PIDATO TERAKHIR BUNG KARNO
Ihwal
17 Agustus 1966 merupakan pidato terakhir Bung Karno, dalam pengertian pidato
kenegaraan yang begitu dinanti rakyat Indonesia setiap 17 Agustus. Sudah
menjadi rutinitas, bahwa pada peringatan proklamasi kemerdekaan, Bung Karno
menyiapkan materi pidato secara khusus.
Materi
pidato 17 Agustus acap kali dibuat di Istana Tampaksiring, Bali. Ia bisa
beberapa hari di sana tanpa mau diganggu, hanya untuk menyiapkan materi pidato
17 Agustus. Semua buku dan referensi dibawa serta. Tidaklah heran jika rakyat
Indonesia mendapat sajian pidato kenegaraan yang begitu berbobot. Pidato yang
mampu menyihir siapa pun yang mendengar, baik langsung maupun sekadar
berjubel-jubel di depan radio transistor.
Sejarah
telah mencatat, pada 17 Agustus 1967 dia sudah tidak lagi berkuasa, sehingga
mulutnya terkunci dan dunia tak lagi mendengar spirit progeresif revolusioner
dari seorang Putra Sang Fajar. Dunia tak lagi menyimak kecamannya atas hegemoni
liberalisme dan kapitalisme. Itulah mengapa saya sebut, bahwa pidato
kenegaraan 17 Agustus 1966 sebagai pidato terakhir Bung Karno
Ada
banyak pidato setelah 17 Agustus 1966, tetapi nyaris sudah dinafikan sejarah.
Pidato-pidato menuju antiklimaks, seperti Nakwasara dan Penjelasan Nawaksara,
yang toh berujung pada pelengseran dirinya dari kursi kepresidenan, meski
dilakukan dengan cara-cara yang kontroversi, baik menurut kacamata hukum
ketatanegaraan, maupun menurut kacamata juridis formal.
Dalam
buku ini, selain menafsir pidato yang sering disingkat orang dengan “Jas Merah”
itu, saya juga melakukan riset kecil-kecilan terkait respons media massa pada zamannya.
Beberapa kali saya masuk-keluar perpustakaan nasional, membolak-balik lembar
demi lembar koran tua. Beberapa artikel dan berita, saya sertakan pada epilog
buku agar pembaca maklum, bahwa tahun 1966, sejumlah media memang telah
memosisikan Bung Karno pada satu sudut yang sulit. Ada semacam penggalangan
opini yang begitu sistematis terkait peristiwa G-30-s/SPKI, sehingga Bung Karno
“dipaksa” haus menerima status sebagai pihak yang harus bertanggung jawab.
Di
sini sebuah ironi tampak. Seorang Presiden yang hendak dikudeta, justru
dituding “terlibat” (langsung atau tidak langsung) dengan kudeta itu sendiri.
Nalar mana yang membenarkan seorang presiden mengkudeta dirinya sendiri?
Terlebih
ketika era berganti, zaman berubah, satu per satu serpihan sejarah mulai
terkuak. Misal, ihwal keterlibatan CIA, ihwal keterlibatan mantan penguasa Orde
Baru, Soeharto dan banyak serpihan sejarah lain yang terbeber menjadi semacam
keping-keping puzzle yang bakal melengkapi akurasi sebuah peritiwa bersejarah.
Cepat atau lambat, sejarah G-30-S itu paasti bakal tersusun menjadi sebuah
bangunan atau bahkan sebuah situs sejarah.
Alhasil,
“pesan terakhir” Bung Karno yang berjudul “Jangan sekali-kali Meninggalkan
Sejarah”, saya resapi sebagai sebuah seruan yang harus terus digaungkan
sepanjang zaman. Bangsa yang melupakan sejarah, akan mudah tercerabut dari akar
sejarah itu sendiri dan menjadi bangsa antah berantah.
Amandemen
terhadap UUD 1945 oleh MPR RI periode 1999-2004 yang mengubah sistem tatanan
negara dan sistem politik. Di bidang demokratisasi, paham demokrasi liberal
(50+1 boleh membantai yang 49), telah mengakibatkan kita bukan lagi “Indonesia
yang mengagungkan musyawarah gotong royong”.
Demokrasi
Liberal, sama sekali bukan demokrasi Pancasila. Menerapkan demokrasi liberal
sama artinya dengan mengkhianati realita sejarah sosial kemasyarakatan rakyat
Inndoesia. Sejak diberlakukan amandemen yang sejatinya mengubah landasan
konstitusi negara, maka kita terus berkutat pada masalah internal kebangsaan
yang nyaris tak berkesudahan.
Bukan
hanya itu. Di bidang ekonomi, perubahan pasal 33, mengakibatkan kita terjerumus
pada ekonomi pasar bebas dalam keadaan kita masih teramat rapuh. Tidaklah heran
jika sumber daya alam yang begitu melimpah, tak juga mampu mengangkat derajat
dan kesejahteraan bangsa karena diekspoitasi oleh pihak asing dengan “restu”
pemerintah yang berkuasa. Maka sejatinya, para komprador bangsa telah “menjual”
Indonesia untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
0 Comments: