BUNG KARNO MELAMAR RAHMI TENGAH MALAM
Di
Palestina ada Yasser Arafat, di Indonesia ada Mohamad Hatta. Keduanya sama-sama
“wadat”, berikrar tidak akan menikah sebelum negaranya merdeka. Karenanya, Bung
Karno, dalam suatu kesempatan yang rileks pasca kemerdekaan, menanyakan tentang
calon pasangan hidup. Setidaknya karena dua alasan. Pertama, sudah merdeka.
Kedua, usia Hatta tidak muda lagi, 43 tahun.
Hatta
tidak menampik topik melepas masa lajang. Terlebih, Bung Karno pun menyatakan
siap menjadi mak comblang, bahkan melamarkan gadis yang ditaksirnya. Ketika
Bung Karno bertanya kepada Hatta ihwal gadis mana yang memikat hatinya, hatta
menjawab, “Seorang gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Institut Pasteur
Bandung. Dia begini, begitu tapi saya belum tahu namanya.”
Usut
punya usut, selidik punya selidik, gadis Parahyangan yang ditaksir hatta adalah
putri keluarga Rahim (Haji Abdul Rahim). Maka, ketika kira-kira sebelum setelah
proklamasi Bung Karno berkunjung ke Bandung, ia sempatkan mampir ke rumah
keluarga Rahim di Burgermeester Koops Weg atau yang sekarang dikenal sebagai
Jl. Pajajaran No 11. Di sana, Bung Karno bertamu hampir tengah malam, pukul
23:00 sebuah jam bertamu yang sangat tidak lazim.
Meski
sempat diingatkan ihwal jam yang menunjuk tengah malam, tapi Bung Karno tetap
keukeuh bertamu malam itu juga. Ia berdalih, tidak menjadi soal, karena ia
kenal baik dengan keluarga Rahim. Persahabatan lama yang telah terjalin sejak
Bung Karno kulaih di THS (sekarang ITB) Bandung. Apa lacur, setiba di rumah
keluarga Rahim, ia disambut dampraatan dari Ny. Rahim. Sebuah dampratan antar
teman, mengingat Bung Karno datang bertamu tidak kenal waktu.
Untuk
mereda dampratan tadi, dipeluklah Ny. Rahim dan diutarakanlah niatnya. Mendapat
pelukan bersahabat dari Bung Karno, serta tutur kata lembut dari sang tamu
tengah malam, luluhlah hati Ny Rahim dan membiarkan Bung Karno dan rombongan
kecilnya masuk dan duduk di ruang tamu.
“Saya
datang untuk melamar,” kata Bung Karno. Nada bicaranya pelan, tetapi sangat
serius dan atas pernyataan Bung Karno, Tuan dan Ny. Rahim bertanya serempak,
“Melamar siapa? Untuk siapa?” memang tidak terucap, tapi bukan tidak mungkin
keduanya sempat berpikir Bung karno naksir salah satu putri mereka dan berniat
mengambilnya menjadi istri kedua.
Sebelum
suasana menjadi kikuk dan salah paham, Bung Karno tersenyum simpatik sekali dan
segera menjawab, “Melamar Rahmi untuk Hatta.” Dan benar, begitu Bung Karno
mengutarakan niatnya, melamar putri Rahim untuk Hatta sahabatnya yang juga
Wakil Presiden, suasana di ruang tamu memang menjadi cair.
Dalam
kisah lain diceritakan, Rahmi kemudian dipanggil orangtuanya, serta
diutarakanlah maksud dan tujuan Bung Karno datang, yakni melamarnya menjadi
istri Hatta. Disebutkan, adik Rahmi, yang bernama Titi, sempat mmemengaruhi
Rahmi supaya menolak lamaran Bung Karno, dengan alasan, Hatta jauh lebih tua
dari Rahmi. Sampai pada titik ini, Rahmi dikabarkan sempat bimbang. Ragu antara
mau dan tidak mau.
Namun,
berkat “rayuan” Bung Karno pula akhirnya Rahmi menerima pinangan tadi. Dengan
pilihan kalimat yang bijak, dengan pendekatan personal, Bung Karno meminta
Rahmi melihat Fatmawati yang juga berbeda usia cukup jauh dengan Bung karno,
tetapi toh mereka bahagia. Bahwa kebahagiaan tidak bisa diukur dari perbedaan
usia antara suami dan istri. Panjang lebar Bung Karno meyakinkan Rahmi agar
bersedia menerima cinta Hatta.
Akhirnya
hati Rahmi menjadi luluh dan bersedia mengabdi menjadi istri yang setia bagi
Mohammad Hatta. Meski dari dimensi religi, jelas jodoh mutlak ada di tangan
Tuhan. Tidak ada satu manusia pun yang bisa menentukan takdir jodoh seseorang.
Itu artinya, Bung Karno hanyalah perantara, namun bersandingnya Hatta dan Rahmi
sebagai suami-istri mutlak karena takdir Tuhan Yang Mahakuasa.
Alkisah,
Hatta dan Rahmi resmi menikah di Megamendung pada 18 November 1945. Pernikahan
mereka hanya disaksikan keluarga besar Rahim, keluarga besar Bung Karno dan
Fatmawati. Sebuah pernikahan yang sederhana untuk ukuran seorang Wakil Presiden
dan putri keluarga Rahim yang terpandang di kota kembang.
Dari
pernikahan itu, lahirlah putri pertama mereka, Meutia Farida yang lahir di
Yogyakarta 21 Maret 1947. Nama Meutia datang dari neneknya yang asli Aceh.
Sedangkan Farida diambil dari nama permaisuri Raja Farouk dari Mesir yang
cantik jelita. Setelah itu, disusul kelahiran putri keduanya, Gemala dan putri
ketiga Halida Nuriah.
0 Comments: