SHALAHUDDIN AL-AYYUBI DI MESIR

August 05, 2019 0 Comments



Dinasti Fatimiyyah Mesir lahir dari puing-puing Dinasti Abbasiyyah. Sejak sekitar tahun 900, Dinasti Abbasiyyah sadar bahwa kekuasaan mereka semakin menurun. Sehingga, mereka pun melepaskan beberapa wilayah kekaisaran mereka yang berusaha memerdekakan diri. Salah satu wilayah yang berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Dinasti Abbasiyyah adalah Mesir.
Lalu, orang-orang Mesir membentuk kekhalifahan sendiri yang terpisah dari pemerintahan khalifah yang berada di Baghdad. Bahkan, mereka juga membentuk sistem pemerintahan dan angkatan bersenjata. Sementara itu, khalifah di Kairo mengklaim garis wewenang mereka sampai putri Rasulullah SAW, Fatimah, maka kekhalifahan mereka pun dikenal dengan nama Dinasti Fatimiyyah Mesir.

Sementara itu, orang-orang Syi’ah beranggapan bahwa suami Fatimah, Ali bin Abi Thalib, adalah pewaris tunggal kekuasaan Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Dinasti Fatimiyyah Mesir pun dijadikan benteng bagi para pengikut Syi’ah yang menantang khalifah dan Cultan Sunni yang bersekutu dengan mereka secara terang-terangan. Maka, Dinasti Fatimiyyah Mesir pun tumbuh dan berkembang selama 2 abad.
Pada pertengahan abad ke-12, keadaan di pinggiran Sungan Nil mulai memburuk. Ketegangan serupa juga yang terjadi antara sultan dan khalifah dari kairo, dengan seorang politisi icik bernama Syawar. Karena ingin menguasai seluruh wilayah Mesir, Syawar menuntut supaya Al-Adid menunjuknya sebagai wazir.
Untuk mendukung keinginannya tersebut, Syawar membutuhkan seorang tokoh yang berkuasa. Karena ia tidak memiliki kekuasaan apapun untuk memaksa Al-Adid untuk membantunya, Syawar pun meminta dukungan dari phak luar untuk mendukung perjuangannya tersebut. Akhirnya, ia berpaling pada Syria dan Nuruddin yang juga menginginkan pengaruh yang lebih besar di kawasan timur Mediterania.
Sementara itu, Nuruddin juga berpikir bahwa khalifah akan berutang budi kepadanya jika ia berhasil membujuk orang-orang Syi’ah Mesir kembali ke dalam pangkuan kekhalifahan Sunni. Maka, setelah mempertimbangkan banyak hal, Nuruddin pun bersedia membantu Syawar dan mengirimkan pasukannya.
Selanjutnya, para prajurit tersebut akan menjalankan tugas di bawah komando Syirkuh dan keponakannya yang saat itu berusia 26 tahun, yaitu Shalahuddin. Maka, harapan Syawar pun terwujud. Pasukan yang berjumlah besar di bawah pimpinan Syirkuh ini mampu memaksa Khalifah Dinasti Fatimiyyah mengangkat dirinya sebagai wazir.
Ketika melihat prajurit bersenjata syria yang berada di Mesir berjumlah banyak, ia memerintahkan kepada Syirkuh untuk menarik pasukannya kembali ke Syria. Namun, Syirkuh dan Salahuddin tidak mau menarik pasukannya sebelum ada perintah jelas dari Damaskus. Syawar pun merasa khawatir terhadap keberadaan orang tersebut.
Syawar menyadari bahwa kondisi Mesir saat itu sangat rapuh. Selain itu, ia juga paham bahwa Mesir merupakan target yang snagat menarik bagi beberapa pihak seperti Kekaisaran Byzantine dan Kerajaan Kristen Jerusalem. Di satu sisi, Syawar menyadari bahwa ia tidak mungkin dapat memerangi semua musuh tersebut. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa menjalin persekutuan dengan orang-orang Kristen dan Islam dalam waktu bersamaan.
Syawar pun memilih risiko terkecil dengan mengirimkan berita kepada orang-orang Frank di Jerusalem bahwa ia mengajak mereka untuk bernegosiasi. Ia berpkir bahwa Amalric tidak akan mengancam kekuasaannya, sedangkan Nuruddin justru dapat mengancam kedaulatan Mesir secara keseluruhan. Selain itu, Amalric tidak memiliki tangan kanan yang sepadan dengan Shalahuddin. Dengan demikian, Syawar berpikir bahwa pasukan Amalric lebih mudah diatasi daripada pasukan Syria.
Maka, Syawar pun bersekutu dengan Amalric. Selanjutnya, peperangan terbuka antara pasukan gabungan Fatimiyyah-Frank melawan pasukan Syria pun tak dapat dielakkan lagi. Pada pertempuran pertama, Syirkuh dan Shalahuddin berhasil mendesak pasukan gabungan itu sekaligus membuktikan keunggulan taktik perang mereka.
Kemudian, Syirkuh mearik pasukannya dan mengirim mereka ke Alexandria untuk menjaga jalur suplai logistik dan komunikasi bagi pasukannya yang lain yang terpusat di sana. Sesampainya di Alexandria, Syirkuh menugaskan kepada Shalahuddin untuk menjaga kota. Shalahuddin pun berhasil mengelola pertahanan dengan baik sehingga dapat menangkal serangan balasan dari musuh.

Syawar menyadari bahwa kondisi Mesir saat itu sangat rapuh. Selain itu, ia juga paham bahwa Mesir merupakan target yang snagat menarik bagi beberapa pihak seperti Kekaisaran Byzantine dan Kerajaan Kristen Jerusalem. Di satu sisi, Syawar menyadari bahwa ia tidak mungkin dapat memerangi semua musuh tersebut. Namun, di sisi lain, ia juga tidak bisa menjalin persekutuan dengan orang-orang Kristen dan Islam dalam waktu bersamaan.
Syawar pun memilih risiko terkecil dengan mengirimkan berita kepada orang-orang Frank di Jerusalem bahwa ia mengajak mereka untuk bernegosiasi. Ia berpkir bahwa Amalric tidak akan mengancam kekuasaannya, sedangkan Nuruddin justru dapat mengancam kedaulatan Mesir secara keseluruhan. Selain itu, Amalric tidak memiliki tangan kanan yang sepadan dengan Shalahuddin. Dengan demikian, Syawar berpikir bahwa pasukan Amalric lebih mudah diatasi daripada pasukan Syria.
Maka, Syawar pun bersekutu dengan Amalric. Selanjutnya, peperangan terbuka antara pasukan gabungan Fatimiyyah-Frank melawan pasukan Syria pun tak dapat dielakkan lagi. Pada pertempuran pertama, Syirkuh dan Shalahuddin berhasil mendesak pasukan gabungan itu sekaligus membuktikan keunggulan taktik perang mereka.
Kemudian, Syirkuh mearik pasukannya dan mengirim mereka ke Alexandria untuk menjaga jalur suplai logistik dan komunikasi bagi pasukannya yang lain yang terpusat di sana. Sesampainya di Alexandria, Syirkuh menugaskan kepada Shalahuddin untuk menjaga kota. Shalahuddin pun berhasil mengelola pertahanan dengan baik sehingga dapat menangkal serangan balasan dari musuh.

Pasukan Shalahuddin sempat menderita kelaparan dan kehausan. Selain itu, ia pun harus menahan serangan laut dari orang-orang Frank. Namun, ia berhasil mempertahankan kota dalam kurun waktu yang cukup lama. Sehingga, Nuruddin melakukan serangan ke kawasan utara Palestina untuk mengalihkan perhatian Almalric.
Raja Jerusalem pun meminta Shalahuddin untuk melakukan gencatan senjata. Karena pasukannya semakin melemah akibat menahan serangan musuh yang bertubi-tubi, Shalahuddin pun kembali ke Syria untuk memperbarui kekuatan pasukannya. Sehingga, ia menerima tawaran dari orang-orang Frank dengan senang hati. Walaupun Shalahuddin telah memenangkan pertempuran, pengalaman di Alexandria tersebut justru meninggalkan kesan abadi dalam dirinya. Hal inilah yang membuatnya enggan untuk melakukan pertempuran yang berlarut-larut.
Setelah melakukan gencatan senjata dengan amalric, Shalahuddin kembali ke Damaskus. Namun, ia mendengar berita bahwa bangsa Frank menyerang Mesir. Dengan begitu, Syirkuh memiliki peluang untuk menuntaskan persoalan di Mesir.
Oleh karena itu, ia pun mengajak Shalahuddin kembali ke Mesir. Meskipun ia kurang setuju terhadap gagasan pamannya, Shalahuddin tetap bergabung dan berangkat ke Negeri Piramida bersama dengan Syirkuh. Sebelum pasukan Syria datang, pasukan frank telah menarik diri dan meninggalkan Syawar menghadapi pasukan Syirkuh eorang diri.
Sementara itu, Syirkuh menggunakan kesempatan untuk menghentikan langkah Syawar untuk selamanya. Maka, Shalahuddin beserta beberapa prajurit segera menghadang Syawar yang sedang berada di sekitar Piramida dan membunuh sang wazir. Khalifah Al-Adid pun merasa ketakutan sehingga menunjuk Syirkuh untuk menggantikan posisi Syawar. Namun, tak lama kemudian, Syirkuh jatuh sakit dan mangkat. Sehingga, naasib Mesir pun kembali terkatung-katung.
Maka, Shalahuddin yang cerdas dan berkompeten merupakan pilihan yang logis. Para amir Syria sudah mendiskusikan dan memutuskan bahwa Shalahuddin akan menjadi pemimpin yang bijak. Namun, Khalifah Dinasti Fatimiyyah di Kairo tidak mengenal Shalahuddin secara mendalam. Ia hanya mengetahui aksi hebatnya di Alexandria dan pengabdiannya pada Syirkuh. Maka, ia pun harus meminta pertimbangan dari para penasihatnya terlebih dahulu.
Para penasihatnya meyakinkan sang khalifah bahwa anak muda dari Syria tersebut mudah dikuasai. Maka, Al-Adid pun menunjuk Shalahuddin untuk menggantikan posisi pamannya. Shalahuddin menerima penunjukkan tersebut dan mengadopsi gelar Al-Malik al-Nasir.
Saat kembali ke damaskus, Nuruddin memberi ucapan selamat kepada Shalahuddin secara terbuka. Namun, dalam hati, ia merasa khawatir jika tidak bisa menjadi pengikut yang setia. Seiring berjalannya sang waktu, terjadi ketegangan antara kedua tokoh ini. Maka, Shalahuddin pun segera menyusun rencana untuk menggerogoti kekuatan pasukan Dinasti Fatimiyyah dan meruntuhkan kekuasaan khaliah.
Ternyata, suratan takdir pun berpihak kepadanya. Pada tahun 1171, ketika Shalahuddin mulai mengimplementasikan rencana tersebut, Al-Adid meninggal dunia secara tiba-tiba. Maka, sebagai seorang wazir, Shalahuddin melakukan rekonstitusi terhadap pasukan bersenjata Mesir. Ia menunjuk para prajurit Syria sebagai anggota pasuka inti. Selain itu, ia pun yakin bahwa pasukan baru ini akan lebih setia kepadanya daripada Nuruddin.
Kemudian, Shalahuddin memperkuat posisinya dengan cara menjalin hubungan dengan Khalifah Abbasiyyah secara langsung dan mengakhiri urusannya dengan Nuruddin untuk “mengambil hati” sang Khalifah Abbasiyyah, Shalahuddin mengembalikan Sunni sebagai keyakinan yang diakui secara resmi di Mesir.
Pada musim semi tahun 1174, Nuruddin ingin mengembalikan Mesir dalam wilayah kekuasaannya. Maka, ia pun mengumpulkan pasukan untuk melakukan ekspedisi guna menghukum Shalahuddin. Akan tetapi, suratan takdir kembali memihak Shalahuddin. Sebab, seblum niatnya terlaksana, Nuruddin wafat.
Maka, pertikaian kembali muncul terkait pemilihan wali bagi sang putra mahkota. Karena Shalahuddin merasa mempunyai peluang untuk menduduki posisi tersebut, ia mengumpulkan pasukan yang berjumlah sekitar 700 orang prajurit. Lalu, ia bersama pasukannya berangkat ke Damaskus. Mereka memasuki Damaskus tanpa mendaptkan perlawanan.
Selanjutnya, Shalahuddin menduduki kota dan mengklaim bahwa dirinya adalah wali dari putra Nuruddin. Namun, sebagian besar pengikut Nuruddin menolak klaim tersebut, sedangkan Khalifah Baghdad merasa sangat gembira dengan keputusan Shalahuddin. Sebab, saat Shalahuddin memproklamasikan diri sebagai Sultan Syria dan Mesir, berarti Mesir kembali ke dalam kedaulatan Dinasti Abbasiyyah.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: