RAPAT GELAP BUNG KARNO-TAN MALAKA
Hingga
hari ini Tan Malaka tetap menyimpan misteri. Tidak satu pun catatan sejarah
yang menafikan peran Tan Malaka dalam perjuangan memujudkan Indoensia merdeka.
Bahkan sejarah juga mengungkap, Tan Malaka lah tokoh progresif revolusioner
pertama yang mencatatkan gagasann Indonesia Merdeka pada tahun 1925, melalui
tulisan berjudul Naar de Republiek Indonesia (menuju Republik Indoenesia). Itu
artinya, gagasan dia mendahului ide merdeka yang ditulis Mohammad Hatta, dalal
artikel berjudul Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan
pengadilan Belanda di Den Haag (1928). Bahkan, jauh mendahului ide “merdeka”
Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka pada tahun 1933.
Yang
menarik, sejumlah kalangan menganggaap, Tan Malaka sebagai Che Guevara-nya Indonesia.
Dia pula yang berperan besar menggerakkan massa pada rapat akbar di lapangan
Ikada pasca proklamasi kemerdekaan, tepatnya 19 September 1945. Sekalipun,
tokoh-tokoh pemuda revolusioner “Menteng 31” seperti Chaerul Saleh, BM Diah,
Sukarni, Sjarif Thajeb, Wikana dan lain-lain. Sejak itu, garis pro kemerdekaan
dan pro status quo jadi tampak nyata. Gerakan menentang Jepang pun marak di
mana-mana. Api revolusi, euforia kemerdekaan menyeruak di setiap dada pemuda
Indonesia.
Dari
suatu catatan sejarah, tertoreh catatan adanya “rapat gelap” empat mata antara
Bung Karno dan Tan Malaka, awal September 1945, di malam takbiran, menjelang
Idul Fitri pertama pasca kemerdekaan. Saksi penutur adalah Dr. R. Soeharto,
yang tak lain adalah dokter pribadi Bung Karno. Kebetulan, rumah Soeharto di
Jl. Kramat Raya 128 Jakarta Pusat itu pula yang dijadikan ajang pertemuan dua
tokoh kemerdekaan kita.
Wanti-wanti
Bung Karno kepada Soeharto adalah, selama pertemuan berlangsung, semua lampu
harus dimatikan. Benaar-benar rapat gelap dalam arti harfiah. Intinya,
pertemuan itu sangat dirahasiakan. Anehnya, Soeharto sendiri tidak tahu, siapa
“lawan rapat gelap” Bung Karno. Sebab ketika datang diantar Sayuti Melik, si
tokoh itu memperkenalkan diri sebagai Abdulrajak dari Kalimantan.
Setahun
kemudian, 1946, Soeharto baru tahu bahwa Abdulrajak adalah Tan Malaka dan rapat
malam itu ternyata membahas sesuatu yang penting dalam catatan sejarah
pergerakan. Sebab, pertemuan keduanya membahas tentang siapa yang akan memegang
pimpinan nasional, seandainya Bung Karno dan Bung hatta secara fisik tidak
dapat melanjutkannya karena dibunuh atau ditawan pihak Jepang, Belanda atau
Sekutu.
Dalam
kegelapan malam, Tan Malaka usul kepada Bung Karno, agar dirinyalah yang
ditunjuk sebagai pewaris tunggal. Bung Karno dalam beberapa kesempatan, secara
terbuka memuji Tan Malaka sebagai tokoh yang mahir dalam pergerakan revolusi
serta melakukan pergerakan-pergerakan dan penggalangan massa. Sekalipun begitu,
ia tidak serta-merta menyetujui Tan Malaka. Sekalipun begitu, Bung Karno juga
sadar, bahwa “pewaris revolusi” harus disiapkan, guna melanggengkan proklamasi
17 Agustus 1945, guna melanggengkan gerakan perjuangan mempertahankan
kemerdekaan, guna tegaknya sang saka merah putih berkibar di Bumi Indonesia.
Kesimpulan
rapat di kegelapan malam itu adalah, Bung Karno akan membuat testamen berisikan
penunjukkan siapa yang akan meneruskan pimpinan nasional, jika terjadi hal-hal
seperti dikhawatirkan di atas, itu artinya, Soekarno menyadari dan menyetujui
gagasan Tan Malaka ihwal pewaris revolusi, jika terjadi Bung Karno-Bung hatta
dibinasakan Belanda. Mengingat pertemuan itu tidak tuntas, maka diputuskanlah
pertemuan kedua.
Pertemuan
kedua dilangsungkan di rumah Mr. Subardjo, yang memasang sudah dikenal baik
oleh Tan Malaka. Dalam kesempatan itu, Bung karno tidak datang sendiri,
melainkan mengajak serta Wakil Presiden Bung Hatta. Setidaknya kita bisa
menangkap pesan yang jelas, bahwa “pewaris jalannya revolusi jika sewaktu-waktu
dwitunggal terbunuh, memang diperlukan demi kelangsungan Republik Proklamasi 17
Agustus 1945.
Akhirnya,
dalam rapat kedua itu diputuskan dan disepakati empat nama penerus tampuk
pimpinan nasional, jika Bung Karno-Bung Hatta terbunuh, ditawan atau tidak
dapat menjalankan tugasnya sebagai presiden dan wakil presiden. Adapun keempat
nama itu adalah: Tan Malaka, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Sjahrir dan Mr.
Wongsonegoro.
Masuknya
nama Sjahrir dan Wongsonegoro atas usul hatta, alasannya Sjahrir penya pengaruh
di kalangan terpelajar, di samping memang bersahabat dekat dengan Hatta.
Sedangkan Wongsonegoro dikenal kalangan pangreh praja atau dikenal luas di
kalangan birokrasi. Nama Iwa Kusumasumantri atas usul Mr. Subardjo, karena
tokoh Pasundan ini memang dikenal berpengaruh luas di kalangan buruh dan suku
Sunda.
Di
kemudian hari, Bung Hatta mengakui ihwal hubungan personalnya dengan Tan Malaka
yang disebutnya sebagai “tidak baik”. Karenanya, atas statemen Tan Malaka yang
mengatakan bahwa ia tidak bersahabat dengan hatta, memang dibenarkan oleh
Hatta. Bisa jadi, karena itu pula, Bung Karno dan Bung Hatta tidaklah mungkin
menyerahkan kekuasaan pimpinan nasional kepada tan Malaka seorang.
0 Comments: