SHALAHUDDIN AL-AYYUBI DI MESIR
Dinasti
Fatimiyyah Mesir lahir dari puing-puing Dinasti Abbasiyyah. Sejak sekitar tahun
900, Dinasti Abbasiyyah sadar bahwa kekuasaan mereka semakin menurun. Sehingga,
mereka pun melepaskan beberapa wilayah kekaisaran mereka yang berusaha memerdekakan
diri. Salah satu wilayah yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti
Abbasiyyah adalah Mesir.
Lalu,
orang-orang Mesir membentuk kekhalifahan sendiri yang terpisah dari
pemerintahan khalifah yang berada di Baghdad. Bahkan, mereka juga membentuk
sistem pemerintahan dan angkatan bersenjata. Sementara itu, khalifah di Kairo
mengklaim garis wewenang mereka sampai putri Rasulullah SAW, Fatimah, maka
kekhalifahan mereka pun dikenal dengan nama Dinasti Fatimiyyah Mesir.
Sementara
itu, orang-orang Syi’ah beranggapan bahwa suami Fatimah, Ali bin Abi Thalib,
adalah pewaris tunggal kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Dinasti
Fatimiyyah Mesir pun dijadikan benteng bagi para pengikut Syi’ah yang menantang
khalifah dan Cultan Sunni yang bersekutu dengan mereka secara terang-terangan.
Maka, Dinasti Fatimiyyah Mesir pun tumbuh dan berkembang selama 2 abad.
Pada
pertengahan abad ke-12, keadaan di pinggiran Sungan Nil mulai memburuk. Ketegangan
serupa juga yang terjadi antara sultan dan khalifah dari kairo, dengan seorang
politisi icik bernama Syawar. Karena ingin menguasai seluruh wilayah Mesir,
Syawar menuntut supaya Al-Adid menunjuknya sebagai wazir.
Untuk
mendukung keinginannya tersebut, Syawar membutuhkan seorang tokoh yang
berkuasa. Karena ia tidak memiliki kekuasaan apapun untuk memaksa Al-Adid untuk
membantunya, Syawar pun meminta dukungan dari phak luar untuk mendukung
perjuangannya tersebut. Akhirnya, ia berpaling pada Syria dan Nuruddin yang
juga menginginkan pengaruh yang lebih besar di kawasan timur Mediterania.
Sementara
itu, Nuruddin juga berpikir bahwa khalifah akan berutang budi kepadanya jika ia
berhasil membujuk orang-orang Syi’ah Mesir kembali ke dalam pangkuan
kekhalifahan Sunni. Maka, setelah mempertimbangkan banyak hal, Nuruddin pun
bersedia membantu Syawar dan mengirimkan pasukannya.
Selanjutnya,
para prajurit tersebut akan menjalankan tugas di bawah komando Syirkuh dan
keponakannya yang saat itu berusia 26 tahun, yaitu Shalahuddin. Maka, harapan
Syawar pun terwujud. Pasukan yang berjumlah besar di bawah pimpinan Syirkuh ini
mampu memaksa Khalifah Dinasti Fatimiyyah mengangkat dirinya sebagai wazir.
Ketika
melihat prajurit bersenjata syria yang berada di Mesir berjumlah banyak, ia
memerintahkan kepada Syirkuh untuk menarik pasukannya kembali ke Syria. Namun,
Syirkuh dan Salahuddin tidak mau menarik pasukannya sebelum ada perintah jelas
dari Damaskus. Syawar pun merasa khawatir terhadap keberadaan orang tersebut.
Syawar
menyadari bahwa kondisi Mesir saat itu sangat rapuh. Selain itu, ia juga paham
bahwa Mesir merupakan target yang snagat menarik bagi beberapa pihak seperti
Kekaisaran Byzantine dan Kerajaan Kristen Jerusalem. Di satu sisi, Syawar
menyadari bahwa ia tidak mungkin dapat memerangi semua musuh tersebut. Namun,
di sisi lain, ia juga tidak bisa menjalin persekutuan dengan orang-orang
Kristen dan Islam dalam waktu bersamaan.
Syawar
pun memilih risiko terkecil dengan mengirimkan berita kepada orang-orang Frank
di Jerusalem bahwa ia mengajak mereka untuk bernegosiasi. Ia berpkir bahwa
Amalric tidak akan mengancam kekuasaannya, sedangkan Nuruddin justru dapat
mengancam kedaulatan Mesir secara keseluruhan. Selain itu, Amalric tidak
memiliki tangan kanan yang sepadan dengan Shalahuddin. Dengan demikian, Syawar
berpikir bahwa pasukan Amalric lebih mudah diatasi daripada pasukan Syria.
Maka,
Syawar pun bersekutu dengan Amalric. Selanjutnya, peperangan terbuka antara
pasukan gabungan Fatimiyyah-Frank melawan pasukan Syria pun tak dapat dielakkan
lagi. Pada pertempuran pertama, Syirkuh dan Shalahuddin berhasil mendesak
pasukan gabungan itu sekaligus membuktikan keunggulan taktik perang mereka.
Kemudian,
Syirkuh mearik pasukannya dan mengirim mereka ke Alexandria untuk menjaga jalur
suplai logistik dan komunikasi bagi pasukannya yang lain yang terpusat di sana.
Sesampainya di Alexandria, Syirkuh menugaskan kepada Shalahuddin untuk menjaga
kota. Shalahuddin pun berhasil mengelola pertahanan dengan baik sehingga dapat
menangkal serangan balasan dari musuh.
Syawar
menyadari bahwa kondisi Mesir saat itu sangat rapuh. Selain itu, ia juga paham
bahwa Mesir merupakan target yang snagat menarik bagi beberapa pihak seperti
Kekaisaran Byzantine dan Kerajaan Kristen Jerusalem. Di satu sisi, Syawar
menyadari bahwa ia tidak mungkin dapat memerangi semua musuh tersebut. Namun,
di sisi lain, ia juga tidak bisa menjalin persekutuan dengan orang-orang
Kristen dan Islam dalam waktu bersamaan.
Syawar
pun memilih risiko terkecil dengan mengirimkan berita kepada orang-orang Frank
di Jerusalem bahwa ia mengajak mereka untuk bernegosiasi. Ia berpkir bahwa
Amalric tidak akan mengancam kekuasaannya, sedangkan Nuruddin justru dapat
mengancam kedaulatan Mesir secara keseluruhan. Selain itu, Amalric tidak
memiliki tangan kanan yang sepadan dengan Shalahuddin. Dengan demikian, Syawar
berpikir bahwa pasukan Amalric lebih mudah diatasi daripada pasukan Syria.
Maka,
Syawar pun bersekutu dengan Amalric. Selanjutnya, peperangan terbuka antara
pasukan gabungan Fatimiyyah-Frank melawan pasukan Syria pun tak dapat dielakkan
lagi. Pada pertempuran pertama, Syirkuh dan Shalahuddin berhasil mendesak
pasukan gabungan itu sekaligus membuktikan keunggulan taktik perang mereka.
Kemudian,
Syirkuh mearik pasukannya dan mengirim mereka ke Alexandria untuk menjaga jalur
suplai logistik dan komunikasi bagi pasukannya yang lain yang terpusat di sana.
Sesampainya di Alexandria, Syirkuh menugaskan kepada Shalahuddin untuk menjaga
kota. Shalahuddin pun berhasil mengelola pertahanan dengan baik sehingga dapat
menangkal serangan balasan dari musuh.
Pasukan
Shalahuddin sempat menderita kelaparan dan kehausan. Selain itu, ia pun harus
menahan serangan laut dari orang-orang Frank. Namun, ia berhasil mempertahankan
kota dalam kurun waktu yang cukup lama. Sehingga, Nuruddin melakukan serangan
ke kawasan utara Palestina untuk mengalihkan perhatian Almalric.
Raja
Jerusalem pun meminta Shalahuddin untuk melakukan gencatan senjata. Karena
pasukannya semakin melemah akibat menahan serangan musuh yang bertubi-tubi,
Shalahuddin pun kembali ke Syria untuk memperbarui kekuatan pasukannya.
Sehingga, ia menerima tawaran dari orang-orang Frank dengan senang hati.
Walaupun Shalahuddin telah memenangkan pertempuran, pengalaman di Alexandria
tersebut justru meninggalkan kesan abadi dalam dirinya. Hal inilah yang membuatnya
enggan untuk melakukan pertempuran yang berlarut-larut.
Setelah
melakukan gencatan senjata dengan amalric, Shalahuddin kembali ke Damaskus.
Namun, ia mendengar berita bahwa bangsa Frank menyerang Mesir. Dengan begitu,
Syirkuh memiliki peluang untuk menuntaskan persoalan di Mesir.
Oleh
karena itu, ia pun mengajak Shalahuddin kembali ke Mesir. Meskipun ia kurang
setuju terhadap gagasan pamannya, Shalahuddin tetap bergabung dan berangkat ke
Negeri Piramida bersama dengan Syirkuh. Sebelum pasukan Syria datang, pasukan
frank telah menarik diri dan meninggalkan Syawar menghadapi pasukan Syirkuh
eorang diri.
Sementara
itu, Syirkuh menggunakan kesempatan untuk menghentikan langkah Syawar untuk
selamanya. Maka, Shalahuddin beserta beberapa prajurit segera menghadang Syawar
yang sedang berada di sekitar Piramida dan membunuh sang wazir. Khalifah
Al-Adid pun merasa ketakutan sehingga menunjuk Syirkuh untuk menggantikan
posisi Syawar. Namun, tak lama kemudian, Syirkuh jatuh sakit dan mangkat.
Sehingga, naasib Mesir pun kembali terkatung-katung.
Maka,
Shalahuddin yang cerdas dan berkompeten merupakan pilihan yang logis. Para amir
Syria sudah mendiskusikan dan memutuskan bahwa Shalahuddin akan menjadi
pemimpin yang bijak. Namun, Khalifah Dinasti Fatimiyyah di Kairo tidak mengenal
Shalahuddin secara mendalam. Ia hanya mengetahui aksi hebatnya di Alexandria
dan pengabdiannya pada Syirkuh. Maka, ia pun harus meminta pertimbangan dari
para penasihatnya terlebih dahulu.
Para
penasihatnya meyakinkan sang khalifah bahwa anak muda dari Syria tersebut mudah
dikuasai. Maka, Al-Adid pun menunjuk Shalahuddin untuk menggantikan posisi
pamannya. Shalahuddin menerima penunjukkan tersebut dan mengadopsi gelar
Al-Malik al-Nasir.
Saat
kembali ke damaskus, Nuruddin memberi ucapan selamat kepada Shalahuddin secara
terbuka. Namun, dalam hati, ia merasa khawatir jika tidak bisa menjadi pengikut
yang setia. Seiring berjalannya sang waktu, terjadi ketegangan antara kedua
tokoh ini. Maka, Shalahuddin pun segera menyusun rencana untuk menggerogoti
kekuatan pasukan Dinasti Fatimiyyah dan meruntuhkan kekuasaan khaliah.
Ternyata,
suratan takdir pun berpihak kepadanya. Pada tahun 1171, ketika Shalahuddin
mulai mengimplementasikan rencana tersebut, Al-Adid meninggal dunia secara
tiba-tiba. Maka, sebagai seorang wazir, Shalahuddin melakukan rekonstitusi
terhadap pasukan bersenjata Mesir. Ia menunjuk para prajurit Syria sebagai
anggota pasuka inti. Selain itu, ia pun yakin bahwa pasukan baru ini akan lebih
setia kepadanya daripada Nuruddin.
Kemudian,
Shalahuddin memperkuat posisinya dengan cara menjalin hubungan dengan Khalifah
Abbasiyyah secara langsung dan mengakhiri urusannya dengan Nuruddin untuk
“mengambil hati” sang Khalifah Abbasiyyah, Shalahuddin mengembalikan Sunni
sebagai keyakinan yang diakui secara resmi di Mesir.
Pada
musim semi tahun 1174, Nuruddin ingin mengembalikan Mesir dalam wilayah
kekuasaannya. Maka, ia pun mengumpulkan pasukan untuk melakukan ekspedisi guna
menghukum Shalahuddin. Akan tetapi, suratan takdir kembali memihak Shalahuddin.
Sebab, seblum niatnya terlaksana, Nuruddin wafat.
Maka,
pertikaian kembali muncul terkait pemilihan wali bagi sang putra mahkota.
Karena Shalahuddin merasa mempunyai peluang untuk menduduki posisi tersebut, ia
mengumpulkan pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang prajurit. Lalu, ia
bersama pasukannya berangkat ke Damaskus. Mereka memasuki Damaskus tanpa
mendaptkan perlawanan.
Selanjutnya,
Shalahuddin menduduki kota dan mengklaim bahwa dirinya adalah wali dari putra
Nuruddin. Namun, sebagian besar pengikut Nuruddin menolak klaim tersebut,
sedangkan Khalifah Baghdad merasa sangat gembira dengan keputusan Shalahuddin.
Sebab, saat Shalahuddin memproklamasikan diri sebagai Sultan Syria dan Mesir,
berarti Mesir kembali ke dalam kedaulatan Dinasti Abbasiyyah.
0 Comments: