonesia.

Raja muda tersebut terkesan cukup yakin dan nyaman untuk menyerahkan segala urusan kerajaan kepada “tangan kanannya”, Mahapatih Gajah Mada. Namun, maasih ada satu kekuatan lagi yang dianggap perlu ditaklukkan oleh Gajah Mada. Ironisnya, kekuatan ini terletak tidak jauh dari Majapahit, yakni Kerajaan Sunda. Keinginan Gajah Mada untuk menaklukkan kerajaan tetangga pun seolah-olah mendapatkan restu dari langit. Sebab, pada waktu yang sama, setelah bertahta di puncak kekuasaan selama satu tahun, Hayam Wuruk merasa memerlukan seorang pendamping. Maka, Hayam Wuruk mengadakan seleksi memilih permaisuri dengan mempelajari lukisan-lukisan para putri dari berbagai penjuru kerajaan. Lalu, hayam Wuruk pun jatuh hati pada pandangan pertama saat menyaksikan lukisan Dyah Pitaloka, seorang putri dari Kerajaan Sunda.
Kabar tentang asmara yang melanda Hayam Wuruk pun sampai ditelinga Gajah Mada yang sedang berupaya memperluas pengaruh Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Sunda. Maka, Gajah Mada pun mengirimkan seorang utusan resmi ke Tanah Padjajaran guna menyampaikan niat Hayam Wuruk untuk menikahi sang putri. Hal ini pun seperti kata pepatah, “Pucuk dicinta ulam pun tiba”. Ternyata, harapan Gajah Mada tersebut tidak “ bertepuk sebelah tangan”.
Sri Baginda Maharaja dari Kerajaan Sunda pun merestui harapan Gajah Mada tersebut. Selanjutnya, ia pun membawa putrinya bersama beberapa petinggi istana ke Majapahit. Kemudian, mereka berkemah di Bubat, sebuah lapangan luas di bagian utara ibu kota Majapahit. Di tempat itulah rencananya pernikahan agung antara kedua kerajaan akan digelar.
Akan tetapi, antara Gajah Mada dan Raja Sunda terjadi sebuah perselisihan. Sebab, Mahapatih Majapahit menginginkan supaya Raja Sunda menyerahkan Putri Dyah Pitaloka kepada Hayam Wuruk sebagai persembahan ketundukan Sunda kepada Majapahit. Namun, Sri Baginda Maharaja, menganggap pernikahan yang akan dilangsungkan itu merupakan simpul jalinan persekutuan antara kedua kerajaan. Sehingga, ia bersikukuh bahwa sang putri semestinya memiliki status yang sederajat dengan sang suami.
Oleh karena itu, Gajah Mada membawa pasukan dalam jumlah besar menuju Bubat. Sebab, ia bertekad untuk menyelesaikan masalah tersebut secara militer. Sementara itu, para Pejabat Tinggi Kerajaan Sunda memilih mati daripada dipermalukan. Maka yang terjadi selanjutnya bukanlah pernikahan bahagia sebagaimana yang diharapkan, melainkan sebuah pertumpahan darah.
Akhirnya, Raja Sunda dan para bangsawannya terbunuh dalam peristiwa tersebut, temasuk sang putri (meskipun ada sebagian kalangan yang mencatat bahwa Dyah Pitaloka melakukan bunuh diri). Setelah peristiwa itu, sunda mengaku takluk kepada Majapahit untuk sementara waktu. Namun, akhirnya mereka mendapatkan kemerdekaan mereka kembali.
Konon, sejak tragedi Bubat ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada mulai renggang. Ada beberapa pendapat kalangan sejarawan terkait dengan hal ini. Sebagian sejarawan mengatakan bahwa Gajah Mada dimutasi ke dukuh Madakariputra dan tetap menjalankan tugasnya sebagai Mahapatih Majapahit hingga ia wafat pada 1364.
Sementara itu, sebagian sejarawan yang lain menyebutkan bahwa Gajah Mada sempat diberhentikan dari jabatannya untuk sementara waktu. Sebab, ia dianggap mementingkan pencapaian pribadi melalui invasi militer daripada diplomasi. Lalu, 2 tahun kemudian, ia dikembalikan pada posisinya semula.
Konon akibat tragedi Bubat itu, diberlakukan esti larangan ti kaluaran di kalangan masyarakat Sunda, yatiu larangan untuk menikah dengan orang luar sunda (sebagian sumber lebih menekankan bahwa batasan orang luar adalah orang yang berasal dari kawasan timur Tanah Sunda atau Majapahit). Diriwayatkan pula bahwa pada masa ini, Empu Prapanca mulai menyusun Negarakertagama, epos Majapahit yang ternama, di bawah bimbingan sang Mahapatih.
Dengan demikian, sepanjang perjalanan kariernya, Gajah Mada telah memainkan peranan penting dalam menetapkan arah kebijakan internal kerajaan. Sebab, ia memangku berbagai posisi penting di istana, bahkan ia juga menjabat sebagai kepala urusan istana. Keran banyaknya jabatan dan tugas yang diembannya, maka setelah ia wafat, Hayam Wuruk harus menunjuk 4 orang menteri guna mengisi posisi kosong yang ditinggalkannya.
Seperti asal-usulnya, mangkatnya Gajah Mada pada tahun 1286 Saka atau 1364 M pun masih menyisakan misteri. Di dalam Negarakertagama disebutkan bahwa  Hayam Wuruk yang baru kembali dari sebuah upacara keagamaan di Simping, menemukan Gajah Mada telah jatuh sakit. Namun, ada pula penulis yang mengklaim bahwa sesunguhnya ia diracuni oleh Hayam Wuruk. Sebab, Hayam Wuruk mulai takut pengaruh dan kekuasaan sang Mahapatih akan menyaingi popularitasnya. Namun, tidak ada bukti yang meyakinkan teori ini.


Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: