Kiprah Imam Bonjol Dalam Perang Padri
Perang Padri meletus di negeri Kerajaan
Pagaruyung sekitar tahun 1803-1837. Perang Padri dimulai dengan adanya gerakan
Padri atau kaum Padri (ulama) yang menentang perbuatan-perbuatan amoral yang
marak di kalangan masyarakat negeri-negeri Kerajaan Pagaruyung, seperti perjudian, penyabungan ayam,
penggunaan madat (opium), minuman keras, tembakau, sirih, serta aspek hukm adat
matriarkat mengenai warisan dan pelaksanaan kewajiban ritual formal agama
Islam.
Gejolak tersebut memicu perpecahan
antara kaum Padri yang dipipmpin oleh Harimau nan Salapan (Delapan Pemimpin)
dengan kaum Adat di bawah pimpinan Raja Pagaruyung, Sultan Muning Alamsyah. Kemudian,
gejolak itu meluas dengan melibatkan Belanda. Dari sanalah, Imam Bonjol muncul
sebagai pemimpin dalam Perang Padri setelah sebelumnya ditunjuk oleh Tuanku nan
Renceh sebagai Imam di daerah Bonjol. Selanjutnya, ia ditunjuk sebagai Panglima
Perang Padri setelah Tuanku nan Renceh meninggal dunia.
Imam Bonjol lahir di Bonjol, Pasaman,
Sumatra Barat, pada tahun 1772 dan wafat dalam pengasingan, lalu dimakamkan di
Lotak, Pineleng, Minahasa pada 6 November 1864. Ia termasuk salah seorang
ulama, pemimpin dan pejuang yang berperang melawan Belanda, Perang itu dikenal
dengan nama Perang Padri pada tahun 1803-1837.
Imam Bonjol bukanlah seorang Minahasa. Ia
berasal dari Sumatra Barat. Ia disebut juga Tuanku Imam Bonjol. Gelar ini
adalah sebuah gelar yang diberikan kepada guru-guru agama di Sumatra. Nama asli
Imam Bonjol adalah Peto Syarif ibnu Panditu Bayanuddin.
Imam bonjol adalah pemimpin yang paling
terkenal dalam gerakan dakwaj di Sumatra, yang pada mulanya menentang
perjudian, laga ayam, penyalahgunaan dadah, minuman keras dan tembakau, tetapi
kemudian mengadakan penentangan terhadap penjajahan Belanda yang memiliki
semboyan “Glod, Glory dan Gospel sehinggga mengakibatkan Perang Padri (pada
tahun 1821-1837).
Mula-mula, Imam Bonjol belajar agama
dari ayahnya, Buya Nudin. Kemudian, ia juga belajar agama dari beberapa orang
ulama lainnya, seperti Tuanku Nan Renceh. Imam Bonjol, yang ketika itu
bertindak sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, memperoleh beberapa
gelar, yaitu Peto Syarif, Malin Basa dan Tuanku Imam.
Tuanku nan Renceh dari kamang adalah
adalah salah satu pemimpin dari Harimau nan Salapan, yang menunjuknya sebagai
imam (pemimpin) bagu kaum Padri di Bonjol. Akhirnya, imam bonjol lebih dikenal
sebutan Tuanku Imam bonjol.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai
Pahlawan Nasional Indonesia berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973,
pada 6 November 1973.
Perang Padri (1821-1837)
Pada awal abad ke-19 banyak orang
Minangkabau yang pulang dari Mekah. Di negeri Arab sedang terjadi Wahabiah yang
menghendaki terbinanya masyarakat Islam yang taat melaksanakan perintah agama
dan taat pula menjauhi larangannya, seperti main judi dan meminum-minuman
keras. Umat Islam di Minangkabau yang ingin mengadakan pembaharuan termasuk
menghapuskan judi, sabung ayam dan minuman keras diseut Kaum Padri, sedangkan
mereka yang tetap ingin mempertahankan cara hidup tradisional disebut Kaum
Adat.
Dikalangan Kaum Padri terdapat golongan
yang tidak menyukai kekerasan dalam mengembangkan ajarannya, misalnya Tuanku
Nan Tuo. Akan tetapi, sebagian besar kaum Padri tidak segan-segan menempuh
jalan kekerasan. Agak sulit untuk menentukan dengan pasti kapan Perang Padri
mulai pecah. Perang itu merupakan puncak dari meningkatnya sengketa secara
sedikit demi sedikit seperti api dalam sekam, antara Kaum Padri dan kaum Adat. Kemudian,
berlanjut antara rakyat Minangkabau melawan Belanda.
Pertempuran pertama terjadi di Kota
Lawas, kemudian menjalar ke daerah lain. Di Alahan Panjang. Kaum Padri di bawah
pimpinan Datuk Bundaro bertempur melawan Kaum Adat yang dipimpin oleh Datuk
Sati. Setelah Datuk Bundaro meninggal dunia, pimpinan dipegang oleh Tuanku Imam
Bonjol yang berkedudukan di Bonjol. Bonjol menjadi pusat pertahanan Kaum Padri.
Di sana terdapat benteng yang terletak
pada suatu perbukitan. Pemimpin-pemimpin Kaum Padri yang terkenal adalah Tuanku
Pasaman, Tuanku Nan Renceh, Tuanku Tambusai dan Tuanku Nan Cerdik.
Sesudah orang Belanda berkuasa di
Padang, terjadilah persekutuan dengan Kaum Adat untuk menghadapi Kaum Padri. Pada
tahun 1821 pos Belanda di Semawang diserbu oleh pasukan Padri. Di sekitar Lintau
mereka sering mengacaukan kedudukan Belanda. Sebaliknya, pasukan Belanda
berusaha menangkap pemimpin-pemimpin Kaum Padri. Untuk menguasai medan perang,
mereka mendirikan benteng di Batusangkar dengan nama Fort Van der Capelen dan
Fort de Kock di Bukit tinggi. Berkali-kali pasukan Belanda menyerang kedudukan
pasukan Padri di Lintau, tetapi selalu gagal.
Di daerah sekitar Baso, pada tahun 1822
juga terjadi pertempuran antara pasukan Belanda melawan pasukan Tuanku Nan
Renceh. Karena persenjataan pasukan Padri tidak sebanding dengan pasukan belanda,
mereka terpaksa melakukan perang gerilya. Pertempuran berkobar juga di daerah
Bonio dan pada tahun 1823 di daerah Agam. Banyak korban jatuh sebelum pasukan
Belanda berhasil merebut pertahanan Kaum Padri. Meskipun dalam banyak
pertempuran pasukan Belanda memperoleh kemenangan, mereka tidak berhasil
menghancurkan tentara Padri. Oleh karena itu, pada tahun 1823, residen Belanda
Da Puy mengajak Kaum Padri berunding. Pada tahun 1824 perundingan terjadi,
tetapi tidak semua pemimpin Padri mendukung perundingan ini. Pemimpin Padri di
kota Lawas tidak mau berdamai dan tetap melawan Belanda. Sesudah residen
Belanda itu meninggal dunia pada tahun yang sama, permusuhan berkobar kmbali,
antara lain di Suroaso.
Sementara itu, pada tahun 1825 di Jawa pecah
Perang Diponegoro sehingga beban kolonial Belanda semakin berat. Oleh Karena
itu, Belanda berusaha mengadakan gencatan senjata di Minangkabau. Pada tahun
1825 Belanda mengadakan persetujuan dengan Kaum Padri. Belanda mengakui
beberapa sebagai wilayah Kaum Padri. Setelah pasukan Belanda banyak yang
ditarik ke Jawa, Beland harus berhati-hati agar tidak diserang oleh Kaum Padri.
Ketika Perang Diponegoro hampir selesai,
pesah lagi pertempuran di daerah Pariaman. Sementara itu, Kaum Adat mulai tidak
senang karena Belanda bersikap menindas. Pemerintah Belanda menyuruh rakyat
bekerja rodi membuat jalan, menarik pajak pasar dan cukai. Oleh karena itu,
sejak tahun 1830 Kaum Adat mulai bekerja sama dengan Kaum Padri melawan
Belanda. Di daerah sekitar Padang benyak penghulu adat yang menyerang pos-pos
Belanda. Keadaan menjadi berlarut-larut. Keuangan Belanda sudah makin parah,
padahal keamanan di Minangkabau belum dapat ditegakkan. Kapal-kapal Aceh di
perairan dekat Airbangis ikut membantu perjuangan gerakan Padri.
Sesudah berakhirnya Perang Diponegoro,
Belanda memusatkan perhatiannya kembali ke daerah Minangkabau. Suatu pasukan
besar didatangkan dari Jawa, termasuk barisan Sentot Alibasah Prawirodirjo yang
pernah berjuang bersama Pangeran Diponegoro. Kemudian, Sentot ditangkap oleh
Belanda dan pasukannya dibubarkan. Ia dituduh memihak Kaum Padri.
Pada tahun 1833, terjadi pertempuran
besar, terutama di daerah Agam. Karena kuatnya operasi militer Belanda, banyak
pemimpin Minangkabau yang menyerah. Belanda mulai memusatkan kekuatan untuk
merebut Benteng Bonjol. Setahun kemudian, Belanda semakin dekat mengepung
Benteng Bonjol. Tahun berikutnya, pasukan Belanda mulai menduduki daerah-daerah
di sekitar Bonjol dan menutup jalan-jalan yang menuju ke sana. Sementara itu,
sejumlah 12000 prajurit Padri tetap bertahan di Benteng Bonjol. Mereka siap
menghadapi pertempuran yang menentukan. Benteng Bonjol mulai dikepung rapat dan
dihujani oleh peluru-peluru meriam Belanda.
Pasukan Padri bertahan selama dua tahun
hingga Agustus tahun 1837. Pada bulan Agustus tahun itu pasukan Belanda
berhasil menerobos dinding benteng. Sesudah terjadi pertempuran sengit,
akhirnya Benteng Bonjol jatuh. Tuanku Imam Bonjol bersedia memenuhi ajakan
Belanda untuk berunding. Namun, ia dikhianati oleh Belanda. Ia dikepung,
ditangkap dan di buang ke Cianjur lalu ke Ambon. Kemudian ia dipindahkan ke
Minahasa hingga wafat di sana sebagai tawanan. Hingga kini makamnya yang berada
di Pineleng dekat Manado dipelihara baik-baik oleh rakyat setempat.
Makam Tuanku Imam Bonjol
Imam Bonjol sang pemimpin kaum padri
ReplyDeleteyups benar sekali
DeletePemimpin kaum paderi yg menafikan budayanya sendiri demi budaya bangsa lain
Delete