PANCASILA, IDEOLOGI KELAS DUNIA

October 28, 2017 0 Comments


Memprihatinkan, bahwa sebagai ideologi, Pancasila makin pudar dari waktu ke waktu. Pancasila sedang dalam proses kemunduran yang dahsyat. Padahal, Pancasila lahir dari sebuah kontemplasi yang mendalam dari seorang Soekarno muda. Pancasila adalah Beginsel atau Dasar Negara. Sebuah Demokratisch Beginsel, yang menjadi Rechtsideologie Negara kita.
Sebagai ideologi, Pancasila telah mengalami pasang surut. Dia mencapai posisi puncak pada 30 September 1960, bersamaan dengan pidato Presiden Soekarno di depan Sidang Umum PBB ke-15. Naskah pidato Bung Karno begitu termasyhur dengan judul megah: “To Build the world Anew”, membangun tatanan dunia yang baru berdasarkan pancasila.
Dalam kesempatan itu, dengan sangat fasihnya, Bung Karno mengupas satu demi satu Pancasila dan penafsiran serta pemaknaannya. Ia juga dengan bangga mengatakan bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi alternatif. Pidato Bung Karno telah memukau para pemimpin dunia dan Pancasila yang dirangkai dari butir-butir manikam warisan  bangsa Nusantara, telah ke dalam sanubari para pemimpin dunia, khususnya negara-negara yang baru merdeka.
Ada baiknya, setia memperingati Kelahiran Pancasila 1 Juni, kita tidak hanya menengok sejarah lahirnya Pancasila atau menyoal tentang makin tipisnya pemahaman generasi muda terhadap makna ideologi Pancasila. Mari kita meluangkan waktu sejenak, baca kembali pidato lahirnya Pancasila yang diucapkan Bung Karno. Kita resapi dan kita sebarkan sebagai bagian dari upaya melestarikan ideologi bangsa.
Tanggal 1 Juni yang ditetapkan sebagai tanggal lahirnya Pancasila, diambil dari momentum Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) pada 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 da sidang kedua dari tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan 17 Juli 1945. Bung Karno sendiri mengemukakan butir-butir Pancasila pada pidato 1 Juni yang tanpa teks tertulis, karenanya disebut “stenografisch verslag”.
Bung Karno dalam pidato di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang dipimpin Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagao Kaitjoo (Ketua), mengemukakan ihwal Philosofische grondslag, fundamen atau falsafah Indonesia merdeka dan sebelum Bung Karno memaparkan dasar negara, ia minta izin untuk menekankan arti kata “merdeka” kepada anggota sidang, termasuk di bawah pengawasan para pejabat Jepang.
Kemudian Bung Karno menunjukkan penguasaannya yang dalam mengenai sejarah dunia. Ia kutip dari buku Amstrong tentang pembentukan negara Saudi Arabia oleh Ibn Saud. Pada saat Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian besar belum mengetahui bahwa otomobil itu perlu minum bensin. Karenanya, pada suatu kesempatan, orang-orang Badui mengisi tangki otomobil Ibn Saud dengan gandum!
Bung Karno juga mengangkat contoh Lenin saat mendirikan Soviet Rusia. Saat Negara Soviet didirikan, rakyat Musyrik lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan menulis. Tapi toh Ibn Saud memerdekakan Saudi Arabia. Lenin memerdekakan Soviet Rusia.
Karenanya, seperti telah Bung Karno kemukakan dalam “Mencapai Indonesia Merdeka”, bahwa kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. “Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.”
Sebagai dasar negara, Bung karno mengangkat sejumlah contoh. Di antaranya karya Dr. Sun Yat Sen yang berjudul San Min Chu I atau The Three People’s Principle. Tiga pilar itulah yang mendasari dasar negara Tiongkok: Mintsu, Minchuan, Min Sheng, yakni Nasionalisme, demokrasi, sosialisme. Bung Karno juga mengangkat contoh Hitler yang meletakkan dasar Naziisme, Lenin dengan Generale Repetitie revolusi tahun 1917, Ibn Saud dengan Islam dan lain-lain.
Pada puncak pidatonya, Bung Karno merumuskan kelima sila menjadi:
1.      Kebangsaan Indonesia
2.      Internasionalisme atau perikemanusiaan
3.      Mufakat atau demokrasi
4.      Kesejahteraan sosial
5.      Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ketuhanan).
Kelima sila itulah yang kemudian disusun menjadi lima sila yang kita kenal sekarang.

Tentang bilangan lima atau panca, Bung Karno menguraikannya tersendiri. Katanya, “Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya. Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima setangan. Kita mempunyai pancaindra. Apa lagi yang lima bilangannya?”
Bertanya begitu, seorang menjawab lantang dari tengah-tengah hadirin: “Pandawalima!” Bung Karno menyahut, “ Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula bilangannya.”
Kalimat Bung Karno berikut adalah sebuah ringkasan dari lima dasar yang telah ia uraikan. Jika ia diminta memeras kelima dasar tadi menjadi tiga, maka Bung Karno menamakannya dengan:

Lima sila bisa diringkas menjadi trisila. Bagaimana seandainya diperas lagi menjadi satu sila? “Baiklah, saya kumpulkan menjadi satu. Apakah yang satu itu? Dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong royong’. Negara indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong! Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: