PERANG BUBAT
Pada
tahun 1343, Gajah Mada berusaha merealisasikan Sumpah Palapa yang baru ia
ikrarkan dengan memimpin sebuah ekspedisi militer untuk menaklukkan Bali.
Ekspedisi ini dikenal juga dengan nama Ekspedisi Bedahulu. Saat itu, Bali
dipimpin oleh Bhatara Sri Astasura Ratna Bhumi Banten yang diperkirakan sudah
memerintah sejak tahun 1337. Ia memiliki seorang panglima perang yang gagah
berani bernama Amangkubumi Paranggrigis.
Sebelum
menggunakan jalan ekspansi militer, Gajah Mada melakukan langkah-langkah
diplomasi, termasuk mengantarkan surat resmi dari Ratu Tribhuwana Tungga Dewi
yang berisi ajakan untuk bersekutu. Kemudian, Amangkubumi Paranggrigis
mengumpulkan para tokoh terpandang di kerajaannya guna menanggapi atas ajakan
persekutuan dari Majapahit. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah kesepakatan
yang menyatakan bahwa Bali tidak bersedia takluk kepada Majapahit.
Maka,
pada tahun 1334M, Gajah Mada melancarkan ekspedisi militer ke pulau yang kelak
dikenal dengan nama Pulau Dewata. Ekspedisi ini diperkirakan juga melibatkan
Arya Damar (Adityawarman) yang saat itu menjabat sebagai Panglima Perang
Majapahit. Selanjutnya, serangan militer yang dilakukan oleh Majapahit berhasil
menundukkan Kerajaan Bali.
Oleh
karena itu, kerajaan tersebut tidak lagi memiliki pemerintahan yang sah. Maka,
Sri Kresna Kepakisan pun diangkat sebagai wakil pemerintahan Majapahit di Bali.
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa pengangkatan itu terjadi setelah Patih
Ulung bersama dua orang anggota keluarganya, yaitu Arya Pemacekan dan Arya
Pemasekan, menghadap Ratu Tribhuwana Tungga Dewi untuk menyampaikan permintaan
penunjukan perwakilan Majapahit di Bali.
Lalu,
pada kurun waktu yang sama, Gajah Mada juga melakukan ekspansi ke Lombok. Arya
Damar pun masih ikut ambil bagian dalam ekspedisi tersebut. Berkat
jasa-jasanya, Arya Damar diangkat menjadi perwakilan Majapahit di Sumatra dan
berkedudukan di Jambi.
Penunjukan
Arya Damar ini dianggap layak mengingat ia merupakan saudara tiri dari
Jayanegara, Raja Majapahit sebelumnya. Kemudian, di bawah arahan dan komando
dari Gajah Mada, ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Majapahit di Sumatera
secara pesat hingga ke Sumatera bagian barat, tepatnya ke daerah Minangkabau.
Selanjutnya, perluasan kekuasaan itu diteruskan hingga ke Samudra Pasai.
Bahkan, perluasan wilayah ini juga merambah hingga Tumasik (Singapura), Bintan,
Borneo (Kalimantan) dan Burni (Brunei).
Selain
berkonsentrasi untuk melakukan penaklukan terhadap wilayah-wilayah bekas
kerajaan Sriwijaya, ekspansi militer Majapahit di bawah pimpinan Mahapatih
Gajah Mada pun terus ditingkatkan ke wilayah timur nusantara. Maka, selain Bali
dan Lombok, wilayah lain di sebelah timur, seperti Gurun, Seram, Sasak,
Makassar, Buton, Banggai, Kunir, Galiyan, Salayar, Sumba, Muar (Saparua), Solor,
Bima, Wandan (Banda), Ambon, timor, Dompo, Sukun, Taliwang (di Pulau Sumbawa),
pulau Sangeang, Hutan Kendali (Pulau Buru), Luwuk (Kesultanan Luwu), Pulau
banggawi (Kepualauan Banggai) dan Wanin berhaasil ditaklukkan oleh majapahit.
Sementara
itu, panji Majapahit juga berkibar di nusantara bagian utara, yakni di
Kapuas-katingan, Sampit, Kuta Lingga, Kuta Waringin, Sambas, Lawai, Kadandangan
(Kendawangan di Ketapang), Landa (Kerajaan landak), Samandang di Tanjungpura,
Tirem, Sedu (Serawak), barune (Brunei), Kalka, Saludung atau Kerajaan Maynila
(sekarang Manila Filipina), Pasir (kesultanan Pasir, sekarang kabupaten Paser),
Barito, Sawaku (sekarang Sawakung), Tabalung (Tabalong), Tanjung Kutei
(Kesultanan Kutai Kartanegara), Malano (suku Melanau) di Serawak, Kalimantan
Barat dan lain sebagainya. Namun, perlu disadari pula bahwa nama-nama daerah
yang berhasil ditaklukkan oleh Makapahit diakui oleh para sejarawan berdasarkan
atas klaim kerajaan ini. Sementara itu, mereka belum pernah menemukan bukti
yang tentang pengakuan dari daerah-daerah yang bersangkutan terhadap Majapahit.
PERANG BUBAT
Di
tengah-tengah semangat ekspansi wilayah yang terus kobarkan oleh Gajah Mada,
Majapahit harus mengalami transisi pemerintahan. Pada tahun 1350, Tribhuwana
Tungga Dewi turun tahta dan digantikan oleh putranya yang bernama Hayam Wuruk
(yang dianggap sebagai Raja Majapahit paling masyhur). Selanjutnya, di bawah
pemerintahan Hayam Wuruk yang bergelar Rajasanagara, Majapahit mencapai puncak
kejayaannya. Kerajaan ini berhasil menguasai seluruh kepulauan Indonesia.
Raja
muda tersebut terkesan cukup yakin dan nyaman untuk menyerahkan segala urusan
kerajaan kepada “tangan kanannya”, Mahapatih Gajah Mada. Namun, maasih ada satu
kekuatan lagi yang dianggap perlu ditaklukkan oleh Gajah Mada. Ironisnya,
kekuatan ini terletak tidak jauh dari Majapahit, yakni Kerajaan Sunda.
Keinginan Gajah Mada untuk menaklukkan kerajaan tetangga pun seolah-olah
mendapatkan restu dari langit. Sebab, pada waktu yang sama, setelah bertahta di
puncak kekuasaan selama satu tahun, Hayam Wuruk merasa memerlukan seorang
pendamping. Maka, Hayam Wuruk mengadakan seleksi memilih permaisuri dengan
mempelajari lukisan-lukisan para putri dari berbagai penjuru kerajaan. Lalu,
hayam Wuruk pun jatuh hati pada pandangan pertama saat menyaksikan lukisan Dyah
Pitaloka, seorang putri dari Kerajaan Sunda.
Kabar
tentang asmara yang melanda Hayam Wuruk pun sampai ditelinga Gajah Mada yang
sedang berupaya memperluas pengaruh Kerajaan Majapahit hingga Kerajaan Sunda.
Maka, Gajah Mada pun mengirimkan seorang utusan resmi ke Tanah Padjajaran guna
menyampaikan niat Hayam Wuruk untuk menikahi sang putri. Hal ini pun seperti
kata pepatah, “Pucuk dicinta ulam pun tiba”. Ternyata, harapan Gajah Mada
tersebut tidak “ bertepuk sebelah tangan”.
Sri
Baginda Maharaja dari Kerajaan Sunda pun merestui harapan Gajah Mada tersebut.
Selanjutnya, ia pun membawa putrinya bersama beberapa petinggi istana ke
Majapahit. Kemudian, mereka berkemah di Bubat, sebuah lapangan luas di bagian
utara ibu kota Majapahit. Di tempat itulah rencananya pernikahan agung antara
kedua kerajaan akan digelar.
Akan
tetapi, antara Gajah Mada dan Raja Sunda terjadi sebuah perselisihan. Sebab,
Mahapatih Majapahit menginginkan supaya Raja Sunda menyerahkan Putri Dyah
Pitaloka kepada Hayam Wuruk sebagai persembahan ketundukan Sunda kepada
Majapahit. Namun, Sri Baginda Maharaja, menganggap pernikahan yang akan
dilangsungkan itu merupakan simpul jalinan persekutuan antara kedua kerajaan.
Sehingga, ia bersikukuh bahwa sang putri semestinya memiliki status yang
sederajat dengan sang suami.
Oleh
karena itu, Gajah Mada membawa pasukan dalam jumlah besar menuju Bubat. Sebab,
ia bertekad untuk menyelesaikan masalah tersebut secara militer. Sementara itu,
para Pejabat Tinggi Kerajaan Sunda memilih mati daripada dipermalukan. Maka
yang terjadi selanjutnya bukanlah pernikahan bahagia sebagaimana yang
diharapkan, melainkan sebuah pertumpahan darah.
Akhirnya,
Raja Sunda dan para bangsawannya terbunuh dalam peristiwa tersebut, temasuk
sang putri (meskipun ada sebagian kalangan yang mencatat bahwa Dyah Pitaloka
melakukan bunuh diri). Setelah peristiwa itu, sunda mengaku takluk kepada
Majapahit untuk sementara waktu. Namun, akhirnya mereka mendapatkan kemerdekaan
mereka kembali.
Konon,
sejak tragedi Bubat ini, hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada mulai renggang.
Ada beberapa pendapat kalangan sejarawan terkait dengan hal ini. Sebagian
sejarawan mengatakan bahwa Gajah Mada dimutasi ke dukuh Madakariputra dan tetap
menjalankan tugasnya sebagai Mahapatih Majapahit hingga ia wafat pada 1364.
Sementara
itu, sebagian sejarawan yang lain menyebutkan bahwa Gajah Mada sempat
diberhentikan dari jabatannya untuk sementara waktu. Sebab, ia dianggap
mementingkan pencapaian pribadi melalui invasi militer daripada diplomasi.
Lalu, 2 tahun kemudian, ia dikembalikan pada posisinya semula.
Konon
akibat tragedi Bubat itu, diberlakukan esti larangan ti kaluaran di kalangan
masyarakat Sunda, yatiu larangan untuk menikah dengan orang luar sunda
(sebagian sumber lebih menekankan bahwa batasan orang luar adalah orang yang
berasal dari kawasan timur Tanah Sunda atau Majapahit). Diriwayatkan pula bahwa
pada masa ini, Empu Prapanca mulai menyusun Negarakertagama, epos Majapahit
yang ternama, di bawah bimbingan sang Mahapatih.
Dengan
demikian, sepanjang perjalanan kariernya, Gajah Mada telah memainkan peranan
penting dalam menetapkan arah kebijakan internal kerajaan. Sebab, ia memangku
berbagai posisi penting di istana, bahkan ia juga menjabat sebagai kepala
urusan istana. Keran banyaknya jabatan dan tugas yang diembannya, maka setelah
ia wafat, Hayam Wuruk harus menunjuk 4 orang menteri guna mengisi posisi kosong
yang ditinggalkannya.
Seperti
asal-usulnya, mangkatnya Gajah Mada pada tahun 1286 Saka atau 1364 M pun masih
menyisakan misteri. Di dalam Negarakertagama disebutkan bahwa Hayam Wuruk yang baru kembali dari sebuah
upacara keagamaan di Simping, menemukan Gajah Mada telah jatuh sakit. Namun,
ada pula penulis yang mengklaim bahwa sesunguhnya ia diracuni oleh Hayam Wuruk.
Sebab, Hayam Wuruk mulai takut pengaruh dan kekuasaan sang Mahapatih akan
menyaingi popularitasnya. Namun, tidak ada bukti yang meyakinkan teori ini.
0 Comments: