PANCASILA, IDEOLOGI KELAS DUNIA
Memprihatinkan,
bahwa sebagai ideologi, Pancasila makin pudar dari waktu ke waktu. Pancasila
sedang dalam proses kemunduran yang dahsyat. Padahal, Pancasila lahir dari
sebuah kontemplasi yang mendalam dari seorang Soekarno muda. Pancasila adalah
Beginsel atau Dasar Negara. Sebuah Demokratisch Beginsel, yang menjadi
Rechtsideologie Negara kita.
Sebagai
ideologi, Pancasila telah mengalami pasang surut. Dia mencapai posisi puncak
pada 30 September 1960, bersamaan dengan pidato Presiden Soekarno di depan
Sidang Umum PBB ke-15. Naskah pidato Bung Karno begitu termasyhur dengan judul
megah: “To Build the world Anew”, membangun tatanan dunia yang baru berdasarkan
pancasila.
Dalam
kesempatan itu, dengan sangat fasihnya, Bung Karno mengupas satu demi satu
Pancasila dan penafsiran serta pemaknaannya. Ia juga dengan bangga mengatakan
bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi alternatif. Pidato Bung Karno telah
memukau para pemimpin dunia dan Pancasila yang dirangkai dari butir-butir
manikam warisan bangsa Nusantara, telah
ke dalam sanubari para pemimpin dunia, khususnya negara-negara yang baru
merdeka.
Ada
baiknya, setia memperingati Kelahiran Pancasila 1 Juni, kita tidak hanya
menengok sejarah lahirnya Pancasila atau menyoal tentang makin tipisnya
pemahaman generasi muda terhadap makna ideologi Pancasila. Mari kita meluangkan
waktu sejenak, baca kembali pidato lahirnya Pancasila yang diucapkan Bung
Karno. Kita resapi dan kita sebarkan sebagai bagian dari upaya melestarikan
ideologi bangsa.
Tanggal
1 Juni yang ditetapkan sebagai tanggal lahirnya Pancasila, diambil dari
momentum Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan) pada 29 Mei 1945 sampai dengan 1 Juni 1945 da sidang kedua dari
tanggal 10 Juli 1945 sampai dengan 17 Juli 1945. Bung Karno sendiri
mengemukakan butir-butir Pancasila pada pidato 1 Juni yang tanpa teks tertulis,
karenanya disebut “stenografisch verslag”.
Bung
Karno dalam pidato di depan sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang dipimpin Dr.
K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat sebagao Kaitjoo (Ketua), mengemukakan ihwal
Philosofische grondslag, fundamen atau falsafah Indonesia merdeka dan sebelum
Bung Karno memaparkan dasar negara, ia minta izin untuk menekankan arti kata
“merdeka” kepada anggota sidang, termasuk di bawah pengawasan para pejabat
Jepang.
Kemudian
Bung Karno menunjukkan penguasaannya yang dalam mengenai sejarah dunia. Ia
kutip dari buku Amstrong tentang pembentukan negara Saudi Arabia oleh Ibn Saud.
Pada saat Ibn Saud mendirikan pemerintahan Saudi Arabia, rakyat Arabia sebagian
besar belum mengetahui bahwa otomobil itu perlu minum bensin. Karenanya, pada
suatu kesempatan, orang-orang Badui mengisi tangki otomobil Ibn Saud dengan
gandum!
Bung
Karno juga mengangkat contoh Lenin saat mendirikan Soviet Rusia. Saat Negara
Soviet didirikan, rakyat Musyrik lebih dari 80 persen tidak dapat membaca dan
menulis. Tapi toh Ibn Saud memerdekakan Saudi Arabia. Lenin memerdekakan Soviet
Rusia.
Karenanya,
seperti telah Bung Karno kemukakan dalam “Mencapai Indonesia Merdeka”, bahwa
kemerdekaan, politieke onafhankelijkheid,
political independence, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu
jembatan emas. “Saya katakan di dalam kitab itu, bahwa di seberangnya jembatan
itulah kita sempurnakan kita punya masyarakat.”
Sebagai
dasar negara, Bung karno mengangkat sejumlah contoh. Di antaranya karya Dr. Sun
Yat Sen yang berjudul San Min Chu I
atau The Three People’s Principle.
Tiga pilar itulah yang mendasari dasar negara Tiongkok: Mintsu, Minchuan, Min
Sheng, yakni Nasionalisme, demokrasi, sosialisme. Bung Karno juga mengangkat
contoh Hitler yang meletakkan dasar Naziisme, Lenin dengan Generale Repetitie
revolusi tahun 1917, Ibn Saud dengan Islam dan lain-lain.
Pada
puncak pidatonya, Bung Karno merumuskan kelima sila menjadi:
1. Kebangsaan
Indonesia
2. Internasionalisme
atau perikemanusiaan
3. Mufakat
atau demokrasi
4. Kesejahteraan
sosial
5. Takwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ketuhanan).
Kelima
sila itulah yang kemudian disusun menjadi lima sila yang kita kenal sekarang.
Tentang
bilangan lima atau panca, Bung Karno menguraikannya tersendiri. Katanya,
“Saudara-saudara! Dasar-dasar Negara telah saya usulkan. Lima bilangannya.
Inikah Panca Dharma? Bukan! Nama Panca Dharma tidak tepat di sini. Dharma
berarti kewajiban, sedangkan kita membicarakan dasar. Saya senang kepada
simbolik. Simbolik angka pula. Rukun Islam lima jumlahnya. Jari kita lima
setangan. Kita mempunyai pancaindra. Apa lagi yang lima bilangannya?”
Bertanya
begitu, seorang menjawab lantang dari tengah-tengah hadirin: “Pandawalima!”
Bung Karno menyahut, “ Pandawa pun lima orangnya. Sekarang banyaknya prinsip:
kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan dan ketuhanan, lima pula
bilangannya.”
Kalimat
Bung Karno berikut adalah sebuah ringkasan dari lima dasar yang telah ia uraikan.
Jika ia diminta memeras kelima dasar tadi menjadi tiga, maka Bung Karno
menamakannya dengan:
Lima
sila bisa diringkas menjadi trisila. Bagaimana seandainya diperas lagi menjadi
satu sila? “Baiklah, saya kumpulkan menjadi satu. Apakah yang satu itu?
Dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong
royong’. Negara indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong!
Alangkah hebatnya! Negara Gotong-royong.
0 Comments: