Part 8: Supersemar Hilang atau dihilangkan?

October 24, 2017 0 Comments


Sampai kini, kontroversi tentang Supersemar tidak kunjung selesai. Naskah aslinya secara fisik hilang sehingga sulit untuk mengetahui kebenaran isi surat perintah yang sekarang beredar itu. Artinya pula, penafsiran atas Supersemar menjadi persoalan tersendiri yang sangat pelik.
Ada yang mengatakan tersimpan di salah satu bank di luar negeri. Namun, hal itu masih sulit diyakini karena tidak ada bukti autentik yang membenarkan hal itu. Demikian pula dengan keberadaan di tanah air yang konon disimpan oleh mantan Presiden Soeharto. Dengan kesimpangsiuran keberadaan Supersemar itu, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia mengatakan bahwa G 30 S pada 1965 dan Supersemar (1966) adalah salah satu babak gelap dalam sejarah Indonesia.
Bagaimana Supersemar bisa hilang?
Persoalan menjadi serius ketika sebuah dokumen yang penting tentang peralihan kekuasaan negara justru tidak jelas rimbanya. Mungkin saja hal itu terjadi karena pengarsipan yang tidak jelas. Namun, di luar persoalan teknis pengarsipan yang tidak teratur, Supersemar sejak semula diliputi sejumlah hal yang suram. Bahkan, kian tidak bisa dirunut kebenarannya karena naskah aslinya tidak pernah diketemukan.
Mengapa surat penting seperti Supersemar tidak pernah bisa ditemukan? Ada apa sebenarnya di balik surat perintah itu? Adakah yang ditutupi atau yang pantas dijadikan rahasia dalam isis surat dimaksud? Jika memang tidak ada, lantas mengapa sampai saat ini keberadaan Supersemar masih misterius? Atau, pertanyaan paling mendasar: apakah surat perintah itu betul-betul ada?
Yang jelas, sampai hari ini naskah aslinya belum ada pada Arsip Nasional. Padahal, dalam Undang-undang No 7 tahun 1971 tentang ketentuan-ketentuan pokok kearsipan, pasal 11, tercantum,  “Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki arsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf a undang-undang ini, dapat dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (sepuluh tahun) tahun.” Kita tentu menduga orang yang diberi tugas itulah yang menyimpan surat penting itu dengan hati-hati.
Berbagai usaha pernah dilakukan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai Supersemar. Bahkan, ANRI berkali-kali meminta kepada Jenderal M. Jusuf, saksi terakhir Supersemar, hingga akhir hayatnya pada 8 September 2004 agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun upaya itu selalu gagal.
ANRI juga pernah meminta bantuan Muladi, yang ketika itu menjabat Mensesneg, M. Jusuf Kalla. Saelan, bahkan DPR untuk memanggil M. Jusuf. Akan tetapi, tetap saja usaha-usaha itu tidak pernah membuahkan hasil. Saksi kunci lainnya adalah mantan Presiden Soeharto. Namun, hingg Soeharto meninggal dunai pada 2008, naskah asli Supersemar tetap tak ditemukan.
Sebagian kalangan sejarawan Indoensia mengatakan bahwa terdapat berbagai versi Supersemar. Dokumen yang tersimpan di ANRI terdiri dari beberapa versi. Namun, sebenarnya perbedaan antar naskah, misalnya mengenai tempat penandatanganan, apakah Jakarta atau Bogor, tidak mengubah substansinya. Demikian pula jumlah halaman surat perintah itu, satu atau dua halaman, itu hanya soal teknis.
Mantan Menteri Sekretaris Negara Soedharmono pernah mengatakan bahwa Supersemar itu digandakan atau difotokopi, Namun, ternyata hal itu dibantah Moerdiono yang menegaskan bahwa surat itu dironeo (distensil). Tampaknya, pada awal 1966 belum ada mesin fotokopi di Ibukota sehigga surat perintah itu distensil. Jika itu yang terjadi, berarti naskah diketik ulang. Maka, tidak aneh jika terdapat berbagai perbedaan. Bahkan, logo burung Garuda pun terlihat seperti digambar dengan tangan.
Ketika biografi Jenderal M. Jusuf diterbitkan pada 2006, masyarakat berharap menemukan titik terang. Namun, ternyata Supersemar yang dilampirkan bukanlah yang asli. Setidaknya, demikianlah menurut ANRI karen logo yang digunakan adalah Garuda Pancasila, padahal lambang kepresidenan adalah padi kapas. Pada mulanya, kita bisa berharap, draf pertama surat itu, draf kedua yang sudah ditulis komentar Dr. Soebandrio beserta tembusan ketiga dari teks asli (yang tidak ditandatangani Presiden Soekarno) yang semua dimiliki M. Jusuf dapat diserahkan kepada pemerintah.
Menurut Soebandrio Sastrosatomo, dengan mengutip penjelasan dari Dr. M. Noor Syam, Sekretaris Laboratorium Pancasila IKIP Malang, naskah Supersemar berada di tangan keluarga mendiang Haji Mas Agung, seorang pengusaha yang pernah dekat dengan Bung Karno. Namun, naskah yang dipegang itu bukanlah naskah yang diserahkan kepada Letjen Soeharto, melainkan naskah asli salinan yang sebelumnya dipegang oleh Bung Karno.
Pendapat lainnya muncul dari A.M Fatwa yang mengungkapkan bahwa dokumen tersebut saat ini masih ada dan disimpan di sebuah bank oleh keluarga M. Jusuf. “Ada yang memberikan keyakinan untuk itu (dokumen Supersemar) bahwa itu ada dan itu disimpan di sebuah bank,” kata Fatwa.
Pernyataan Fatwa diperkuat oleh sejarawan Salim Said yang menjelaskan bahwa menurut cerita yang masih perlu dikonfirmasi, pada saat bersama Amirmachmud dan Basuki Rachmat menghadap Presiden Soekarno, M. Jusuf adalah jenderal yang paling muda. “Jadi, dokumen-dokumen, termasuk dokumen Supersemar itu, dibersihkan dari meja dan disimpan oleh M. Jusuf dan itu berada di dalam kepemilikan keluarga,” kata Said.
Menurut Salim Said, dokumen Supersemar saat itu memiliki kopi atau tembusannya. Satu lembar diserahkan kepada jenderal Soeharto, satu lembar lainnya diserahkan kepada Presiden Soekarno dan satu lembar lainnya disimpan M. Jusuf. “dan, menurut ceritanya, ini masih harus kita cari dokumen itu disimpan di loker sebuah bank, namun bank mana itu saya belum tahu,” kata Salim.
Akan tetapi, pernyataan tersebut dibantah oleh pihak keluarga m. Jusuf. “kita sudah bilang, keluarga kami tidak menyimpan apa-apa,” tutur Heri Iskandar, salah seorang keponakan M. Jusuf. Heri juga manyangkal jika istri M. Jusuf, Elly Saelan banyak mengetahui soal supersemar dan akan mengungkapkan ke publik setelah kematian Soeharto. “Kalau misalnya kami tahu, dari dulu akan kami ungkap, bahkan sebelum Soeharto meninggal,” halsanya. “Pak Jusuf itu sertiikat saja kadang dia tidak tahu dia simpan di mana, apalagi naskah Supersemar.”
M. Jusuf pernah berkata kepada M. Jusuf Kalla mengenai naskah asli Supersemar. Dia mempunyai dua versi cerita yang secara substansial berbeda cukup jauh. Yang pertama dan merupakan versi yang banyak muncul adalah naskah itu hanya diketik bersih satu kopi. Satu-satunya kopi yang ada itulah yang diberikan kepada Mayjen Basuki Rachmat setelah ditandatangani Bung Karno.
Adapun versi kedua yang pernah dikemukakan kepada Jusuf Kalla adalah Brigjen M. Sabur mengetik rangkap tiga dengan kertas karbon. Kopi utama itulah yang ditandatangani Presiden Soekarno, kemudian tindasan pertama disimpan Sabur dan tindakan kedua atau kopi ketiga diambil dan disimpan oleh Brigjen M. Jusuf. Dua lembar sama sekali tidak ditandatangani oleh presiden. Jadi, sebetulnya M. Jusuf menurut ceritanya selain menyimpan kopi ketiga (palling bawah) dari surat perintah tersebut, lalu konsep pertama surat perintah, juga konsep kedua (setelah diberi koreksi oleh Soebandrio dan Chaerul Saleh).
Hal menarik mengenai hilangnya naskah asli Supersemar disampaikan oleh Ben Anderson. Dia berkata,

“ada suatu pengakuan dari seorang serdadu berpangkat rendah yang mengaku waktu itu bertugas di Istana Bogor, buat saya yang dia katakan meyakinkan. Dia cerita bahwa mereka lupa bahwa surat yang harus diteken. Bung Karno itu diketik di atas kertas berkop Mabes AD. Jadi, masa Soekarno secara sukarela akan membuat instruksi seperti Supersemar bukan di atas kertas kepresidenan, tapi Mabes AD. Jadi, kalau itu diperlihatkan pada publik, enggak ada yang percaya. Jadi, perlu dihilangkan bukan karena isinya, tapi karena letter headnya.

Anderson berkata lagi,

“Mungkin sekali dihilangkan. Karena berbahaya. Itu masuk akal. Karena dalam situasi yang serba darurat. Tapi, saya Cuma mau bilang bahwa Supersemar harus dilihat dengan konteks perkembangan dan strategi politik geng sekitar Soeharto. Lalu, ada pertanyaan mengapa Jusuf tidak mau bicara soal itu? Itu yang harus anda tanyakan pada dia. I am not so sure. Dia mungkin juga ditipu waktu itu. Tapi, itu sudah menjadi kontroversi besar-besaran. Satu-satunya orang yang masih hidup yang ikut dalam delegasi ke Istana Bogor itu, kecuali kalau diam-diam Panggabean ikut, kok selama 30 tahun dia diam seribu bahasa. Hubungan Jusuf dengan Orde Baru ini buat saya tanda tanya besar. Saya ambil contoh waktu dia jadi pangab, dia satu-satunya Pangab yang seolah-olah berani melawan rus. Sesudah berusaha memperbaiki penampilan ABRI di dua daerah yang sangat rawan, Timor Timur dan Irian, dia dicopot. Dia bukan orang yang menjadi kaya raya seperti yang lain-lain, tapi dia toh tak mau bicara dia perlu ngomong.

Sekarang mari kita bandingkan dengan pernyataan mantan Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara Jenderal Yoga Sugama. Menurutnya, Supersemar dihilangkan oleh orang yang berkepentingan dengan surat perintah itu. Akan tetapi, yang lebih parah, katanya, keputusan MPRS yang mengangkat Soeharto menjadi pejabat presiden itu hanya didasarkan pada fotokopi (Supersemar). Jika surat perintah fotokopian itu ilegal, berarti Soeharto juga adalah presiden ilegal atau “presiden fotokopi”.
Yoga Sugama berkata,

“Menurut pengetahuan kita, surat itu sudah diterima dan dibawa Soeharto. Habis itu hilang. Jawabannya tentu siapa yang berkepentingan kalau itu hilang. Saya sendiri tidak bisa membuktikan. Tapi, siapa yang paling berkepentingan jika itu hialang? Wah, saya tidak tahu. Tapi, jawabannya satu saja, siapa yang paling berkepentingan jika itu hilang. Dulu kan sesneg nya itu si Soedharmono.

Dalam hubungannya dengan hilang atau dihilangkannya Supersemar boleh jadi versi yang paling mendekati kebenaran ialah kesengajaan Soeharto dan kelompoknya untuk kurang beritikad baik. Hal ini bisa dilihat dari sikap Soeharto yang sejak semula tidak melaksanakan dengan baik perintah dari Presiden Soekarno untuk: menjamin keselamatan pribadi dan dan kewibawaan presiden serta melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi; yang secara eksplisit diperintahkan dalam Supersemar.

Kesaksian Soebandrio juga membenarkan bahwa dalam naskah asli Supersemar sebenarnya tertera poin: “Setelah keadaan terkendali, Supersemar diserahkan kembali kepada Presiden Soekarno.” Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Kemal Idris, “Itu biasanya kalau ada surat perintah untuk melaksanakan tugaas dan kalau sudah selesai ya harus lapor. Kewenangannya ya harus ditarik. Tapi, itu tidak diaksanakan oleh Soeharto, seolah-olah surat itu hilang dan dia mempergunakan itu untuk mendapatkan kekuasaannya sendiri.” Jadi, seperti kata Yoga Sugama, hanya pihak yang memiliki kepentingan dengan Supersemar-lah yang kemudian menghilangkan surat perintah tersebut.

Some say he’s half man half fish, others say he’s more of a seventy/thirty split. Either way he’s a fishy bastard.

0 Comments: