MEMOAR PEMBANTU PRESIDEN SOEKARNO BERNAMA OEI TJOE TAT

October 28, 2017 0 Comments


Bangsa ini tidak boleh melupakan seorang Tionghoa bernama Oei Tjoe Tat. Pria kelahiran Solo 26 April 1922 ini adalah salah seorang pembantu Presiden Soekarno dalam jabatan Menteri Negara Diperbantukan Presidium Kabinet Kerja periode 1963-1966. Sebagai pemuda terdidik, Oei Tjoe Tat memiliki suatu idealisme yang membanggakan. Dia menginginkan Indonesia yang pluralistik, yang tidak membeda-bedakan warga negaranya berdasarkan asal-usul, agama, rasial, budaya dan pandangan politiknya.
Untuk memegang idealismenya, Oei Tjoe Tat harus mengalami perjalanan hidup yang berliku. Baik semasa menjadi pengacara ataupun dalam kegiatan selanjutnya, ia mengalami pasang-surut yang tidak mudah guna mewujudkan impiannya tadi.
Sarjana Hukum lulusan Recht Hogeschool (RH) (1940-1942) dan Universiteit van Indonesie, Faculteit der Rechtgeleerdheid & van Sociale Wetenchappen di Jakarta ini, memuncaki kariernya sebagai seorang menteri, pembantu Presiden Soekarno.
Bisa jadi, kekentalan jiwa dan spirit nasionalisme serta pluralisme itu makin terpuruk saat ia menjalani “wawancara khusus” di Istana Bogor sebelum resmi menjadi menteri. Ia menceritakan betapa Bung Karno bisa sangat misterius bahkan cenderung menakutkan. Seperti pertanyaan pertama yang Bung Karno sampaikan kepada Oei Tjoe tat, “Mengapa Mr. Oei datang ke sini?
Oei menjelaskan semua alasan, mulai dari telepon paasukan Cakrabirawa yang memintanya menghadap Bung Karno di Istana Bogor, sampai keresahan dan rasa penasarannya yang begitu tinggi karena ia tidak diberi tahu duduk soal mengapa dipanggil ke Istana bogor. Sejumlah pentolan organisasi politik dan tokoh masyarakat yang dekat dengan Bung Karno, tidak satu pun mengetahui ihwal pemanggilan Oei oleh Bung Karno.
“Saya panggil Mr. Oei untuk diangkat menjadi Menteri yang akan membantu presiden dan presidium (Dr. Subandrio, Dr. Leimena dan Chaerul Saleh). Bagaimana?” Oei Tjoe tat menjawab polos, “Mengagetkan, tak pernah saya impikan dan inginkan.”
Rupanya Bung Karno tidak berkenan dengan jawaban itu, sehingga memberondong Oei dengan pertanyaan yang bertujuan menguji loyalitasnya sebagai kader Partindo, ketaatannya kepada Presiden Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi dan sebagainya dan sebagainya.
Tak kuasa menolak tanggung jawab yang dibebankan negara di pundaknya, Oei Tjoe tat akhirnya menerima pengangkatan dirinya menjadi seorang menteri. Apalagi setelah Bung Karno dengan suara berat berkata, “Sayalah yang menentukan kapan Bangsa, Negara dan Revolusi memerlukan Saudara, buka Saudara sendiri.”
Terakhir, Oei Tjoe Tat kembali bikin “perkara” dengan Bung Karno, ketika ia melontarkan pertanyaan, “Apakah nanti sebagai Menteri Republik Indonesia saya sebaiknya mengganti nama dan apakah presiden berkenan memilihkan nama baru saya?” rupanya, Oei tidak percaya diri menyandang nama Tionghoa menjadi nama resminya sebagai seorang menteri negara.
Namun, apa yang terjadi? Muka Bung Karno sontak merah, kemudian berkata meledak-ledak. “Wat? Je bent toch een Oosterling? Apa? Kamu kan orang Timur? Apa kamu sudah kehilangan hormat pada ayahmu, yang memberi kamu nama itu?”
“Disemprot” begitu Oei Tjoe Tat kaget bukan kepalang. Jawaban Bung Karno ditangkap jelas oleh Oei Tjoe tat, bahwa Presiden Soekarno bukanlah seorang rasialis. Bukannya menerima permintaan Oei untuk memberinya nama baru, tetapi malah memarahi. Oei sadar, ia harus tetap memakai nama pemberian orang tuanya. Ia harus bangga dengan nama itu.
Sepulang dari Bogor dan menceritakan pertemuannya dengan Bung Karno, istrinya hanya melongo. Benar seperti kata Oei Tjoe Tat di atas, bahwa ia sama sekali tidak pernah bermimpi menjadi seorang menteri. Ia bahkan tidak ingin menjadi seorang menteri. Bahwa kemudian Bung Karno mengangkatnya sebagai menteri, disadarinya sebagai sebuah tugas negara yang harus dipikul dengan penuh rasa tanggung jawab sebagai anak bangsa.
Di sisi lain, mendengar cerita itu, para pengurus Partindo dan Baperki (dua organisasi tempat Oei Tjoe Tat berkiprah), merasa puas dan bangga. Partindo dan Baperki merasa memiliki wakil di kabinet. Terlebih dalam catatan karier Oei Tjoe Tat selanjutnya, banyak catatan prestasi yang telah ia torehkan.
Begitulah sekelumit buku Memoar Oei Tjoe Tat, Pembantu Presiden Soekarno, terbitan Hasta Mitra. Naskah memoar Oei, disunting oleh sastrawan handal, Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi Prasetyo.



Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: