Shalahuddin
al ayyubi pun segera membatalkan tawarannya dan kembali mencoba peruntungan di
medan perang. Saat pasukan Ricahrd berada jauh dari Acre, ia dan pasukannya pun
bersiap-siap untuk menguasai kawasan selatan palestina. Sebab, ia ingin
memperbaiki reputasinya yang telah rusak. Selain itu, ia juga ingin memberikan
semangat baru kepada pasukannya untuk berjihad. Maka, ia meminta pasukan
bantuan dari Damaskus.
Tidak
lama kemudian, pasukan gabungan Kurdi dan Turki datang ke Jerusalem bergabung
dengan pasukannya. Lalu, Shalahuddin pun segera melakukan invasi dengan target
utama kota pesisir, Jaffa. Mereka mendapatkan perlawanan di Jaffa, namun mereka
pun mampu mengatasi pasukan pertahanan Jaffa dengan sigap.
Selanjutnya,
para prajurit Shalahuddin al ayyubi melakukan penjarahan di kota tersebut.
Maka, Shalahuddin al ayyubi pun mencoba mengatasi penjarahan tersebut. Akan
tetapi, pasukan Turki dan Kurdi justru menyerang pasukan pengawal Shalahuddin
al ayyubi. Sehingga, mereka pun terlibat dalam pertempuran.
Shalahuddin
al ayyubi tak habis pikir mengapa pasukannya bisa melakukan hal yang memalukan
dengan slaing bertikai untuk memperebutkan piala-piala emas, kain-kain indah
dan bahan-bahan makanan. Sebelumnya, ia memang pernah menyaksikan berbagai
konflik internal sesama muslim, seperti di Mosul dan Aleppo. Namun, pertikaian
yang terjadi pada waktu itu disebabkan oleh unsur politik yang cenderung
mengarah pada perebutan kekuasaan. Sedangkan, pertikaian internal yang terjadi di
Jaffa itu murni karena keserakahan.
Di
sisi lain, ia menerima kabar bahwa Richard dan pasukannya sedang dalam
perjalanan menuju kota tersebut. Saat itu pasukan Shalahuddin al ayyubi
berjumlah sekitar 60 ribu orang prajurit, sedangkan Richard mencoba menghadapinya
dengan pasukan yang pada awalnya hanya berjumlah 3 ribu tentara dan 3 ekor
kuda. Tentu saja, tindakan Richard ini bisa dianggap sebagai langkah yang tidak
masuk akal atau terlalu nekat. Bahkan, Ricahrd memilih untuk memimpin sendiri
pasukan tersebut walaupun pasukannya jauh lebih sedikit jumlahnya dibandingkan
dengan pasukan Shalahuddin.
Dengan
demikian, Shalahuddin memiliki kesempatan untuk menghancurkan pasukan Perang
Salib Eropa untuk selama-lamanya. Namun, ternayat keadaan berbalik 180 derajat.
Harapan shalahuddin al ayyubi untuk mengalahkan pasukan Ricahrd secara mutlak
berubah menjadi sebuah mimpi buruk.
Sebab,
pasukan Richard melancarkan serangan secara frontal terhadap garda depan
Shalahuddin sehingga membuat pasukan Islam bercerai-berai. Serangan pasukan
Richard yang sangat mendadak ini benar-benar mengejutkan pasukan Shalahuddin
sehingga membuat mereka terjebak dalam kepanikan.
Sebelum
para petinggi Shalahuddin al ayyubi mampu menstabilkan garda depan pasukannya,
pasukan Richard telah menyerbu mereka kembali. Maka, dalam sekejap, kemenangan
Shalahuddin al ayyubi di Jaffa telah berubah menjadi malapetaka. Sehingga, ia
harus menyerahkan kota yang baru saja ia menangkan tersebut kepada Richard.
Selain itu, ia juga harus kehilangan pasukannya.
Walaupun
menang dan berjaya di Tanah Suci, Richard tetap tidak mampu menghindar dari
gangguan saudaranya di Inggirs. Maka, ia memberikan sebuah penawaran yang
sangat luar biasa kepada Shalahuddin al ayyubi. Ia menganjurkan shalahuddin
supa menghentikan serangannya terhadap Jaffa dan Asalon. Sebagai gantinya, ia
akan membiarkan Jerusalem tetap berada dalam genggaman umat Islam.
Akan
tetapi, Shalahuddin tetap menolak tawaran tersebut. Ia menjelaskan kepada
Richard bahwa kesediannya menerima tawaran tersebut hanya akan mengimplikasikan
kegagalan jihad yang ia usung. Maka, ia memilih kalah di medan tempur daripada
mendeklarasikan kegagalan jihad.
Selanjutnya,
Shalahuddin mulai memperkuat dan memperbarui semangat tempur pasukannya. Namun,
hal ini tidak berlangsung lama karena prajurit-prajurit Islam tidak
mengindahkan perintah Shalahuddin, bahkan mereka mulai melakukan berbagai macam
pemberontakan. Maka, mau tidak mau, Shalahuddin harus menerima fakta bahwa
jihadnya telah berakhir. Sehingga, untuk kesekian kalinya, ia kembali
mengajukan kesepakatan gencatan senjata kepada Richard the Lionheart.
GENCATAN SENJATA PADA
TAHUN 1192
Richard
dan Shalahuddin al ayyubi berhasil menyepakati berakhirnya pertempuran mereka
selama ini (yang oleh para sejarawan disebut Perang Salib III). Sejak 2
September 1192, kedua belah pihak mulai menerapkan gencatan senjata. Perjanjian
damai ini berlaku selama 4 tahun. Setelah itu, kedua belah pihak dapat
mendeklarasikan perang kembali (kedua belah pihak ini menyadari bahwa pion ini
bersifat fiktif karena mereka tidak pernah membayangkan akan kembali terjun ke
medan laga).
Selanjutnya,
mereka membagi kekuasaan di wilayah Palestina dan sekitarnya. Mereka sepakat
bahwa Ascalon merupakan wilayah yang netral sehingga tidak satu pihak pun yang
boleh mengklaim kota tersebut. Sementara itu, berbagai wilayah yang telah
berada dalam kekuasaan orang-orang Kristen akan tetap menjadi wilayah kekuasaan
mereka.
Selain
itu, Shalahuddin al ayyubi setuju untuk memberikan jaminan kebebasan bagi umat
Kristiani yang ingin mengunjungi gereja dan tempat-tempat suci di Jerusalem.
Namun, pasukan Shalahuddin akan tetap memegang kepemilikan Jerusalem. Setelah
menandatangani kesepakatan damai tersebut, Richard kembali ke Inggirs.
Akhirnya, perdamaian tercipta juga di kota suci tersebut.
HARI-HARI TERAKHIR
SHALAHUDDIN AL AYYUBI
Semenjak
berdamai dengan Richard, Shalahuddin al ayyubi menyibukkan diri dengan
rutinitas barunya. Setelah menghabiskan waktu lebih dari dua puluh tahun untuk
berperang, ia mulai memperhatikan kekuasaannya sebagai sultan secara detail.
Pertama-pertama,
Shalahuddin al ayyubi mempersiapkan diri untuk melakukan tur keliling
Palestina. Ia ingin mempelajari lebih dekat supaya bisa lebih menghargai negeri
tandus yang penuh bebatuan telah ia perjuangkan dengan gigih. Selama ini,
Shalahuddin hanya melihat Kota Suci ini dari sudut pandang strategi militer.
Padahal, Jerusalem lebih dari sekedar titik dalam peta yang harus diamankan
dari musuh-musuh Islam. Jerusalem adalah sebuah kota suci yang mampu memikat
hati setiap orang beriman dan membuatnya tenang. Maka, ia pun mengakui bahwa
Jerusalem sangat indah memiliki daya pikat tersendiri.
Selain
itu, Shalahuddin al ayyubi mendedikasikan usahanya untuk memperbaiki berbagai
kerusakan fisik dan spiritual akibat peperangan yang telah berlangsung selama
hampir satu abad (terhitung sejak Perang Salib Pertama). Shalahuddin al ayyubi
percaya bahwa masyarakat Jerusalem layak mendapatkan usaha terbaik yang bisa
dilakukan oleh seorang pemimpin muslim seperti dirinya. Maka, sebelum bertolak
menuju Damaskus, ia menggunakan sebagian hartanya untuk mendirikan sebuah rumah
sakit dan sekolah baru di kota tersebut.
Akan
tetapi, perjalanannya kembali ke Damaskus tidaklah mudah. Peperangan yang
panjang telah membuatnya menua secara prematur. Ia merasa sangat lelah sehingga
ia meretas jalannya dari pegunungan Syria menuju tepian Sungai Nil. Sang
prajurit renta ini merindukan sebuah kesederhaanaan dalam masa-masa pensiunnya.
Maka, ia pun memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya.
Sesampaianya
di sana, Shalahuddin al ayyubi menghabiskan waktunya untuk bersantai. Ia pun
menggunakan waktu luangnya untuk bermain dengan cucunya yang banyak. Tak lupa,
ia juga mendongengkan kisah-kisah pengabdiannya kepada Islam untuk mereka.
Selanjutnya,
Shalahuddin menyadari bahwa ketenangan jiwa yang ia rasakan merupakan pertanda
bahwa fase akhir dari kehidupannya. Usianya yang semakin hari semakin
bertambah, membisikkan kematian. Namun, ia tidak memiliki banyak waktu untuk
mempersiapkan penerus kekuasaannya.
Oleh
karena itu, ia mengumpulkan putra-putranya untuk menyusun peralihan kekuasaan
secara mulus dan damai. Ia berupaya untuk menyatukan keluarganya supaya Dinasti
Ayyubiyyah bisa diteruskan tanpa kehadirannya. Maka, ia menasihati mereka untuk
selalu ingat terhadap kewajiban-kewajiban mereka. Selain itu, ia juga
mengingatkan mereka untuk membentengi diri dari berbagai konflik domestik yang
dapat mencerai-beraikan dinasti yang telah ia perjuangkan dengan penuh
kegigihan.
“berhati-hatilah
pada pertumpahan darah. Jangan pernah percayakan hidup kalian pada cara
tersebut. Sebab, darah yang tumpah tak akan pernah tidur sehingga selalu
menyisakan dendam,” katanya kepada para putranya.
Selain
itu, Shalahuddin al ayyubi juga menasihati mereka untuk tidak melupakan
kepentingan dan kesejahteraan masyarakat awam saat mereka terjun ke dunia
politik. Ia pun mengingatkan mereka untuk tidak bertindak secara gegabah.
Sebab, hal tersebut bisa menafikan kerja keras yang telah mereka lakukan
sepanjang hidup mereka.
Shalahuddin
al ayyubi tidak ingin Islam menderita akibat tindakan para putranya yang masih
hijau. Kekhawatiran Shalahuddin al ayyubi mengenai tindakan para putranya,
persatuan Islam dan ancaman orang-orang Kristen yang menghantui Palestina
selama terus-menerus bisa dilihat dari riwayat-riwayat yang disampaikan oleh
para pelayannya. Sebab, mereka selalu menemani hari-hari terakhirnya.
Bahkan,
para penasihatnya bisa mengenali perubahan subtil (halus) namun tak
terbantahkan dalam diri Shalahuddin. Tatapan kosong dan sifat pelupanya
benar-benar mengganggu mereka. Misalnya, di suatu siang yang terik, Shalahuddin
pergi menunggang kuda kesayangannya untuk menyambut kedatangan para jamaah haji
yang baru pulang dari Mekkah tanpa mengenakan jubah tebal yang selalu ia kenakan.
Karena
selama ini, ia tidak pernah lupa untuk jubahnya tersebut, para pelayannya pun
mulai mengartikan hal itu sebagai sebuah pertanda buruk. Keesokan harinya, ia
merasa kurang enak badan dan demam. Maka, ia dipapah menuju peraduannya. Akan
tetapi, kondisinya justru memburuk para putranya dan mempersiapkan hal yang tak
terhindarkan.
Pada
saat yang menegangkan itu, Shalahuddin al ayyubi tetap mempertahankan selera
humor dan kelembutan sikapnya. Saat demamnya bertambah tinggi, Shalahuddin al
ayyubi meminta segelas air yang hangat atau suam suam kuku kepada pelayannya.
Namun, air dalam gelas pertama yang diberikan kepadanya terlalu hangat,
sedangkan air dalam gelas kedua terlalu dingin.
Dalam
keadaan seperti itu, sebagian besar penguasa mungkin akan memaki-maki, bahkan
menghukum mati pembantunya. Tetapi, Shalahuddin al ayyubi hanya menghela napas
dan tersenyum lembut pada pelayannya seraya mengatakan, “Barangkali memang
tidak ada yang bisa membuat air dengan temperatur suhu yang tepat.”
Selain
itu, Shalahuddin seolah-olah mengetahui bahwa waktunya di muka bumi akan segera
berakhir. Maka, ia pun memanggil imam yang terpecaya untuk menemaninya disisi
peraduan. Lalu, mereka pun membaca ayat suci al-Qur’an secara bersama-sama.
Ketika sang imam sampai pada salah satu ayat yang sangat disukai oleh
Shalahuddin al ayyubi, ia mencondongkan badan ke arah telinga Shalahuddin al
ayyubi dan membacanya, “Dia-lah Allah
yang tiada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, yang mengetahui yang gaib
dan nyata. Dia-lah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Hasyr
59:22).
Setelah
itu, mata Shalahuddin al ayyubi pun menyiratkan cahayanya untuk terakhir kali.
Kemudian, ia tersenyum sambil berbisik, “Maha Benar Allah.” Maka, pada 4 Maret
1193, Shalahuddin wafat dengan tenang dalam usia yang ke-55 tahun.
HUBUNGAN ANTARA
SHALAHUDDIN AL AYYUBI DAN KAIRO
Shalahuddin
al ayyubi telah berhasil menghadirkan sebuah konsep kota yang berbeda dengan
orang-orang Fatimiyyah. Sebab, ia menginginkan Kairo sebagi tampat yang aman.
Sehingga, dengan dibentengi oleh tembok-tembok kukuh dan tak tertembuskan, kota
ini dapat berkembang dan bersatu.
Namun,
ia tetap menginginkan tempat tersebut mampu berfungsi secara internal dengan
segenap kebebasan komersial dan kulturalnya tanpa kawasan elite dan istana yang
megah. Selain itu, ia juga menginginkan sebuah kota yang benar-benar dimiliki
oleh warga kota tersebut, walaupun kelak ia yang akan menjadi penguasa mutlak
di kota tersebut.
Ada
banyak sejarawan yang menghubungkan rancangan tata kota Shalahuddin untuk Kairo
itu murni berdasarkan pada pertimbangan-pertimbangan yang terkait dengan
kebutuhan kemiliteran atau keadaan kawasan setempat. Namun, Shalahuddin
memiliki sebuah “visi untuk dunia”. Sebab, pada kenyataannya, ia sedang
berusaha melindungi dan mempertahankan sebuah keseluruhan kultur sekaligus
wilayahnya, sebuah ideologi sekaligus agama.
Shalahuddin
al ayyubi menganggap Mesir sebagai sebuah sumber pendapatan bagi peperangan
yang ia lakukan (baik perang melawan orang-orang Kristen dan Eropa, serta perang
dalam mengatasi perpecahan sekte-sekte muslim yang telah memilah-milah Islam
saat itu).
Rupanya,
ia ingin Kairo menjadi pusat kebangkitan kultur dan ideologi Sunni. Selain itu,
ia juga mendambakan Kairo sebagai tempat pengumpulan dana yang ia butuhkan
untuk membangun pertahanan terhadap serangan pasukan Perang Salib Eropa.
Sementara
itu, Shalahuddin al ayyubi memulai meniti kariernya di Mesir, di bawah
kekuasaan Fatimiyyah. Maka, ia lebih memilih melakukan proses reedukasi ajaran
dan keyakinan Sunni terhadap Mesir daripada menghancurkan rivalnya, sesama
orang muslim (walaupun ia juga memenjarakan atau mengeksekusi seluruh anggota
keluarga Fatimiyyah).
Adapun,
karya yang paling terkenal Shalahuddin al ayyubi di kota kairo adalah benteng
militer yang dikenal dengan nama Citadel. Selain itu, ia juga memberikan
kontribusi dalam bidang arsitektur dengan membangun madrasah, masjid yang
sekaligus digunakan sebagai tempat untuk sekolah. Dalam kurun waktu 11 tahun,
ia telah berhasil membangun 5 buah madrasah.
Maka,
Shalahuddin pun mendatangkan ulama-ulama Sunni dari Timur untuk mengelola
sekolah-sekolah barunya itu. Mereka tidak hanya mengajarkan ilmu agama, namun
mereka juga mengajarkan sistem administrasi, matematika, geodesi, fisika dan
ilmu kedoteran.
Salah
satu sekolah yang dibangun Shalahuddin al ayyubi berada tak jauh dari makam
Imam al-Syafi’i, pendiri salah satu dari empat madzhab utama dalam Sunni dan
Shalahuddin pun tercatat sebagai salah satu murid di sekolah tersebut. Hingga
saat ini, masih banyak orang Mesir yang bersekolah di sini. Sekolah ini berada
di kawasan selatan pemakaman yang dikenal dengan nama Khalifa.
Walaupun
Shalahuddin al ayyubi telah berhasil mengubah kota elite yang sebelumnya hanya
dikhususkan untuk kalangan ningrat menjadi sebuah kota terbuka bagi para
penduduknya, ia tetap masih perlu memiliki sebuah benteng pertahanan untuk
menahan segala macam bentuk serangan militer dan gempuran dari luar.
Maka,
pada tahun 1176-1177, Shalahuddin al ayyubi pun mulai melakukan proses
pembangunan Citadel (yang saat ini menjadi salah satu monumen paling terkenal
di kota Kairo). Selain memerlukan sebuah benteng pertahanan, ia juga
membutuhkan pusat pemerintahan di dalam kota dan pembangunan Citadel dapat
memenuhi kedua kebutuhan tersebut.
Sebuah
legenda menyebutkan bahwa Shalahuddin al ayyubi memilih kawasan itu untuk
membangun Citadel karena udaranya sangat segat. Cerita lain yang berkembang
menyebutkan bahwa ia juga menggantungkan potongan daging di senatero kota
Kairo. Biasanya, potong-potongan daging membusuk dalam kurun waktu sehari.
Namun, di Citadel, potongan-potongan daging tersebut bisa bertahan hingga
beberapa hari.
Dengan
demikian, lokasi ini merupakan lokasi yang strategi untuk mengendalikan Kairo
maupun menahan serangan musuh. Selain itu, asal Shalahuddin al ayyubi juga
mempengaruhi kebiasaannya. Karena di Syria, setiap kota memiliki benteng yang
menjadi pusat pemerintahan bagi pemimpinnya, maka ia pun membawa kebiasaan ini
ke Mesir.
Shalahuddin
al ayyubi menerapkan teknik benteng yang terbilang modern di masa itu. Tembok
Citadel dibangun dengan ketinggian lebih dari 10 m dan tebal 3 m. Selain itu,
ia juga membangun beberapa menara bundar yang menonjol dari dinding benteng.
Dengan demikian, para penjaga di Citadel bisa segera melancarkan serangan
kepada siapa saja yang mencoba memanjat dinding kukuh tersebut.
Selanjutnya,
Shalahuddin al ayyubi ingin mengabadikan seluruh kejayaan kairo, termasuk
reruntuhan Fustat-Misr, di dalam sebuah tembok yang kukuh. Maka, ia pun mulai
membangun tembok Badr (di sebelah utara), lalu menyambungnya hingga Sungai Nil
dan Pelabuhan Al-Maks (di sebelah barat). Kemudian meneruskan ke sisi timur,
yakni di bawah perbukitan mukattam. Selanjutnya, ia meneruskan tembok Badr ke
arah selatan hingga menyatu dengan Citadel yang berada di ketinggian sekitar
250 kaki di atas kota.
Sayangnya,
tidak ada satu pun monumen religius itu yang masih bertahan hingga sekarang.
Walaupun ada bagian Citadel yang masih berdiri kukuh, bangunan ini tidak murni
dibangun pada masa Shalahuddin al ayyubi. Sebab, setiap penakluk yang
menginjakkan kaki di Mesir (termasuk Inggris) tercatat ikut andil dalam
pembangunan atau perombakan benteng ini.
Salah
satu fitur menarik di Citadel ialah Sumur Yusuf atau Sumur Shalahuddin al
ayyubi. Sumur tersebut digali dengan tujuan untuk menyuplai air minum bagi para
penghuninya. Sumur yang kedalamannya sekitar 87m itu menembus bebatuan padat
menuju sumber mata air.
Selain
airnya sangat melimpah, di dalam sumur juga terdapat jalan landai yang cukup
besar. Sehingga, binatang peliharaan pun bisa dituntun turun menuju dasar sumur
guna menggerakkan mesin untuk mengangkat air. Sayangnya, saat ini, sumur
tersebut tak lagi dibuka untuk umum.
Satu
hal lagi yang patut disayangkan adalah hiangnya jejak rumah sakit yang dibangun
oleh Shalahuddin al ayyubi (rumah sakit ini menyerupai klinik modern pada masa
sekarang). Hal ini seperti yang digambarkan oleh Ibn Jubair, juru tulis
shalahuddin al ayyubi. Ia menyatakan bahwa rumah sakit tersebut merupakan
sebuah tempat yang indah dan luas. Shalahuddin al ayyubi juga menugaskan banyak
tabib dan ahli obat di rumah sakit itu. Selain itu, pusat layanan kesehatan ini
juga dilengkapi dengan beberapa ruangan khusus dan tempat tidur yang bersepai
rapi.
Selanjutnya,
ia menugaskan para perawat untuk menjaga dan melayani para pasien. Mereka
menyajikan makanan gratis dan memberikan obat-obatan, serta bangsa khusus bagi
kaum perempuan. Tak jauh dari sana, Shalahuddin al ayyubi juga membangun gedung
dengan jendela berteralis. Gedung itu ia peruntukkan bagi penderita gangguan
jiwa. Di sini, mereka tetap diperlukan secara manusiawi. Bahkan, para ahli yang
merawatnya pun selalu berusaha mencari tahu penyebab gangguan pikiran mereka.
Selanjutnya,
Shalahuddin al ayyubi membuka gerbang Istana Al-Qahira (Kairo) dan menjual
semua harta benda para penguasa Fatimiyyah yang berlimpah ruah termasuk batu
merah delima 2.400 karat, zamrud sepanjang 4 jari dan perpustakaan khalifah
yang mengesankan. Kemudian, hasil penjualan tersebut ia gunakan untuk membayar
gaji para prajuritnya.
Kekayaan
Mesir itu memberikan peluang kepada Shalahuddin al ayyubi untuk mendulang
kesuksesan demi kesuksesan di Palestina. Misalnya, dalam Pertempuran Hattin
(tahun 1187), ia mampu merebut Jerusalem dan menyarankan pukulan telak kepada
pasukan Perang Salib Eropa sehingga mereka tidak mampu bangkit lagi. Lalu,
ribuan orang Kristen ini, dipaksa untuk berjalan sejauh 400 mil ke arah kairo.
Kemudian, mereka disuruh mengerjakan proyek pengembangan benteng kota dan
pembangun Citadel.
Maka,
pada tahun 1182, Shalahuddin al ayyubi pun meninggalkan kairo untuk memerangi
pasukan Perang Salib di Syria. Maka, saat ia menghembuskan napas terakhirnya di
Damaskus, ia telah memerdekakan hampir semua tanah Palestina dari tangan
tentara-tentara Inggris, Prancis, Burgundi, Sisilia dan Austria.
Dalam
pertempuran melawan pasukan Perang Salib tersebut, Shalahuddin al ayyubi kerap
mendapatkan bantuan dari orang-orang Kristen Timur yang juga menjadi korban
dari ekspansi pasukan Perang Salib Eropa. Sehingga, umat Kristiani Koptik Mesir
pun lebih memilih tunduk kepada Shalahuddin al ayyubi daripada Paus.
Tabel Kronoligi Shalahuddin al
ayyubi
TAHUN
|
PERISTIWA
|
1096-1099
|
Perang
Salib pertama pecah dan berujung pada pendudukan Jerusalem oleh umat
Kristiani pada tahun 1099
|
1138
|
Shalahuddin
Lahir
|
1144
|
Imaduddin
Zengi menaklukkan Edesa dari tangan orang-orang Kristen
|
1146
|
Zengi
terbunuh sehingga posisinya digantikan oleh putranya yang bernama Nuruddin
|
1147-1149
|
Perang
Salib kedua pecah dan pasukan Kristen gagal menduduki Damaskus
|
1152
|
Shalahuddin
al ayyubi muda mengikuti pendidikan di bawah pengawasan pamannya, Asaduddin
syirkuh, di Aleppo
|
1154
|
Ayah
Shalahuddin membuka jalan bagi karier politik putranya dengan meyakinkan
Damaskus agar bersekutu dengan Nuruddin
|
1156
|
Pada
usianya yang ke-18, Shalahuddin al ayyubi kembali berkumpul dengan ayahnya di
Damaskus
|
1164-1168
|
Shalahuddin
menemani Syirkuh ke Mesir, termasuk mempertahankan kota Alexandria dari
serangan bangsa Frank
|
1169
|
Shalahuddin
menjadi wazir di Mesir
|
1171
|
Khalifah
Dinasti Fatimiyyah terakhir wafat, lalu Shalahuddin mengambil alih kekuasaan
Mesir
|
1174
|
Nuruddin
mangkat, kemudian Shalahuddin segera menuju damaskus dan mengambil alih
kekuasaan di Syria. Maka, Khalifah Dinasti Abbasiyyah di Baghdad
memproklamirkan Shalahuddin sebagai Sultan Syria dan Mesir
|
1174-1186
|
Shalahuddin
mengonsolidasikan kekuasaannya dalam serangkaian pertempuran melawan
kota-kota yang memberontak antara lain Mosul dan Aleppo
|
1187
|
Shalahuddin
menyerang Palestina dan mengalahkan pasukan Frank yang dipimpin oleh Guy of
Lusignan dan Raymond of Tripoli dalam Pertempuran hattin. Lalu, ia
melanjutkan kemenangan ini dengan menaklukkan Jerusalem
|
1188
|
Pasukan
Shalahuddin berhasil menduduki hampir
semua titik penting di kawasan Palestina, kecuali Tripoli, Tyre dan Benteng
Krak des Chevaliers
|
1188-1191
|
Serangan
pasukan Kristen di bawah pimpinan Raja Inggris, Richard the Lionheart
terhadap kota muslim, Acre merupakan kekalahan terhebat bagi Shalahuddin
|
1192
|
Richard
dan Shalahuddin sepakat untuk melakukan gencatan senjata dan berbagi
kekuasaan di tanah Suci
|
1193
|
Shalahuddin
wafat pada usia yang ke-55 tahun
|