MEMOAR PEMBANTU PRESIDEN SOEKARNO BERNAMA OEI TJOE TAT
Bangsa
ini tidak boleh melupakan seorang Tionghoa bernama Oei Tjoe Tat. Pria kelahiran
Solo 26 April 1922 ini adalah salah seorang pembantu Presiden Soekarno dalam
jabatan Menteri Negara Diperbantukan Presidium Kabinet Kerja periode 1963-1966.
Sebagai pemuda terdidik, Oei Tjoe Tat memiliki suatu idealisme yang
membanggakan. Dia menginginkan Indonesia yang pluralistik, yang tidak
membeda-bedakan warga negaranya berdasarkan asal-usul, agama, rasial, budaya
dan pandangan politiknya.
Untuk
memegang idealismenya, Oei Tjoe Tat harus mengalami perjalanan hidup yang
berliku. Baik semasa menjadi pengacara ataupun dalam kegiatan selanjutnya, ia
mengalami pasang-surut yang tidak mudah guna mewujudkan impiannya tadi.
Sarjana
Hukum lulusan Recht Hogeschool (RH) (1940-1942) dan Universiteit van Indonesie,
Faculteit der Rechtgeleerdheid & van Sociale Wetenchappen di Jakarta ini,
memuncaki kariernya sebagai seorang menteri, pembantu Presiden Soekarno.
Bisa
jadi, kekentalan jiwa dan spirit nasionalisme serta pluralisme itu makin
terpuruk saat ia menjalani “wawancara khusus” di Istana Bogor sebelum resmi
menjadi menteri. Ia menceritakan betapa Bung Karno bisa sangat misterius bahkan
cenderung menakutkan. Seperti pertanyaan pertama yang Bung Karno sampaikan
kepada Oei Tjoe tat, “Mengapa Mr. Oei datang ke sini?
Oei
menjelaskan semua alasan, mulai dari telepon paasukan Cakrabirawa yang
memintanya menghadap Bung Karno di Istana Bogor, sampai keresahan dan rasa
penasarannya yang begitu tinggi karena ia tidak diberi tahu duduk soal mengapa
dipanggil ke Istana bogor. Sejumlah pentolan organisasi politik dan tokoh
masyarakat yang dekat dengan Bung Karno, tidak satu pun mengetahui ihwal
pemanggilan Oei oleh Bung Karno.
“Saya
panggil Mr. Oei untuk diangkat menjadi Menteri yang akan membantu presiden dan
presidium (Dr. Subandrio, Dr. Leimena dan Chaerul Saleh). Bagaimana?” Oei Tjoe
tat menjawab polos, “Mengagetkan, tak pernah saya impikan dan inginkan.”
Rupanya
Bung Karno tidak berkenan dengan jawaban itu, sehingga memberondong Oei dengan
pertanyaan yang bertujuan menguji loyalitasnya sebagai kader Partindo,
ketaatannya kepada Presiden Republik Indonesia dan Pemimpin Besar Revolusi dan
sebagainya dan sebagainya.
Tak
kuasa menolak tanggung jawab yang dibebankan negara di pundaknya, Oei Tjoe tat
akhirnya menerima pengangkatan dirinya menjadi seorang menteri. Apalagi setelah
Bung Karno dengan suara berat berkata, “Sayalah yang menentukan kapan Bangsa,
Negara dan Revolusi memerlukan Saudara, buka Saudara sendiri.”
Terakhir,
Oei Tjoe Tat kembali bikin “perkara” dengan Bung Karno, ketika ia melontarkan
pertanyaan, “Apakah nanti sebagai Menteri Republik Indonesia saya sebaiknya
mengganti nama dan apakah presiden berkenan memilihkan nama baru saya?” rupanya,
Oei tidak percaya diri menyandang nama Tionghoa menjadi nama resminya sebagai
seorang menteri negara.
Namun,
apa yang terjadi? Muka Bung Karno sontak merah, kemudian berkata meledak-ledak.
“Wat? Je bent toch een Oosterling? Apa? Kamu kan orang Timur? Apa kamu sudah
kehilangan hormat pada ayahmu, yang memberi kamu nama itu?”
“Disemprot”
begitu Oei Tjoe Tat kaget bukan kepalang. Jawaban Bung Karno ditangkap jelas
oleh Oei Tjoe tat, bahwa Presiden Soekarno bukanlah seorang rasialis. Bukannya
menerima permintaan Oei untuk memberinya nama baru, tetapi malah memarahi. Oei
sadar, ia harus tetap memakai nama pemberian orang tuanya. Ia harus bangga
dengan nama itu.
Sepulang
dari Bogor dan menceritakan pertemuannya dengan Bung Karno, istrinya hanya
melongo. Benar seperti kata Oei Tjoe Tat di atas, bahwa ia sama sekali tidak
pernah bermimpi menjadi seorang menteri. Ia bahkan tidak ingin menjadi seorang
menteri. Bahwa kemudian Bung Karno mengangkatnya sebagai menteri, disadarinya
sebagai sebuah tugas negara yang harus dipikul dengan penuh rasa tanggung jawab
sebagai anak bangsa.
Di
sisi lain, mendengar cerita itu, para pengurus Partindo dan Baperki (dua
organisasi tempat Oei Tjoe Tat berkiprah), merasa puas dan bangga. Partindo dan
Baperki merasa memiliki wakil di kabinet. Terlebih dalam catatan karier Oei
Tjoe Tat selanjutnya, banyak catatan prestasi yang telah ia torehkan.
Begitulah
sekelumit buku Memoar Oei Tjoe Tat,
Pembantu Presiden Soekarno, terbitan Hasta Mitra. Naskah memoar Oei,
disunting oleh sastrawan handal, Pramoedya Ananta Toer dan Stanley Adi
Prasetyo.
0 Comments: