KU ANTAR KE GERBANG
Inilah
sekelumit kisah asmara Soekarno dan Fatmawati. Begitu unik. Begitu membara.
Begitu dalam. Berikut ini adalah sepenggal kalimat cinta Bung Karno kepada
Fatmawati, melalui sepucuk surat cintanya tertanggal 11 September 1941.... o,
Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe dijalan djiwakoe, soepaja
sampai dibahagia raja. Dalam swarganya tjinta-kashimoe
Pertalian
cinta terjadi saat Bung karno diasingkan di Bengkulu, setelah sebelumnya
menjadi buangan di Ende, Flores, empat tahun lamanya. Ketika itu, tentu saja.
bung Karno sudah beristrikan Inggit Garnasih dan tidak dikaruniai putra.
Tetapi, bukan Bung Karno kalau tidak berjiwa ksatria. Meski harus mengorbankan
hubungan yang begitu baik, tetapi niat menyunting gadis bernama asli Siti
Fatimah itu, toh tetap diutarakan juga kepada Inggit.
Sepulang
dari pengasingan di bengkulu, Bung Karno selalu murung. Ia benar-benar dilabrak
demam cinta. Anak angkatnya, Ratna Juami dan suaminya, Asmara Hadi, mengetahui
bahwa Bung Karno sedang demam cinta, demam rindu kepada Fatmawati nun di
Bengkulu sana. Ratna dan Asmara Hadi pula yang memohon-mohon kepada Inggit agar
merelakan Bung Karno menikahi Fatmawati.
Inggit
keukeuh menolak dimadu, dia menyepakati perceraian. Pertikaian itu sudah
terjadi saat keduanya di Bengkulu. Saat benih-benih cinta antara Bung Karno dan
Fatma bersemi, Inggit turut merasakannya. Terlebih ketika dalam suatu massa,
anak angkat mereka Ratna Juami terpaksa harus ke Jawa untuk melanjutkan jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Omi, begitu ia biasa dipanggil, melanjutkan
sekolah ke perguruan Taman Siswa di Yogyakarta.
Adalah
Inggit yang harus mengantar Omi ke Yogya. Sebab, Bung Karno sebagai seorang
tahanan, tidak mungkin bisa meninggalkan Bengkulu. Nah, saat Inggit mengantar
Omi ke Yogya, bahkan kemudian sempat singgah di Bandung menjumpai keluarganya,
tanpa sadar jalinan kasih Bung Karno dan Fatma kian bersemi.
Hal
itu dirasakan pula oleh Inggit sekembali dari tanah jawa. Sejumlah perabot
rumah tangga sudah berubah posisi. Beberapa pembantu di rumah itu, memiliki
tatapan aneh, seperti menyimpan suatu rahasia terkait hubungan asmara Bung
Karno dan Fatma. Saat-saat seperti itukah sering terjadi pertengkaran hebat
antara Bung Karno dan Inggit.
Pertengkaran
mereka terbawa hingga ke Jakarta. Bung Karno bahkan tidak mengelak, sebaliknya
justru menyatakan suatu keharusan baginya untuk menikah lagi. Sebab ia sangat
mendambakan keturunan. Terkait Fatmawati, Bung Karno bahkan pernah berujar
kepada Inggit, untuk mencarikan wanita yang menurut Inggit pas sebagai
istrinya. Jika Inggit mencarikan istri buatnya, maka Bung Karno rela melupakan
Fatmawati.
Alhasil,
sama sekali tidak tercapai titik temu. Keduanya sepakat berpisah baik-baik.
Inggit pun menyatakan niat dan keputusanya kembali ke Bandung. Hari terakhir
bersama Bung Karno di Jakarta, Inggit menyempatkan diri ke dokter gigi. Bung
Karno masih setia menemani. Bahkan ketika bertolak ke kota Kembang, Bung Karno
pun turut serta mengantar. Setiba di Bandung, Bung Karno bahkan turut membngkar
barang-barang Inggit. Setelah mengecek dan memastikan tidak ada sesuatu yang
tertinggal, Bung Karno pun mengucapkan selamat tinggal kepadanya.
Bulan
Juli 1943, Bung Karno menikahi Fatmawati. Sebuah pernikahan yag sangat unik.
Bung Karno di Jakarta, sedangkan Fatmawati ada di Bengkulu. Bagaimana mungkin?
Mungkin. Karena Bung Karno menikahi Fatmawati secara nikah wakil. Sebab, kalau
harus mengurus perizinan ke Jakarta untuk Fatma dan seluruh keluarganya, pada
saat itu, sangat musykil. Di sisi lain, karena tuntutan pergerakan dan
perjuangan, Bung Karno pun tidak mungkin meninggalkan jakarta ke Bengkulu untuk
menikah. Selain itu, Bung Karno merasa, tidak mungkin bisa menahan lebih lama
lagi untuk menikahi Siti Fatimah yang kemudian diubah namanya oleh Bung Karno
menjadi Fatmawati.
Bung Karno dan Fatmawati
Menurut
hukum Islam, perkawinan dapat dilangsungkan, asal ada pengantin perempuan dan
sesuatu yang mewakili mempelai laki-laki. Maka, Bung Karno segera berkirim
telegram kepada seorang kawan akrabnya di Bengkulu dan memintanya menjadi wakil
Bung Karno menikahi Fatmawati. Kawan Bung Karno ini pun bergegas ke rumah
Fatmawati dan menunjukkan telegram dari Bung Karno. Orang tua Fatmawati, dalam
hal ini hasan Din sang ayah, menyetujui gagasan itu.
Alkisah,
pengantin putri dan seorang laki-laki yang menjadi wakil Bung Karno pergi
menghadap penghulu. Mereka melangsungkan pernikahan, sekalipun Fatmawati ada di
Bengkulu dan Bung Karno di Jakarta. Usai prosesi pernikahan, keduanya sudah
terikat tali perkawinan. Sah dan resmi secara agama dan hukum negara.
Laksana
takdir, jodoh di tangan Tuhan, maka itu pula yang terjadi terhadap pasangan
ini. Benih-benih cinta yang bersemi di lokasi pembuangan. Cinta berpaut saat
Jepang menggasak Belanda dan Belanda berniat mengungsikan Bung Karno ke
Australia dan akhirnya, pernikahan terjadi saat Jepang berkuasa dan Bung Karno
terlibat pergulatan yang intens menuju saat-saat Indonesia merdeka.
Kisah
cinta Fatmawati dan Bung Karno pernah difilmkan oleh Guruh Soekarno Putra
dengan judul Tjinta Fatma. Tayangan film TV berdurasi 90 menit itu, digarap
dengan biaya Rp400 juta. Betapa pun, hubungan cinta Bung Karno dan Fatma,
adalah perpaduan antara cinta bersemi yang natural, percintaan platonis yang
klasik, serta “pernikahan telegram” yang unik.
0 Comments: