PEMILU YANG MENGHANCURKAN

October 25, 2017 0 Comments


Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, Republik Indonesia mengalami pasang surut di bidang politik. Sistem ketatanegaraan menjadi perdebatan tiada akhir. Harus diakui, bahwa pengaruh Barat dan Timur sangat besar. Sekelompok elite politik menghendaki segera menggunakan ideologi demokrasi liberal. Sebagian lainnya menginginkan komunisme sebagai ideologi negara. Tidak sedikit pula yang menghendaki asas Islam.

Pancasila sebagai dasar negara benar-benar diuji. Bung Karno teguh pendirian, seklipun banyak elite politik menyeretnya ke kanan dan ke kiri. Begitulah perjalanan Republik hingga Pemilihan Umum Indonesia 1955 digelar, sebagai pemilihan umum pertama di Indonesia. Pemilu ini sering dikatakan sebagai pemilu Indonesia yang paling demokratis untuk ukuran demokrasi liberal.
Pemilu tahun 1955 ini dilaksanakan saat keamanan negara masih kurang kondusif; menyusul kekasauan oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosuwirjo. Ekstrem kanan yang bergerak di wilayah pasundan ini, termasuk kelompok radikal yang tidak puas dengan ideologi negara selain Islam. Termasuk, kelompok yang menentang hidupnya paham kiri di bumi Indonesia. Kartosuwiryo sendiri terbilang tamn baik Bung Karno. Keduanya sama-sama pernah belajar dan berguru pada H.O.S Cokroaminoto di Surabaya.

Dalam keadaan seperti ini, anggota angkatan bersenjata dan polisi juga memilih. Ya,mereka berhak menyalurkan suaranya bagi partai politik pilihan. Bagi anggota milter atau kepolisian yang bertugas di daerah rawan, digilir datang ke tempat pemilihan.
Pemilu ini bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Kostituante. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan berjumlah 260, sedangkan kursi Kostituante berjumlah 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangakat pemerintah.
Pemungutan suara dilangsungkan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada 29 September 1955 dan diikuti oleh 29 partai politik dan calon anggota DPR Perorangan. Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Kostituante. Tahap ini diselenggarakan pada 15 Desember 1955.
Lima partai politik besar peraih suara dalam Pemilu 1955 ini adalah partai Nasional Indonesia, masyumi, Nahdlatul Ulama, PKI dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri pada saat pemungutan suara, kepala pemerintah telah dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap. Benar-benar panas suhu politik ketika itu.
Bung Karno sendiri menilai demokrasi yang menganut sistem 51 persen mengalahkan 49 persen sebagai demokrasi yang tidak pas buat sebuah bangsa yang baru 10 tahun merdeka. Bahkan Bung Karno berkomentar atas pemilu 1955 sebagai berikut, “Ini adalah jalan paling baik bagi suatu bangsa yang masih bayi untuk menghancurkan dirinya sendiri,”

Sekalipun begitu, Bung Karno tetap mengedepankan asas demokrasi dan tidak menggunakan kekuasaan absolutnya untuk memaksakan sebuah ideologi maupun platform politik tertentu. Sekalipun dalam banyak kesempatan, Bung Karno terang-terangan mengemukakan, ihwal landasan konstitusi UUD 1945 sebagai sesuatu yang seharusnya dijadikan pegangan. Semenntara, waktu itu negara masih memakai Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950.

Hakikat demokrasi Indonesia adalah musyawarah dan mufakat. Itulah cara kerja, modus operandi dari suku-suku bangsa Indonesia yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salama beribu-ribu tahun. Itu pula yang sekarang bisa kita petik sebagai pelajaran, ihwal jatuh-bangunnya kabinet karena justru kita mengingkari UUD 1945 dan Pancasila.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: